Minggu, 16 Juni 2013

Cerita Lucu | Anak Muda dan Sholat Tahajud

BERKAH SHOLAT TAHAJJUD
Tersebutlah seorang pemuda yang putus sekolah, sehingga ia kesulitan untuk mencari pekerjaan. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia beragang asongan di terminal. Semakin hari jumlah pedagang asongan kian bertambah, hal ini tentu saja menurukan pendapatan baginya. Ia pun resah dan gelisah, menunggu di sini, di sudut terminal, eh ga ding. Kok malah nyanyi kisah kasih di terminal eh di sekolah :D

Pemuda pun resah, bingung, stress. Ingin sekali rasanya ia berteriak kepada langit tua langit tak mendengar. Ia bertanya pada langit tua, tak ada jawabnya...ooo... hayah... malah nyanyi lagi... :p

Setelah merenung cukup lama, sang pemuda pun dapat ide. Ia bermaksud sowan (menghadap) ke Kiyai Udin guna meminta dido'akan agar berkah. Namamya Kiyai, pasti punya banyak solusi untuk ummatnya.

Sore itu ba'da ashar, ia pun menemui Kiyai Udin di kediamannya.

Pemuda : "Assalaamu'alaykum, Kiyai. Maksud kedatangan saya kemari bermaksud untuk minta keberkahan do'anya supaya saya bisa mendapat rizki yang tidak disangka-sangka arah datangnya. Akhir-akhir ini dagangan saya sepi."

Kiyai Udin : "Wa'alaykum salam, oh itu. Gini aja Mas, sampean (kamu : Jawa) nanti malam sholat saja tahajud yah sekitar jam 2 lah. Nah, mintalah apapun yang ingin anda minta. Insya Allah, berkat tahajud dan berdo'a disepertiga malam terakhir lebih diengar Allah dan makbul. Syukur-syukur bisa istiqamah dilakukan tiap hari."

Pemuda : "Aamiin... Alhamdulillah, Kiyai. Terima kasih, kalau begitu saya pamit dulu, Assalaamu'alaykum."

Kiyai Udin : "Ya, hati-hati. Wa'alaykum salam."

Dua hari kemudian, ketika pemuda bertemu dengan Kiyai Udin.

Pemuda : "Assalamu'alaykum Kiyai.".

Kiyai Udin : "Wa'alaykum salam, eh Anda. Bagaimana kabarnya Mas?"

Pemuda : "Alhamdulillah baik, Kiyai. Oh ya, Kiyai. Saya mau mengucapkan banyak terima kasih atas saran njenengan waktu itu. Alhamdulillah, berkah tahajud saya benar-benar mendapatkan rizki yang tidak disangka-sangka. Sekali lagi terima kasih Kiyai."

Kiyai Udin : "Oh ya, alhamdulillah kalau begitu saya turut senang. Kalau boleh tahu rizki apa? Apakah dagangan Anda makin rame atau dapat bisnis baru?"

Pemuda : "Oh bukan kiyai, dagangan saya masih tetap sepi. Tapi sekali lagi terima kasih, berkah sholat tahajjud saya benar-benar dapat rizki yang tak disangka-sangka."

'

'

'

PASANG TOGEL NEMBUS 4 NOMOR, Kiyai..?"

Kiyai Udin : pingsan %^*&^%$##%^&*

  
Makna dari cerita diatas yang bisa jadi pelajaran bagi kita adalah . . .

- Betapa halus tipu daya syetan, meskipun dengan perantara ibadah, ia tetap mampu menyesatkan ummat manusia. Jadi, berhati hatilah Anda dalam beribadah. Luruskan niat karena Allah ta'ala. Ingat..!!! Syetan musuh yang nyata, ia selalu bermain dihati manusia.

- Sudah banyak yang membuktikan bahwa dengan berkah shalat tahajjud mampu membuat sukses suatu bisnis atau pun usaha seseorang, jika mereka mau mendawamkan melakukannya. Oleh karena itu, mari kita sama sama mendawamkan sholat tahajjud sebagai ibadah tambahan bagi kita 

"Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (QS. Al-Israa': 79).

Sumber: http://sebagininfo.blogspot.com







Kamis, 13 Juni 2013

Kisah Malaikat Pencatat Amal

Setiap manusia dijaga oleh malaikat pencatat amal yang berada di sebelah kanan dan kirinya.

Kisahnya.
Diterangkan dalam sebuah hadits bahwa manusia dijaga oleh malaikat, salah satunya berada di sebelah kanan sebagai pencatat amal kebaikan tanpa kesaksian yang lain, dan yang satunya lagi berada di sebelah kiri sebagai pencatat amal yang jelek, dan dia tidak akan mencatat amal jelek tanpa kesaksian di sebelah kanannya.
Jika manusia duduk, satu malaikat berada di sebelah kanannya dan malaikat lainnya di sebelah kirinya.
Sedangkan jika manusia berjalan, maka satu malaikat berada di belakangnya dan malaikat yang lain berada di depannya, dan jika manusia tidur, malaikat yang satu berada di dekat kepalanya dan yang lain berada di dekat kirinya.


Kesaksian Malaikat.
Dalam riwayat yang lain dijelaskan, ada 5 malaikat yang menyertai manusia, yaitu:

  • Dua malaikat menjaga pada malam hari.
  • Dua malaikat menjaga pada siang hari.
  • Dan satu malaikat yang tidak pernah berpisah dengannya.
Hal tersebut sesuai dengan firman ALlah SWT,


"Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia."
(QS. Ar-Ra'd: 11).

Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.
Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.

Yang dimaksud malaikat yang bergantian yaitu malaikat malam dan siang yang melindunginya dari jin, setan dan manusia.
Kedua ma;laikat menulis amal kebaikan dan kejelekan diantara kedua bahunya. Lidahnya sebagai pena, mulutnya sebagai tempat tinta, keduanya menulis amal manusia sampai datang hari kematiannya.

Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya malaikat di sebelah kanan itu lebih dapat dipercaya daripada malaikat di sebelah kiri. Maka jika manusia beramal jelek dan malaikat di sebelah kiri akan menulisnya, maka malaikat di sebelah kananya berkata kepadanya,
"Tunggu dulu, tunggulah selama 7 jam, jika dia beristighfar kepada Allah jangan kau tulis dan jika dia tidak beristighfar maka tulislah satu kejelekan."

Maka ketika dicabut nyawa manusia dan diletakkan dalam kuburnya, kedua malaikat berkata,
"Wahai Tuhanku, Engkau telah menyerahkan kepada kami hamba-Mu untuk menulis amalnya dan sungguh Engkau telah mencabut ruhnya, maka ijinkanlah kami naik ke langit."

Maka ALlah SWT berfirman,
"Langit telah dipenuhi dengan malaikat yang membaca tasbih, maka kembalilah kalian berdua dan bertasbihlah kepada-Ku, bacalah takbir dan tahlil, dan tulislah bacaan-bacaan itu untuk hamba-Ku sampai dia dibangunkan dari kuburnya."

Kiraman Katibin.
Allah SWT berfirman tentang malaikat Kiraman Katibin,
"Aku menanamkan mereka Kiraman Katibin karena ketika menulis amal kebaikan mereka naik ke langit dan memperlihatkannya kepada Allah dan mereka bersaksi atas hal tersebut dengan berkata,
"Sesungguhnya hamba-Mu si Fulan berbuat sesuatu kebaikan demikian dan demikian."

Dan ketika menulis atas seorang hamba amal kejelekan, mereka naik dan memperlihatkannya kepada Allah dengan rasa susah dan gelisah.
Maka Allah SWT berfirman kepada malaikat Kiraman Katibin,
"Apa yang diperbuat hamba-Ku?"
Mereka diam hingga Allah berfirman untuk yang kedua dan ketiga kalinya, lalu mereka berkata,
"Ya Tuhanku, Engkau Dzat yang mengetahui aib dan Engkau memerintahkan hamba-hamba-Mu agar menutupi aib-aib mereka. Sesungguhnya setiap hari mereka membaca kitab-Mu dan mereka mengharap kami menutupi aibnya."

Lalu malaikat Kiraman Katibin mengatakan yang mereka ketahui tentang apa yang diperbuat seorang hamba.
Allah SWT berfiman,
"Maka sesungguhnya kami menutupi aib-aib mereka dan Engkaulah Dzat Yang Maha Mengetahui aib-aib."

Karena inilah mereka dinamakan Kiraman Katiban (yang mulia di siai Allah) dan yang mencatat amal perbuatan.


Sumber: http://kisahislamiah.blogspot.com

Iblis Takut Dengan Orang Yang Tidur

Kisah pengakuan dari Iblis mengenai ibadah shalat.


Jika disuruh memilih, ternyata Iblis lebih menyukai ibadah shalat yang dilakukan orang mukmin yang bodoh daripada mengganggu tidurnya orang yang alim dan berilmu.
Pengakuan Iblis itu disampaikan kepada Rasulullah SAW.

Berikut Kisahnya...
Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW hendak memasuki masjid, Beliau melihat iblis sedang berada di pintu masjid. Iblis itu tampak gusar dan ragu antara masuk masjid dan tidak.

Maka Rasulullah SAW pun bertanya,
"Wahai Iblis, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Rasulullah SAW.
"Aku hendak masuk masjid dan merusak shalatnya orang itu. Tetapi aku merasa takut terhadap orang yang sedang tidur di situ," kata iblis sambil menunjuk orang yang sedang tertidur di masjid.


Rasulullah SAW bertanya lagi,
"Wahai Iblis, mengapa engkau takut terhadap orang yang sedang tidur dan tidak takut kepada orang yang sdeang shalat dan bermunajat kepada Allah?"

PENGAKUAN IBLIS.
Iblis tak dapat menyembunyikan rahasia di hadapan Rasulullah SAW, ia pun dengan gamblang menguraikan alasannya.

"Ya Rasulullah, orang yang sedang shalat tersebut adalah orang yang bodoh, ia tidak tahu syarat hukumnya shalat, tuma'ninah, dan tidak bisa shalat dengan khusyuk.
Sedangkan orang yang sedang tidur itu adalah orang yang alim, maka jika aku merusak shalatnya orang bodoh itu, aku khawatir, dia akan membangunkan orang yang sedang tidur itu dan kemudian mengajari dan membetulkan shalatnya orang yang bodoh tadi," jelas Iblis ketakutan.

Oleh karena itu Rasulullah SAW pernah bersabda,
"Tidurnya orang alim itu lebih baik daripada ibadahnya orang yang bodoh."

Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW juga bersabda,
"Orang tersebut telah dikencingi setan di kedua telinganya."
Hal ini disampaikan oleh Rasulullah SAW dan ditujukan bagi orang yang tidur semalam suntuk tanpa mengingat untuk shalat di malam harinya.


Sumber: http://kisahislamiah.blogspot.com 

Nabi Langsung Sakit karena Pria Buta

Kisah Islamiah sore dengan Kisah Nabi.

Sebagai rujukan cerita ini adalah Ayat Suci Al Qur'an Aurat 'Abasa ayat 1-6.
Rasulullah SAW mendapat teguran Allah SWT karena telah bermuka masam dan berpaling terhadap seorang yang buta. Padahal, si buta ini ingin sekali mendapatkan pengajaran tentang Islam dari Nabi SAW sendiri.

Berikut Kisahnya.
Kisah Islami yang satu ini menjadi sebab turunnya ayat Al Qur'an Surat 'Abasa ayat 1 sampai 6. Semua tak lepas dari sosok sahabat Nabi sekaligus seorang muazin yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum.

Siapa Abdullah bin Ummi Maktum.
Dia adalah orang Makkah suku Quraisy. Dia masih memiliki ikatan keluarga dengan Rasululah SAW, yaitu paman Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid ra. Bapaknya adalah Qais bin Zaid sedangkan ibunya adalah Atikah binti Abdullah.

Ibunya diberi gelar "Ummi Maktum", karena anaknya, Abdullah lahir dalam keadaan buta total. Abdullah bin Ummi Maktum ini merupakan salah seorang sahabat Rasululah SAW yang akan menghuni surga nantinya.

Ketika Islam Datang.
Ketika Islam mulai datang, Abdullah bin Ummi Maktum telah menerima agama itu dengan sepenuh hati. Bahkan ia termasuk kelompok yang pertama masuk islam.

Setelah menjadi muslim sejati, Abdullah rela menanggung segala macam suka dan duka kaum muslimin, termasuk penderitaan akibat siksaan dari kaum Quraisy.

Apakah Abdullah bin Ummi Maktum menyerah karena disiksa?
Tidak sama sekali, dia tidak pernah mundur walau sedikitpun. Bahkan, dia semakin teguh berpegang kepada agama Islam dan Kitab Allah SWT.
Dia semakin rajin mempelajari syariat Islam dan sering mendatangi majelis Rasulullah SAW.


