Senin, 27 Mei 2013

KISAH NYATA= MALAM PESTA SEORANG PENGANTIN WANITA MUSLIMAH

BismillahirrRahmanirRahim, Kisah nyata yang diceritakan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al Ahmad ini terjadi di Abha, ibu kota Provinsi Asir Arab Saudi.

“Setelah melaksanakan shalat Maghrib dia berhias, menggunakan gaun pengantin putih yang indah, mempersiapkan diri untuk pesta pernikahannya. Lalu dia mendengar azan Isya, dan dia sadar kalau wudhunya telah batal.

Dia berkata pada ibunya : “Bu, saya mau berwudhu dan shalat Isya.”

Ibunya terkejut : “Apa kamu sudah gila? Tamu telah menunggumu untuk melihatmu, bagaimana dengan make-up mu? Semuanya akan terbasuh oleh air.”

Lalu ibunya menambahkan : “Aku ibumu, dan ibu katakan jangan shalat sekarang! Demi Allah, jika kamu berwudhu sekarang, ibu akan marah kepadamu”
 
Anaknya menjawab : “Demi Allah, saya tidak akan pergi dari ruangan ini, hingga saya shalat. Ibu, ibu harus tahu “bahwa tidak ada kepatuhan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta”!!

Ibunya berkata : “ Apa yang akan dikatakan tamu-tamu kita tentang mu, ketika kamu tampil dalam pesta pernikahanmu tanpa make-up?? Kamu tidak akan terlihat cantik dimata mereka! dan mereka akan mengolok-olok dirimu !

Anak nya berkata dengan tersenyum : “Apakah ibu takut karena saya tidak akan terrlihat cantik di mata makhluk? Bagaimana dengan Penciptaku? Yang saya takuti adalah jika dengan sebab kehilangan shalat, saya tidak akan tampak cantik dimata-Nya”.

Lalu dia berwudhu, dan seluruh make-up nya terbasuh. Tapi dia tidak merasa bermasalah dengan itu.

Lalu dia memulai shalatnya. Dan pada saat itu dia bersujud, dia tidak menyadari itu, bahwa itu akan menjadi sujud terakhirnya.

Pengantin wanita itu wafat dengan cara yang indah, bersujud di hadapan Pencipta-Nya.

Ya, ia wafat dalam keadaan bersujud. Betapa akhir yang luar biasa bagi seorang muslimah yang teguh untuk mematuhi Tuhannya!

Banyak orang tersentuh mendengarkan kisah ini. Ia telah menjadikan Allah dan ketaatan kepada-Nya sebagai prioritas pertama. SubhanAllah…
 
Sumber:  http://bagindaery.blogspot.com
 
 
 

Sabtu, 25 Mei 2013

Jati Diri Sesungguhnya

Karya : Muhammad Arif Ali Wasi

Masa remaja adalah masa yang menyenangkan untuk semua manusia yang mengalami pubertas. Rasa rindu, sayang-sayangan, hingga berpacaran sudah tidak dianggap tabu dan menurut sebagian besar orang merupakan hal yang lazim dalam kehidupan kita. Baiklah jika itu hal yang wajar, tapi mari kita intip dunia remaja ketika bermalam mingguan. Banyak sekali pasangan pemuda-pemudi bangsa yang bergandengan tangan, berpelukan, saling meraba di tempat umum, bahkan tak tanggung-tanggung dalam hal berciuman juga sudah melukiskan suasana kota di malam minggu. Tempat penginapan dan hotelpun tak sepi dari pengunjung yang katanya akan menjadi pengurus bangsa di masa depan.

Namaku adalah Arkan Saputra, seorang remaja yang sedang kebingungan mencari jati diri yang sesungguhnya. Saat iman diri ini kuat, aku semakin mantap untuk terus menjadi orang yang baik dan selalu beribadah kepada Tuhan. Lain halnya jika diri ini semakin lemah dan jinak kepada penghasut terbesar yaitu sang Setan terkutuk, pastinya ingin sekali berbuat hal yang menyenangkan nafsu, karena nanti juga akan taubat sendiri.

Itulah kendala terbesar yang aku hadapi saat ini. Di satu sisi, aku mempunyai sahabat dan teman-teman yang dikategorikan baik, sedangkan di sisi lain betapa liarnya teman-teman kategori nakal yang menghasut dan menggodaku agar terjerumus dengan perilaku menyimpang atau sekedar kenikmatan sesaat, salah satunya adalah mengenai hotel.

Namanya Roni, dialah yang selalu menggodaku untuk menyewa seorang wanita untuk mengajaknya ke ranjang hotel. Memang keterlaluan temanku yang satu ini, walau terkadang aku amat tergoda dengan ajakannya, tetapi ajakannya selalu kutolak dengan muka yang menyesal saat ia tidak dihadapanku. Banyak dari teman-temanku yang memanfaatkan kesempatan itu dengan alasan yang beraneka ragam, misalnya karena murah, cantik, kalem, perawan, janda, dan berbagai macam alasan yang membuatku muak tapi mau. Banyak yang beralasan bahwa wanita sewaan itu murah, terpenting bagi mereka hanya untuk menyalurkan hasrat impiannya.

Bebeda dengan Roni, temanku yang bernama Galih selalu mengingatkanku jika telah melakukan perbuatan yang salah. Dia adalah teman sepermainanku semenjak taman kanak-kanak hingga saat ini, jadi aku tak perlu merasa tak nyaman jika ditegur olehnya karena ia telah mengenal sifat dan sikapku seutuhnya begitupun denganku. Saat imanku lemah dialah yang menguatkanku menjadi lebih baik, tetapi keimananku semakin lemah jika sudah bertemu dengan Roni. Menjadi baik dan menjadi nakal memang sama-sama menyenangkan, hal itu menyadarkanku bahwa jati diriku masih rapuh dan belum terbentuk.

***

Mata pelajaran di bangku SMA memang sangat menyebalkan terutama Matematika. Bukan hanya karena mata pelajaran melainkan dengan guru matematika yang hanya memberikan tugas dan jarang menjelaskan teori yang ditugaskan. Alasannya karena SMA telah berubah status, dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional menjadi Sekolah Bertaraf Internasional, dengan alasan tersebut siswa wajib mandiri dan mencari sumber-sumber yang ditugaskan. Lalu, apa tugas dari guru?

Sebenarnya bukan hanya status yang berubah melainkan dengan tarif biaya sekolahpun turut berubah. Tak heran banyak sekali teman yang tidak bersekolah di tempat sekolahku yang menjuluki Sekolah Bertarif Internasional, walau memang fasilitas di sekolahku sangatlah memadai dan termasuk lengkap. Dari semua itu, sayangnya guru hanya lebih menonjolkan materi pelajaran semata, sedangkan akhlak dan moral siswa dibiarkan hancur.

Di Aula Sekolah, Galih terlihat sibuk seperti biasanya berkumpul dengan rekan-rekan OSIS. Ia merupakan Ketua OSIS di sekolahku. Figurnya yang baik, sopan, dan tampan kata sebagian perempuan, membuatnya menjadi sosok teladan yang akhirnya membawa ia menjadi Ketua OSIS.

“Galih, mana laporan pertanggungjawaban acara ulang tahun sekolah? Kok belum selesai dari seminggu yang lalu? Aku yang kena omelan Bu Rosmala,” cetus Lisa yang sedang bersama Galih dan rekan-rekan anggota OSIS.

“Aduh, gimana ya?” jawab Galih dengan cemas.

“Lisa, bilang ke Bu Ros kalau Laporan yang kita buat kemarin kehapus. Salahnya Romlan, soalnya dia ngetik laporan di komputer virusan, file laporan kena virus, flash dia kena virus, flash disk dia masuk laptopku, laptopku ada antivirus, dan akhirnya ludes kehapus antivirus di laptopku. Selesai,” jawab Farida ketus terhadap Romlan.

“Yey, kamu juga kena salah donk. Laptopmu itu kan yang ngehapus, yang penting kerjaanku sebagai sekretaris selesai,” jawab tak kalah ketus dari Romlan.

“Seharusnya setiap file ada duplikat, itukan peraturan dari zaman nenek moyang. Lah kamu, file cuma satu.”

“Intinya, kenapa kamu gak bilang kalo laptop kamu ada antivirus?”

“Kenapa juga kamu seenaknya masukin flash disk ke laptopku?” emosi Farida, kali ini dengan muka memerah.

“Ssstttt, sudah cukup, ini semua tanggung jawabku. Biar aku aja yang ngomong ke Bu Rosmala,” ucap Galih menengahi Farida dan Romlan yang bertengkar.

“Kamu yakin? Dengan tampang polos menemui Bu Rosmala tanpa tugas yang disuruh?” tanya Lisa.

“Jika Bu Rosmala, guru yang baik dia pasti mengerti dengan problem yang kita hadapi.” Galih meyakinkan Lisa.

“Itu sih bukan problem, tapi musibah!” ucap Farida ketus pada Romlan.

“Ihhh, nyebelin!” Romlan mendekati Farida tapi ditahan dengan tangan Galih.

Terlihat rekan-rekan OSIS yang lain memisahkan Farida dan Romlan pada dua arah. Aku menyaksikan kejadian itu tak jauh dari mereka berkumpul, memang lucu tingkah mereka layaknya masih duduk di bangku TK yang saling tuduh dan mengamuk atau mungkin juga meniru dari para anggota dewan dengan menuduh agar dirinya aman.

Niat untuk mengobrol dengan Galih sebaiknya aku tunda. Ia bergegas menuju ruang guru untuk menemui Ibu Rosmala sang Pembina Kesiswaan. Ibu Rosmala adalah guru Matematika, sebagian besar siswa menilai bahwa ia adalah guru yang sangat egois karena sesuatu yang murid perbuat harus sesuai dengan keinginannya, layaknya memperlakukan sebuah robot.

“Hei, Bro! Walah ngintipin ruang guru, seleramu rendahan, Coy!” serang Roni mengagetkan dengan mendorong pundakku.

“Hahaha, lucu,” jawabku meledek Roni.

“Maksa banget, betewe malem ni kita-kita pada kumpul yuk. Tempat biasa.”

“Daku mau tobat. Gak mau mampir kesana.”

“Tobat?” jawab Roni menahan ketawa mendengar ucapanku. Ia berusaha untuk merayuku, “Gak nyesel? Cuma buat happy-happy doang kok, ayolah.”

“Huft, oke deh. Nanti kamu yang jemput ke rumahku, malam ini motorku dipakai Kakak?” tanyaku pasrah dan akhirnya aku tergoda untuk kesekian kali dengan ajakan Roni

“Sip, gitu donk! Itu baru best friend gua. Udah ah, gua mau kasih tau yang lain dulu,” jawabnya berlalu dengan tawa.

Setidaknya ajakan Roni untuk mengunjungi Surga Dunia akan melepas beban dari tugas sekolah. Aku menyadari bahwa yang kuperbuat memang salah, tetapi niatku pasti akan tobat jika umur semakin tua dan kematian akan menghampiriku.

Terlihat dengan tampang yang lemas, Galih keluar dari ruang guru. Dengan muka demikian, aku sudah bisa menebaknya bahwa ia telah dimarahi oleh Ibu Rosmala. Sungguh iba melihat Galih, hanya karena ia seorang pemimpin sampai rela pasang badan untuk menutupi kesalahan anggotanya. Aku semakin salut dengan kepemimpinannya dan semakin kasihan dengan pengorbanannya. Semoga kepemimpinannya dapat dilanjutkan sebagai pemimpin bangsa suatu saat nanti.

“Galih,” sapaku memanggil Galih dengan isyarat tangan.

“Arkan, ada apa?” jawabnya.

“Sini, nyante dulu aja.”

Galih mendekatiku dengan menundukan kepala, tampaknya amarah Bu Rosmala memang luar biasa berpengaruh pada kondisi kejiwaan Galih.

“Dimarahin lagi?” ucapku santai untuk menenangkan Galih.

“Ah, biasa.”

“Kalau biasa, santai aja, Bro. Jika ada yang mengkritikmu, kamu harus buktikan dengan praktik jangan teori.”

“Alah, itu semboyan Bu Rosmala,” jawab Galih sembari meledekku, tanda ia sudah mulai membaik dari tekanan. “Tadi ketemu Roni?”

“Loh?” aku heran Galih bisa mengetahui.

