Selasa, 23 Juli 2013

Api Neraka Padam berkat Air mata

Kisah Islamiah kali ini tentang neraka.
Kita sebagai Umat Rasulullah SAW, ada yang masuk ke dalam Neraka Jahannam. Meski begitu, umat islam akan mendapat Syafa'at dari Rasulullah SAW, maka tak heran bila Rasul kita selalu membela dengan segenap kekuatan untuk menghalau api neraka yang akan membakar umatnya.

Sungguh sangat besar cintanya Rasulullah SAW kepada umatnya.
Bahkan dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ketika Rasulullah SAW akan meningal dunia, umatnyalah yang selalu ditanyakan kepada Malaikat Jibril dan Malaikat Pencabut Nyawa.

Kisahnya.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa kelak pada hari kiamat setiap orang akan disibukkan dengan persoalan dirinya sendiri, termasuk para nabi.

Ketika mereka dimintai pertolongan, mereka menyatakan nafsi-nafsi (sendiri-sendiri).
Kecuali nabi teristimewa, yaitu Nabi Muhammad SAW. Dalam kondisi sulit itu, beliau terus berjuang dan berusaha untuk menyelamatkan umatnya.

"Ummati...Ummati..., bagaimana halnya dengan umatku, selamatkan umatku....selamatkan umatku....," ucap Rasulullah SAW berkali-kali.
(Duuh Gusti Kanjeng Nabi, begitu besar perhatianmu pada umatmu).

Gejolak Neraka Jahannam.


Ketika penghuni neraka digiring menuju neraka, keluarlah gejolak api neraka Jahannam, bergulung-gulung menyambar-nyambar. Ketika ia bergulung-gulung hendak menyambar umat Muhammad, tiba-tiba Malaikat Jibril berteriak.
"Awas..sambaran api menuju umat Muhammad," teriak Malaikat Jibril seraya membawa semangkuk air.

Maka, dengan secepat kilat Nabi Muhammad SAW meraih air yang ada di tangan Malaikat Jibril.
Malaikat Jibri berkata,
"Cepat Muhammad, cepat Muhammad!"

Air Mata sebagai Pemadam.

Segera saja Rasulullah SAW menyiramlan air itu pada api Neraka Jahannam yang menyambar-nyambar hingga menjadi padam seketika. Setelah gejolak api itu padam dan surut kembali ke tempat asalnya, Nabi Muhammad SAW bertanya,
"Wahai Jibril, air apakah itu?"

"Itu adalah air mata umatmu yang menangisi dosa-dosanya karena takut kepada Allah SWT," jawab Malaikat Jibril.
Oleh karena itu, para sahabat yang seiman, deraikanlah dan alirkanlah air mata hingga membasahi pipi atau tumpahkanlah air mata di atas sajadah ketika membaca Al Qur'an atau pada saat sujud karena takut kepada Allah SWT.

Sumber:  http://kisahislamiah.blogspot.com


Senin, 08 Juli 2013

Kisah Nyata Yang Mengerikan Kelahiran Yang Misterius

Aku sudah satu tahun ditugaskan pemerintah, menjadi bidan desa di kecamatan Tegalgondo, tepatnya di Desa Tahunan, sejak tahun 2000. Aku berasal dari Kota Nganjuk, provinsi yang sama juga. Perkenalanku dengan Mas Hardi, akhirnya membuatku hidup menetap di daerah terpencil tersebut dalam ikatan perkawinan. Aku dan Mas Hardi sama-sama perantauan. Ia bertugas mengajar di SD Tahunan, dan aku menjadi bidan desa di sana. Bedanya dia berasal dari kota Kediri, dan saya dari kabupaten Nganjuk.

Perkawinanku telah membuahkan dua orang putra, yang kini telah lulus dari SMA, dan yang kecil baru kelas dua SMP di Tahunan juga. Pertama kali aku membangun rumah, ada pengalaman unik yang pernah aku alami, hi ngga kini menjadi catatan manis dalam keluargaku.


Suatu malam, sekitar jam satu malam, tempat praktikku, kedatangan seorang ibu yang berjalan tertatih-tatih dalam keadaan hamil mengetok pintu rumahku. “Bu Bidan, maaf ya saya mengganggu… tolonglah ibu… saya mau melahirkan … ” pintanya, sambil memgang perut yang telah membesar.