Abdullah Merasa Diacuhkan.
Pada suatu hari, Rasulullah SAW mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy seraya mengharap semoga mereka mau masuk ke dalam islam. Beliau bertatap muka dengan tokoh Quraisy seperti:
  • 'Uthbah bin Rabi'ah.
  • Syaibah bin Rabi'ah.
  • 'Amr bin Hisyam (Abu Jahal).
  • Umayyah bin Khalaf.
  • Walid bin Mughirah (Ayah dari Khalid bin Walid).

Rasulullah SAW berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang islam.
Beliau sangat ingin mereka mau menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat yang masuk islam.

Sementara beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba saja Abdullah bin Ummi Maktum yang buta itu datang mengganggu, meminta kepada Rasulullah SAW untuk dibacakan ayat-ayat Al Qur'an.
"Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah SWT kepada Anda," ujar Abdullah bin Ummi Maktum.

Rasulullah SAW terlengah dengan belum memperhatikan permintaan Abdullah tersebut. Bahkan, beliau agak acuh dengan permintaan Abdullah sahabatnya itu. Beliau membelakangi dan melanjutkan pembicaraan dengan para pemimpin Quraisy tersebut.

Setelah selesai berbicara dan berunding dengan para pemimpin Quraisy, Rasululah SAW bermaksud hendak pulang. Akan tetapi, di tengah perjalanan tiba-tiba saja penglihatan Beliau menjadi gelap dan kepala Beliau terasa sakit bukan main seperti terkena pukulan.

Teguran Allah SWT.
Dalam keadaan seperti itu, otomatis Rasulullah SAW kesakitan, kemudian turunlah Malaikat Jibril yang membacakan wahyu Allah SWT ke dalam hatinya.

Inilah bunyi Surat 'Abasa ayat 1-6 yang merupakan Ashabul Nuzul dari kisah ini.
Allah SWT berfirman,


1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
2. karena telah datang seorang buta kepadanya[1554].
3. tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
4. atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup[1555],
6. Maka kamu melayaninya.

[1554] Orang buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan berpaling daripadanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah s.a.w.

[1555] Yaitu pembesar-pembesar Quraisy yang sedang dihadapi Rasulullah s.a.w. yang diharapkannya dapat masuk Islam.

Sejak hari itu, Rasulullah SAW tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi Abdullah apabila dia datang dalam majelisnya. Beliau mempersilahkan duduk, menanyakan keadannya dan memenuhi kebutuhannya.
Tak heran kalau Beliau memuliakan Abdullah sedemikian rupa, selain karena Abdullah bin Ummi Maktum buta total, juga karena turunnya wahyu tersebut.


Sumber: http://kisahislamiah.blogspot.com






Kisah Islami Teladan :: Kisah Jenazah Diziarahi Banyak Malaikat

Assalamu'alaikum wr.wb. Sahabat yang seiman dan seagama ISLAM...

Kisah berikut pantas dijadikan teladan saat kita hidup di dunia sahabat.
Ada seorang pemuda yang meninggal dunia, lalu jenazahnya dimandikan, dikafani hingga dikerumuni banyak sekali malaikat untuk menyaksikan pemakaman pemuda ini. Apa gerangan yang terjadi hingga pemuda ini dikeruti malaikat, hingga Rasulullah SAW pun sangat takjub akan keimanan pemuda ini yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.
Subhanallah...

Kisahnya.

Adalah Ts'labah yang merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang sangat setia dan beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Suatu ketika karena ketidaksengajaanya melakukan dosa, ia sangat menyesal begitu dalam hingga ketakukannya kepada Allah SWT kan azab yan akan ia terima nantinya.

Karena ketaktannya tersebut, Tsa'labah sakit hingga meninggal dunia.
Subhanallah...
Si pemakaman sahabat Nabi yang setia ini banyak malaikat yang iut menziarahi Tsa'labah.

Tsa'labah Sakit.

Setelah sekian lama berjuang bersama nabi, terdengar kabar bahwa Tsa'labah sedang sakit keras.
Mendengar hal itu sahabat Nabi yang lain bernama Salman menghadap Rasulullah SAW dan berkata,
"Wahai Rasulullah, msihkah engkau ingat dengan Tsa'labah? Dia sedang sakit keras."
Rasulullah SAW pun segera datang menemui Tsa'labah.

Rasulullah SAW meletakkan tangan kanannya di kepala Tsa'labah, kemudian meletakkan kepala Tsa'labah dipangkuannya.
Akan tetapi apa yang terjadi, Tsa'labah segera saja menyingkirkan kepalanya dari pangkuan beliau.
"Mengapa engkau singkirkan kepalamu dari pengkuanku?" tanya Baginda Rasul.
"Karena aku penuh dengan dosa, tak layak dipangku oleh UtusanNya yang mulia ini," jawab Tsa'labah.
"Apa yang engkau rasakan?" tanya Nabi lagi.
"Aku seperti dikerubuti semut pada tulang, daging dan kulitku," jawab Tsa'labah.
"Lalu apa yang engkau inginkan?" tanya Rasul SAW.
"Ampunan Tuhanku," jawab Tsa'labah.

Maka turunlah Malaikat Jibril as dan berkata,
"Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu mengucapkan salam untukmu dan berfirman kepadamu, "Kalau saja hamba-Ku ini menemui Aku dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, niscaya Aku akan temui dia dengan ampunan sepenuh itu pula."

Meninggal Dunia.

Maka segera saja Rasulullah SAW memberitahukan hal tu kepada Tsa'labah. Begitu mendengar berita itu, terpekiklah Tsa'labah dan langsung meninggal dunia.

Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan agar Tsa'labah segera dimandikan dan dikafani dan dishalati.
Ketika selesai dishalati, Rasulullah SAW berjalan sambil berjingkat-jingkat seakan menghindari sesuatu agar tidak tertabrak.
Setelah selesai pemakaman, para sahabat bertanya,
"Wahai Rasulullah, kami lihat engkau berjalan sambil berjingkat-jingkat, ada apa gerangan?"

Rasulullah SAW bersabda,
"Demi Zat yang mengutus aku sebagai seorang nabi yang sebenarnya, karena aku lihat begitu banyaknya malaikat yang turut menziarahi Tsa'labah."

Apakah Dosa yang Dilakukan Tsa'labah.

Astaghfirullah...
Sebenarnya dan ternyata kesalahan yang dilakukannya hanya karena beliau melihat seorang wanita Anshar sedang mandi dalam perjalannya menuju rumahnya. Tsa'labah ini takutnya bukan main, kepada Allah SW dan kepada Rasulullah SAW yang jadi panutannya.
Karena kejadian itu, Tsa'labah sangat takut sekali hingga lari.

Subhanallah...

Sumber : kisahislamiah.blogspot.com

Menggenggam Dunia – (13) Jatuh Cinta

“Mamet. Mamet.” panggil teman-teman Rahmat untuk mengajaknya berangkat sekolah bersama.

Kondisi Rahmat masih belum memungkinkan untuk berangkat sekolah. Suhu tubuhnya masih tinggi, padahal ia harus mengikuti tambahan pelajaran rutin setiap pulang sekolah.Aku segera beranjak ke depan rumah.

“Adik-adik, Mamet sedang sakit dari kemarin sore. Bisa tolong izinkan ke guru, kalau hari ini dia tidak berangkat?” pintaku.

“Sakit apa, Kak? Wah, padahal dia bakal ikut lomba siswa teladan.” Sesal Ento, teman Rahmat yang berbadan gemuk.

“Dia hanya kelelahan, mungkin tidak akan lama lagi ia sembuh. Doakan saja ya.” Jawabku.

“Ya sudah, Kak. Salam buat Mamet semoga lekas sembuh dan bisa main bareng lagi. Ya gak teman-teman?” timpal Saiful.

“Jiahh. Pikiranmu main terus Pul. Mamet kan harus belajar buat persiapan lomba.” Jawab tak kalah seru oleh temannya yang lain.

Terlihat teman yang lain mendukungnya, Saiful hanya cengar-cengir.

“Ya sudah, Kak. Kita berangkat sekolah dulu ya, mungkin setelah pulang sekolah kita bakal nengok Mamet.” Lanjut Ento.

“Assalamualaikum, Kak.” Serempak teman-teman Mamet.
“Iya, Waalaikumsalam.”

Kasihan Rahmat, apakah harus membawanya ke rumah sakit? Motor jarang kupakai, dan bensinnya pun habis. Bagaimana aku harus membawa Rahmat?

Aku kembali periksa kondisi Rahmat, suhu tubuhnya tetap tinggi. Aku mengerti bahwa ia hanya sakit panas sesaat. Ya, mungkin dengan obat seadanya akan cukup untuk merawat Rahmat.

Tok. Tok. Tok.

“Mas Arkan?” sapa seseorang dari depan pintu rumah. Suaranya sangat aku kenal.

“Ratih.” Sapaku.

“Mas, Rahmat sakit? Tadi Ratih tidak melihat ia berangkat sekolah bersama temannya.”

“Hem, iya. Dia terlalu kelelahan dan suhu tubuhnya pun panas. Dia perlu istirahat.”

“Boleh saya jenguk?” pintanya.

“Oh ya, dengan senang hati. Silahkan masuk.”

Ratih segera masuk dengan pandangan menunduk seperti menahan malu. Aku segera menyadari dengan apa yang telah aku ucapkan.


Dengan senang hati? Aduh!

            Ratih memegang kening dan leher Rahmat secara bergantian. Raut mukanya berubah. Aku malah berharap, bahwa yang sakit adalah diriku. Sehingga…

“Mas, panas sekali. Apa lebih baik dibawa ke rumah sakit?” tiba-tiba Ratih menanyaiku.

“Eh, hem. Iya, tidak. Ehm, nggak.” Jawabku gugup.

“Maksudnya Mas Arkan?”

Gawat. Apa yang aku pikirkan. Arkan Saputra, konsentrasi!

“Hem, dia bisa aku rawat dengan manual oleh cara alami dan obat tradisional.”

Ratih mengangguk walau terlihat rasa cemasnya. Sungguh, dia terlihat sangat menyayangi Rahmat, dia pantas sebagai kakak bahkan pantas pula sebagai ibu yang merawat anaknya.

Aku teringat ucapan Rahmat ketika Ratih membawakan rantang makanan pada hari ulangtahunnya.

Apakah aku harus memberanikan diri untuk menjalin hubungan dengan Ratih? Setiap aku bertemu Ratih, jantungku seakan berdebar sangat cepat, hatiku sangat jatuh dalam suaranya, jiwaku tentram saat melihat mukanya, bahkan aliran darahku seakan luluh dalam gerak-geriknya. Yang lebih mengherankan lagi, pikiranku dipenuhi rangkaian bait puisi untuk memujinya.

“Mas?”

“Aaaa… E, ada apa?” aku terkejut, tiba-tiba Ratih telah berdiri tepat di hadapanku.

“Ada tamu.” Ucap Ratih.

“Tamu?”

“Ada di belakang, Mas.” Ratih menunjuk belakangku.

“Aaaa…” lagi-lagi aku terkejut. Pak Rudi telah berdiri tepat di hadapanku.

“Selamat Pagi, Mas. Kebetulan pagi ini jam pelajaran saya kosong, maka dari itu saya sempatkan diri untuk menjenguk Rahmat. Apa benar ia sakit? Saya ketahui dari teman-temannya.”

Aku merasa gugup. Dua orang dalam waktu berdekatan, tiba-tiba mengagetkanku dengan cara yang sama pula.

Tenangkan diri. Huft…

            “Terimakasih sudah menengok Rahmat, Pak Rudi. Semenjak kemarin sore, kondisi Rahmat memburuk. Tampaknya ia sangat kelelahan, mungkin keteledoran saya mengajak Rahmat jalan-jalan ke pasar.” Jawabku.

Pak Rudi mendekati Rahmat yang tertidur pulas di ranjang, cara yang ia gunakan sama seperti Ratih untuk memeriksa kondisi Rahmat.

“Panas sekali, apa tidak dibawa ke rumah sakit saja?” Tanya Pak Rudi.

Bahkan pertanyaannya pun sama dengan Ratih.

“Dia dokter, Pak.” Potong Ratih.

“Dokter? Mas Arkan seorang dokter? Saya lihat pada surat wali dari Rahmat, Mas Arkan tidak ada pekerjaan.

“Untuk kali ini saya memilih istirahat dulu.” Aku menjawab dengan sopan.

“Baiklah, jika anda dokter saya akan lebih tenang. Sebab, jika Rahmat sakit dengan sangat berat hati, runner up dari siswa teladan di desa ini yang akan maju dalam lomba tersebut. Kami pihak sekolah, tidak ingin mengambil resiko.” Ungkap Pak Rudi.

Aku terkejut mendengar ucapan Pak Rudi, bagaimanapun Rahmat anak yang berbakat, lomba itu adalah kesempatan yang baik untuknya.

“Baik, Pak. Semoga Rahmat bisa sembuh dan mengikuti perlombaan tersebut.” Jawabku.

***
Aku mengajak Ratih ke teras rumah, sebab bila mengobrol dalam rumah sama saja mengganggu istirahat Rahmat.

“Mas, jika Rahmat masih belum sembuh. Lebih baik dia tidak usah mengikuti perlombaan itu.” Ucap Ratih.