“Jeritan Roni terdengar sampai ke ruang guru. Ngapain lagi, dia?” selidik Galih.

Setiap Galih melihatku bertemu dengan Roni, pasti dia mengira bahwa Roni akan menjerumuskanku lagi. Memang tidak salah dugaannya, topik pembicaraan setiap bertemu Roni selalu mengenai tampat lokalisasi. Jika aku memberitahu kepada Galih, pasti dia akan melakukan sesuatu supaya aku batal untuk mengikuti ajakan Roni. Lebih baik aku berbohong dan mencoba ajakan Roni untuk pertama kalinya.

“Oalah, bengong. Aku dah ngerti, malam ini pasti diajak Roni ke tempat maksiat lagi. Kalau ingin tobat, yang konsisten donk. Arkan ingat ya, itu hanya kesenangan sesaat. Sekali kamu kesana, nanti akan selalu tergoda untuk kesana. Please kasihan orangtua kamu, dia didik kamu supaya jadi orang baik-baik, bukan berakhlak kotor seperti Roni. Saranku, kamu jangan bergaul dengan Roni lagi. Tolong dengarkan ucapanku, jika aku masih dianggap sahabat,” jelas Galih dengan tegas.

Maksud untuk menutupi ajakan Roni memang tidak mempan pada Galih. Ucapan Galih, untuk kesekian kalinya menyadarkan bahwa jati diri ini amat lemah pada godaaan. Saran dia untuk menjauhi Roni memang benar tetapi berat untukku, padahal tidak ada keistimewaan dalam pribadi Roni. Rasanya seperti disantet.

***

Malam ini Galih berada di rumahku, niatku untuk ikut bersama Roni akhirnya terbongkar. Aku dan Galih bermaksud belajar bersama sebagai cara penolakan untuk ajakan Roni, itulah pilihan yang aku ambil. Sebelumnya Galih memberi dua pilihan agar Roni tidak jadi mengajakku, pilihan yang lain yaitu dengan bertindak tegas dan menjauhi Roni tetapi aku tidak mengambil pilihan tersebut.

Aku mengerti dengan sikap Galih yang sangat peduli denganku. Walau bukan hak dia untuk melarangku, tapi dia tidak ingin memiliki teman pecandu wanita murahan ataupun hal negatif lain. Entah harus syukuri atau tidak mempunyai sahabat sepertinya, tetapi aku mengakui bahwa ia adalah teman yang luar biasa untukku.

“Den Arkan, ada tamu,” sahut pembantu bernama Bi Inah, sembari menghampiriku.

“Roni?” tebakku.

“Iya Den, ada Mas Roni.”

“Ya sudah suruh masuk, Bi.”

“Baik Den Arkan,” ucap Bi Inah dan menuruti perintahku.

Aku melirik Galih, dia memberikan gerakan isyarat tubuh agar tidak jadi mengikuti ajakan Roni dan sedang sibuk belajar bersamanya. Akupun hanya mengangguk mengikuti perintah Galih, karena sikap yang ia tunjukan hanya untuk kebaikanku.

“Arkan,” sapa Roni dari pintu masuk, ia mendekatiku dengan gayanya yang santai. Dia hanya tersenyum kecut pada Galih, sedangkan Galih hanya diam tanpa mersepon.

“Yuk, tepati janjimu,” tidak seperti biasanya, Roni mengajakku secara paksa dengan menarik lengan tanganku.

“Kita lagi belajar bersama, please jangan ganggu,” tahan Galih dengan menarik lengan kiriku dan mendorong bahu Roni.

“Jangan kurang ajar, Bro! Mentang-mentang Lu Ketua OSIS bukan berarti gua takut sama lu,” semprot Roni dengan meludah ke wajah galih.

Dengan cepat, Galih memukuli wajah Roni hingga terjatuh. Roni tak ingin mengalah, ia membalas dengan balik memukuli hidung Galih hingga berdarah. Kejadian itu sontak membuat orang tuaku terkejut dan langsung meleraikan Galih dan Roni, terutama Ayahku yang terlihat sangat marah dengan kejadian itu.

“Ada apa ini? Main rebut di rumah orang. Arkan, kenapa mereka? Sekali lagi kalian main tonjok-tonjokan, Bapak tidak segan-segan membawa kalian ke Pos Polisi untuk menyelesaikan ini,” tegas Bapakku sangat marah.

“Coba dibicarakan baik-baik dulu, jangan dibiasakan berantem. Ada apa toh, Nak?” tanya Ibu cemas.

“Dia, Tante,” Roni menunjuk ke wajah Galih, “Dia yang mukul saya diluan, saya tidak terima. Apa salah saya?”

“Arkan, benar yang diucapkan dia?” tanya Ibu melanjutkan perkataan Roni.

“Benar, Ma.”

“Nak Galih, ada apa toh? Kamu itu kan siswa teladan di sekolah dan Ibu juga mengenal kamu sudah cukup lama, kenapa kamu bisa berbuat seperti ini? Ibu benar-benar tidak menyangka,” ucap Ibu memojokkan Galih.

Galih tidak berkata sepatah katapun, ia hanya menunduk seperti menahan amarahnya. Aku bingung melihat ini terjadi, dua orang teman dekat berantem karena diriku. Padahal sebelumnya berjalan lancar, ketika menolak ajakan Roni dengan berpura-pura belajar.

“Galih, sekarang kamu pulang. Bapak akan laporkan kejadian ini pada orangtuamu,” ucap Bapak menarik tangan Galih secara paksa dan membawa keluar rumah.

Galih sempat melirikku tanda ia meminta pembelaan dariku. Aku sangat merasa bersalah pada Galih, tetapi aku tidak bisa membelanya. Saat aku memojokkan Roni, pasti rahasia nakalku yang telah dikenal Roni akan dibongkarnya. Aku mengetahui sikap Roni yang demikian, karena pernah terjadi pada temannya sehingga dikucilkan oleh semua orang. Aku tidak mau mengalami kejadian tragis seperti itu.

Maafkan aku, Galih.

***

Malam semakin larut dan waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Roni akhirnya membawaku ke tempat tujuannya. Seperti yang kuduga, banyak sekali wanita berkeliaran dengan menggunakan busana yang membuat hati para pria bergetar. Nafasku memompa semakin cepat, darahpun rasanya seperti meluap. Inilah untuk pertama kalinya, aku diajak ke tempat berjuluk Surga Dunia bagi para lelaki hidung belang.

Melihat sikapku, Roni hanya bisa tertawa dan selalu mengarahkan wajahku pada wanita yang menurutnya sangat menarik.

“Bro, teman-teman yang lain pada dimana?” tanyaku pada Roni.

“Biasalah, tempat tertutup,” jawab Roni dengan santai.

Roni memang terlihat santai jika dibandingkan olehku. Cukup wajar, karena ia seringkali datang ke tempat ini hanya untuk memuaskan hasrat cintanya. Lokalisasi ini memang tidak membuatku bosan, banyak kejutan ketika aku berjalan melewati para kupu-kupu malam.

Aku terkejut, tiba-tiba ada yang meraba dan memelukku dari belakangku. Sontak aku mendorong orang yang memelukku dengan keras hingga wanita itu terjatuh dan lecet pada bagian kaki.

What’s happen, bro? Santai aja,” ucap Roni menenangkanku yang dari awal memang terlihat sangat tegang dengan tempat ini.

Sorry, aku tidak sengaja. Maaf ya,” ungkapku dengan malu tertunduk.

Wanita berwajah mungil itu bangun dan mengajakku berjabat tangan, tampaknya ia akan memaafkanku. Ketika aku menjabat tangannya, dengan lekas ia menarikku menjauhi Roni.

“Eit, tunggu. Ron, sebentar,” perintahku pada Roni.

“Yang lama. Ntar Gua telpon Lu,” ucap Roni menertawakanku.

Roni memang keterlaluan, ia belum menyadari bahwa aku masih belum siap untuk menghadapi ini. Sikapku semakin tidak bisa ditahan, mukaku semakin pucat memanas dan mungkin terlihat memerah.

Wanita itu terus berjalan dengan menggenggam erat tanganku tanpa sepatah kata apapun. Setiap langkah menuju tujuannya membuatku semakin canggung, hingga ia berhenti dibawah pohon di dekat lampu taman. Ia mengajakku perlahan untuk duduk di bangku taman.

Aku hanya tertunduk diam, nyaliku tidak berani untuk membuka pembicaraan. Wajahnya semakin mendekati wajahku, ia memperhatikan wajahku dengan seksama. Detak jantungku berdetak semakin keras.

“Santai aja, Mas,” ucap wanita itu tersenyum padaku. “Aku mengerti bahwa Mas, baru datang disini. Benar kan?”

“I, iya,” jawabku gugup.

“Kenapa mau datang ke tempat ini, Mas?”

“Aku diajak oleh temanku, yang tadi.”

“Oh, Mas Roni ya,” ucap wanita itu. Dia terdiam sesaat, entah ia sedang berpikir atau sedang gugup seperti yang aku alami.

“Kita ada dimana?” tanyaku.

“Kita keluar dari wilayah prostitusi itu,” jawabnya.

Pantas, aku memang tidak mengenal tempat ini, dan kami berdua telah berjalan jauh dari tempat semula. Lagipula, ia membawaku ke tempat umum dan hanya ada beberapa orang di tempat itu dan penjual sate ayam.

Oke, to the point aja. Aku suruhan Galih, dia menyuhku untuk membawamu kesini,” ucap wanita itu.

“Galih?” aku sangat terkejut mendengar ucapannya.

“Kenapa? Heran? Aku juga heran dengan sikap Galih seperti itu.”

“Lalu kenapa kamu menuruti perintah dia?”

“Karena dia ada disini.”

Tiba-tiba Galih muncul dari balik pohon dekatku dan wanita tersebut duduk. Ia muncul dengan wajah yang terlihat menahan amarah. Aku mengerti dengan sikapnya, kejadian di rumahku dengan menyudutkan posisi Galih mungkin tak akan termaafkan olehnya.

“Sinta, thanks udah bawa Arkan ke sini,” ucap Galih dengan wanita yang bersamaku.

“Iya, pokoknya cepat antarin pulang. Aku tunggu di motor,” ucap Sinta pamit dari hadapan kami berdua.

“Aku salut sama kamu, Lih. Kamu rela-rela datang kesini buat cegah perbuatanku? Apa hak kamu?” tanyaku dengan keras.

Sikap Galih yang satu ini memang membuatku kesal dari semenjak kecil, ia selalu menghalangiku berbuat sesuatu yang kumau hanya karena tidak baik menurutnya. Rasa kesal ini memang pernah terjadi pada saat kelas dua SMP, ketika itu ia melarangku untuk ikut dalam konvoi dan aksi coret baju dengan pilok tetapi aku menurutinya walau hati ingin sekali melakukan. Kali ini, kesabaranku terasa habis. Ia bukan orang tuaku, ia hanya seorang teman dan kurasa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup dan memilih jati diri bukan karena perintah dari orang lain.

“Aku salah?” tanya Galih.

“Bukan begitu, tapi kamu terlalu mengatur. Kamu gak sadar, hah?”

“Oke, tampaknya kamu sudah lupa dengan prinsip kita yang harus dijaga.”

“Prinsip?”

“Lupakan saja,” ucap Galih dengan senyum yang dipaksakan dan pergi dari hadapanku.

“Galih, tunggu sebentar,” ucapku hingga Galih berhenti melangkah. “Jujur, aku mengakui perbuatanku salah. Maafkan, Lih.”

Galih tetap membelakangiku, “Aku melakukan ini semata karena aku sahabatmu dari semenjak kecil. Ingat saat kita berumur sepuluh tahun? Ketika aku jatuh kedalam sumur, aku hampir tenggelam dan susah bernafas dalam sumur itu. Tidak ada orang di sekitar sumur itu, dan beruntung kamu lewat dan datang menolongku. Kejadian yang memalukan sekaligus membuka mataku bahwa kamu bukan teman yang selalu iseng terhadapku, tetapi juga amat berharga yang harus aku jaga.”

Galih berhenti sejenak, dan ia berputar menghadapku. Wajahnya terlihat lesu dan sangat pucat.