Aku segera membangunkan Mas Hardi agar mau membantuku, menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan proses persalinan. “Ibu kok sendirian…” tanyaku sambil membenahi dipan persalinan. “Iya bu, suamiku masih di Tegalgondo…”

Aku tidak mau berpikir banyak. Ibu muda yang akan melahirkan itu segera aku bimbing berbaring pada dipan persalinan di ruang praktikku. “Oek…oeeek….oek!!!!” tangis bayi itu memecah kesunyian malam yang telah beranjak dari jam satu menuju jam dua seperempat. Aku segera membersihkan bayi dan ibunya sesuai dengan prosedur pelayanan kesehatan yang sudah biasa aku lakukan. Sementara suamiku, tertidur lelap di kursi tamu, setelah selama satu jam lebiah ia menunggu.

“Bu, maaf ya bu… malam hari ini saya sudah ngrepotin ibu. Suami saya kebetulan pas pulang ke Tegalgondo. Jadi malam hari ini saya belum bisa melunasi administrasi keuangannya. Tapi anu kok Bu… suami saya tadi siang sudah pesan, kalau malam ini saya melahirkan… ibu bisa mengambil uangnya di Tegalgondo…”

“Sudahlah ibu… ibu nggak usah memikirkan itu dulu. Yang penting kesehatan ibu baik-baik saja….” kataku bijaksana.

“Terus, anu ya bu… saya ingin malam ini diantar pulang saja ya… “

“Oh iya, nggak apa-apa”

Akhirnya aku membangunkan suamiku, untuk mengantar Bu Mugi pulang ke rumahnya, tidak jauh dari rumahku. Di sepanjang jalan mobilku terasa enak sekali. Jalan yang aku lalui terasa datar, seperti di kota saja. Perasaanku pada waktu itu, ruang mobil beraroma seperti kembang yang biasa dibuat untuk tabur bunga di pusara. Suamiku diam saja. Dia juga merasakan hal yang sama. Dan akhirnya tidak berapa lama mobil itu sudah berada di depan rumah Pak Mugi.

“Mari Bu, aku bimbing masuk rumah. Mana kunci rumahnya?”

“Nggak terkunci kok Bu. Sudahlah, ibu nggak usah membantu. Aku bisa berjalan masuk sendiri kok”

Akhirnya Bu Mugi berjalan dan masuk rumah sendirian. Aku dan suamiku hanya bengong melihat kejadian malam itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. “Sudah mas, ayo kita segera pulang saja. Besok pagi aku akan ke Tegalgondo…”

Malam semakin larut. Kokok ayam pertanda hari sudah pagi, mulai riuh terdengar bersautan. Aku segera membangunkan suami dan anak-anak untuk sholat Shubuh berjamaah di suarau dekat rumahku. Sekitar jam tujuh pagi aku segera mengambil sepedamotor, menemui Pak Mugi di Tegalgondo.

“Assalamu’alaikum Bapak!”

“Wa’alaikum salam!. Mari Bu Bidan masuk!!” sambut Bu Sainem, orang tua Pak Mugi

“Selamat ya Bu… tadi malam istri Pak Muji melahirkan anak laki-laki…” kataku memberi kabar

Bu Sainem terlihat heran, dan bingung. “Maaf Bu Bidan, apa nggak salah…???”

“Benar , ibu. Tadi malam cucu ibu telah lahir, ini lho saksinya suami saya…”

“Betul bu… istri Pak Mugi telah melahirkan di rumah saya…” jelas suamiku jujur

“Tapi begini lho Bu, anakku Mugi itu hingga kini belum punya istri lho. Dan rumahnya yang di Tahunan itu tidak pernah ditempati”

“Jad…jadi…jadi… siapa tadi malam itu????”

Aku jadi penasaran dibuatnya. Aku segera berpamitan pulang. Sesampai di rumah, ternyata tempatku praktik masih dalam keadaan bersih. Seperti tidak pernah ada orang yang baru melahirkan. Demikian juga rumah kosong milik Pak Mugi, juga kosong melompong tiada satupun penghuninya. “Haaaa” aku dan suamiku bulu kuduknya merinding……

Sumber: http://www.seremcuy.com

Kesoholehan Menaklukkan Sayembara Cinta

Pada suatu masa, Ada Seorang bapak yang memiliki seorang Anak perempuan yang sangat cantik dan sholehah (dan kebetulan sudah siap untuk menikah) yang rencananya ingin segera dinikahkan olehnya, namun hanya dengan pemuda Baik, Sukses yang tentunya Kaya Raya..