“Ya, aku pikir juga begitu. Aku memegang tanggungjawab untuk merawat Rahmat. Dengan kondisi yang sakit, dia tidak akan bisa untuk konsentrasi belajar, yang ada malah akan tambah memperburuk kondisinya.”

“Ratih awalnya terkejut, bukankah Rahmat baru masuk sekolah? Kenapa bisa langsung diajukan mengikuti perlombaan?”

“Dia membaca semua buku dalam waktu semalam, hari pertama masuk di sekolahannya ada seleksi untuk diajukan menjadi siswa teladan ke tingkat Kota. Uniknya dia adalah anak kelas satu, mengikuti seleksi itu. Akhirnya ia berhasil meraih nilai terbaik. Pak Rudi yang datang tadi mengajukan dia menjadi kelas empat. Karena persyaratannya kelas empat atau kelas lima.” Ungkapku panjang lebar.

“Ya Tuhan, dia luar biasa sekali.”

“Benar, itu ungkapan pertamaku saat bertemu dengan Rahmat ketika bermain bola.”

“Bermain bola?”

“Ya, dia sangat pintar memainkan bola. Kamu pasti akan kagum melihatnya ketika ia menari bersama bola.”

“Mas Arkan, terlihat bangga sekali dengan Rahmat.”

“Ya, dia memang anak yang luar biasa. Jarang kutemui anak seperti dia. Kita bisa lihat, baru pertama kali masuk sekolah, Rahmat sudah dipercaya mengikuti lomba itu.”

“Suatu saat dia pasti akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik dari ini.” Ucap Ratih sembari senyum padaku.

Aku terdiam sejenak. Pandanganku dan pandangan Ratih bertemu. Wajahnya lembut menentramkan hatiku, matanya bagaikan sebutir berlian yang menyilaukan hati. Hatiku bergetar membawa wajahku mendekati wajahnya.

PRANKKKK….

Suara kaca pecah dari dalam rumah. Rahmat, ada apa dengan dia? Segera kuberlari masuk, khawatir akan terjadi hal yang buruk pada Rahmat.

Gelas pecah di samping ranjang tempat Rahmat tertidur. Ia menggeliat lemas dengan muka yang pucat hendak turun dari ranjang.

“Rahmat?” aku berlari menghampiri Rahmat. “Auww!” tak sengaja aku menginjak serpihan beling gelas yang pecah.

“Kak, Mamet mau sekolah. Mamet kesiangan.” Pinta Rahmat dengan tubuh yang lemas.

Ratih mendekati Rahmat dengan berjalan hati-hati, karena berserakannya serpihan beling.

“Rahmat, lihat kondisimu. Kamu harus istirahat.” Ucap Ratih menenangkan Rahmat.

“Mamet udah janji, sepulang sekolah ikut tambahan pelajaran untuk persiapan lomba.” Isak Rahmat memohon.

Sepertinya beling yang kuinjak telah menembus dalam telapak kaki. Aku merasa kesakitan.

“Mamet, tadi Kakak sudah minta izin pada gurumu. Hari ini lebih baik kamu istirahat.” Ucapku.

“Tapi, Kak..”

“Cukup! Met, kamu gak akan ikut lomba jika kondisimu masih sakit. Kalau kamu sudah sehat, Kakak izinkan.” Ucapku dengan tegas.

“Makanya, Rahmat istirahat dulu ya, biar cepat sembuh.” Lanjut Ratih sambil membelai pipi Rahmat.

Ratih, sungguh mulia hatinya. Aku merasa engkau adalah pilihan hidupku. Suatu saat aku akan melamar, karena aku jatuh cinta padamu.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com






Menggenggam Dunia – (12) Wanita Berjilbab

Keesokan harinya, aku bersama dengan Rahmat berjalan mengelilingi pasar untuk mencari bahan kebutuhan sehari-hari dan sebuah kado untuk Ratih. Cuaca yang sangat panas, keadaan pasar yang penuh sesak, dan ramai dengan kegiatan tawar menawar antara penjual dan pembeli, bergabung menjadi satu wadah dalam sebuah pasar tradisional.

Mungkin beda ceritanya bila aku berada di kota. Tanpa berdesak-desakan, dengan air conditioner yang sejuk, dan bahan belanja yang tertata rapih, dengan mudah aku bisa mengunjungi pasar swalayan atau yang lebih dikenal dengan supermarket.

Belanja di pasar tradisional, membuat bajuku dibasahi oleh keringat. Tak heran perkiraan suhu di pasar telah mencapai tiga puluh enam derajat celcius, sama saja dengan suhu tubuh manusia. Suatu desa dengan cuaca sejuk di waktu pagi, panas di waktu siang, hangat di waktu sore, dan dingin di waktu malam. Bagaimana bila aku berada di timur tengah dengan suhu yang lebih menggila? Alamak.

Waktu telah menunjukan pukul sebelas siang. Kami baru membeli bahan makanan pokok. Rencananya kami akan membelikan kue ulang tahun untuk Ratih, walaupun telat membelikannya tetapi tidak apa. Ratih mungkin akan sangat senang dengan pemberian kue tersebut, itulah harapanku.

Tujuanku saat ini adalah toko kue yang tak jauh dari pasar ini. Perkiraan untuk menuju sana sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki. Terlihat Rahmat sudah nampak kelelahan, mungkin aku terlalu memaksakan kehendak untuk mengajaknya berjalan.

“Met, mau istirahat dulu?” tanyaku.

“Langsung saja, Kak. Nanti istirahat di rumah saja.” Jawabnya dengan lemas.

“Benar tidak apa-apa?” tanyaku meyakinkan.

“Mungkin, hehe.” Candanya walau terlihat memaksakan.

Walau sedikit tidak tega pada kondisi Rahmat, aku terus melanjutkan perjalan sembari memegangi tangan kiri Rahmat. Ketika hampir tiba di toko kue, tiba-tiba Rahmat menghentikan langkah. Terlihat ia seperti menahan rasa sakit. Dengan erat ia menahan dan memegangi tanganku. Aku melihatnya memasang raut muka yang terasa  kesakitan.

“Met, lebih baik kita istirahat dulu. Kita duduk dulu, ya?” tanyaku khawatir.

Tak lama kemudian, ia terjatuh di hadapanku. Ia jatuh tak sadarkan diri. Dengan segera aku menahan jatuhnya dan segera memeriksa kondisi Rahmat. Ternyata badannya panas dan denyut nadi terasa lemah.

Untungnya suasana di depan toko kue tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang melihat Rahmat terjatuh. Merekapun dengan ikhlas membantuku untuk memindahkan Rahmat yang terkulai lemas ke tempat teduh.

“Mas, kenapa anak ini?” tanya lelaki berkumis tebal yang membantu mengangkatkan Rahmat menuju tempat teduh.

“Sepertinya dia kecapekan, terima kasih atas bantuannya Pak, Bu.” Sahutku Ramah kepada orang yang telah menolongiku.

“Tidak apa-apa kami tinggal?” tanya seorang ibu yang memegang tas belanjaan.

“Tidak apa-apa. Maaf merepotkan.” Jawabku ramah.

Merekapun pamit, dan menitipkan pesan untukku agar lekas pulang ke rumah, dan merawat bocah yang imut ini. Aku hanya mengiyakan kata mereka, walau agak geli dengan kata imut.

Aku mencoba untuk membangunkan Rahmat, tetapi satupun tak ada reaksi darinya. Aku merasa bersalah padanya, seharusnya aku harus mengerti kondisi Rahmat, dan seharusnya pula aku menjaga Rahmat dengan baik sesuai dengan amanah yang telah diberikan padaku.

Ya, lebih baik aku segera pulang.

Aku menggendongnya pada punggungku, kurasa Rahmat sangat lemas sekali tanpa tenaga. Ketika hendak beranjak dari depan toko kue, dihadapanku berdiri seorang wanita berjilbab yang terlihat anggun dengan pakaian muslimahnya. Ia memegang sebotol air pada tangannya.

“Maaf, mungkin anda akan memerlukan air minum ini.” Sahutnya sembari menundukan wajahnya dan menunjukan sebotol air.

“Oh maaf tidak usah, terima kasih banyak atas tawarannya. Sekarang kami akan pulang.” Jawabku.

Aku merasakan gerakan tangan Rahmat. Ia sadarkan diri, terlihat raut mukanya terasa gelisah.

“Kak, Mamet lemas sekali” rintih Rahmat.

“Sabar ya, kita sekarang pulang.” Sahutku lembut.

“Kak, haus.” singkat kata Rahmat.

Wanita berjilbab itu mendekatiku sembari membuka botol air yang bersegel. Raut wajahnya datar dan selalu menunduk.

“Insya Allah, apabila ia minum ini anakmu akan baik-baik saja.” Jawab wanita berjilbab.

Anak? Tampaknya wanita ini salah paham tentang hubunganku dengan Rahmat, tetapi biarlah tidak penting untuk dibicarakan. Dengan senyum aku menerima pemberian dari wanita yang mungkin umurnya sebaya denganku. Sebaiknya aku percaya dengan penampilannya yang terlihat ikhlas membantuku. Karena bila yang memberi botol air dengan penampilan yang tidak meyakinkan, aku tidak akan berani menerimanya.

Perlahan aku turunkan Rahmat dari gendonganku, dan menyandarkannya pada tanganku.

“Mamet, minum dulu ya.” Sahutku mendekati botol pada mulut Rahmat.

Perlahan Rahmat meminum air, tampaknya ia sangat kehausan. Mukanya terlihat sangat pucat, dan keluar keringat dingin di sekitar lehernya.

Sangat kebetulan sekali, ada seseorang yang tidak dikenal dengan ikhlas menawarkan air putih pada Rahmat. Aku sangat berterima kasih sekali padanya.

Saat pandanganku beralih dari Rahmat, wanita berjilbab tersebut telah menghilang dari hadapanku dan tanpa sepengetahuanku. Cepat sekali ia menghilang, padahal aku ingin mengucapkan terima kasih padanya sebagai balas budi.

Datang tiba-tiba, pulangpun tiba-tiba. Aku berharap pada Tuhan agar membalas amal perbuatannya, amin.

Setelah meminum air pemberian wanita berjilbab itu, kondisi Rahmat agak membaik. Perlahan aku mengendongnya kembali, dan beranjak untuk menuju rumah.

***
Setiba di rumah, aku membaringkan Rahmat pada ranjang. Ia tertidur sangat pulas sekali. Wajah putih berhitung mancung itu terlihat lemas tak berdaya. Berbeda sekali dengan semangat ia saat bermain bola.

Dengan seadanya aku memeriksa kondisi Rahmat lebih lanjut, dari pergelangan tangan, leher, dada, nafas, dan suhu tubuhnya.

Ternyata ia demam, suhu tubuh terlalu tinggi. Mungkin ia sangat kelelahan akhir-akhir ini, atau mungkin ia mempunyai beban berat pada pikirannya.

Aku mengambil sebuah baskom yang kuberi air dingin. Penanganan sementara yang tepat untuk orang yang mengidap demam, pertama kali adalah dengan mengompres air dingin pada dahi atau leher.

Lap tangan yang telah dibasahi oleh air dingin kutempelkan perlahan pada dahinya yang matanya masih terpejam rapat.

Sembari menunggunya bangun, aku membuat obat sederhana dari bahan alami yang akan kupakai untuk pengobatan tradisional penderita demam pada kanak-kanak. Sebuah jeruk nipis yang diperas untuk diambil airnya, lalu bawang merah diparut dengan parut yang dilapisi daun. Perasan jeruk nipis parutan bawang merah ditambah garam itu aku campurkan dengan minyak. Selesai. Setelah kubuat ramuan sederhana, aku kompreskan perlahan pada ubun-ubun Rahmat.

Semoga dengan obat tradisional yang kubuat dapat mengurangi rasa sakit yang diderita Rahmat. Melihat Rahmat membuatku terkenang akan masa lalu, ketika berumur sepuluh tahun aku terbaring lemas tak berdaya di rumah sakit karena penyakit diare. Beruntungnya saat itu, aku masih didampingi oleh ibu kandungku yang rela meninggalkan pekerjaan hanya untuk berada di samping anaknya yang sedang sakit. Kasih sayang yang ia berikan membuatku nyaman walau dalam keadaan sakit. Belaian tangan pada wajahku membuatku merasa terlindungi disaat tak berdaya.

Oh Ibu, aku jadi teringat disaat kanak-kanak pernah membuatkan puisi indah untukmu. Dan engkau sambut dengan tangis kebahagiaan yang engkau ungkapkan untukku. Kecupan kasih sayang pada pipiku masih terkenang dan terasa hingga aku beranjak pada umur tiga puluh tahun ini.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com








Menggenggam Dunia – (11) Jatuh Hati

Ketika tiba di depan rumah, aku melihat Rahmat dengan berseragam olahraga dan menggunakan tas punggungnya, sedang bermain bola menggunakan sundulan kepala, kedua paha, bahu, dan tentunya kedua kaki. Sungguh hebat dia memainkan bola layaknya pemain profesional. Mungkin dia telah terbiasa bermain bola bersama temannya, sehingga dengan amat mudah ia menari bersama bola.