“Saat kita beranjak remaja, aku semakin kenal dengan watakmu, pemikiranmu, obsesimu, bahkan yang mungkin kamu tidak sadar, aku menyadari perbuatan nakalmu dengan Roni. Kamu pernah meminum minuman keras, mencicipi ganja walau tidak seberapa tapi itu berpengaruh pada jati dirimu saat ini. Tidak sadarkah?”

Ucapan Galih bagaikan halilintar yang menyambarku. Jika ia mengetahui bahwa aku pernah mencicipi ganja, meminum minuman keras, seharusnya ia melaporkanku pada keluargaku seperti ia pernah melaporkanku ketika aku pernah melukai orang hingga celaka pada saat masa kanak-kanak. Tetapi pada kenyataannya dia tetap merahasiakan ini dari siapapun.

“Aku hanya berusaha sendiri untuk mengubahmu, tapi tampaknya sulit dikalahkan dengan nafsumu. Jati dirimu begitu rapuh, sehingga susah sekali mempertahankan ego yang kamu inginkan. Tapi aku yakin, suatu saat kamu akan sadar bahwa yang kamu lakukan adalah kesalahan besar yang haram untuk diulangi,” jelas Galih.

“Aku memang salah, Lih,” jawabku lirih sembari menunduk.

“Bukan. Ini semua bukan kesalahanmu,” ucap Galih berhenti sejenak. “Hahaha, santai saja Arkan. Ubahlah dirimu dari sekarang, itulah yang membuatku tenang.”

Thanks ya, Lih. Kamu memang sahabatku yang terbaik,” ucapku tersenyum haru pada Galih.

“Ya, sama-sama. Semoga prinsip kita masih bisa dipertahankan.”

Prinsip ketika kelulusan SMP, aku dan Galih pernah mengucapkan sepatah janji bahwa kita akan saling menjaga, menasehati, memotivasi dan terus mendukung untuk kebaikan. Jika aku berbuat salah, harus dengan tegas ditegur demikian pula sama dengan Galih jika berbuat salah.

Ya, inilah jati diriku yang masih rapuh, dan inilah sebuah gambaran kehidupan yang pahit untuk dikenang nanti. Penuh dengan jati diri yang busuk dan pantas disebut sampah masyarakat. Keyakinanku untuk menemukan jati diri yang kokoh semakin kuat. Bersama dengan Galih semoga langkah kehidupan yang mendatang, akan menjadikan diri ini semakin baik. Itulah jati diri yang ingin kuraih sesungguhnya. Terima kasih telah menjadi sebuah bagian penting dalam dalam hidupku, Sobat.

~~Selesai~~

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com

























Menggenggam Dunia – (6) Bertemu Ratih

Kicauan burung berirama, menghiasi pagi. Suara ayam berkokok mengiringi Mentari mewarnai dunia. Semilir embun pagi yang dingin tetapi sejuk, menyusuk sukma hingga membuatku bersemangat memulai hari ini.

Tubuhku kembali segar, ketika dibasuh oleh air yang cukup dingin. Kehangatan Mentari pagi menyinari dan menghangatkan tubuh ini.

Berbeda dengan Rahmat, ia sangat kedinginan. Rasanya untuk pertama kali ia harus mandi sepagi ini. Memang suhu di pedesaan ini cukup dingin, sehingga setelah mandi pagi membuat ia ingin berselimut.

Pagi hari, aku membuatkan mie instan untuk sarapan pagi dan dua gelas susu untukku dan Rahmat. Rahmat berselera dengan apa yang aku buat. Semoga saja, Rahmat tidak merasakan jenuh dengan yang kuperbuat.

Jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Aku dan Rahmat beranjak menuju sekolah, yang tak jauh dari tempat kita tinggal. Terlihat anak-anak desa dengan pakaian seragam, menuju sekolah mereka. Sedangkan Rahmat masih menggunakan pakaian lusuh untuk menuju sekolah.

Tenang saja Rahmat, setelah diterima masuk sekolah, aku akan membelikan segala keperluan sekolahmu.

Saat tiba di sekolah, kami segera menuju ruang guru. Kami menjelaskan kepada salah satu guru berkumis tipis dan berbadan tinggi, bahwa Rahmat akan mendaftarkan diri di sekolah ini.

Melalui persyaratan ini dan itu dalam proses yang lama, akhirnya Rahmat diperbolehkan untuk bersekolah di Sekolah Dasar di desa ini. Ia mulai dari kelas satu, seharusnya dengan umur delapan tahun ia sudah berada di bangku kelas tiga. Tetapi tak apa, hanya beda dua tahun, tak jadi masalah. Lagipula Rahmat sangat senang bisa bersekolah layaknya anak-anak yang lain, ditambah kegembiraan sebab ia sekolah dengan teman-teman sepermainan termasuk Saiful.

Hari ini kami berdua disibukkan untuk membeli peralatan sekolah, mulai dari seragam, buku pelajaran, alat tulis, sepatu, tas, dan masih banyak untuk keperluan sekolah.

Hari ini Rahmat sudah dapat menerima, untuk kepergian ibundanya. Tak ada raut muka sedih, yang terlihat. Aku senang melihat ia senang.

Setelah selesai membeli perlengkapan sekolah, aku mengajak Rahmat pergi berbelanja untuk bahan makanan. Rahmat setuju dan kami pergi ke pasar terdekat.

Suasana di pasar cukup ramai, kami berdua berdesak-desakan di pasar. Disana aku membeli beras, sayuran, buah-buahan, dan lauk pauk secukupnya. Akupun membelikan beberapa baju dan celana sehari-hari untuk Rahmat. Dia terlihat senang dengan kebaikanku.

“Mamet mau apa lagi? Nanti Kakak belikan.” Tanyaku pada Rahmat.

“Aku ingin dibelikan Al-Quran sama terjemahannya, Kak. Boleh?” pinta Rahmat.

Aku terdiam sejenak. Lagi-lagi ia mengejutkan aku. Anak seumur dia ingin dibelikan Al-Quran, berbeda dengan anak lain yang biasanya ingin membeli mainan atau hiburan lain. Sungguh orang tuanya telah berhasil mendidik Rahmat.

“Ok, kita sekarang ke toko buku yang ada Al Quran ya.” Ajakku.

Ia mengangguk senang dan bersemangat sekali.

Saat perjalanan menuju toko buku, terdengar di depan kami suara wanita yang meminta tolong, dan berteriak kata maling. Tampaknya ada pencuri.

Aku melihat pria berjaket hitam dan bertopi membawa tas berwarna biru berlari menuju arahku, aku menyadari pasti dialah yang wanita itu maksud.

Ketika lewat, aku segera menangkapnya dengan kedua tanganku, tetapi gagal. Alangkah lincahnya ia bagaikan pemain bola yang menghindar saat bola akan direbut. Ketika aku gagal menangkapnya, Rahmat berhasil menendang kaki pencuri itu dengan sliding tackle seperti dalam permainan bola.

Fantastis, pencuri itu terjatuh oleh Rahmat dan dengan cepat aku mengikat kedua tangan pencuri kebelakang oleh tanganku dan menindih tubuhnya, agar tidak mudah bergerak.

Sambutan tepuk tangan yang melihat kejadian ini membahana kepadaku dan Rahmat, layaknya hero yang menyelamatkan nyawa seseorang. Kami hanya tersenyum.

Satpam pasar datang dengan wanita yang menjadi korban pencurian, ternyata wanita yang meminta tolong itu adalah Ratih. Sebuah kebetulan, atau mungkin ini merupakan takdir.

Aku melepaskan pencuri kepada satpam pasar, mengambil tas Ratih yang terjatuh, dan memberikannya.

“Terima kasih, Mas Arkan.” Ucap Ratih penuh ketulusan.

“Sama-sama, lagipula Rahmat juga yang ikut membantuku. Perkenalkan ini Rahmat.” Tunjukku memperkenalkan Rahmat. Mereka bersalaman.

“Saudara Mas Arkan, ya?” tanya Ratih.

“Dia adik angkatku.” Jawabku.

“Sekali lagi terima kasih, ya. Oh iya, kalian mau kemana? Gak biasanya ada di pasar.” Canda Ratih.

“Kami ingin ke toko buku.” balasku

“Toko buku?” tanya Ratih heran.

“Iya, Mbak. Mbak mau ikut?” tanya Rahmat dengan senyum anak-anak, yang dapat membuat orang gemas padanya.
 
“Ya, kalau tidak ada yang keberatan.” Jelas Ratih sembari melirikku.

“Tentu saja, tidak. Iya kan Rahmat?” jawabku gugup karena lirikkan mata yang indah dari Ratih.

“Kenapa tingkah Kak Arkan aneh? Kakak suka sama Mbak ini,  ya?” ledek Rahmat sambil tersenyum.

Aku semakin salah tingkah dan terlihat pipi Ratih yang merona merah.

“Kak Arkan sama Mbak Ratih ini tetangga. Nanti Rahmat, lama-lama kenal.” Jawabku sekenanya.

“Oh begitu ya, Kak. Ayo Kak Arkan, kita ke toko bukunya. Mbak Ratih, ayo.” Ucap Rahmat memegangi tanganku dan tangan Ratih.

Ratih tak berbicara sepatah katapun, apa mungkin ia tersinggung dengan ucapan Rahmat? Semoga saja, tidak.

Kami bertiga berjalan menuju toko buku, layaknya sepasang keluarga.

Waduh? Udah mulai kacau pikiranku. Mana mungkin aku berpasangan sama Bunga Desa, di pedesaan ini? Eh mungkin juga sih. Ah, sudahlah.
“Mas Arkan.” Sahut Ratih.

“Ah sudahlah.” Jawabku masih memikirkan pikiranku.

“Sudahlah? Apa yang sudahlah?” heran Ratih.

Ya ampun, aku mulai salah tingkah. Lebih baik, aku mengalihkan perhatian.

“Sepertinya pasar sepi sekali, ya?” ucapku apa adanya.

“Sepi? Ramai kok, Mas.” Jawab Ratih.

Aku melihat sekitar ternyata tetap ramai.

Salah ucap lagi, aduh kenapa bisa jadi grogi gini.

“Mbak Ratih.” Panggil Rahmat.

Syukurlah Rahmat akhirnya mengajak Ratih mengobrol.

“Kak Arkan, deg deg kan loh. Padahal tadi gak apa-apa.” Jawab jujur Rahmat.

Aku semakin salah tingkah. Setelah Ratih mendengar ucapan Rahmat, dia langsung memalingkan muka.

Bocah kecil, kenapa harus memberitahu itu? Tenang-tenang, lebih baik tenang.


Tak lama kemudian, kami sampai dan memasuki toko buku. Berbagai macam buku dijual di sini, untuk anak-anak, remaja, dewasa, dan umum.

Aku berpesan pada Rahmat, untuk mengambil buku yang ia suka. Ia mengangguk dan meninggalkan aku dan Ratih berdua.

Awalnya kami saling berdiam diri, tapi lama-lama Ratih yang memulai pembicaraan.

“Mas Arkan tadi bilang, kalau Rahmat itu adik angkat? Bagaimana ceritanya, Mas?” tanya Ratih.

“Kemarin sore, ibunya Rahmat meninggal dunia. Aku inisiatif untuk merawat Rahmat, walau kita baru kenal kemarin pagi.” Jelasku.

“Ya tuhan, semoga Rahmat diberi ketabahan ya. Tapi aku lihat, Rahmat tidak terlihat sedih?” tanyanya

“Itulah karunia Tuhan pada Rahmat. Diumur delapan tahun, ia sanggup untuk terima kehilangan orang tuanya. Bahkan sekarang ia tak mempunyai satu orang pun kerabat kandungnya.” Jawabku.

“Ujian dari Tuhan, terkadang menyakitkan.” Keluh Ratih.

Aku hanya mengiyakan ucapan Ratih. Tiba-tiba seorang anak kecil telah berada di belakangku dan Ratih, kami terkejut melihat Rahmat dengan kepala yang menunduk.

“Kata guru pengajian, Allah akan menguji keimanan seseorang agar seseorang tersebut selalu mengingat Allah. Mamet yakin kalau Allah akan memberikan jalan yang terbaik untuk hidup Mamet, setelah ditinggal oleh Ibu. Mamet yakin.” Lirih Rahmat.

Ketika Rahmat berkata tentang keyakinannya, ia menunduk dan menangis. Ia menangis sembari memeluk Al Quran pada genggamannya, Maha Suci Tuhan yang memberikan anak yang soleh seperti Rahmat.