Sebenarnya si bapak bukanlah orang tua yang bersikap materialistis, Ia melakukan semua itu hanya untuk kebaikan Putrinya kelak.. Supaya ia tidak khawatir lagi jika Anaknya ia lepas ke tangan menantunya nanti..
Dan seolah bagaikan sebuah sayembara yang sulit ditaklukan/dimenangi, setelah sekian lama, belum ada pemuda yang berhasil membawa persyaratan yang sesuai keinginan beliau, ketika datang melamar putri satu-satunya tersebut..

Pada suatu malam (ya, bisa juga di bilang masih cukup sore hari lah.. karena jarum jam baru menunjukkan pukul 19:40, kira kira Ba’da ‘Isya’ waktu setempat) datanglah seorang pemuda sederhana dengan mengusung niat yang sama dengan pemuda lainnya yang telah mendatangi rumah itu, yakni melamar putri si tuan rumah..
“Assalamu’alaikum…?”. Ucap si pemuda sembari mengetuk pintu, sebagaimana layaknya adab (toto kromo) seorang muslim dalam bertamu.
“Wa’alaikum salam..!”, Jawab si Bapak bersamaan dengan terbukanya pintu, dan seperti sudah terbiasa.. setelah mempersilahkan si pemuda masuk dan mempersilahkannya duduk, si bapak tersebut langsung membuka pembicaraan dengan tegas dan sedikit menyudutkan tamunya..
“Ada keperluan apa kamu datang kemari anak muda..? Apa kamu juga ingin melamar anakku..?” Tanya bapak itu dengan ucapan sedikit keras, dan tanpa menanyakan dulu siapa nama tamunya tersebut.
“Maaf Tuan, nama saya Fulan.. pemuda dari desa seberang sana, dan memang benar kedatangan saya kemari ingin melamar putri Tuan”, Jawab pemuda itu secara pelan pelan namun terlihat cukup tenang bagi orang yang belum terlalu kenal dengan lawan bicaranya.
“Oo.. jadi namamu Fulan, baiklah.. tentu kamu tahu bukan..? seperti apa kriteria menantu yang aku inginkan untuk Anakku..?” jawab si Bapak sembari kembali mengajukan pertanyaan.
“Iya Tuan…” Jawab pemuda itu sangat singkat.
“Lantas, apa yang telah kamu raih dimasa mudamu ini..? atau paling tidak ya.. apa yang kamu dapat dari keluargamu? dan apa pekerjaanmu..?” Timpal si Bapak, yang mulai terdengar penasaran atau mungkin sudah tidak sabar untuk segera memutuskan..
“Sebelumnya maaf Tuan, Aku belum memiliki apa apa dan semua yang ada padaku adalah milik Alloh.. dan Alhamdulillah Orang tua saya telah memberikan yang terbaik bagi anaknya ini.. yakni perngajaran perihal agama yang terbaik.. juga cara menjalani kehidupan Dunia ini sesuai dengan aqidah dalam agama Islam yang mulia ini. sedangkan pekerjaanku hanyalah sebagai seorang kuli bangunan di sebuah proyek pembangunan milik pemerintah di desa yang jaraknya tidak terlalu jauh dari desa tempat tinggal saya, dan Alhamdulillah rejeki pemberian Alloh lewat pekerjaan tersebut, cukup untuk biaya kehidupan saya, Alhamdulilah..” Jawaban si Fulan dengan tenang, lagi-lagi cukup untuk menambah penasaran sang tuan rumah.
“Maaf anak muda..! sebelum kedatanganmu ini.. telah banyak yang pulang dengan tangan hampa, padahal mereka semua mempunya setatus ekonomi yang jauh lebih menjanjikan dari apa yang kau tawarkan ini, lalu dengan apa (jaminan) kamu akan menafkahi Anakku kelak, apabila pekerjaanmu hanya kuli bangunan..!?”. kata-kata dan pertanyaan bapak itu terdengar seolah menghakimi/menghardik keadaan dunia si Fulan.