Melihat Rahmat seakan melihat masa laluku saat bermain bola di SMA. Tetapi untuk seumuran Rahmat, hal ini termasuk luar biasa. Bayangkan saja, aku bisa lancar bermain bola ketika berumur sebelas tahun, sedangkan Rahmat dengan tubuh kecilnya yang berumur delapan tahun sudah lebih mahir.

Aku selalu membandingkan Rahmat dengan pribadiku sendiri. Semakin lama aku semakin mengenali Rahmat persis dengan diriku saat masa kecil. Perbedaannya hanya dari status sosial. Aku keturunan orang berada, sedangkan ia turunan dari orang yang amat berkecukupan, bahkan bisa dibilang juga kekurangan.

Daritadi aku terus memperhatikan gerak-gerik Rahmat yang asyik memainkan bola. Perlahan aku mendekati tepat di belakangnya, niat jahat untuk mengagetkannya terlintas dalam benakku. Serasa ingin tahu, bagaimana ekspresi kaget dari bocah perawakan kecil berkulit putih ini.

Belum sempat untuk mengejutkannya, tiba-tiba sasaran bola menuju tepat di wajahku. Bruk. Auw. Bola yang telah terkotori debu itu, menepuk keras terutama di bagian hidung. Sehingga, hidungku keluar darah alias mimisan.

“Kak Arkan?” kagetnya yang baru menyadari keberadaanku.

“Mamet?” jawabku sedikit bercanda meniru gerakan kaget Rahmat.

“Maaf Kak, Mamet tidak sengaja. Mamet gak tahu, kalau ada Kakak di belakang Mamet. Maaf Kak.” Ibanya memohon sambil menunduk.

“Yah, lagian Kakak juga yang tadinya niat ngagetin Mamet, hehe. Eh, malah Kakak yang kena kejutan dari bolanya. Gak apa-apa, lagian, ini bisa cepat sembuh.” Jawabku sembari menahan darah yang keluar dari hidung.

Rahmat terlihat menyesali perbuatannya. Apabila berada di posisi Rahmat, mungkin aku akan sangat menyesal telah mencelakakan orang hingga terluka.

“Ya sudah, ayo masuk.” Ajakku semangat.

Kami berdua pun masuk rumah. Rahmat lekas mengganti seragam dengan baju rumah, sedangkan aku mengambil handuk kecil serta sebaskom air dingin untuk meredakan darah yang keluar, dengan cara mengompres pada leher dan di atas hidung. Aku melepas lelah dengan duduk di kursi.

“Masih sakit, Kak?” khawatir Rahmat.

“Lumayan, tapi sekarang agak mendingan. Tadi Mamet nunggu Kakak lama ya?” tanyaku.

“Lumayan, Kak. Tadi Kakak habis dari mana?”

“Rumah Pak Romli.”

“Pak Romli? Guru ngajinya Rahmat?” tanya ia heran.

“Iya, kenapa Met?”

“Gak apa-apa, Kak. Mamet senang kalau Kakak sudah kenal akrab dengan Pak Romli. Orangnya ramah dan sabar, Kak.” Pujinya.

“Iya, nanti kapan-kapan kita silaturahim ke rumahnya. Gimana kalau besok sore? Besok hari Minggu, Mamet punya waktu luang toh?”

“Boleh Kak.” Jawabnya sembari duduk di sampingku.

Darah yang keluar dari hidung masih merembas dan membasahi handuk. Aku jadi teringat akan masa laluku. Terakhir kali hidung berdarah, disaat aku berada di bangku kelas empat SD. Saat-saat yang memalukan, tetapi menjadikan kenangan yang tak akan terlupakan di masa kecilku.

Ketika itu, aku sedang berjalan dan melihat sahabatku yang bernama Rizal sedang berbicara akrab dengan temanku yang bernama Putri. Dengan cepat aku menanggapinya dengan guyonan yang menyebutkan bahwa mereka sepasang kekasih. Swit, switt. Aku pun tertawa geli melihat mereka. Tetapi mereka membalasnya dengan guyonan juga.

Karena saking puasnya untuk mengerjai mereka, tanpa sadar di hadapanku terdapat dinding kelas dan aku pun menabrak dinding itu hingga hidungku mengeluarkan darah. Sakitnya, bukan hanya sakit karena mimisan saja, tapi juga sakit karena malu ditertawakan teman-temanku yang melihat.

Dari pengalaman itu, aku mengambil pelajaran. Bahwa kita memalukan orang, tetapi suatu saat kita akan dipermalukan orang. Makanya jangan sampai kita memalukan orang. Huhuhu. Mengingat masa SD, membuatku teringat dengan sekolah Rahmat.

“Oh ya, gimana pelajaran di sekolah?” tanyaku.

“Tadi ada pelajaran olahraga dan Mamet main bola bersama teman-teman. Asyik banget Kak. Mamet bisa cetak empat gol ke gawang lawan.” Jawabnya dengan girang.

Aku tersenyum melihat tingkah Rahmat, dan aku tidak perlu heran dengan permainan sepak bolanya yang luar biasa.

“Sip, nanti Kakak tantang Mamet main sepak bola, Ok?” tantangku.

“Ok Kak.”

“Lalu gimana dengan persiapan murid teladan?”

“Tadi Mamet ketemu dengan Pak Rudi, katanya mulai hari ini Mamet harus mengurangi bermain untuk persiapan lomba. Dan mulai hari Senin, Mamet diberi tambahan jam pelajaran setelah pulang sekolah, selama satu jam.” Paparnya.

“Memang, untuk mencapai peringkat juara kita harus belajar dengan giat dan tidak menggunakan waktu dengan sia-sia, kecuali untuk pengembangan diri. Ingat nasihat dari Kakak, ya?”

“Yo’i, Kak.” Jawabnya dengan gaul.

“Wuih, yo’i? Belajar darimana bro?” jawabku tak kalah gaul.

“Hehehe, teman Mamet suka pake kata-kata itu.”

“Asalkan jangan kata yang kasar dan tidak sopan, yang Mamet tiru. Ok?”

“Ya, Kak.”


“Ok bocah, biar tambah pintar kita makan siang dulu.” Ajakku sembari menaruh handuk dan baskom yang telah kupakai, hingga mimisan yang mereda.

“Ok bro. Hehehe.” Jawab ia dengan candanya.

***
Tok. Tok. Tok.

Disaat aku sedang menyetrika pakaian, terdengar suara pintu. Rahmat dengan segera membukakan pintu. Saat dibuka, berdiri seorang wanita yang anggun dan berkarisma dengan senyum yang merekah serta rambut yang terurai indah. Ia adalah Ratih sang Bunga Desa.

Ratih membawa rantang tertutup, kemungkinan isi dari nampan itu adalah makanan untukku dan Rahmat.

“Maaf Mas Arkan, Ratih mengganggu.” Ucap ia dengan sopan.

Seketika melihat tingkah dari Ratih, hatiku berdebar kencang. Aku menutupi kekagumanku dengan tersenyum padanya, walau mungkin terlihat aneh.


“Loh Kakak? Itu kan baju kesayangan Kak Arkan?” tanya Rahmat memecahkan pandanganku pada Ratih.

Alangkah terkejutnya diriku bagaikan tersambar petir dan gemuruh halilintar, baju yang kusetrika telah hangus dan membuat salah satu baju kesayanganku bolong. Dengan lekas aku mencopot kabel setrika dari listrik.

Entah apa perasaan yang aku luapkan. Mungkin apabila tidak ada Ratih dihadapanku, pasti tingkahku akan sangat tak karuan. Mungkin juga apabila dibayangkan seperti anak kecil yang diambil mainannya dan merengek, karena baju yang gosong itu adalah baju penuh kenangan. Tetapi ini lain, rasa tak karuan itu harus terpaksa disembunyikan, hanya karena seorang Ratih yang ada dihadapanku.

“Eh, hemp ini. Tidak apa-apa, ini sebagai corak baju, biar tambah keren.” Jawabku sekananya.

“Yah Kak. Itu sih bukan tambah keren, tapi bajunya udah compang-camping.” Jawab Rahmat.

Lagi-lagi aku salah tingkah dengan keberadaan Ratih dihadapanku.

Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa?

“Mas, ini ada titipan dari Ibu. Syukuran ulang tahun.” Potong Ratih dengan senyum yang lembut dan menawan.

“Siapa yang Ulang tahun, Mba Ratih?” tanya Rahmat.

“Hari ini Mba ulang tahun, Mat. Doakan Mba ya, adik imut.” Balas Ratih sembari megelus lembut rambut Rahmat. Terlihat bagaikan sosok ibu.

“Wah, selamat ulang tahun, Mba Ratih. Semoga keinginan Kakak bisa terkabulkan.” Jawab Rahmat dengan ceria.

Alangkah nyamannya melihat Ratih tersenyum dan bahagia, dia sangat menyayangi Rahmat. Hal itu terlihat jelas dari cara pandangannya, cara berbicara, dan dari tingkahnya. Untuk pertama kalinya, aku menemukan wanita yang membuatku nyaman setelah ibu kandungku.

“Kak Arkan, kenapa tidak mengucapkan selamat ulang tahun ke Mba Ratih?” tanya Rahmat yang terlihat memiliki maksud lain menanyakan itu padaku.

“Oh ya, selamat ulang tahun ya Ratih.” Jawab singkatku. Mungkin apabila aku ngomong ini dan itu akan terlihat salah tingkah.

Ratih memberikan rantang itu pada Rahmat. Rahmat terlihat senang dan aku hanya tersenyum pada mereka. Melihat mereka bagaikan seorang ibu dan anaknya, dan lebih pantas lagi kalau aku yang jadi Bapak dari mereka.

“Mas, aku pamit pulang dulu.”  Sahut Ratih dengan ramah.

“Ya, terima kasih, Ratih. Sampaikan ucapan terima kasih kembali pada ibumu.” Jawabku dengan ramah.

“Terima kasih ya, Mba Ratih.” Sambung oleh Rahmat.

Setelah Ratih keluar dari rumah, perlahan Rahmat melihatiku sembari menahan tawanya. Aku paham maksudnya, Rahmat bermaksud menyindirku.

“Ada apa bocah?” tanyaku pura-pura tidak mengetahui maksudnya.

“Gak ada apa-apa, Kak. Kalau dilihat-lihat, Kak Arkan sama Mba Ratih cocok, loh.” Sindirnya.

“Cocok dalam arti apa tuh? Sebagai teman? Tetangga? Atau..”

“Istri.” Jawab Rahmat dengan singkat memotong perkataanku.

“Huss.” Balasku.

“Kenapa huss?” tanya Rahmat.

“Belum waktunya.” Jawabku sekenanya.

“Kapan waktunya, Kak?”

“Kapan-kapan.”

“Jadi beneran donk, Kak Arkan mau istri seperti Mba Ratih.”

“Menurut Rahmat?” tanyaku perlahan mendekati Rahmat.

“Cocok.” Jawab Rahmat singkat sembari menaruh rantang pemberian Ratih.
 
“Kenapa Cocok?”

“Tampan dan cantik.”

“Wah, kamu bisa saja.”

“Bisa-bisa saja.”

“Lalu Kak Arkan harus bagaimana?”

“Umur Kak Arkan dengan umur Mba Ratih sudah cukup untuk menikah, toh?”

“Jadi maksud Mamet, Kakak nikah dengan Mba Ratih?”

“Yoi, Kak.”

Lekas aku menutupi wajah Rahmat dengan bantal yang berada di dekatku, dengan canda dan tawa. Walau tidak pantas dikatakan Rahmat, tetapi perkataan dia ada benarnya juga. Ya, suatu saat bila hati jatuh pada sang Bunga Desa, aku akan melamarnya.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com









Selasa, 11 Juni 2013

Menggenggam Dunia – (10) Pengalaman Berharga

Pagi ini aku masih merasakan kantuk, tak seperti hari biasanya. Mungkin karena aku tidur hingga larut malam, karena kurang tidur dapat mengurangi konsentrasi manusia.

Terlihat Rahmat yang sangat bersemangat di pagi ini. Ia bangun lebih cepat dariku.. Baju yang ia pakai adalah seragam olahraga sekolah. Mungkin ini salah satu penyebab ia bersemangat di pagi ini, karena kutahu bahwa Rahmat pecinta olahraga.

Setelah persiapan untuk berangkat sekolah selesai, ia langsung sarapan dengan makanan yang kubuat. Menu sarapan pagi hari ini, dengan nasi goreng yang kucampuri dengan potongan sosis.

“Kak, hari ini ada pelajaran olahraga. Mamet bawa bolanya, ya?” pinta Rahmat.

“Bawa saja Met. Nanti pulang sesuai jadwal atau ada kegiatan di sekolah?” tanyaku.

“Sepertinya tidak ada, Kak. Tapi mungkin saja Mamet di tahan sama guru buat belajar persiapan murid teladan se-SD.” Jawabnya.