Aku memeluk Rahmat untuk menenangkannya, ia terisak-isak berusaha menutupi tangisannya.

“Sabar ya, Met.” Ucapku menenangkannya.

Ratih tersenyum walau raut wajahnya terlihat sedih, ia berusaha untuk menutupi kesedihannya.

“Sekarang Mamet ingin punya buku apa lagi?” tanyaku.

“Terserah Kak Arkan, nanti uang Kak Arkan malah habis.” Polos Rahmat dan mulai mengurangi rasa sedihnya.

“Ya sudah, Kakak belikan buku tentang olahraga, ya? Mamet suka sepak bola, kan?”

“Iya Kak, Mamet suka sama sepak bola. Mamet juga sebenarnya pingin punya buku pelajaran yang dipelajari di SD” Ucap Rahmat bersemangat.

“Nah gitu, cowok gak boleh bersedih terus. Harus semangat. Ok, bocah?” sahutku sembari mengepalkan tangan.

“Ok, Kak Arkan.” Balasnya dan tertawa.

Ratih melihat kami dengan tersenyum.
***

Aku, Rahmat, dan Ratih pulang setelah selesai dari toko buku. Barang yang dibeli hari ini cukup banyak, tak lepas dari perlengkapan sekolah dan kebutuhan sehari-hari.

Diperjalanan aku dan Ratih saling mengobrol, terkadang Rahmat ikut menimpali perbincangan tersebut. Ratih menanyakan banyak tentang diriku, dan aku mengungkapkan semuanya bahwa diriku ini adalah mantan asisten dokter yang dikeluarkan karena telah melakukan praktek yang membahayakan pasien.

Ratih semakin penasaran, mengenai hal berbahaya yang aku lakukan hingga dikeluarkan dari rumah sakit. Sebenarnya aku enggan untuk mengungkapakan kejadian yang sangat menyebalkan itu.

“Sebenarnya aku sebagai asisten dokter beradu pendapat dengan dokter dalam menangani pasien, penyakit yang pasien derita cukup bahaya dan harus ditangani dengan cepat untuk jalan operasi. Tetapi dokter berpendapat lain, bahwa pasien harus mengalami karantina atau perawatan khusus dahulu, sebab kondisi pasien sangat lemah untuk menjalani operasi. Pendapat dokter disetujui oleh para dokter yang lain.” Jelasku.

“Lalu pemecatan itu?” tanya ragu oleh Ratih.

“Sebenarnya aku telah mengundurkan diri sebelum surat pemecatan dari rumah sakit. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa aku masih terlalu muda dalam menangani pasien. Aku memiliki inisiatif untuk menyuruh dokter bedah melakukan operasi kepada pasien itu, tetapi hal tersebut diketahui oleh dokter dan dengan semena-mena ia akan memberhentikanku dari jabatan asisten dokter. Dengan senang hati aku mengundurkan diri, percuma aku berkerja di rumah sakit tetapi pendapatku tidak diterima.”

“Lalu kondisi pasien itu gimana.” Tanya ia menggali lebih rinci permasalahan yang aku hadapi.

“Kabar yang aku dengar dari temanku di rumah sakit, bahwa pasien itu meninggal dunia oleh kanker yang ia derita.” Jawabku.

“Kanker?” tanya Ratih terkejut.

“Iya, kanker pada paru-paru. Pasien itu meninggal saat menjalani perawatan intensif.” Paparku.

“Iya Kak, itu sudah takdir Tuhan, bukan salah dokternya. Kakak kan pernah ngomong itu, saat kematian Ibu?” timpal Rahmat.

Aku tersenyum pada Rahmat.

“Memang benar, tapi sebagai manusia kita harus berusaha sebisa mungkin untuk mencarikan jalan yang terbaik. Untuk hasil kita serahkan pada yang Maha Kuasa.” Balasku.

Tak lama kemudian, akhirnya sampai juga di depan rumah. Aku langsung duduk di bangku yang berada di teras sedangkan Rahmat rebahan. Ratih pamit pulang dan mengucapkan terima kasih padaku karena telah menolongnya. Aku hanya membalas dengan senyum ramah padanya. Dan ia pun pulang menuju rumahnya.

“Kak Arkan suka sama Mbak Ratih ya?” ledek Rahmat tiba-tiba sembari tertawa.

“Hus, dasar anak kecil. Kakak hukum ya.” Candaku.

Bocah ini, masih kecil tapi mengerti masalah suka-sukaan. Aku tertawa pelan melihat perilaku Rahmat, sedangkan Rahmat tertawa keras melihat sikapku.

Dasar bocah.

Aku tersenyum geli.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com









Menggenggam Dunia – (5) Tegar

Raja siang akan pergi ke peraduannya, suasana sekitar pemakaman sangat tenang dan hangat. Sesekali kicauan burung dengan merdu mengiringi proses pemakaman.

Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu, daerah sekitar pemakaman menggambarkan bahwa alam menerima Ibu Sri, indah sekali dan penuh hikmat menghapuskan kesedihan semua orang.

Ini adalah sebuah pelajaran lagi buatku, semenjak tinggal di sebuah pedesaan. Apabila seseorang yang disayangi meninggalkan kita, lebih baik kita ikhlaskan dan serahkan semua kepada Tuhan Yang Maha pengatur kehidupan, karena ini semua merupakan takdir-Nya.

Aku melihat Rahmat sudah menerima kematian ibunya, dia tegar dan berusaha tersenyum kepada tetangga yang mengucapkan belasungkawa kepadanya.

Sungguh hebat bocah berkulit putih berumur delapan tahun, dalam waktu beberapa jam telah mengikhlaskan kepergian sang Ibu, yang tiada lain adalah satu-satunya keluarga yang Rahmat miliki.

Berbeda dengan diriku, baru menerima dan mengikhlaskan kepergian ibu dalam waktu dua bulan. Padahal aku masih memiliki ayah, dua kakak, dan sanak saudara yang lain.

Aku teringat akan tujuanku datang ke rumah Rahmat, bahwa aku ingin membiayai Rahmat untuk bersekolah. Lalu aku harus minta izin pada siapa? Dan tinggal dengan siapa Rahmat, sepeninggalan ibunya? Lebih baik setelah pemakaman ini, aku diskusikan pada Rahmat.

Kali ini, aku melihat Rahmat memandang jenazah ibunya tanpa kedip, saat Ibu Sri menuju liang lahat. Kedua mata Rahmat terlihat merah menahan air mata. Betapa pedih bila aku berada pada posisinya. Kematian datang kapan saja tanpa pamit, baru saja tadi pagi aku melihat Rahmat dalam dekapan Ibu Sri, tetapi pada sore ini beliau telah meninggalkan Rahmat.

Proses pemakaman telah usai, beberapa yang hadir, satu per satu meninggalkan komplek kuburan. Aku mendekati Rahmat yang sedang berada di samping Pak Ustad dan keluarga Ibu Nina
.
“Maaf, bisa saya bicara dengan Rahmat.” Izinku pada Pak Ustad dan keluarga Ibu Nina.

“Oh, silahkan.”

Aku mengajak Rahmat mengobrol dan duduk di bawah pohon yang tak jauh dari tempat pemakaman. Ia menurutiku.


“Mamet, Kakak turut berduka cita atas kepergian ibumu.” Ucapku pelan.

“Makasih, Kak.” Jawabnya.

“Sebenarnya Kakak punya keinginan untuk kamu.”

“Keinginan apa, Kak?”

“Kamu ingin sekolah?”

“Mamet gak punya uang, Kak. Lagipula rumah tidak ada yang jaga.” Jelas ia dengan pasrah.

“Kakak, ingin membiayai kamu sekolah dan kalau mau Mamet bisa tinggal dengan Kakak di kota.” Jelasku.

“Makasih Kak kalau Kakak mau membiayai Mamet sekolah, tapi Mamet gak bisa meninggalkan desa ini.
 Mamet tidak punya siapa-siapa lagi selain teman Mamet.”

Aku menyadari bahwa Rahmat sekarang sedang kesepian. Aku harus memahami bahwa ia perlu teman sebaya.

“Ok, Kakak menyekolahkanmu di desa ini saja dan kamu mau tinggal dengan Kakak?” tawarku penuh harap.

“Lalu rumah Ibu?”

“Nanti kapan-kapan kalau Mamet kangen sama Ibu, kita akan jenguk rumah itu. Yang pasti, rumah Kakak lebih dekat dengan pengajian kamu dan dekat juga dengan teman-temanmu. Bagaimana?” pintaku.

“Makasih, Kak Arkan.” Balas ia dengan tersenyum.

“Sama-sama, bocah.” Jawab akrabku mengelus rambut Rahmat.

***

Aku sangat senang bahwa Rahmat setuju untuk melanjutkan pendidikannya dan menginap denganku. Rasanya akan ada secercah kesuksesan pada diri Rahmat, tetapi bukan berarti Rahmat dilepaskan begitu saja untuk kurawat. Ibu Nina tetangga almarhumah Ibu Sri, kurang setuju bila Rahmat tinggal di tempat orang yang baru saja ia kenal.

Aku paham maksud Ibu Nina demikian. Sebelum melepaskan Rahmat untuk dirawat olehku, beliau terus bertanya semua hal yang berkaitan denganku, termasuk identitasku secara rinci.

Akhirnya melalui obrolan panjang hingga malam tiba, Ibu Nina sebagai yang bertanggung jawab atas Rahmat sepeninggalan Ibu Sri, mengizinkanku untuk membawa Rahmat. Lagipula Rahmat setuju untuk tinggal bersamaku. Dengan sebuah amanah untuk menjaga Rahmat, hal itu pasti akan aku lakukan sebaik mungkin.

Rahmat menyusun barang-barang yang akan dibawa, baju, buku pengajian, dan beberapa pemainannya. Aku melihat dan menganggapnya seakan adikku sendiri.

Setelah selesai berkemas, aku dan Rahmat berjalan menuju rumah yang kusewa di perbatasan desa.

Malam di pedesaan sangat sunyi dan sepi, lampu pijar bertebaran di sepanjang jalan pulang. Malam ini langit penuh dengan bintang yang bertaburan di angkasa, tak ada bulan yang mendampingi malam.

“Kak, kondisi langit seperti yang Mamet rasakan.” Ucap Rahmat.

“Maksud kamu?” tanyaku.

“Langit malam, bertaburan bintang yang bercahaya tapi tidak ada bulan.”

“Kita dapat mengartikan itu bahwa bintang tetap bersinar di malam hari walau tak ditemani oleh sang bulan, sama saja dengan seseorang yang berdiri tegar walau tak didampingi oleh seseorang yang biasa menemaninya. Kamu paham maksud Kakak?”

Rahmat hanya mengangguk, tak ada ekspresi yang ia keluarkan. Terkadang aku sangat heran dengan kepribadian Rahmat, ia terlihat lugu bagaikan anak-anak biasa, tetapi disisi lain ia berpikir layaknya seorang yang telah dewasa.

Kamipun tiba di teras rumah dan segera masuk ke dalam. Saat pulang, aku merebahkan diri di kursi. Sedangkan Rahmat terlihat bingung dengan keadaan rumah.

“Kak Arkan, kamar mandi mana? Dapur mana? Kamar tidur mana?” tanya Rahmat yang terlihat bingung dengan kondisi rumah yang berantakan.

Aku menunjukan satu per satu tempat di rumah yang kutempati bersama Rahmat. Tujuan utama dia adalah kamar mandi. Aku tersenyum melihat tingkah Rahmat, gerak-gerik ia sangat khas layaknya anak biasa. Mungkin ia ingin buang air.

“Kak, kita sholat Isya dulu ya? Kita berjama’ah. Kakak jadi imamnya.” Pinta ia dengan polos.

Sungguh aku sangat terkejut dan heran  dengan perilaku bocah ini, berkali-kali dengan sifatnya telah mengejutkanku serta membuatku terkagum. Kali ini ia mengajakku untuk beribadah. Memang   tak ada yang salah, tetapi aku membandingkan umurnya dengan sifatnya. Dia adalah bocah yang diberi karunia lebih oleh Tuhan, karena sifatnya yang sangat dewasa untuk ukuran anak-anak. Atau mungkin aku yang berlebihan dalam menanggapi ini?

“Kak? Kok malah diam? Ayo Kak.” Ajak Rahmat menarik tanganku.

“Oh iya, kamu dulu ambil air wudhunya.”