“Maaf Tuan, saya berniat menikahi/meminang putri Tuan bukan karena saya mampu apalagi menjamin tentang nafakah putri tuan.. lagi pula kalaulah pekerjaan saya hanya kuli bangunan hingga nanti, Insya Alloh tetap mampu mencukupinya.. jika diperbolehkan, saya ingin mengingatkan tuan bahwasanya siapapun saya kelak, tetap saja saya tidak akan bisa untuk menjamin kehidupan putri Tuan, apalagi menjamin nafkah bagi putri Tuan.. sesungguhnya Alloh SWT lah yang menjamin rejeki tiap tiap makhlukNya. karenanya, mari kita serahkan urusan rejeki kepada yang Maha memiliki dan Maha memberi.. yaitu Alloh SWT Tuan.. dan ingatlah bahwa menikah juga termasuk pintu rejeki,Tuan.” Jawab pemuda itu lagi lagi dengan sebuah ketenangan yang luar biasa.
“Astaghfirulloh…!” ucap si bapak sembari menundukkan kepala, sekilas terlihat seperti seorang yang sedang dimaki oleh atasanya.
“Maafkan saya tuan, maaf jika ucapan saya telah menyinggung perasaan Anda. Saya hanya ingin berusaha untuk berbagi pandangan tentang kehidupan Dunia ini saja.. toh sejatinya, kebenaran hanya milik Alloh SWT,” ucap si Fulan mencoba meredakan situasi, karena ia mulai khawatir jika orang tua yang ada dihadapannya tidak bisa menerima jalan pikirannya.
“Apa maksudmu..!? lantas bagaimana pandanganmu tentang harta dan dunia ini..? jangan sok mengguruiku anak muda…!”. Balas sang tuan rumah keras, dan memang terlihat belum bisa menerima kebenaran yang di dengarnya.
“Begini tuan, seperti yang kita lihat bersama, Alloh menciptakan kita (manusia) semua di dunia ini dalam bentuk yang hampir sama.. terlahir dengan tanpa memiliki apa apa, bahkan juga tidak mampu berbuat apa apa selain menangis ketika itu, namun apa yang terjadi di waktu dewasanya kita yang sama-sama telah berusaha kerja untuk mencari harta Dunia? apakah kita punya harta yang sama dengan orang-orang yang terlahir bersamaan dengan kita..? tentu tidak Tuan, perbedaan rizqi yang ada pada kita itu hanyalah salah satu bukti bahwa memang Alloh lah yang mengatur Rizqi dalam hidup kita semua, sunguh masih banyak bukti yang lainnya.” Jawab si Fulan mencoba menjelaskan.
Suasana menjadi sunyi seketika saat si Fulan selesai menjelaskan, dan si tuan rumah terlihat berpikir begitu dalam.
“Baiklah Fulan, rasanya Aku mulai mengerti jalan pikiranmu.. namun bagaimana dengan Anakku..?, apa dia juga dapat kamu yakinkan dengan penjelasanmu..?, Apa ia akan merasa bahagia jika hidup dengan keterbatasan Dunia jika menikah denganmu..?” Tanya bapak itu, meski Ia mulai yakin terhadap si Fulan.. namun kini ia mulai memikirkan tentang putrinya, lebih tepatnya ia menghawatirkan akan keyakinan putrinya, ya.. meskipun ia tahu bahwa putrinya itu akan menerima apapun keputusannya.
“Tenanglah tuan, siapa pemuda di wilayah ini yang tidak tau tentang sholihahnya putri tuan? sungguh tidak ada yang lebih mudah dari pada meyakinkan perihal keyakinan dan Agama kepada orang yang taat dan mengerti dalam uruasan beragama seperti putri tuan ini..? Sedangkan untuk masalah kebahagiaan setelah pernikahan, kita bisa serahkan semua itu kepada Alloh, dan tidak mungkin saya berani menjaminnya.. namun jika memang kehidupan kami berdua kelak ditakdirkan untuk berhadapan dengan pahitnya kekurangan harta Dunia, InsyaAlloh kami akan berusaha menyelimuti kehidupan kami dengan manisnya madu keimanan dan ketaqwaan kami kepada Alloh SWT..” jawab si Fulan dengan senyum ketenangan.