“Hati-hati saja, nanti pulang harus bawa  kejutan lagi buat Kakak. Ok.” Tantangku.

“Yah, kalau itu Mamet gak janji.” Tawa Mamet.

Setelah selesai makan, ia sempatkan diri untuk membaca buku sembari menunggu teman-temannya datang.  Kali ini, buku yang ia baca adalah buku teknik sepak bola, yang kubelikan saat di toko buku. Tidak percuma, aku membelikan buku mengenai semua pelajaran, karena pasti akan dibacanya.

Tak lama kemudian, Saiful dan teman-temannya datang menjemput Rahmat. Rahmat mengucapkan salam kepadaku diikuti dengan ucapan salam dari teman-temannya. Pagi ini mereka terlihat cerah dengan wajah yang berseri. Indahnya masa kanak-kanak.

Setelah mereka pergi, suasana kembali tenang, kicauan burung sesekali meributkan pagi ini.

Sekarang pukul tujuh siang, dan Rahmat pulang tengah siang. Untuk menghilangkan rasa kantuk, lebih baik aku olahraga dengan berjalan mengelilingi desa ini.

Akupun bersiap keluar mengelilingi indahnya pemandangan desa. Tujuan utamaku adalah lapangan bola.

Ketika di perjalanan, seperti biasa beberapa orang yang kukenal menyapa diriku. Aku melewati rindangnya sawah yang terhampar luas di desa ini. Setiba di lapangan bola, tak seorangpun yang kulihat disana.

Lapangan dengan tanah becek berlumpur dan hanya ditumbuhi sedikit rumput terhampar di sekitar rumah penduduk desa. Dua gawang yang terbuat dari bambu, menancap di seamping kanan dan kiri tempat aku berdiri. Aku berjalan mendekati tengah lapangan, dengan perlahan kututupi kedua mata ini, sembari merasakan hawa pagi yang sejuk di desa yang asri ini.

Dengan mata terpejam, kulamuni masa laluku. Masa disaat aku mencari jati diri. Suatu masa disaat aku banyak melakukan sesuatu yang baru, sesuatu yang unik, sesuatu yang membanggakan, dan sesuatu yang menyakitkan. Ya, tiada lain adalah masa remajaku.

Aku teringat disaat bermain sepak bola bersama teman sebayaku, ketika itu akulah yang menjadi bintang lapangan bagaikan striker yang ditakuti oleh para lawan. Beberapa cetakan gol telah aku masukan ke gawang lawan, penuh kegembiraan dan penuh keharmonisan.

Disisi lain, aku mengenang saat-saat bersejarah dalam hidup di usia remaja. Saat yang merupakan kebanggaan tersendiri dan menjadi sebuah bekal dasar untuk pekerjaanku sekarang. Ya, aku pernah memenangi olimpiade Biologi tingkat Nasional peringkat kedua.

Dengan kemampuan yang ada, walau saat bersejarah itu kondisiku sedang memburuk. Tetapi berkat karunia-Nya, aku dapat menyelesaikan tantangan olimpiade pada posisi runner up.

Apabila kondisiku sehat, akan memungkinkan untuk mendapat gelar juara olimpade Biologi SMA tingkat Nasional. Tak apa, walau demikian  aku sangat mensyukuri hal itu. Para guru dan teman pun bangga denganku. Bukan hanya bangga dari hasil runner up, tetapi karena kegigihanku belajar suntuk dari pagi berangkat sekolah, waktu istirahat kugunakan untuk belajar, dan pulang pun kugunakan untuk kegiatan les.

Teman-temanku banyak yang mengatakan bahwa aku terlalu memaksakan diri. Mungkin mereka benar, tiga pekan aku menjalani kegiatan rutin untuk menjelang olimpiade Biologi, kondisiku memburuk. Guru pembimbingku, memberi pernyataan tegas sekaligus pertanyaan antara ya atau tidak untuk kesanggupanku mengikuti olimpiade Biologi.

Saat mendapatkan pertanyaan tegas dari guru, aku sangat ragu dan bimbang karena dengan hasil yang jelek pada olimpiade itu, akan membawa dampak buruk bagi nama baik sekolah. Tetapi pertanyaan diajukan pada waktu itu dan harus dijawab pada waktu itu pula, dengan hati yang berat kupaksakan untuk menjawab, Ya.

Dengan perjalanan yang panjang menempuh papan atas, ditambah dengan dua kali pingsan, sekali muntah, dan beberapakali dibawa ke dokter, akhirnya aku mendapatkan hasil yang setara dengan kerja kerasku, juara dua. Ini merupakan pengalaman berharga dan sebagai motivasi diri untuk kedepan yang lebih baik.

Mataku terus terpejam, berdiri tepat di tengah lapangan dengan merasakan hembusan angin sejuk dan sinar mentari yang hangat. Kicauan burung meramaikan pagi, bagaikan alur musik yang berirama. Sambil mendengar kicauan burung, aku mendengar suara langkah kaki tepat dibelakangku. Kubuka mata dan membalikan tubuhku ke asal suara.

“Assalamualaikum, Mas.” Sapa seseorang, yang berada tepat di belakangku.

Aku sangat terkejut ketika membalikan badan terdapat seorang bapak tepat dihadapanku dengan senyum yang ramah. Ternyata yang menyapaku adalah guru ngajinya Rahmat.

“Waalaikumsalam.” Jawabku dengan tersenyum membalasnya.

“Mas Arkan, sedang apa di sini?” tanya beliau.

“Oh, saya cuma ngisi waktu luang dengan jalan-jalan.” Ramahku.

“Wah kebetulan sekali, ayo mampir ke rumah saya. Sekali-kali silaturahim.” Ajak Pak Romli.

Tidak ada salahnya aku mampir ke rumah gurunya Rahmat. Beliau terlihat ikhlas mengajakku.

“Boleh Pak. Dengan senang hati.” Ucapku.

Akupun mengikuti Pak Romli menuju rumahnya. Yang tak jauh dari tempat pengajian. Sebuah rumah yang sederhana, tetapi terlihat sangat elegan. Ketika aku memasuki rumah, seorang ibu berjilbab dan bermuka lembut menyambutku dengan hangat.

“Subhanallah, ini Mas Arkan yang di ceritakan Bapak, ya?” tanya ibu itu pada Pak Romli.

“Iya Bu. Alhamdulillah dia mampir ke rumah kita.” Jawab Pak Romli dengan senyuman.

“Saya istri dari Pak Romli, perkenalkan nama saya Ibu Fatimah.” Ramahnya.

“Saya Arkan.” Jawabku tak kalah ramahnya.

“Mas Arkan silahkan duduk.” Ajak Pak Romli.

“Terima kasih, Pak.” Balasku.

Aku dan Pak Romli duduk di ruang tamu yang kecil, tetapi tertata rapih.

“Ibu, bisa diambilkan minum buat Mas Arkan?” pinta Pak Romli.

“Aduh, terima kasih sekali. Tidak usah repot-repot.” Tolakku dengan sedikit malu.

“Tidak apa-apa, Mas. Biar saya ambilkan dulu.” Jawab Ibu Fatimah dan beranjak masuk mengambilkan minum.

Sungguh luar biasa. Keluarga ini menyambutku dengan penuh kehangatan dan kerukunan. Mereka menyambutku layaknya seorang raja.

Saat duduk di ruang tamu ini, aku melihat beberapa pajangan foto. Terlihat foto keluarga, yang terdiri dari Pak Romli, Ibu Fatimah, dan dua orang perempuan. Mungkin anak mereka.

“Dua orang yang berjilbab itu, foto anak Bapak ya?” tanyaku.

“Benar, salah satu di antara mereka sedang kuliah, sekarang semester tujuh. Sedangkan Kakaknya sudah bekerja sebagai Psikolog. Alhamdulillah anak saya yang pertama itu telah membuka praktik.” Papar Pak Romli.

Pekerjaan ayah dan anak memang tak jauh berbeda. Pak Romli sebagai ustad yang mengayomi penduduk desa dalam bidang beragama, sedangkan anak pertamanya berkerja sebagai psikolog yang memberi ilmu kejiwaan pada masyarakat umum.

Terlihat, Ibu Fatimah membawakan dua gelas teh dan toples berisi makanan ringan, ia membawanya menggunakan nampan merah. Makanan dan minuman ia suguhi di depan meja, di hadapan tempat aku duduk.

“Ayo, Mas Arkan. Silahkan diminum. Mumpung masih hangat.” Tawarnya.

“Terima kasih banyak. Maaf kedatangan saya jadi merepotkan.”

Aku, Pak Romli dan Ibu Fatimah berbincang akrab. Tema perbincangan kemana-mana, di antaranya membahas tentang keunikan desa, warga desa, suka dan duka di desa, tentang anak-anak mereka, sampai hal yang mistis mereka cerita. Tetapi pada hal yang mistis, mereka tak sepenuhnya percaya. Mereka pikir bahwa itu hanyalah ulah orang yang tidak bertanggungjawab, yang hanya menjadikan cerita itu sebagai lelucon untuk menakuti anak-anak.

Yang membuatku bangga dengan cerita mereka adalah perjuangan salah satu anaknya hingga menjadi anak yang berbakti pada orang tua.


Anak mereka yang pertama bernama Anisa. Ia dahulu adalah seseorang yang selalu membantah perkataan kedua orang tuanya. Pak Romli dengan sabar membimbing Anisa menjadi seseorang yang menghargai hidup dengan cara mengadakan pengajian di rumahnya, dan mendatangkan penceramah bagi tamu undangan. Mau atau tidak, Anisa pasti akan mendengarkannya.

Sampai suatu ketika, Anisa disadarkan oleh kejadian nyata yang menimpa sahabat karibnya. Sahabat yang dicurigai membawa dampak buruk terhadap perilaku Anisa, tewas kecelakaan dengan kondisi yang mengenaskan. Kabar yang mereka dengar bahwa temannya, kecelakaan setelah bertengkar hebat dengan kedua orang tuanya. Teman tersebut membantah perintah orangtua dan kabur dari rumah membawa sepeda motor milik ayahnya. Ketika di perjalanan, ia menabrak truk pembawa tangki minyak, dan tewas setelah menderita kesakitan selama dua jam.

Apabila dibayangkan, ini memang benar-benar cerita tragis dan mengerikan. Pantas saja Anisa menyadari kesalahannya, bahwa ia selalu membantah perintah orang tuanya. Hikmah yang dipetik dari ceramah beberapa ustad dan ayahnya sendiri, ia gabungkan dengan kejadian malang yang menimpa temannya.


“Allah akan memberikan hikmah di setiap cobaan-Nya. Saat Anisa membantah kami, kami tak perlu sedih. Sebab kami berdoa supaya Allah menyadarkan Anisa, dan kami harus yakin bahwa akan dikabulkan. Tapi bukan hanya meyakini saja doa itu akan langsung dikabulkan. Kita sebagai hamba Allah dan khalifah yang berada di Bumi, harus menjalankan beberapa kewajiban dan sunah kepada Allah.” Papar Pak Romli panjang lebar, menberikan rangkaian hikmah dari masa lalu anaknya.

“Dan sekarang Alhamdulillah, kami melihat perubahan drastis pada diri Anisa. Sekarang ia telah kembali pada jalan yang benar, dan mengutamakan kewajiban ia sebagai hamba-Nya.” Jelas Ibu Romli.

“Pengalaman spiritual anak Bapak dan Ibu, yang penuh hikmah.” Senyumku.

Tak terasa waktu hampir menunjukan tengah siang, setalah melakukan perbincangan akrab dengan Bapak Romli dan Ibu Fatimah. Aku pamit diri pada mereka. Tanpa ragu mereka memintaku untuk mampir lagi di lain waktu, dan aku hanya menjawab Insya Allah.