Kami pun sholat berjamaah, Rahmat terlihat tenang dan khusyuk dalam sholat, yang merupakan kewajiban setiap muslim. Setelah selesai sholat, kami akhiri dengan doa, Rahmat bermunajat dan terdengar rintihan tangisannya. Aku memahaminya, sebab ini hari pertama ia ditinggal tanpa keluarga kandungnya.

Waktu menunjukan jam delapan malam, kami berdua beranjak untuk makan malam. Masih ada sisa sayur lodeh pemberian Ratih. Kamipun makan bersama dengan lauk seadanya.

Sesekali aku melihat Rahmat melamuni sesuatu, mungkin ia masih terkenang kejadian sore hari ini. Aku berusaha untuk memecahkan lamunannya, apabila dibiarkan pasti akan berkelanjutan dan tidak baik untuk keadaan jiwa Rahmat.

“Makanan ini enak, ya?” iseng aku bertanya.

“Enak sekali, Kak. Seperti masakan Ibu, tapi masakan Ibu lebih enak.” Jawab Rahmat.

Ternyata benar, ia sedang memikirkan ibunya. Rahmat terlihat tegar dan berusaha untuk menutupi kesedihannya.

“Besok Kakak antar kamu untuk daftar ke sekolah ya, makanya nanti besok kamu harus udah mandi pagi.” Nasihatku.

“Mandi pagi? Dingin sekali, Kak.” Manja Rahmat.

“Memang Mamet suka mandi jam berapa?”

“Jam delapanan.”

“Tapi nanti harus sudah siap, jam setengah tujuh pagi, ya?” pintaku.

“Hehehe, liat nanti ya, Kak.” canda Rahmat.

“Nah, sekarang kamu habisin dulu makanannya, setelah selesai kamu harus tidur. Ok?”

“Yoi, Kak.” Jawab Rahmat logat orang kota.

Makan malam kami lanjutkan. Sesudah makan malam, Rahmat membantuku untuk mencuci piring. Saat menjelang tidur kami berdua sikat gigi bersama.

Malampun semakin larut, Rahmat mengantuk dan tertidur pulas. Aku memandangi muka Rahmat sangat bersih yang memiliki sifat tegar dalam menghadapi cobaan. Patutkah diriku yang berumur tiga puluh tahun, untuk belajar dari Rahmat. Semoga Rahmat dijadikan sebuah rahmat dari Tuhan kepada umat manusia kelak. Amin.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com








Cerita Lucu Terbaru Spesial Ramadhan

Pada suatu hari di bulan ramadhan, ada seorang anak tidak sabar menunggu adzan maghrib dan mengeluh pada bapaknya.

Anak : “Bapak, maghribnya jam berapa sich?”

Bapak : “Jam 6, sabar dong” Jawab bapaknya dengan santai.

Anak : “Kok dari tadi masih jam 3 terus”
Bapak : “Emang kenapa?”

Anak : “Kan pengen cepet buka puasa pak…, apa kita putar aja jamnya biar jam 6?”

Bapak : “Ya udah…”

Anak : “Asyikkk…” Kata anak itu dan segera memutar jarum jam sampe ke angka 6.

Anak : “Pak…udah jam 6 tuh, buka puasa yok…”

Bapak : “Lho… itukan baru jam di kamar. Di ruang tamu, di ruang tengah, di kamar bapak, dan di dapur belum.”

Anak : “Oh…gitu ya pak, harus jam 6 semuanya?” Respon anak itu manggut-manggut, lalu berlari dan memutar semua jam di rumahnya.

Anak : “Bapak udah semua…” Teriaknya girang.

Bapak : “Jam tetangga-tetangga dan masjid udah?”

Anak : “Lho…kok sampe jam tetangga dan masjid juga??”

Bapak : “Ya iyalah….kan harus jam 6 semuanya, baru bisa buka puasa”

Anak : “Ya….capek dhe, mending nunggu aja, ketimbang mesti capek-capek muter jarum jam kecamatan.”

Sumber:  http://orb.web.id

Katakanlah Dalam Hatimu …

JADILAH MANUSIA PALING BAIK DI SISI ALLOH.
JADILAH MANUSIA PALING BURUK DALAM PANDANGAN DIRIMU SENDIRI.
JADILAH MANUSIA BIASA DI HADAPAN ORANG LAIN.
Bila engkau bertemu seseorang, hendaknya engkau memandang dia itu lebih utama daripada dirimu, dan katakanlah dalam hatimu:

“BOLEH JADI DIA LEBIH BAIK DI SISI ALLOH DARIPADA DIRIKU, DAN LEBIH TINGGI DERAJATNYA.”

Jika dia orang yang lebih kecil dan lebih muda usianya daripada dirimu, maka katakanlah dalam hatimu:

BOLEH JADI ORANG INI TIDAK BANYAK BERBUAT DOSA KEPADA ALLOH, SEDANGKAN AKU ADALAH ORANG YANG TELAH BANYAK BERBUAT DOSA. MAKA TIDAK DIRAGUKAN LAGI KALAU DERAJAT DIRINYA JAUH LEBIH BAIK DARIPADA AKU.”

Bila dia orang yang lebih tua, maka hendaknya engkau mengatakan dalam hati:

“ORANG INI TELAH LEBIH DULU BERIBADAH KEPADA ALLOH DARIPADA AKU.”

Jika dia orang yang ‘alim, maka katakan dalam hatimu:

“ORANG INI TELAH DIBERI OLEH ALLOH SESUATU YANG TIDAK BISA AKU RAIH, TELAH MENDAPATKAN APA YANG TIDAK BISA AKU DAPATKAN, TELAH MENGETAHUI APA YANG TIDAK AKU KETAHUI, DAN TELAH MENGAMALKAN ILMUNYA.”

Bila dia orang yang tidak mengerti, maka katakan dalam hatimu:

“ORANG INI DURHAKA KEPADA ALLOH KERENA KETIDAKMENGERTIANNYA, SEDANGKAN AKU DURHAKA KEPADA-’NYA’ PADAHAL AKU MENGETAHUINYA. AKU TIDAK TAHU DENGAN APA UMURKU AKAN ALLOH AKHIRI ATAU DENGAN APA UMUR ORANG YANG KURANG MENGERTI ITU AKAN ALLOH AKHIRI (APAKAH DENGAN HUSNUL KHOTIMAH ATAU DENGAN SU’UL KHOTIMAH).”

Bila dia orang kafir, maka katakan dalam hatimu:

“AKU TIDAK TAHU, BISA JADI DIA AKAN MASUK ISLAM, LALU MENYUDAHI SELURUH AMALANNYA DENGAN AMAL SHOLIH, DAN BISA JADI AKU TERJERUMUS MENJADI KAFIR, LALU MENYUDAHI SELURUH AMALANKU DENGAN AMAL YANG BURUK (na’udzubillaahi min dzalik).”

Semoga bermanfaat…..

Sumber:  http://virouz007.wordpress.com

Siti, Bocah Yatim yang Tangguh…

Siti Bocah Yatim Tangguh: Jualan Bakso dengan Upah Rp. 2000,- Sehari

SEKARANG BUKAN WAKTUNYA UNTUK AFIKAAA, PSSIIII, KPSSII, POLISI GANTENG ATAU DARSEM… SEKARANG WAKTUNYA UNTUK…
SITIIII…BOCAH PENJUAL BAKSO

Sore kemarin – Selasa, 06 Maret 2012 – saya pulang kantor rada “tenggo”, jadi sampai di rumah jam 17.30-an, saya sempat nonton acara “Orang-Orang Pinggiran” di Trans7. Dada saya sesak menyaksikannya, air mata saya meleleh tanpa bisa ditahan, tak mampu berkata-kata. Siti, seorang bocah yatim yang ditinggal mati ayahnya sejak usia 2 tahun. Kini Siti berumur 7 tahun. Sehari-hari sepulang sekolah Siti masih harus berkeliling kampung menjajakan bakso. Karena ia masih anak-anak, tentu belum bisa mendorong rombong bakso. Jadi bakso dan kuahnya dimasukkan dalam termos nasi yang sebenarnya terlalu besar untuk anak seusianya. Termos seukuran itu berisi kuah tentu sangat berat.
Tangan kanan menenteng termos, tangan kiri menenteng ember plastik hitam berisi mangkok-mangkok, sendok kuah, dan peralatan lain. Dengan terseok-seok menenteng beban seberat itu, Siti harus berjalan keluar masuk kampung, terkadang jalanannya menanjak naik. Kalau ada pembeli, Siti akan meracik baksonya di mangkok yang diletakkan di lantai. Maklum ia tak punya meja. Terkadang jika ada anak yang membeli baksonya, Siti ingin bisa ikut mencicipi. Tapi ia terpaksa hanya menelan ludah, menahan keinginan itu. Setelah 4 jam berkeliling, ia mendapat upah 2000 perak saja! Kalau baksonya tak habis, upahnya hanya Rp. 1000,- saja. Lembaran seribuan lusuh berkali-kali digulung-gulungnya.

Sampai di rumah, Siti tak mendapati siapapun. Ibunya jadi buruh mencangkul lumpur di sawah milik orang lain. Tak setiap hari ia mendapat upah uang tunai. Terkadang ia hanya dijanjikan jika kelak panenan berhasil ia akan mendapatkan bagi hasilnya. Setiap hari kaki Ibunda Siti berlumur lumpur sampai setinggi paha. Ia hanya bisa berharap kelak panenan benar-benar berhasil agar bisa mendapat bayaran.
Hari itu Siti ingin bisa makan kangkung. Ia pergi ke rumah tetangganya, mengetuk pintu dan meminta ijin agar boleh mengambil kangkung. Meski sebenarnya Siti bisa saja langsung memetiknya, tapi ia selalu ingat pesan Ibunya untuk selalu minta ijin dulu pada pemiliknya. Setelah diijinkan, Siti langsung berkubang di empang untuk memetik kangkung, sebatas kebutuhannya bersama Ibunya. Petang hari Ibunya pulang. Siti menyerahkan 2000 perak yang didapatnya. Ia bangga bisa membantu Ibunya. Lalu Ibunya memasak kangkung hanya dengan garam. Berdua mereka makan di atas piring seng tua, sepiring nasi tak penuh sepiring, dimakan berdua hanya dengan kangkung dan garam. Bahkan ikan asin pun tak terbeli, kata Ibunda Siti.

Bayangkan, anak sekecil itu, pulang sekolah menenteng beban berat keliling kampung, tiba di rumah tak ada makanan. Kondisi rumahnya pun hanya sepetak ruangan berdinding kayu lapuk, atapnya bocor sana-sini. Sama sekali tak layak disebut rumah. Dengan kondisi kelelahan, dia kesepian sendiri menunggu Ibunya pulang hingga petang hari.

Sering Siti mengatakan dirinya kangen ayahnya. Ketika anak-anak lain di kampung mendapat kiriman uang dari ayah mereka yang bekerja di kota, Siti suka bertanya kapan ia dapat kiriman. Tapi kini Siti sudah paham bahwa ayahnya sudah wafat. Ia sering mengajak Ibunya ke makam ayahnya, berdoa disana. Makam ayahnya tak bernisan, tak ada uang pembeli nisan. Hanya sebatang kelapa penanda itu makam ayah Siti. Dengan rajin Siti menyapu sampah yang nyaris menutupi makam ayahnya. Disanalah Siti bersama Ibunya sering menangis sembari memanjatkan doa. Dalam doanya Siti selalu memohon agar dberi kesehatan supaya bisa tetap sekolah dan mengaji. Keinginan Siti sederhana saja : bisa beli sepatu dan tas untuk dipakai sekolah sebab miliknya sudah rusak.

Kepikiran dengan konsidi Siti, dini hari terbangun dari tidur saya buka internet dan search situs Trans7 khususnya acara Orang-Orang Pinggiran. Akhirnya saya dapatkan alamat Siti di Kampung Cipendeuy, Desa Cibereum, Cilangkahan, Banten dan nomor contact person Pak Tono 0858 1378 8136.