Di lain pihak, calon bapak mertuanya sudah mulai terlihat semakin yakin terhadap si Fulan, yakin akan keputusannya untuk menerima lamaran yang datang kali ini.
“Baiklah nak, dengan melihat ketenanganmu dan perjuanganmu meyakinkanku seperti ini.. ada kesimpulan bahwa kamu jauh lebih layak menerima putriku daripada mereka yang kemarin-kemarin datang kesini.. jika bukan kau, mungkin yang datang dengan membawa status sebagai kuli bangunan sepertimu, bisa jadi ia akan pulang setelah pertanyaan pertama dariku.” ucap calon mertuanya itu terdengar sedikit memuji perjuangan si Fulan.
“Sungguh segala puji hanya bagi Alloh SWT. tuan.. jika tanpa pertolonganNya, niscaya kedatanganku akan bernasib sama dengan pemuda lainnya dan akan mendapat penolakan dari tuan..” sahut si Fulan terdengar menolak mentah metah pujian dari calon mertuanya itu.
“Ahahaa.. sungguh aku tidak berbohong Fulan, kau adalah orang kedua setelah putriku yang menolak pujian dariku, yaa.. meskipun pujian itu datang dariku sendiri, putriku selalu menolaknya.” Jawab si calon mertua dengan sedikit tertawa, dan sontak membuat si Fulan merasa heran.
Setelah tertawa beberapa saat, si bapak terlihat diam dan terlihat berpikir sangat dalam.. Keadaan pun menjadi hening seketika.
“Bismillah… Ini memang taqdir Alloh, Fulan…!, Dengan ini aku Abdul Lathif, memutuskan untuk menerima niat baikmu.. yakni niatmu untuk melamar putriku satu-satunya Aisyah..”. Ucap tuan rumah dengan tegas berwibawa sambil mengangkat tangan kanannya, seakan sedang mengucapkan sumpah.
“Alhamdulillah…! La haula wala quwwata illa billah…! Terima kasih tuan..” Ucap Fulan yag terlihat sangat senang kala itu.
“Tidak usah sungkan Fulan.. dengan restu dariku untukmu, maka kau boleh memanggilku Ayah mulai sekarang.” Ucap Abdul Lathif disertai sebuah senyuman keIkhlasan.
“Baik.. Ayah..!”. sambut si Fulan sembari latihan.
“Sebelumnya maaf Fulan, Aku tidak bermaksud mengusirmu… Berhubung waktu telah larut malam dan untuk menghindari fitnah, alangkah baiknya jika pertemuan kita disudah dulu sampai disini.”. Ucap tuan rumah mencoba menutup pembicaraan.
“Baiklah Ayah, sungguh aku mengerti maksud Ayah… kalau begitu aku mau pamit undur diri..”. ucap Fulan sambil menyalami tuan rumah untuk berpamitan.
“Berhati-hatilah di jalan nak.. Oiya..! jangan lupa besok bawa orang tuamu untuk datang kemari Fulan, ya.. aku memerlukannya untuk memilih hari yang tepat untuk pernikahanmu”. pinta Abdul Lathif pada calon mantunya itu.
“Baik Ayah…! InsyaAlloh besok akan aku ajak Beliau datang menemui Anda, wassalamu’alaikum.!”. Ucap Fulan sebelum meninggalkan rumah itu.
“Wa’alaikum salam waroh matulloh…!” jawab Abdul Lathif.
“Ah… sungguh sangat beruntung aku bisa memiliki mantu seperti Fulan, Dia memang bukan yang aku inginkan selama ini, ya… malahan dia jauh lebih baik..” gumam dalam hati Abdul Lathif sambil mendatangi anaknya guna memberi tahu kabar gembira tersebut.