Matahari yang semakin panas, membuatku mandi keringat saat beranjak menuju rumah. Tetapi alangkah beruntungnya hari ini, aku dapat mengambil pembelajaran berharga mengenai kehidupan.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com









Kisah Sang Suami Baik Yang Sangat Mengharukan..hiks

Kisah nyata yang akan membuat setiap orang terharu setelah membacanya ini saya dapatkan dari sebuah notes di facebook bernama Rina Amalina, semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita semua terutama bagi kaum hawa yg sudah berkeluarga. Saya memberanikan diri untuk sharing tulisan ini disini karena di notes tersebut tertulis :

Silahkan berbagi tulisan ini kepada saudara, teman,kerabat anda. Saya berharap pengalaman yg saya miliki dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.”
Jadi atas dasar itu saya mencoba untuk membantu sharing disini, syukur2 teman2 disini juga akan melakukan sharing di tempat laen dan tetap tanpa lupa etika dalam melakukan sharing terhadap tulisan orang lain adalah memberikan sumbernya. Berikut kisahnya :

Ini adalah kisah nyata di kehidupanku. Seorang suami yg kucintai yang kini telah tiada. Begitu besar pengorbanan seorang suamiku pada keluargaku. Begitu tulus kasih sayangnya untukku dan anakku.
Suamiku adalah seorang pekerja keras. Dia membangun segala yang ada di keluarga ini dari nol besar hingga menjadi seperti saat ini. Sesuatu yang kami rasa sudah lebih dari cukup.
Aku merasa sangat berdosa ketika teringat suamiku pulang bekerja dan aku menyambutnya dengan amarah, tak kuberikan secangkir teh hangat melainkan kuberikan segenggam luapan amarah. Selalu kukatakan pada dia bahwa dia tak peduli padaku, tak mengerti aku, dan selalu saja sibuk dengan pekerjaannya.
Tapi kini aku tahu. Semua ucapanku selama ini salah dan hanya menjadi penyesalanku karena dia telah tiada. Temannya mengatakan padaku sepeninggal kepergiannya. Bahwa dia selalu membanggakan aku dan anakku di depan rekan kerjanya.
Dia berkata, “ setiap kali kami ajak dia makan siang, mas anwar jarang sekali ikut kalau tidak penting sekali, alasannya slalu tak jelas. Dan lain waktu aku sempat menanyakan kenapa dia jarang sekali mau makan siang, dia menjawab, “ aku belum melihat istriku makan siang dan aku belum melihat anakku minum susu dengan riang, lalu bagaimana aku bisa makan siang.”
Saat itu tertegun, aku salut pada suamimu. Dia sosok yang sangat sayang pada keluarganya. Suamimu bukan saja orang yang sangat sayang pada keluarga, tapi suamimu adalah sosok pemimpin yang hebat. Selalu mampu memberikan solusi-solusi jitu pada perusahaan.”
Aku menahan air mataku karena aku tak ingin menangis di depan rekan kerja suamiku. Aku sedih karena saat ini aku sudah kehilangan sosok yang hebat. Teringat akan amarahku pada suamiku, aku selalu mengatakan dia slalu menyibukkan diri pada pekerjaan, dia tak pernah peduli pada anak kita.
Namun itu semua salah. Sepeninggal suamiku. Aku menemukan dokumen2 pekerjaannya. Dan aku tak kuasa menahan tangis membaca di tiap lembar di sebuah buku catatan kecil di tumpukan dokumen itu, yang salah satunya berbunyi:
Perusahaan kecil CV. Anwar Sejahtera di bangun atas keringat yang tak pernah kurasa. Kuharap nanti bukan lagi CV.Anwar Sejahtera, melainkan akan di teruskan oleh putra kesayanganku dengan nama PT. Syahril Anwar Sejahtera.

Maaf nak, ayah tidak bisa memberikanmu sebuah kasih sayang berupa belaian. Tapi cukuplah ibumu yang memberikan kelembutan kasih sayang secara langsung. Ayah ingin lakukan seperti ibumu. Tapi kamu adalah laki-laki. Kamu harus kuat. Dan kamu harus menjadi laki-laki hebat. Dan ayah rasa, kasih sayang yang lebih tepat ayah berikan adalah kasih sayang berupa ilmu dan pelajaran.

Maaf ayah agak keras padamu nak. Tapi kamulah laki-laki. Sosok yang akan menjadi pemimpin, sosok yang harus kuat menahan terpaan angin dari manapun. Dan ayah yakin kamu dapat menjadi seperti itu.
Membaca itu, benar2 baru kusadari betapa suamiku menyayangi putraku, betapa dia mempersiapkan masa depan putraku sedari dini. Betapa dia memikirkan jalan untuk kebaikan anak kita.
Setiap suamiku pulang kerja. Dia selalu mengatakan, “ ibu capai? istirahat dulu saja”. Dengan kasar kukatakan, “ya jelas aku capai, semua pekerjaan rumah aku kerjakan. Urus anak, urus cucian, masak, ayah tahunya ya pulang datang bersih.titik.”
Sungguh, bagaimana perasaan suamiku saat itu. Tapi dia hanya diam saja. Sembari tersenyum dan pergi ke dapur membuat teh atau kopi hangat sendiri. Padahal kusadari. Beban dia sebagai kepala rumah tangga jauh lebih berat di banding aku. Pekerjaannya jika salah pasti sering di maki-maki pelanggan. Tidak kenal panas ataupun hujan dia jalani pekerjaannya dengan penuh ikhlas.

Suamiku meninggalkanku setelah terkena serangan jantung di ruang kerjanya, tepat setelah aku menelponnya dan memaki-makinya. Sungguh aku berdosa. Selama hidupnya tak pernah aku tahu bahwa dia mengidap penyakit jantung. Hanya setelah sepeninggalnya aku tahu dari pegawainya yang sering mengantarnya ke klinik spesialis jantung yang murah di kota kami.
Pegawai tersebut bercerita kepadaku bahwa sempat dia menanyakan pada suamiku.
“Pak kenapa cari klinik yang termurah? saya rasa bapak bisa berobat di tempat yg lebih mahal dan lebih memiliki pelayanan yang baik dan standar pengobatan yang lebih baik pula”
Dan suamiku menjawab, “tak usahlah terlalu mahal. Aku hanya ingin tahu seberapa lama aku dapat bertahan. Tidak lebih. Dan aku tak mau memotong tabungan untuk hari depan anakku dan keluargaku. Aku tak ingin gara-gara jantungku yang rusak ini mereka menjadi kesusahan. Dan jangan sampai istriku tahu aku mengidap penyakit jantung. Aku takut istriku menyayangiku karena iba. Aku ingin rasa sayang yang tulus dan ikhlas.”
Ya Robb..Maafkan hamba-Mu Ya Allah, hamba tak mampu menjadi istri yang baik. Hamba tak sempat memberikan rasa sayang yang pantas untuk suami hamba yang dengan tulus menyayangi keluarga ini.
Aku malu pada diriku. Hanya tangis dan penyesalan yang kini ada. Saya menulis ini sebagai renungan kita bersama. Agar kesalahan yang saya lakukan tidak di lakukan oleh wanita-wanita yang lain. Karena penyesalan yang datang di akhir tak berguna apa-apa. Hanyalah penyesalan dan tak merubah apa-apa.
Banggalah pada suamimu yang senantiasa meneteskan keringatnya hingga lupa membasuhnya dan mengering tanpa dia sadari.
Banggalah pada suamimu, karena ucapan itu adalah pemberian yang paling mudah dan paling indah jika suamimu mendengarnya.
Sambut kepulangannya di rumah dengan senyum dan sapaan hangat. Kecup keningnya agar dia merasakan ketenangan setelah menahan beban berat di luar sana.
Sambutlah dengan penuh rasa tulus ikhlas untuk menyayangi suamimu. Selagi dia kembali dalam keadaan dapat membuka mata lebar-lebar. Dan bukan kembali sembari memejamkan mata tuk selamanya.
Teruntuk suamiku.
Maafkan aku sayang.
Terlambat sudah kata ini ku ucapkan.
Aku janji pada diriku sendiri teruntukmu.
Putramu ini akan kubesarkan seperti caramu.
Putra kita ini akan menjadi sosok yang sepertimu.
Aku bangga padamu, aku sayang padamu.
Istrimu
Rina
Silahkan berbagi tulisan ini kepada saudara, teman, kerabat anda. Saya berharap pengalaman yg saya miliki dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.
------------------------------------Selesai-------------------------------------------
Sumber:  http://steppinoff.blogspot.com

Rabu, 05 Juni 2013

Cerpen Motivasi - Senyumlah, Selama Tak Perlu Penjepit Pipi

SENYUMLAH, SELAMA TAK PERLU PENJEPIT PIPI
Karya Fathi Zahra

Pagi ini, aku cuma berbaring di ranjangku, mendengar musik dari earphone, dan membiarkan nyamuk-nyamuk berkeliaran menyedot darahku.

Aku mengibaskan air asin yang bocor dari bendungan pelupuk mataku, beberapa kali menimpa tuts keyboard netbookku, kau tahu ? pagi ini aku berhasil membuat rekor 20 status galau per jam, dan sumpah serapah dua meter panjangnya di blog. gila kan !

Ya, segila segala sesuatu yang datang mendadak, lalu menghancurkan kebahagiaanku dalam festival olahraga nasional besok. besok !
"ray !"
Mama mulai lagi ritual ketuk pintu kamar a.k.a cemas padaku. meski malas, aku tak pernah membiarkan wanita lembut itu khawatir berkepanjangan, maka aku pun bangkit, berpaling sebentar dari netbook dan segala macam caci makiku, dan....

Bruk !
Tahukah kau bagaimana rasanya saat tulang ekormu menyentuh ubin dan berbunyi, tuk ! yah..mama langsung menyerbu masuk seperti burung yang di lempar biji jagung, kemudian ia membantu mendudukkan ku dikursi, kursi istimewa untuk orang cacat, kau tahu lah...
"ray, kamu harusnya bilang dong pintunya nggak dikunci, ada yang sakit sayang ?" mama memelukku seperti bayi yang baru saja jatuh dari atas kasur.

Aku lalu melepaskan pelukan mama, " ray enam belas tahun ma..., lagi pula tiga hari terakhir ini rasanya sekujur tubuh ray kaku kayak mayat, jadi biar pun ray jatuh seribu kali, nggak akan membuat ray kesakitan..."

Lagi, aku membuat mama menangis. dihadapannya aku sepertinya kuat, tapi sebenarnya aku karung basah. aku menangis, aku mengeluh dan membawa sumpah serapah pada apapun selain pada mama. pada mama aku tak berani mengeluh, mama sendirian, aku takut ia tak sekuat aku.

Ah, semuanya sejak aku terjun dari lantai tiga sekolahku, tiga hari dimana aku akan mengangkat namaku dan nama sekolahku diajang bulu tangkis nasional tingkat pelajar.

Teman-temanku sesama ekskul bulu tangkis dan teman-teman kelasku, datang kerumahku, bukan untuk memberiku selamat atas terpilihnya aku sebagai perwakilan sekolah diajang itu, tapi untuk memberiku buah-buahan, lalu mengucapkan ' semoga cepat sembuh, tetap semangat ya !' dan mereka pulang dengan sara syukur karena masih diberi kesehatan.

Dan dan saat semuanya begitu suram dalam setiap jengkal utakku, aku bertemu orang aneh yang mulutnya penuh dengan kata-kata penuh cinta, penuh harapan, dan aku mual saat itu.

Yang ku tahu namanya zen, usianya dua puluh tahun, ia seorang motivator dan penulis buku best seller yang mengajak orang semangat hidup bla..bla..bla...aku tak mengerti mengapa ia begitu terkenal, disukai banyak orang ? apa karena ia sempurna punya hidung mancung dan kulit yang putih ? atau karena ia bisa berdiri tegak..?
“berhentilah untuk mencoba membuat ku merasa lebih baik, karena aku takkan lebih baik lagi dari ini !” bentakku padanya suatu kali.

Ia tersenyum, menampakkan lagi wajah malaikat yang sesungguhnya meluluhkan hatiku, “aku nggak pernah mencoba membuatmu lebih baik, bahkan tak juga mencoba membuat orang lain lebih baik, kamu tahu ? aku Cuma bertugas membuat orang tersenyum selama ia tak perlu penjepit pipi..”

Aku tersenyum miris, “kamu pikir ini lucu ?”

Zen diam berpura-pura berfikir, “enggak.”

Sejak itu aku malah lebih sering bersamanya, ia seperti abang yang ada dimana-mana untukku, bahkan nyamuk saja tak pernah muncul saat aku mengharapkannya ?

Sejak aku bertemu abang baruku, aku kembali sekolah meski tak lagi dijuluki bintang bulu tangkis. Tak apalah, zen bilang untuk menjadi bintang aku tak perlu kaki dan tangan yang sempurna, aku cukup punya api yang membara di sini, di dadaku...
“tapi zen, bahkan untuk naik tangga sekolah saja aku merepotkan...”

Dan sejak itu pula aku mulai bisa menerima semuanya dengan lapang dada, aku mulai menyadari seperti yang zen bilang bahwa rayap tak pernah minta di tuntun untuk tahu betapa tanpa sepasang matapun ia bisa membangun sebuah menara.
“tapi zen...tapi zen....tapi zen...” dan semua tapi-tapian itu hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu dan aku mulai sibuk dengan kegiatan ilmiah disekolah. Aku mulai tak perlu lagi zen bermulut penuh busa untuk menghentikan setiap keluh kesahku.

Suatu kali, saat pulang sekolah zen datang ke rumah ku dan lucunya dia dengan dua penyangga kaki diketiaknya, “hei, zen, apa ini bagian dari semua hal yang kau rencanakan untuk membuat aku senyum tanpa penjepit pipi ?”

Zen tersenyum, “ ini bagian dari hidup...kamu tahu hidup tak pernah berhenti meski sebagian penting darinya tak lagi berfungsi, hem, kamu mengerti..?”

Aku mengangguk lalu tersenyum,”enggak zen, aku nggak ngerti, sekali-kali pake bahasa gaul kek..”
“suatu hari nanti kamu akan mengerti...”.