Usai sholat Subuh saya hubungi Pak Tono, meski agak sulit bisa tersambung. Beliau tinggal sekitar 50 km jauhnya dari kampung Siti. Pak Tono-lah yang menghubungi Trans7 agar mengangkat kisah hidup Siti di acara OOP. Menurut keterangan Pak Tono, keluarga itu memang sangat miskin, Ibunda Siti tak punya KTP. Pantas saja dia tak terjangkau bantuan resmi Pemerintah yang selalu mengedepankan persyaratan legalitas formal ketimbang fakta kemiskinan itu sendiri. Pak Tono bersedia menjemput saya di Malimping, lalu bersama-sama menuju rumah Siti, jika kita mau memberikan bantuan. Pak Tono berpesan jangan bawa mobil sedan sebab tak bakal bisa masuk dengan medan jalan yang berat.

Saya pun lalu menghubungi Rumah Zakat kota Cilegon. Saya meminta pihak Rumah Zakat sebagai aksi “tanggap darurat” agar bisa menyalurkan kornet Super Qurban agar Siti dan Ibunya bisa makan daging, setidaknya menyelematkan mereka dari ancaman gizi buruk. Dari obrolan saya dengan Pengurus Rumah Zakat, saya sampaikan keinginan saya untuk memberi Siti dan Ibunya “kail”. Memberi “ikan” untuk tahap awal boleh-boleh saja, tapi memberdayakan Ibunda Siti agar bisa mandiri secara ekonomi tentunya akan lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Saya berpikir alangkah baiknya memberi modal pada Ibunda Siti untuk berjualan makanan dan buka warung bakso, agar kedua ibu dan anak itu tidak terpisah seharian. Siti juga tak perlu berlelah-lelah seharian, dia bisa bantu Ibunya berjualan sambil belajar.

Mengingat untuk memberi “kail” tentu butuh dana tak sedikit, pagi ini saya menulis kisah Siti dan memforward ke grup-grup BBM yang ada di kontak BB saya. Juga melalui Facebook. Alhamdulillah sudah ada beberapa respon positif dari beberapa teman saya. Bahkan ada yang sudah tak sabar ingin segera diajak ke Malimping untuk menemui Siti dan memeluknya. Bukan hanya bantuan berupa uang yang saya kumpulkan, tapi jika ada teman-teman yang punya putri berusia 7-8 tahun, biasanya bajunya cepat sesak meski masih bagus, alangkah bermanfaat kalau diberikan pada Siti.

Adapula teman yang menawarkan jadi orang tua asuh Siti dan mengajak Siti dan Ibunya tinggal di rumahnya. Semua itu akan saya sampaikan kepada Pak Tono dan Ibunda Siti kalau saya bertemu nanti. Saya menulis artikel ini bukan ingin menjadikan Siti seperti Darsem, TKW yang jadi milyarder mendadak dan kemudian bermewah-mewah dengan uang sumbangan donatur pemirsa TV sehingga pemirsa akhirnya mensomasi Darsem. Jika permasalahan Siti telah teratasi kelak, uang yang terkumpul akan saya minta kepada Rumah Zakat untuk disalurkan kepada Siti-Siti lain yang saya yakin jumlahnya ada beberapa di sekitar kampung Siti.

Mengetuk hati penguasa formal, mungkin sudah tak banyak membantu. Saya menulis shout kepada Ibu Atut sebagai “Ratu” penguasa Banten ketika kejadian jembatan ala Indiana Jones terekspose, tapi toh tak ada respon. Di media massa juga tak ada tanggapan dari Gubernur Banten meski kisah itu sudah masuk pemberitaan media massa internasional. Tapi dengan melalui grup BBM, Facebook dan Kompasiana, saya yakin masih ada orang-rang yang terketuk hatinya untuk berbagi dan menolong. Berikut saya tampilkan foto-foto Siti yang saya ambil dari FB Orang-Orang Pinggiran. Semoga menyentuh hati nurani kita semua

 “Based on True Story”

Silahkan di-share jika sahabat pikir artikel ini bermanfaat…

Sumber: http://virouz007.wordpress.com



Dulu Haram Kini Halal

Pada suatu ketika di zaman Nabi Muhammad SAW ada seorang pencuri yang hendak bertaubat, dia duduk di majelis Nabi Muhammad SAW dimana para sahabat berdesak-desakkan di Masjib Nabawi.

Suatu ketika dia menangkap perkataan Nabi saw : “Barangsiapa meninggalkan sesuatu yang haram karena Allah, maka suatu ketika dia akan memperoleh yang Haram itu dalam keadaan halal”. Sungguh dia tidak memahami maksudnya, apalagi ketika para sahabat mendiskusikan hal tersebut setelah majelis dengan tingkat keimanan dan pemahaman yang jauh dibawah sang pencuri merasa tersisihkan.
Akhirnya malam pun semakin larut, sang pencuri lapar. Keluarlah dia dari Masjid demi melupakan rasa laparnya.

Di suatu gang tempat dia berjalan, dia mendapati suatu rumah yang pintunya agak terbuka. Dengan insting pencurinya yang tajam ia dapat melihat dalam gelap bahwa pintu itu tidak terkunci…dan timbullah peperangan dalam hatinya untuk mencuri atau tidak. Tidak, ia merasa tidak boleh mencuri lagi.

Namun tiba-tiba timbul bisikan aneh : “Jika kamu tidak mencuri mungkin akan ada pencuri lainnya yang belum tentu seperti kamu”. Menjadi berfikirlah dia, maka diputuskan dia hendak memberitahukan/mengingatkan pemiliknya di dalam agar mengunci pintu rumahnya, karena sudah lewat tengah malam.
Dia hendak memberi salam namun timbul kembali suara tadi : “Hei pemuda! bagaimana kalau ternyata di dalam ada pencuri dan pintu ini ternyata adalah pencuri itu yang membuka, bila engkau mengucap salam … akan kagetlah dia dan bersembunyi, alangkah baiknya jika engkau masuk diam-diam dan memergoki dia dengan menangkap basahnya !” Ah.. benar juga, pikirnya.
Maka masuklah ia dengan tanpa suara… Ruangan rumah tersebut agak luas, dilihatnya berkeliling ada satu meja yang penuh makanan – timbul keinginannya untuk mencuri lagi, namun segera ia sadar – tidak, ia tidak boleh mencuri lagi.

Masuklah ia dengan hati-hati, hehhh …syukurlah tidak ada pencuri berarti memang sang pemilik yang lalai mengunci pintu. Sekarang tinggal memberitahukan kepada pemilik rumah tentang kelalaiannya, tiba-tiba terdengar suara mendengkur halus dari sudut ruang….Ahh ternyata ada yang tidur mungkin sang pemilik dan sepertinya perempuan cantik.
Tanpa dia sadari kakinya melangkah mendekati tempat tidur, perasaannya berkecamuk, macam-macam yang ada dalam hatinya. Kecantikan, tidak lengkapnya busana tidur yang menutup sang wanita membuat timbul hasrat kotor dalam dirinya.

Begitu besarnya hingga keluar keringat dinginnya, seakan jelas ia mendengar jantungnya berdetak kencang didadanya, serta tak dia sangka ia sudah duduk mematung disamping tempat tidur…Tidak, aku tidak boleh melakukan ini aku ingin bertaubat dan tidak mau menambah dosa yang ada, tidakk !!
Segera ia memutar badannya untuk pergi. Akan ia ketuk dan beri salam dari luar sebagaimana tadi. Ketika akan menuju pintu keluar ia melalui meja makan tadi, tiba-tiba terdengar bunyi dalam perutnya…ia lapar. Timbullah suara aneh tadi : “Bagus hei pemuda yang baik, bagaimana ringankah sekarang perasaanmu setelah melawan hawa nafsu birahimu?”

Eh-eh, ya. Alhamdulillah ada rasa bangga dalam hati ini dapat berbuat kebaikan dan niat perbuatan pemberitahuan ini akan sangat terpuji. Pikir sang pemuda. Suara itu berkata :”Maka sudah sepatutnya engkau memperoleh ganjaran dari sang pemilik rumah atas niat baikmu itu, ambillah sedikit makanan untuk mengganjal perutmu agar tidak timbul perasaan dan keinginan mencuri lagi!!”

Berpikirlah dia merenung sebentar, patutkah ia berbuat begitu? “Hei – tiba2x ia tersadar serta berucap dalam hati – engkau dari tadi yang berbicara dan memberi nasihat kepadaku? Tapi nasihatmu itu telah menjadikan aku menjadi tamu tidak diundang seperti ini, tidak.. aku tidak akan mendengarkan nasihatmu. Bila engkau Tuhan, tidak akan memberi nasihat seperti ini. Pasti engkau Syaithon….(hening).
Celaka aku, bila ada orang yang di luar dan melihat perbuatanku …. aku harus keluar.” Maka tergesa-gesa ia keluar rumah wanita tersebut, ketika tiba dihadapan pintu ia mengetuk keras dan mengucap salam yang terdengar serak menakutkan.
Semakin khawatir ia akan suaranya yang berubah, setelah itu tanpa memastikan pemiliknya mendengar atau tidak ia kembali menuju masjid dengan perasaan galau namun lega, karena tidak ada orang yang memergoki dia melakukan apa yang disarankan suara aneh tadi.

Sesampai dimasjid, ia melihat Nabi saw sedang berdiri sholat. Di sudut ruang ada seorang yang membaca al qur-aan dengan khusyu’ sambil meneteskan air mata, di sudut-sudut terdapat para shahabat dan kaum shuffah tidur. Dingin sekali malam ini, lapar sekali perut ini teringat lagi ia akan pengalaman yang baru dia alami, bersyukur ia atas pertolongan Allah yang menguatkan hatinya.
Tapi … tidak di dengar bisikan Allah di hatinya, apakah Allah marah kepadaku? Lalu ia menghampiri sudut ruang masjid duduk dekat pintu, dekat orang yang membaca al qur-aan. Ditengah melamunnya ia mendengar sayup namun jelas bait-bait ayat suci ……
Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong:”Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari pada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja Mereka menjawab:”Seandainya Allah memberi petunuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri”. (QS. 14:21)
Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (QS. 14:22)
Bergetarlah hatinya mendengar perkataan Allah yang di dengarnya, berkatalah ia “Engkau berbicara kepadakukah, ya Allah?” Serasa lapang hatinya, semakin asyik dia mendengarkan bacaan suci itu, maka lupalah ia akan laparnya, segar rasanya badannya.

Cukup lama ia mendengarkan bacaan orang itu hingga tiba-tiba tersentak ia karena bacaan itu dihentikan berganti dengan ucapan menjawab salam. Terlihat olehnya pula bahwa pria itu menjawab salam seseorang wanita dan seorang tua yang masuk langsung menuju tempat Nabi Muhammad SAW sedang duduk berdzikir, dan wajah wanita itu … adalah wajah wanita tadi !!!??? Timbul gelisah hatinya, apakah tadi ketika ia berada di ruangan itu sang wanita pura-pura tidur dan melihat wajahnya? Ataukah ada orang yang diam-diam melihatnya, mungkin laki-laki tua yang bersamanya adalah orang yang diam-diam memergokinya ketika ia keluar dan mengetuk pintu rumah itu? Ahh … celaka, celaka.

Namun gemetar tubuhnya, tidak mampu ia menggerakkan anggota tubuhnya untuk bersembunyi atau pergi apalagi tampak olehnya pria yang tadi membaca al Qur-aan hendak tidur dan tak lama pun mendengkur. Dan ia lihat mereka sudah berbicara dengan Nabi saw…. celaka, pikirnya panik !!

Hampir celentang jatuh ia ketika terdengar suara Nabi Muhammad SAW. : “Hai Fulan, kemarilah !” Dengan perlahan dan perasaan takut ia mendekat. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya.

Ia mendengar sang perempuan masih berbicara kepada Nabi Muhammad SAW. katanya : “…benar ya Rosulullah, saya sangat takut pada saat itu saya bermimpi rumah saya kemasukan orang yang hendak mencuri, dia mendekati saya dan hendak memperkosa saya, ketika saya berontak … ternyata itu hanya mimpi. Namun ketika saya melihat sekelilingnya ternyata pintu rumah saya terbuka sebagaimana mimpi saya dan ada suara menyeramkan yang membuat saya takut. Maka segera saya menuju rumah paman saya untuk meminta dicarikan suami buat saya, agar kejadian yang di mimpi saya tidak terjadi bila saya ada suami yang melindungi. Sehingga beliau mengajak saya menemui engkau disini agar memilihkan calon suami untuk saya”.