Setelah tiba di ruangan belakang, dan bertemu putrinya, Abdul Lathif menceritakan bahwa ia telah menemukan calon terbaik untuk putrinya tersebut.
“Putriku Aisyah…!” Sapa Abdul Lathif sambil memeluk putri satu-satunya tersebut, dengan raut wajah yang amat gembira terpancar diwajahnya.
“Subhanalloh…! Apakah gerangan, yang membuat Anda terlihat begitu bahagia wahai Ayahku…?” Sambut Aisyah yang terkekejut juga sedikit heran.
“Begini putriku tercinta.. Ayah tuamu ini berhasil mendapatkan calon Imammu kelak…!”. Jawab Abdul Lathif, masih sama.. lagi lagi dengan gembira Ia menyampaikannya.
“Sungguh Ayah..? lelaki kaya raya yang manakah yang sanggup menaklukkan sayembara Tuan Abdul Lathif berserta hatinya wahai Ayahku..?”. Tanya Aisyah, yang semakin terlihat penasaran.
“Ia adalah pemuda dari Desa seberang sana Putriku.. dan Ayah yakin kamu tidak akan kecewa dengan pilihan Ayahmu ini”. Jawab Abdul Lathif, kali ini dengan raut wajah yang terlihat serius.
“Sesungguhnya Ayah… siapa pun yang Engkau pilihkan untukku, Putrimu ini akan menerimanya dengan senang hati Ayah..!, Apa lagi dengan lelaki yang Baik, Sukses dan kaya raya seperti yang Ayah Janjikan”. Ucap Aisyah, kini juga mulai terlihat serius.
“Sebelumnya.. maafkan Ayah nak.. Pemuda ini bukan dari kalangan yang ayah inginkan, tapi kemuliaan hati dan pemikirannya, mampu menaklukan dan meluluhkan kerasnya pendirian Ayahmu ini.” Jawab Abdul Lathif mencoba meyakinkan anaknya.
“Alhamdulillah…!, ternyata benar dugaanku.. Ayahku pasti tidak akan menjodohkanku dengan lelaki yang kaya Harta dunianya saja.. dan aku yakin Ayahku pasti tau mana yang terbaik untuk putrinya ini, Subhanalloh… Allohu Akbar..!”. Ucap Aisyah terdengar sangat bersyukur.
“Wah wah wah.. Ternyata benar sekali kata Fulan.. tidak ada yang lebih mudah dari pada meyakinkanmu putriku. Aisyah, Kau benar benar putri yang Sholehah..!”. Ucap Abdul Lathif teringat ucapan calon menantunya si Fulan.
“Sungguh Ayah.. Segala puji hanya bagi Alloh..!”. Sahut putrinya itu singkat, namun jelas terdengar menolak pujiannya.
“Ahahaa…!”. Abdul Lathif langsung tertawa keras, ketika mendengar ucapan putrinya tersebut.
“Kenapa Ayah malah tertawa…? Bukankah benar jika tiada yang pantas dipuji selain Alloh SWT..?” siapalah Aisyah ini Ayah..?” tanya Aisyah merasa heran.
“Maaf Putriku… maaf bila Ayah tidak sopan terhadapmu, Ayah tertawa bukan bermasksud untuk menertawaimu anakku… Ayah teringat perkataan Fulan yang sama persis dengan ucapanmu tadi. ia juga menolak pujian dariku.. dan bagiku kalian sungguh sangat cocok.” Jawab Abdul Lathif menjelaskan, namun masih terlihat sekali bahwa ia masih menahan tawa.
“Subhanalloh..! ternyata masih ada pemuda di zaman sekarang ini yang menolak pujian untuknya Ya Alloh..!, Sungguh aku sangat ingin menemuinya ya Robb.. namun dinding pembatas/pelindung antara kami masih terlihat jelas dengan belum terlaksananya pernikahan kami.”. Ucap Aisyah didalam hati.
Melihat putrinya tersenyum bahagia, Abdul Lathif pun sadar bahwa anaknya merasa senang sebagaimana dirinya yang juga senang dengan terpilihnya si Fulan.
“Sudahlah putriku.. Ayah dapat mengerti senyumanmu itu menandakan betapa bahagianya dirimu. tidurlah nak.. waktu kini telah larut malam..” pinta Abdul Lathif kepada putrinya agar cepat tidur.
“Terima kasih Ayah.. Wassalamu’alaikum..?” jawab Aisyah singkat sambil mencium tangan ayahnya. Sembari pamit menuju kamarnya.
“Baiklah, Ayah juga sudah mengantuk.. Wa’alaikum salam…!” ucap Abdul Lathif sambil melangkah menuju kamarnya.