Ya, sampai dua minggu kemudian dan aku di tugasi Bu mela untuk mengadakan wawancara dengan pasien di rumah sakit blabla. Aku tak pernah mengerti kalimat yang di ucapkan zen saat terakhir kali bertemu denganku, aku tak berusaha mencarinya dan tak juga memohon mohon minta penjelasan kalimatnya itu, tidak ! mungkin dia sibuk, mama bilang ia orang hebat, ia mungkin sibuk !

Sudahlah, jangan-jangan nanti dia tiba-tiba alay dan saat aku memohon-mohon dia malah bilang, ‘mau tahu aja apa mau tahu banget ? kan berabe...

Di rumah sakit blabla, aku nampak benar seperti orang linglung, yah...bingung siapa yang harus ku wawancara, apa aku harus mewawancarai bayi baru lahir dan bertanya, bagaimana rasanya didalam perut ibu ? konyol.

Dan aku putuskan untuk bertanya pada entah siapa, yang duduk dikursi roda dan bertopi pandan yang sedang merenung dijendela besar rumah sakit ini.
“maaf..”aku menyentuh pundaknya perlahan, takut tiba-tiba dia berbalik dan mendorong kursi rodaku kejendela besar sampai kacanya pecah dan aku terbang seperti dulu.

Tidak, ia berbalik dan tidak mendorongku, ia malah membuat ku menjatuhkan papan dada dan pulpen yang ku pegang erat-erat, “kamu ?”
“ceritakan zen, dan mengapa ?! “aku seperti lupa hendak apa aku ke rumah sakit ini, aku tak perlu mewawancarai laki-laki bertopi pandan berkursi roda itu, ia zen !
“kau sudah menemukan jawabannya ray ?”zen lagi lagi tersenyum, ia cukup membuatku terkejut setengah mati.

Tiga hari kemudian aku tak pernah lagi mengharapkan kedatangannya kerumahku seperti biasa, sebenarnya aku takut, tapi aku tak bisa menampakkan betapa aku marah padanya, ia berbohong.

Sepulang sekolah, aku mengunjunginya di kamar blabla no blabla lantai blabla rumah sakit blabla, kau tahu ? sejujurnya aku ingin tertawa melihat kepala zen jadi plontos seperti bakso, tapi sekarang aku ingin menangis.
“zen, apa ini bagian rencana mu membuat aku merasa lebih baik..?” tanpa sadar aku menjatuhkan setetes air yang begitu cepat turun secepat semua kejadian ini.

Zen diam, selang oksigen dihidungnya bergerak sedikit pertanda zen masih mendengar suara ku yang sedikit terisak. Lalu zen berusaha tersenyum dengan susah payah...
“zen, mengapa kau sekuat itu ? kau tak pernah bilang bahwa kau juga sama sakitnya dengan aku...padahal kalau kau bilang, aku pasti akan cepat lebih baik...”

Zen tersenyum lagi, sepertinya bahkan hanya untuk menunjukkan senyum saja ia sulit, tapi aku menyadari tanpa kata-kata dan mulut berbusa, ia telah memberi ku satu kalimat lagi, ‘senyumlah selama kau tak perlu penjepit pipi...’.

Maka, aku mengusap air mataku dan aku bernafas lega, “ terima kasih zen...”.

Kau aneh zen ! kenapa kau begitu bodoh, kau biarkan jasadmu mati tapi kau malah meninggalkan kalimat-kalimat itu disini kau tahu ? kalimat itu takkan pernah hilang dari pikiranku selamanya, kenapa tidak kau bawa saja ? biar suatu saat kau bisa cerita pada semua penghuni syurga ?kau memang abang teraneh yang pernah ku kenal, tapi...

Thanks zen, sekarang aku sudah bisa berdiri tegak... 
Sumber:  http://artikelsenibro.blogspot.com

Pelukkan Tuhan - Cerpen Islam

PELUKKAN TUHAN
Karya Syafrina Robbania
 
Donika duduk termenung di bawah pohon Beringin. Dia tidak menghiraukan suara riuh yang ia dengar di sekitar tempatnya duduk itu. Baginya itu hanya pelengkap kesedihan. Gadis berusia 13 tahun itu memandangi teman-temannya yang berlarian tanpa menghiraukan keberadaannya. Meskipun waktu istirahat sekolah terasa menyenangkan bagi kebanyakan anak, namun tidak demikian dengan Donika . Ia justru merasa waktu istirahat adalah waktu yang sangat melelahkan dan membingungkan. Mungkin lebih tepatnya itu adalah waktu untuk menyambut mimpi buruk yang datang dalam kesadaran. Mimpi buruk yang tidak bisa dihentikan dengan mata terbuka. Dan hanya menyiksa batinnya.

Tidak ada seorang teman pun yang mengajaknya bermain pada jam istirahat itu. Mereka menjauhi Donika karena rambut Donika yang tidak pernah rapi. Berbeda dengan rambut teman-temannya yang sangat rapi. Donika memang tidak rajin menyisir rambutnya selama 2 minggu ini, karena ada luka bakar di kepalanya. Jika terkena sisir sedikit, akan terasa sakit. Luka itu ia dapat dari kecelakaan yang dialaminya 2 minggu lalu. Saat ia bermain dengan teman-teman di rumahnya. Saat mereka asyik bermain, secara tidak sengaja salah seorang temannya menyenggol sebuah lilin di atas meja. Lilin itu pun jatuh dan mengenai kepala Donika. Dan saat itu pula luka itu singgah di kepala Donika. Menurut dokter, luka bakar itu akan sembuh dalam jangka waktu 2 bulan. Dokter menyarankan agar Donika istirahat saja di rumah. Namun, Donika selalu ingin segera masuk sekolah. Kedua orang tuanya pun tidak bisa berkata apa-apa saat putri pertamanya itu memohon agar diizinkan masuk sekolah. Dan di luar dugaan, semua teman sekolahnya menjauh.
 
Menurut Donika, rambut yang dimilikinya bukanlah sesuatu yang dapat menimbulkan dosa besar. Untuk itu, dia sangat bingung dengan ulah teman-temannya. Mereka selalu mengolok-olok Donika semenjak luka itu ada. yang ada di pikirannya saat itu adalah “Apakah rambut dan luka bakar di kepalaku ini adalah pegatur rendah tingginya sikap seseorang terhadapku?”. Dia bingung dengan masalah yang ia hadapi saat ini.
“ Hei rambut jelek, kalau dilihat-lihat, semakin hari semakin jelek aja” Kata salah seorang kawan lamanya yang bernama Mutia.
“ ha ha ha” gelak tawa anak-anak lain semakin melengkapi penderitaan Donika dan membuyarkan lamunannya.

Gadis malang itu hanya bisa bersedih. Memang air matanya tidak terlihat. Karena, semua air matanya berusaha ia bendung. Dia tidak ingin semua temannya semakin senang dengan air mata yang keluar. Dia berusaha untuk tegar agar tidak terlihat lemah. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Setelah menangis, keadaan tidak akan benar-benar berubah sebelum luka bakar itu sembuh. Di saat seperti ini, bel masuk sekolah adalah satu-satunya harapan untuk melepaskan Donika dari keadaan ini. Dia hanya bisa pasrah mendengar celotehan teman-temannya yang terdengar seperti paku yang di pukul berulang-ulang di atas meja. Sangat nyaring, berisik dan menusuk telinga. Kalau saja ada alat peredam suara mini, mungkin Donika akan memakainya saat istirahat sekolah, agar suara-suara itu tidak terdengar nyaring di telinganya.
“Kriiinggg….. Kriiiingggg….”
Suara bel masuk terdengar nyaring. Semua anak-anak pun berlarian menuju kelas mereka masing-masing. Demikian pula dengan Donika. Suara bel itu seperti peri penolongnya.
Di dalam kelas, Donika duduk sendirian. Mutia, kawan yang pernah duduk sebangku dengannya, kini sudah berpindah duduk ke bangku lain. Mutia memilih duduk dengan anak lain, karena ia jijik melihat luka bakar yang ada di kepala Donika. Donika tidak pernah menyangka kalau teman baiknya itu akan meninggalkannya hanya karena luka bakar yang dideritanya. Sebelum luka bakar itu ada, Mutia adalah kawan terbaiknya. Donika memaklumi tingkah Mutia itu. Yang tidak bisa ia terima adalah sikap Mutia yang selalu mengolok-oloknya. Dia tidak habis pikir, Bagaimana bisa kawan sebaik itu sikapnya berubah 1800 hanya karena luka bakar? Semudah itu kah sikap seseorang bisa berubah? Bukankah luka bakarku ini hanya benda mati? Apa yang mereka khawatirkan? Lagipula ini bukanlah penyakit yang menular.
Saat di dalam kelas, kesedihan yang dialami Donika berkurang sedikit demi sedikit. Pelajaran yang diberikan pada saat itu, dapat membantunya melenyapkan gunjingan-gunjingan yang ia terima saat istirahat tadi. Donika mengalihkan konsentrasinya pada penyelesain soal matematika yang ditulis oleh Bu Farida di papan tulis. Ia sangat memperhatikan rumus-rumus yang diberikan oleh Bu Farida. Sebetulnya, Donika bukanlah anak yang rajin. Tapi ia selalu memperhatikan apa yang diterangkan oleh guru-gurunya pada saat pelajaran. Hal ini lah yang membuatnya selalu mendapatkan nilai bagus pada saat ulangan.
“Apa ada yang bisa menyelesaikan soal ini?” Tanya Bu Farida kepada semua murid yang ada di kelas itu.
 
Donika mengancungkan tangan seraya berkata “Saya Bu”
“Ya Donika, maju ke depan. Jelaskan jawabanmu kepada semua temanmu.”
Donika maju ke depan dan menjelaskan jawaban dari soal yang dituliskan Bu Farida di papan tulis.
“Karena tinggi Kerucut dapat di cari dengan bayangan segitiga yang berada di dalamnya. Maka, dengan rumus Phytagoras, kita dapat menemukan tinggi dan volume kerucut ini” Donika menjelaskan sambil menulis rumus-rumus untuk menemukan jawaban soal itu.
“Ya benar. Terima kasih dan silahkan duduk Donika.” Ujar Bu Farida seraya tersenyum kepada Donika.
“Apa ada yang perlu ditanyakan anak-anak?” Tanya Bu Farida kepada murid-muridnya yang berada di kelas itu.
Semua siswa hanya menanggapi pertanyaan itu dengan kesunyian. Tak seorang pun diantara mereka yang berbicara. Tentu saja kesunyian yang mereka buat itu bukan karena mengerti atas apa yang dikerjakan Donika. Melainkan karena mereka benci dengan pujian yang diberikan Bu Farida kepada Donika. Menurut mereka, pujian itu tidak pantas diberikan kepada gadis yang menderita luka bakar dengan rambut tidak rapi itu. Donika sedikit tertekan dengan keadaan ini.
“Krinnnnggg….. Krriiiiiinnnggg…. Krriinnngg”

Bel sekolah berbunyi tiga kali, menandakan waktu pulang sekolah telah tiba. Semua anak di SMP 23 Harapan pun pulang. Begitu pula dengan Donika. Ia membereskan semua alat tulisnyha dan memasukkannya ke dalam tas.
“Hei, rambut kusut, jelek banget sih? Mau pulang ya? Hati-hati tuh lukanya ntar leleh kena sinar matahari. Apa butuh kantong plastik buat nutupin? Hah?” ejek Mutia dengan nada yang tidak beraturan.
“Ha ha ha ha ha” Gelak tawa semua anak saling bersautan menangapi ejekan Mutia. Donika hanya bisa menundukkan kepalanya agar teman-temannya tidak melihat air mata yang membasahi pipinya.
“Eh, kamu tadi cari muka banget sih? Walaupun kamu nyelesaikan soal di depan kelas, tetap saja luka bakarmu itu hinggap di kepalamu. Nggak akan merubah keadaan…” ejek Mutia lagi.
“Ha ha ha ha ha” Tawa teman-teman Mutia terdengar saling bersautan.
Donika sudah tidak tahan lagi mendengar berbagai macam hinaan yang dilontarkan oleh Mutia. Ia menangis keluar kelas menuju parkir sekolah dan bergegas mengayuhnya. Dia tidak memperdulikan terik matahari yang menyengat kulitnya. Dia juga tidak perduli dengan pandangan orang-orang di jalanan. Pandangan yang tertuju pada air mata yang membasahi pipi Donika. Angin seolah tak mampu mengeringkan air mata Donika yang keluar dengan kesedihan yang mendalam itu. Saat itu, seluruh pikiran Donika dipenuhi dengan kebencian. Ia sangat benci kepada Mutia yang begitu tega mengejeknya. Ia juga sempat berpikir, Mengapa ia dilahirkan hanya untuk diolok-olok? Kenapa hidupku begitu susah hanya karena luka bakar ini?
***