Nabi saw memandang kepada si pemuda bekas pencuri, lalu berkata : “Hai Fulan, karena tidak ada pria yang bangun kecuali engkau saat ini maka aku tawarkan padamu, maukah engkau menjadi suaminya?” Terkejut ia mendengar itu, cepat mengangguklah ia.

Dan setelah sholat shubuh Nabi saw mengumumkan hal ini dan meminta para shahabat mengumpulkan dana untuk mengadakan pernikahan dan pembayaran mas kawin si pemuda ini.

Setelah pernikahannya, tahulah ia akan arti perkataan Nabi Muhammad yang lalu :
“Barangsiapa meninggalkan sesuatu yang haram karena Allah, maka suatu ketika dia akan memperoleh yang Haram itu dalam keadaan halal”.

Sekarang ia dapat memakan makanan yang tadi dengan halal (dahulunya haram), dan ia dapat menikmati wanita itu sebagai isterinya dengan halal. Allahu Akbar, wal Hamdu Lillah.

Sumber:  http://virouz007.wordpress.com







Menggenggam Dunia – (4) Tangisan Rahmat

Pada sore hari yang hangat, aku berjalan menuju rumah Rahmat dan menawarkan diri untuk membiayai sekolahnya. Mata batinku mengatakan bahwa Rahmat akan menjadi orang yang sukses di masa depan.

Aku melewati perjalanan melalui lapangan sepak bola. Tak ada yang bermain, aku hanya mendengar suara anak-anak yang sedang mengaji. Mungkin sekolah tersebut yang Ibu Sri maksud, tempat untuk mengajinya Rahmat tanpa membayar sedikitpun. Masih ada juga ustad yang tanpa pamrih memberikan ilmu agama kepada generasi muda. Ya, semoga saja banyak yang demikian.

Aku terus berjalan melewati rimbunnya pepohonan dan sawah-sawah yang siap panen, hingga akupun telah sampai di depan rumah Rahmat. Banyak ibu-ibu yang sedang mengobrol di sekitar rumahnya, tetapi Ibu Sri tidak terlihat, mungkin di dalam rumahnya.

Perlahan kudekati rumah yang terlihat sepi dengan pintu yang terbuka. Wajar saja dalam rumah sederhana itu hanya tinggal dua orang, yaitu Rahmat dan Ibu Sri.

“Assalamualaikum.” Sahutku di depan pintu rumah. Aku terdiam sesat, tetapi tak ada yang menjawab, mungkin beliau sedang di kamar mandi atau mungkin pendengarannya sudah mulai berkurang.

“Assalamualaikum.” Sahutku, tetapi kali ini yang menjawab seorang ibu yang sedang mengobrol dengan tetangganya.

“Cari Ibu Sri, ya?” tanya seorang ibu berjilbab.

“Iya, Bu.” Jawabku.

“Ketok saja pintunya.”

“Oh iya, makasih Bu.” Jawabku ramah.

Aku mengetuk pintu sedikit agak keras sebanyak tiga kali, tetapi tak ada yang menjawab. Aku ulangi berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama.

Ibu yang menggunakan jilbab memperhatikan tingkahku, dan ia mengambil inisiatif untuk masuk ke rumah memanggil Ibu Sri.

“Tunggu ya Mas, saya panggilkan dulu.” Jelas Ibu berjilbab.

Aku hanya mengangguk sembari tersenyum ramah padanya. Ibu itu memasuki rumah sembari memanggil nama Ibu Sri.

Cuaca di lingkungan ini cukup teduh, dibandingkan dengan rumah yang aku sewa di perbatasan desa. Tentram dan harmonis. Aku menikmati pemandangan sekitar rumah ini.

“Akhhhhh……!” jerit seseorang dari dalam rumah. “Tolong! Tolong! Tolongi Ibu Sri.” Teriak Ibu berjilbab, panik dan segera meminta tolong keluar rumah.

Aku dan beberapa warga yang mendengar teriakannya, segera memasuki rumah Ibu Sri, alangkah terkejutnya diriku dan warga yang melihat, Ibu Sri ditemukan terkujur kaku di kamar mandi. Aku teringat Rahmat, saat melihat ibunya tergeletak dan mengeluarkan darah di kepalanya.

Bapak-bapak yang melihat kejadian itu langsung segera mengangkat tubuh Ibu Sri dan dibaringkannya pada kursi panjang. Akupun ikut membantu mengangkatkan Ibu Sri, tanganku dengan sigap langsung memeriksa kondisinya.

Jantungku berdebar kencang, tak ada yang aku rasakan pada denyut nadi dan hembusan nafas. Berkali-kali aku periksa kondisi Ibu Sri, tetapi tetap sama. Terlambat, aku mengatakan pada warga desa yang berada di sekitarku, bahwa Ibu Sri telah meninggal dunia akibat pendarahan pada kepala. Kemungkinan penyebabnya beliau terjatuh.

Serempak mereka mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” Semua warga yang hadir turut berduka cita saking tak percayanya dengan kondisi Ibu Sri, terlihat dari mimik wajah mereka yang meneteskan air mata.

“Assalamualaikum.” Sapa seorang anak kecil yang memakai baju muslim kepada warga. Ia terlihat lugu dan polos.

Ibu berjilbab mendekati bocah berkulit putih itu, yang tiada lain adalah Rahmat. Mata Ibu tersebut merah karena menahan tangis dan berusaha menyembunyikan tangisan di depan Rahmat.

Sebagian penduduk desa yang berada di rumahnya ikut sedih. Karena setelah dua tahun yang lalu Rahmat ditinggal ayahnya, untuk kali ini pula ia ditinggal oleh ibunya yang tercinta untuk selamanya.

“Nak, ibumu…” jelas ibu berjilbab dengan tegar, walaupun degan air mata yang meleleh.

“Ibumu…”

“Kenapa Ibu?” tanya Rahmat polos.

“Ibumu, Nak…” tangis ibu berjilbab itu.

Rahmat mendekati ibunya yang sedang terbaring di kursi, ia heran dengan semua yang terjadi. Ia melihatku disamping ibunya yang terbaring.

“Kak, ada apa dengan ibu?” tanya Rahmat.

Tak ayal, aku tak bisa menahan tangis yang kutahan, sebab kenyataan hidup yang Rahmat alami sungguh pahit. Seumur Rahmat harus hidup tanpa belas kasih orang tua, hal ini dapat melemahkan semangat hidupnya.

Perlahan Rahmat memegang tangan ibunya, lalu mengusap wajah, dan membelai rambut ibunya. Ia terkejut dan panik bahwa pada rambut ibunya terdapat darah.

“Kenapa ada darah? Ibu kenapa?” tanya Rahmat panik melihat kondisi ibunya.

Semua warga terdiam dan menunduk mengungkapkan rasa sedihnya.

“Ada apa dengan Ibu? Kenapa gak ada yang mau jawab?” tanya Rahmat agak berteriak dan semakin panik.

Semua hanya terdiam. Ibu berjilbab memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Rahmat. Perlahan ia mendekati Rahmat yang berada di samping ibunya.

“Rahmat, ibumu saat ini telah menyusul bapakmu.” Halus ia menegarkan Rahmat.

“Maksud Ibu Nina?” tanya Rahmat terlihat lemas. Terlihat kondisinya yang lemas dan mulai menangis. Ibu Nina mendekati Rahmat, dan memegang kedua bahu Rahmat dengan kedua tangannya. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sedih.

“Ibumu meninggal, Nak.” Ucap Ibu Nina dengan terharu.

Seketika Rahmat terdiam dan tak percaya bahwa ibunya telah tiada. Tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan, perlahan ia memegang kedua wajah orang yang ia cintai. Air mata terus mengalir hingga membasahi kedua pipinya.

Kedua tangan Ibu Nina mengelus pundak Rahmat, tetapi dengan cepat Rahmat berlari keluar meninggalkan rumah.

Aku mengikuti Rahmat dan lari mengejarnya. Ia berhenti dan duduk menangis di bawah pohon. Bagaimanapun aku mengerti perasaan Rahmat. Aku pernah merasakan dengan yang Rahmat rasakan saat ini, saat mendengar kabar bahwa ibunda telah meninggal dunia.

Ketika kehilangan seorang ibu, rasanya dunia ini menjadi tidak berwarna, hampa, dan sepi. Saat pertama kali mendengar kabar bahwa ibu telah meninggal, bagaikan es tajam yang menusuk hati. Perih dan menyiksa.

Namun demikian, aku lebih beruntung dibandingkan Rahmat. Aku ditinggal oleh almarhumah ibu saat umur dua puluh tahun. Berbeda dengan Rahmat yang masih membutuhkan Ibu untuk beranjak dewasa. Ia ditinggal dalam umur delapan tahun. Massa kanak-kanak yang harusnya ia lewati bersama ibu, ternyata harus rela dipisahkan oleh takdir Tuhan.

“Ibu.” Tangis Rahmat mengenang ibunya.

Berkali-kali ia ucapkan kata Ibu dengan penuh duka yang mendalam. Aku sangat terharu melihat kondisi Rahmat. Perlahan kudekati untuk menenangkannya, dan duduk di sampingnya.

“Ibumu pasti akan mendapatkan tempat yang terbaik di Surga, karena telah menjaga dan merawatmu menjadi anak yang berbakti kepada orang tua.” Ucapku perlahan sembari mengelus rambut Rahmat yang halus.

“Aku pingin ikut Ibu, Kak.” harap ia sembari menangis.

“Mamet jangan berkata itu, kamu ingat perkataan ibumu disaat kakimu sakit? Ibunya Mamet bilang bahwa kamu tetap anak yang Ibu banggakan.” Sahutku menenangkannya.

“Mamet gak bisa hidup tanpa Ibu.” Pasrah dan memeluk kedua lututnya.

“Kamu pasti bisa kok. Kakak juga dulu ditinggal oleh ibunya Kakak. Memang Kakak juga sedih terima hal tersebut, tapi perlahan Kakak bangkit, dan berusaha untuk membahagiakan Ibu dengan apa yang Kakak capai saat ini.” Ucapku menyemangatinya.

“Memang apa yang Kakak capai?” tanya Rahmat hingga mengurangi rasa sedihnya.

“Kakak dulu bekerja jadi asisten dokter.”

“Itukan dulu, sekarang Kakak pengangguran toh?” tanya Rahmat sekenanya.

“Yah, sekarang Kakak milih istirahat dulu dari pekerjaan. Nanti setelah cukup istirahatnya Kakak mulai berkerja lagi.” Terangku.

“Oh begitu.” Kembali Rahmat berbicara lemas.

“Yang penting, sekarang kita harus mempunyai semangat hidup. Kita harus berjuang dan buktikan pada semua orang bahwa kita bisa, walaupun tanpa Ibu. Ok?” ucapku bersemangat.

“Ya, Kak.” Ucap Rahmat terisak-isak.

“Kok loyo gitu. Ayo, kita laki-laki jadi harus semangat. Ok.” Aku merangkul Rahmat.

“Ok, Kak. Makasih ya, Kak.” Ada secercah semangat dari ucapan Rahmat.

“Nah gitu, kita tidak boleh meletakan dunia pada hati ini, tetapi letakkanlah dunia pada tangan ini.” Ucapku membangkitkan Rahmat.

“Maksud Kakak?”

“Maksudnya kita harus menggenggam kehidupan ini, tak boleh menyerah dalam hidup ini, jangan sampai kamu letakkan hidup ini pada hati, sehingga kamu terlena dengan kehidupan ini. Tapi letakkanlah kehidupan ini pada tanganmu, supaya kamu bisa mengendalikan hidup ini menjadi lebih baik.” Ucapku penuh kelembutan.

“Semoga Mamet bisa ya, Kak.”

“Pasti bisa, kita berdoa kepada Tuhan semoga diberi kemudahan untuk menggenggam dunia.”

“Semoga, Kak.” Jawab Rahmat walau masih ada rasa kesedihannya.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com









Menggenggam Dunia – (3) Bunga Desa

Hari sudah semakin panas, aku beranjak pulang ke rumah sewaan yang berada di perbatasan desa. Cukup melelahkan tetapi sangat menyenangkan.

Hari ini aku telah menerima pelajaran berharga, bahwa sebaiknya aku harus mensyukuri hidup ini. Semenjak keluar dan memutuskan hijrah dari kota menuju pedesaan, aku kurang mensyukuri hidup pada Tuhan dengan segala yang telah Ia berikan padaku. Berupa ilmu, harta, kedudukan, tetapi yang ada hanya kesombongan untuk melakukan sesuatu. Apakah ini pengaruh dari kota? Entahlah, adakalanya itu benar.