Singkat cerita.. Hari yang dinanti pun telah tiba, Yakni hari pernikahan Fulan dengan Aisyah. Pernikahan dua insan yang Sholeh dan Sholehah itu berjalan lancar, meskipun tidak semeriah yang dulunya diinginkan Abdul Lathif.. Ya.. memang menantu yang ia dapat bukanlah dari keluarga yang mampu menyajikan pernikahan mewah.. namun Abdul Lathif sepenuhnya sadar, bahwa Fulanlah yang akan menyajikan kehidupan yang terbaik untuk putrinya. Menapaki kehidupan di dunia ini untuk menuju kebahagiaan kekal di Akhirat kelak..

Setelah semua proses pernikahan telah selesai, Fulan dan Aisyah menjalani hari-hari barunya dengan bahagia, meskipun kehidupan mereka tidak berada di dalam kehidupan yang bergelimang harta dunia, namun mereka hidup bergelimang keimanan dan ketaqwaan kepada Alloh SWT.

Sumber:  http://cerpenmu.com

Kisah Semut dan Lalat

Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta di atas sebuah tong sampah di depan sebuah rumah. Suatu ketika, anak pemilik rumah keluar dan tidak menutup kembali pintu rumah. Kemudian nampak seekor lalat bergegas terbang memasuki rumah itu. Si lalat langsung menuju sebuah meja makan yang penuh dengan makanan lezat.

“Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati makanan segar,” katanya. Setelah kenyang, si lalat bergegas ingin keluar dan terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata pintu kaca itu telah terutup rapat. Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-kawannya yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali dengan mereka.

Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan menerjang kaca itu, dengan tak kenal menyerah si lalat mencoba keluar dari pintu kaca. Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan bolak-balik, demikian terus dan terus berulang-ulang. Hari makin petang, si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan. Esok paginya, nampak lalat itu terkulai lemas terkapar di lantai.

Tak jauh dari tempat itu, nampak serombongan semut merah berjalan beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Dan ketika menjumpai lalat yang tak berdaya itu, serentak mereka mengerumuni dan beramai-ramai menggigit tubuh lalat itu hingga mati. Kawanan semut itu pun beramai-ramai mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.

Dalam perjalanan, seekor semut kecil bertanya kepada rekannya yang lebih tua, “Ada apa dengan lalat ini, Pak? Mengapa dia sekarat?” “Oh.., itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia seperti ini. Sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras berusaha keluar dari pintu kaca itu. Namun ketika tak juga menemukan jalan keluar, dia frustasi dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi menu makan malam kita.”

Semut kecil itu nampak manggut-manggut, namun masih penasaran dan bertanya lagi, “Aku masih tidak mengerti, bukannya lalat itu sudah berusaha keras? Kenapa tidak berhasil?”

Masih sambil berjalan dan memanggul bangkai lalat, semut tua itu menjawab, “Lalat itu adalah seorang yang tak kenal menyerah dan telah mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannya dengan cara-cara yang sama.” Semut tua itu memerintahkan rekan-rekannya berhenti sejenak seraya melanjutkan perkataannya, namun kali ini dengan mimik dan nada lebih serius, “Ingat anak muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama tapi mengharapkan hasil yang berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini.”
Para pemenang tidak melakukan hal-hal yang berbeda, mereka hanya melakukannya dengan cara yang berbeda.
Sumber:  phincow.com

Jangan Pernah Menyakiti Wanita

Seringkali wanita menangis karena pria, entah karena dikecewakan oleh sikapnya, atau dilukai dengan perkataannya, bahkan ditinggalkan.

Ada sebuah renungan yang mungkin sangat berarti untuk dibagikan pada seluruh sahabat agar lebih menghormati dan menghargai wanita.

Suatu hari, seorang pria berdoa dalam keadaan marah dan emosi. Ia sebal pada pasangannya yang seringkali menangis dan memanfaatkan air mata di setiap perdebatannya. Ia bosan. Sungguh bosan.

Tak mau terlibat dalam emosi yang negatif, iapun sujud dan berdoa, meminta pertolongan pada Tuhan.

“Tuhan, mengapa sih wanita sering menangis? Aku bosan dan jenuh melihat dan mendengarnya,” keluh pria itu.

Jawab Tuhan kepadanya:

“Karena wanita itu unik. AKU menciptakannya tidak sama seperti kamu. Ia adalah makhluk yang istimewa.

KU kuatkan bahunya untuk menjaga anak-anakmu kelak.

KU lembutkan hatinya untuk memberimu rasa aman.

KU kuatkan rahimnya untuk menyimpan benih manusia.

KU teguhkan pribadinya untuk terus berjuang saat yang lain menyerah.

KU beri naluri untuk tetap menyayangi walau dikhianati dan disakiti oleh orang yang disayangi.

KU hembuskan kasih sayang agar ia bisa mencurahimu dengan perhatian.

KU buat matanya lentik karena ia akan menjadi jendela kedamaian.

KU buat senyumnya merekah seperti mahkota bunga untuk membuatmu tetap mengingat indahnya dunia.