Donika sampai di rumah dengan pipi yang masih basah karena air mata. Ia membanting tasnya di atas meja ruang tamu. Ia berlari menghampiri ibunya yang sedang memasak di dapur. Ia menangis di pelukan Ibunya. Ibunya membalasnya dengan belaian di kepalanya.
“Ada apa sayang? Temanmu mengejekmu lagu? Sudah, jangan menangis ya? Ada Ibu di sini.” Kata Ibunya lembut.
“Kenapa mereka selalu seperti itu Bu? Seburuk itukah aku?” kata Donika lirih dengan air mata yang masih membasahi pipinya. Ucapannya terdengar terbata-bata karena tangisan yang tidak bisa ia hentikan itu.
“Huuusshh… Mana boleh bicara seperti itu nak? Lihatlah cermin di kamarmu. Kamu adalah satu-satunya gadis tercantik yang ibu miliki. Tidak ada penyesalan sedikit pun Ibu membesarkan gadis secantik dan sepintar kamu.” Kata Ibunya seraya mengusap air mata di pipi Donika.
“Benarkah? Tapi kenapa mereka terus mengejekku Bu?” Tersenyum kepada Donika.
“Mungkin mereka iri dengan apa yang kamu punya saat ini nak. Sudah ya, jangan nangis lagi. Ayo, ikut Ibu jalan-jalan sekarang. Kita cari udara segar supaya kamu nangis lagi ya…” nasihat Ibunya seraya tersenyum kepada anaknya.
Ibu berusia 40 tahun itu berusaha menghibur anaknya. Meskipun dalam hatinya tersimpan kesedihan yang mendalam saat melihat air mata yang membasahi pipi anaknya, ia mencoba untuk dapat terlihat tegar di depan anaknya. Dia sadar, dia tidak bisa mengubah keadaan. Yang dapat dilakukannya saat ini hanyalah mencoba menghadapi keadaan. Keadaan tersulit dalam hidupnya.
Saat mengandung anak gadisnya itu, tidak terbesit sedikit pun pemikiran akan kejadian seperti ini. Ia tidak pernah menduga, keadaan sesulit ini akan dihadapi anaknya pada usia 13 tahun. Kalau saja waktu dapat diubah dengan nyawa. Mungkin ia akan mengorbankan nyawanya agar luka bakar yang ada di kepala Donika bisa hilang. Ia akan melakukan apa pun untuk menghapus air mata yang membasahi pipi Donika. Nyawa tak akan membuatnya berpikir dua kali demi kebahagiaan putrinya.
***

Setelah shalat dzuhur, Donika bergegas mengenakan kaos merah dengan celana hitam lalu duduk ruang tamu. Ia menunggu Ibunya yang sedang shalat dzuhur. Selang beberapa waktu, Ibu Donika keluar dengan pakaian lengan panjang berwarna putih dan bawahan celana panjang berwarna hitam, serta rambutnya terbungkus rapi dalam kerudung berwarna coklat seraya mengambil kunci mobil dan menyuruh Donika agar segera masuk ke dalam mobil.
“Ayo kita berangkat! Kamu sudah siap kan?” Tanya Ibunya.
“Siiiaaappp….” Jawab Donika dengan penuh semangat. Dia paling senang kalau diajak jalan-jalan oleh Ibunya yang sudah terlihat tua itu.
Dalam perjalanan, Donika tampak sangat bahagia saat ibunya mengajaknya berkeliling-keliling menggunakan mobil Kijang yang sudah terlihat tua itu. Namun demikian, mobil tua itu menyimpan banyak kenangan yang berharga bagi Donika dan Ibunya.
“Bu, kelihatnya ice cream itu sangat segar. Bisakah kita berhenti sebentar? Aku ingin membelinya.” Ujar Donika sambil menunjuk ke arah gerobak ice ice cream yang ada di seberang jalan
“Tentu saja nak.” Kata Ibu Donika tersenyum, seraya memarkirkan mobilnya di dekat gerobak penjual ice cream
 
Setelah turun dari mobil, Donika langsung berlari menuju gerobak ice cream. Ia langsung memesan ice cream rasa coklat kesukaannya.
“Ice cream coklatnya satu ya pak…” ujar Donika kepada Penjual ice cream
“Ini uangnya Pak.” Donika memberikan uangnya dan megambil ice cream coklatnya.
“Terima kasih ya neng.” Ujar penjual ice cream.
Donika tersenyum bahagia sambil menjilati ice cream coklatnya. Kesedihan yang tadi tampak jelas di wajahnya, kini telah hilang. Ibunya tersenyum bahagia melihat senyum lebar yang tergambar jelas di wajah Donika. Senyum itu menyejukkan hati Ibu Donika. Melihat anaknya bahagia terasa seperti melihat surga. Ia selalu berpikir bahwa hidupnya diciptakan hanya untuk membesarkan dan membahagiakan anak gadisnya itu. Ia juga selalu bersyukur kepada Tuhan atas hembusan nafas yang masih dirasakannya sampai saat ini. Tanpa hembusan nafas yang diberikan Tuhan, dia tidak tahu bagamana kehidupan anak gadisnya itu. Dia tidak bisa membayangkan hal itu terjadi, karena ia selalu ingin berada di dekat Donika. Dia ingin selalu melihat kebahagiaan Donika. Meskipun ia juga mempunyai suami sangat menyayangi keluaraganya, ia selalu ingin menjadi yang terbaik bagi Donika.
“Ibu, ice creamnya sudah habis. Apakah kita jalan-jalan lagi?” kata Donika membuyarkan lamunan Ibunya.
“Tentu saja nak.. naiklah ke dalam mobil.” Jawab Ibunya dengan senyum lebar mengembang di wajahnya.
Mobil Kijang tua itu pun kembali melaju dengan senyum kegembiraan orang-orang yang ada di dalamnya.
Dalam perjalanan, Donika sesekali tertawa lepas karena cerita lucu yang sengaja dibuat oleh Ibunya. Ibunya tahu bagaimana cara menghibur anak gadisnya itu. Namun, saat Ibu Donika kehabisan cerita, Donika akan kembali terdiam dan menyibukkan diri dengan melihat toko-toko yang ada di pinggir jalan.
 
Hari semakin sore, Donika terlihat mengantuk. Ibunya pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Donika tertidur lelap saat perjalanan pulang. Sesampainya di rumah, ia membangunkan Donika.
“Nak, bangun nak, ini sudah sampai” kata Ibu Donika membangunkan anaknya.
“Hhhhooooaaammm… baik Bu” kata Donika sambil dan menutup mulutnya yang menguap itu.
“Kamu shalat ashar dulu ya. Setelah shalat, jangan tidur dulu ya cantik..! Gak baik anak perempuan tidur saat menjelang maghrib.”
“Baik Bu…” jawab Donika sambil bergegas menuju kamar mandi.
****

Pukul lima sore, Ayah Donika datang. Donika sangat menanti saat-saat ini. Dia langsung memeluk ayahnya.
“Anak cantik apa sudah mandi ini? Baunya kok masih kecut gini ya?” kata ayahnya menggoda seraya memeluk anak gadisnya itu.
“Heemmbb…. Ayah,,, aku sudah mandi yah… bau kecut dari mana sih? Ayah tu yang belum mandi makanya bau kecut.” Jawab Donika dengan memanyunkan mulutnya. Ia tahu kalau ayahnya sedang menggodanya. Setelah itu, ia berjalan menghampiri istrinya, dan memeluknya.
****
 
Adzan Maghrib terdengar berkumandang. Donika langsung bergegas mengambil wudlu untuk menunaikan shalat. Ia sudah terbiasa melakukan shalat tepat waktu. Setelah shalat Maghrib, ia selalu menyempatkan diri untuk mengaji. Baginya, mengaji adalah waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Berkomunikasi atas masalah yang ia hadapi di dunia yang kelam ini. Dia tidak pernah menuliskan masalah-masalah yang ia hadapi ke dalam buku Diary seperti yang biasanya dilakukan oleh anak perempuan yang seumuran dengannya. Karena menurutnya, menulis Diary tidak akan menyelesaikan masalah. Meskipun menurut sebagian orang menulis Diary dapat melegakan hati. Tapi, menulis di buku Diary tidak akan menyelesaikan masalah. Berbeda dengn mengaji. Dengan mengaji, Donika akan merasa lega, dan masalah akan terselesaikan dengan sendirinya di luar dugaan. Hal ini sudah pernah dialami Donika saat ia terpuruk karena adik laki-laki yang berusia 5 tahun yang sangat dicintanya meninggal dunia tahun lalu. Ia bisa menghadapi semua itu karena bantuan Tuhan yang memudahkan semua jalan yang dia alami. Karena itu, ia yakin, pada saat mengaji hatinya akan tentram.
Terkadang, secara tidak sadar, air matanya akan mengalir keluar saat mengaji. Ia tidak pernah menduga, hal seperti ini bisa terjadi. Bukan karena ia merasa terbebani atas masalah yang ada. Ia menangis karena pada saat mengaji, ia membayangkan Tuhan ada di depannya dan mendengar atas masalah-masalah yang dialaminya. Ia juga membayangkan berada di pelukan Tuhan. Tuhan yang selalu ada untuknya, Tuhan yang selalu mendengar masalah-masalahnya. Dan Tuhan yang selalu memberikan kehidupan yang patut disyukuri.
****
 
Pukul 9 malam, setelah shalat Isya’, Donika bergegas menuju tempat tidurnya. Selang beberapa waktu, Ibu Donika masuk ke dalam kamar Donika. Ia hanya ingin memastikan, Donika bisa tertidur dengan nyenyak tanpa memikirkan masalah yang Donika alami di sekolah tadi. Dan setelah ia periksa, ternyata Donika sudah tertidur. Ia menghampiri anaknya itu dan mencium keningnya dengan perlahan. Ia tidak ingin mebangunkan Donika yang sudah terlihat tidur pulas. Tapi, ia beranjak akan berdiri, sempat dikagetkan oleh pelukan yang tiba-tiba datang dari arah belakang. Ia bisa menebak bahwa itu adalah pelukan anak gadisnya. Ia membalikkan badannya, dan memeluk Donika.
“Aku sayang Ibu.” Bisik Donika di telinga Ibunya.
“Aku juga sayang kamu nak.” Jawab ibunya seraya membelai rambut Donika.
Kemudian Donika kembali ke tempat tidurnya. Ibunya belum ingin beranjak pergi meninggalkan kamar anaknya. Ia mengelu-elus rambut Donika, sedangkan Donika memeluk kaki Ibunya. Dan beberapa waktu kemudian, Donika pun tertidur pulas. Ibunya pun meninggalkannya dengan perlahan dengan maksud tidak ingin Donika terbangun.
****

Keesokan harinya, Donika kembali bersiap pergi ke sekolah. Ia siap menghadapi segala kemungkinan kejadian yang mungkin dapat menyakitkan hatinya. Ia mengenakan pakain seragamnya dengan penuh semangat. Namun, ia dikagetkan dengan kedatangan Ibunya yang membawakannya pakaian seragam putih lengan panjang, rok biru panjang serta kerudung putih yang siap untuk dikenakan.
“Nak,, ini Ibu belikan kamu seragam sekolah baru lengkap dengan kerudungnya. Apa kmu senang?” Tanya Ibu Donika.
“Benarkah..? Terima kasih Ibu. Ini bisa membantu menutupi lukaku. Aku sangat senang Bu. Terima kasih banyak Ibu. Aku sayang Ibu.” Kata Donika bahagia seraya memeluk Ibunya dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
“Ia nak… Ibu juga senang kalau kamu senang…” kata Ibu Donika senang, serta membalas pelukan Donika.
Wanita separuh baya itu terlihat sangat senang. Ia sengaja membelikan seragam dan kerudung itu karena ia tidak ingin lagi melihat tangisan anaknya. Tangisan yang bisa menghancurkan hatinya.
****
 
Setelah menghsbiskan sarapannya, ia bergegas bersiap pergi ke sekolah. Ia mencium tangan dan pipi Ibunya
“Donika berangkat Bu. Assalamu’alaikum….” Pamit Donika dengan senyum yang tidak henti-hentinya ia perlihatkan. Ia segera bergegas naik mobil milik Ayahnya.

Di tengah perjalanan, Donika merenungkan atas kebahagiaan yang ia alami saat itu. Donika sadar bahwa Tuhan menjawab curahan hatinya tadi malam. Tuhan juga telah menyampaikan sebuah teguran melalui Ibunya. Teguran untuk memakai kerudung dan menutup aurot. Kerudung yang dapat menutupi semua lukanya. Luka dari yang dideritanya dan luka di dalam hatinya. Donika juga baru sadar, Tuhan telah mengirimkan malaikat yang selalu ada di sampingnya. Malaikat yang selalu membantunya untuk menghadapi semua masalah-masalah yang tidak berujung. Malikat itu adalah Ibu yang selalu ada di sampinya di kala suka maupun duka.

Sejak saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan mengabaikan omongan teman-temannya di sekolahan. Ia sadar, teman bukanlah prioritas utama saat sekolah. Senyum bangga orang tua akan kesusesannya di masa depan adalah sesuatu yang harus diwujudkannya. Tanpa teman, hidupnya akan baik-baik saja. Karena ia masih punya Tuhan dan orang tua yang sangat menyayangi dan selalu ada untuknya.
 
Sumber:  http://artikelsenibro.blogspot.com