Langkah demi langkah, aku berjalan menikmati pemandangan desa yang indah, sejuk, dan tentram. Aku melewati lapangan bola tempat bermainnya Rahmat dan Saiful. Sepi tak ada yang bermain di lapangan itu, yang ada hanya dua gawang dari kayu dan sebuah bola di tengah lapangan.

Bola? Aku senang dengan permainan bola. Aku menyukai permainan ini, semenjak duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar. Sudah lama tidak bermain bola, bahkan terakhir kali bermain bola saat aku berada di bangku SMA bersama teman sekolah. Permainan bola memang membutuhkan kerja sama tim.

Lapangan sepi dan bola tak ada yang memakai, kebetulan sekali. Aku ingin melepas rasa rindu untuk bermain sepak bola.

Kedua tangan kumasukan dalam saku celana. Aku menari bersama bola tanpa menyentuh tangan sedikitpun, aku memainkan bola dengan menendang ke atas, menyundul bola, memantulkan melalui betis dan berbagai jenis gaya aku mainkan dengan indah. Selang beberapa waktu, saat bola mengenai kaki kanan, dengan cepat aku mengarahkan bola ke gawang, dan shoot. Gool! Tendangan sempurna mengarah tengah gawang.

Sambutan berupa tepuk tangan dari anak-anak mengiringi bola masuk, layaknya pertandingan bola di stadion. Dan aku baru menyadari ternyata anak-anak itu telah memperhatikan gerak-gerikku saat bermain bola.

“Wah, Kakak hebat.” Kata anak berambut ikal dan berkulit sawo matang.

“Kakak pemain timnas Indonesia, ya?” tanya penuh kekaguman dari anak yang lain.

“Waduh, anak-anak terima kasih pujiannya. Maaf tadi Kakak pinjam bola kalian.”

“Kak Arkan, mau bermain sama kami?” ajak Saiful.

Ternyata ada Saiful, dengan senyum yang khas, saat memperhatikanku dari tadi. Ia mengajakku untuk bermain bola, nyaliku tertantang untuk bermain dengan anak-anak desa.

“Ok, siapa takut.” Ledekku penuh keakraban dengan anak-anak.

Akupun bermain dengan mereka layaknya anak-anak. Bermain bola di tanah yang becek, dan berlumpur. Tak heran bajuku ikut kotor. Seorang mantan asisten dokter sepertiku, bermain dengan anak-anak desa, sangatlah menyenangkan.

***
Hari sudah semakin siang, disertai cuaca yang sejuk berubah menjadi sangat panas. Aku berjalan pulang menuju rumah dengan baju yang sangat kotor penuh lumpur, usai bermain sepak bola dengan anak-anak.

“Eh, Mas Arkan. Kok bajumu kotor? Jatuh dimana?” tanya seorang ibu berbadan gemuk yang heran melihat kondisiku.

“Tadi saya bermain bola, bersama anak-anak, Bu. Jadi maklum baju saya ikut kotor juga.” Ucap ramahku pada Ibu Lusi, yang tiada lain adalah tetanggaku.

Sebelumnya, diperjalanan ada beberapa warga yang mengenalku dan menanyakan hal yang sama seperti pertanyaan Ibu Lusi. Sebenarnya berpakaian kotor sangat wajar di desa ini, seperti para petani yang pulang dengan pakaian kotor. Mungkin karena aku bukan petani. Jika dilihat dari postur tubuh, walau tinggal di desa dan memakai pakaian orang desa tetapi tubuhku masih terlihat orang kota.

Akhirnya aku sampai depan rumah. Aku rebahan di kursi teras rumah untuk melepas lelah. Walau cuaca panas, semilir angin perlahan menerpa ke seluruh tubuh.

Aku mengingat kejadian dari pagi hingga berakhir dengan berpakaian kotor. Ada suka maupun duka. Suka karena aku semakin akrab dengan penduduk desa serta bermain bola dengan anak-anak desa untuk pertama kalinya, dan duka karena masih ada orang yang berkeinginan untuk menyekolahkan anak dan menganggapnya sesuatu yang berat. Aku paham dengan kondisi mereka, tetapi syukurnya Ibu Sri telah menyekolahkan Rahmat pada pengajian gratis. Menurutku itu sudah cukup baik untuk bekal Rahmat.

Apa lebih baik, aku membiayai sekolah Rahmat ya?

Tiba-tiba pikiranku fokus untuk merencanakan hal tersebut. Itu memang ide baik, lagipula aku mempunyai cukup uang untuk membayar sekolahnya.

“Mas Arkan.” Sapa seorang wanita yang tiba-tiba menyapa di sampingku.

Aku salah tingkah dan mengambil posisi duduk. Aduhai, gadis yang menyapaku adalah bunga desa di pedesaan ini. Perasaanku bercampur heran dan berbunga-bunga.

“Ratih, ada apa? Ayo silahkan duduk.” Aku menggeser, untuk mempersilahkan Ratih duduk.

“Makasih Mas Arkan, Ratih cuma memberi titipan dari Ibu untuk makan siang Mas Arkan. Diterima ya, Mas.” Dengan suara lembut, ia memberikan kantung plastik berisi sayur lodeh dan dua ekor ikan goreng.

“Wah, terimakasih ya Ratih. Sampaikan ucapan terimakasih juga pada ibumu.”

“Sama-sama, Ratih pamit dulu, Mas.”

“Tidak mampir dulu?” pintaku iseng.

“Hem, lain kali saja pasti Ratih mampir. Mari Mas.” pamitnya sembari tersenyum manis.

Oh. Senyuman Bunga Desa yang tak akan kulupakan. Selain dia memiliki wajah yang indah dengan rambut panjang yang tergerai, dia juga memiliki hati yang lembut bagaikan selembut kain sutra. Pantaslah ia dijuluki oleh warga sebagai Bunga Desa.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com










CERITA LUCU HUMOR PENDEK TERBARU

Cerita Lucu : KAKATUA
 
Di sebuah toko penjual burung, mempunyai 2 burung kakak tua. Kedua burung itu berbeda, yang satu suka bernyayi dan yang satunya lagi hanya diam saja, datang seseorang ingin membeli burung kakak tua. Ia berkata kepada si penjual burung:
 

Pembeli: Berapa harga burung kaka tua ini mas...??
 

Penjual: Kalau yang suka nyayi itu 500.000 rupiah, sedangkan yang diam itu 1.000.000 rupiah.
 

Pembeli: Lho kok yang suka nyayi harganya lebih murah dari yang hanya diam saja.
 

Penjual: yah.... jelas beda wong yang harganya 1.000.000 itu pencipta lagunya kok.

::::::::::::::::::::::::::::::

Cerita Lucu : TANGISAN SEORANG IBU
 
Sebuah keluarga yang malang itu, akhirnya tahu bahwa salah satu anak gadisnya bekerja sebagai pelacur di kota Surabaya. Si Ibu pun menangis tersedu-sedu.


"Kenapa anda menangis?" tanya tetangga, "Yang sudah terjadi biarlah terjadi, yang penting kita selalu berdo'a semoga ia segera sadar."


Sambil mengusap air matanya, Si ibu menjawab dengan terbata-bata
"Saya menangis bukan karena itu, tetapi saya menangis terharu karena Dia adalah anak satu-satunya dari enam bersaudara yang akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan."


::::::::::::::::::::::::::::::

Cerita Lucu : Senjata Makan Tuan
 
Seorang wartawan sedang meliput peristiwa kecelakaan. Karena banyak orang yg mengerumuni lokasi kecelakaan, wartawan tesebut tidak dapat menerobos untuk melihat korban dari dekat. Setelah berpikir keras, wartawan tersebut dapat ide.


"Minggir-minggir semua, saya ayah korban!" ia berseru. "Saya minta jalan.


" Benar saja.....kerumunan itu membiarkan dia lewat. Semua mata terarah kepada wartawan tersebut. (wartawan GR, dalam hati: "Berhasil juga!!!) Ketika sampai di tengah kerumunan, ia terpana melihat... SEEKOR ANAK MONYET tergeletak tak berdaya!


::::::::::::::::::::::::::::::

Cerita Lucu : SALAH MASUK

Dengan tergesa-gesa seorang nyonya masuk ke sebuah ruangan yang ia kira itu ruangan dokter.


Nyonya : "Dokter, apa yang salah ditubuh saya?"


Laki" : "Nyonya, anda terlalu gemuk, pupur anda terlalu tebal, lipstick anda terlalu merah, rambut anda perlu dicat, anda terlalu banyak merokok, dan satu lagi... anda masuk keruangan yang salah. Dokter ada di ruangan sebelah. Saya hanya pengantar koran."
 


::::::::::::::::::::::::::::::

Cerita Lucu : Teka-teki Kocak
A: Kenapa badak kukunya warna merah?
B: Mmm... apa ya... 'gak tau...
A: Biar bisa sembunyi di balik pohon apel...
B: Ah bohong... mana ada badak sembunyi di balik pohon apel?
A: Gak pernah lihat 'kan?... berarti dia berhasil sembunyi...


:::::::::::::::::::::::::::::: 

Cerita Lucu : TIDAK MELIHAT
 
Pada suatu hari ada seorang pengendara yang melanggar lalu lintas, dan terihat oleh seorang polisi yang berjaga dan memberhentikannya...


"Apakah sodara tidak melihat lampu merah?"( tanya seorang polisi kepada seorang pengendara sepeda motor).
"Saya lihat, Pak."
"Lalu kenapa sodara tidak berhenti?"
"saya tidak melihat bapak."


::::::::::::::::::::::::::::::

Cerita Lucu : Ibu-ibu MENYUSUI
 
"Mas... mas... maaf kalo mau merokok di ruang merokok dong... ini sikecil terganggu dan jadi bangun..." ujar si ibu muda yg lagi menyusui bayinya.


"Ya mbak... maaf juga... mbak kalo mau nyusuin di ruang menyusui juga dong... ini si kecil saya juga terganggu dan ikut bangun..."
 


::::::::::::::::::::::::::::::

Cerita Lucu : OBAT ANEH
 
Pasien : Dok, tolonglah sembuhkan penyakit saya. Saya sering berjalan di waktu tidur.
Dokter : Ini kotak yang bisa menyelesaikan persoalanmu. Setiap malam, ketika Anda sudah bersiap untuk tidur keluarkan isi kotak itu dan taburkan di lantai sekeliling tempat tidurmu.
Pasien : Kotak apa ini, Dok? apakah sejenis serbuk penenang?
Dokter : Bukan. Ini kotak paku payung.


::::::::::::::::::::::::::::::

Cerita Lucu : Gagal KB
 
Seorang ibu menemui dokter untuk periksa kehamilan Dokter: Loh ibu ini kan yg tempo hari periksa, emang ibu hamil lagi ya?
Ibu: iya dok?


Dokter: apa obat KB yang saya beri tempo hari ibu tidak minum?.
Ibu: minum dok ! Dokter: lantas kenapa ibu bisa hamil??
Ibu: ya, gimana tidak mau hamil dok, obat baru nyampe leher, celana dalam udah nyampe lutut.


::::::::::::::::::::::::::::::

Cerita Lucu : Cerai
 
Hakim: Kenapa mau bercerai?
Udin: Sudah tidak cocok lagi,
Pak Hakim. Hakim: Kok bisa gak cocok lagi?
Emangnya ukurannya siapa yang merubah?


::::::::::::::::::::::::::::::

Cerita Lucu : Maha Siswa Gokil
 
Diruang kuliah, seorang dosen senior sedang memarahi mahasiswanya:
Dosen: "menjawab saja tidak becus, eh malah bercanda dan ngobrol seenaknya. Menjawab soal aja juga ga ada yg tahu, jadi percuma aja kuliah ini,Hayo Sekarang yang merasa dungu BERDIRI !!!! " sang dosen membentak. Beberapa menit suasana hening. Tiba-tiba dari bangku belakang seorang mahasiswa berdiri. Dosen: "Jadi kamu yakin betul, kamulah si dungu itu ??? " " Bukan begitu pak, saya cuma tidak tega melihat Bapak berdiri sendiri."


Sumber: http://tasik-membara.blogspot.com