KU buat tangannya terampil untuk menjagamu agar tak pernah kekurangan.

Tapi jika suatu saat ia menangis.

Itu karena AKU memberikannya air mata untuk membasuh luka batin dan memberikan kekuatan yang baru. Bukanlah sebuah tanda kelemahan dan kekalahan.”

Pria itupun tertegun sejenak. Diambilnya langkah bergegas, dipeluk dan diusapnya air mata di pipi orang yang dicintainya. “Aku akan membantumu menghapus luka batin itu…”

Jadi, jangan pernah menyakiti wanita.

Sumber:  http://iphincow.com

Minggu, 07 Juli 2013

Dialog antara Iblis dan Nabi Isa

Nabi Isa as menyatakan bahwa dirinya bukanlah Tuhan, melainkan hanya hamba Allah SWT seperti kebanyakan Nabi dan Rasul lainnya.

Kisahnya.
Pada suatu hari Nabi Isa as bertemu dengan iblis laknatullah dan terjadilah percakapan antara keduanya.

Dialog Pertama
Iblis: Wahi Isa bin Maryam, dari sifat Ketuhanan itu sampai engkau mampu berbicara ketika engkau masih bayi. Padahal tak seorang pun yang mampu berbicara seperti engkau sebelum kamu.
Nabi Isa as: Yang memiliki sifat Ketuhanan itu adalah Dzat yang membuat saya mampu berbicara dan Dzat yang mematikan saya, kemudian menghidupkan saya kembali.

Iblis: Bukan begitu maksudku, akan tetapi engkaulah orang yang telah sampai pada tingkat menjadi Tuhan sehingga engkau mampu menghidupkan orang yang telah meninggal dunia.
Nabi Isa as: Bukan begitu, sifat Ketuhanan itu adalah milik ALlah SWT sebagai Dzat yang menghidupkan dan mematikan orang yang saya matikan lalu dihidupkan Allah SWT.
(Jadi bukan saya yang menghidupkan, maksud-red).
Saya hanya perantara saja.
Iblis: Demi Allah, engkau adalah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi.

Begitu iblis berbicara demikian, maka turunlah Malaikat Jibril yang dengan sayapnya, Iblis dipukul sampai ke matahari. Lalu ada pukulan sayap yang kedua iblis terlempar sampai ke sumber air panas lalu dilempar lagi sampai ke lautan yang ke tujuh.
 
Dialog ke Dua
Ketika Nabi Isa as mengerjakan shalat di Baitul Maqdis, ia ditemui oleh iblis dan berkata,
"Sesungguhnya engkau tidak pantas menjadi seorang hamba, sebaiknya engkau menjadi Tuhan."
Namun Nabi Isa as selalu berusaha melepaskan diri dari gangguan iblis terlaknat itu, namun masih belum bisa terlepas.

Kemudian Iblis berkata lagi,
"Tidak patut engkau menjadi hamba."
Nabi Isa as lalu memohon pertolongan kepada Allah SWT dan kemudian Jibril datang bersama Mikail. Iblis dikepung lalu iblis dihantam dengan sayap Malaikat Jibril dan dibuang ke lembah jurang.

Iblis tidak kenal menyerah dan putus asa dalam menjalankan tugasnya.
Iblis lalu datang lagi kepada nabi Isa as, karena iblis tahu bahwa kedua malaikat itu tidak diutus kecuali hanya untuk itu saja, lainnya tidak.

Iblis mengulangi ucapnnya kepada Nabi Isa as bahwa Nabi Isa as tidak patut menjadi hamba.
Iblis berkata,
"Aku tahu apa yang terjadi ketika engkau marah. Aku mengajakmu untuk sesuatu yang memang seharusnya menjadi hakmu yaitu memerintah setan supaya setan itu tunduk kepadamu, sebab apabila manusia mengetahui bahwa setan-setan itu tunduk kepadamu, maka manusia pun lalu taat kepadamu dan menyembahmu."

"Aku tidak mengatakan bahwa engkau adalah Tuhan dan tidak ada Tuhan yang lain. tetapi maksud saya engkau adalah Tuhan di bumi dan Allah SWT Tuhan di langit."
Mendengar perkataan iblis yang demikian itu, Nabi Isa as berteriak sekeras-kerasnya hingga Malaikat Israfil turun ke bumi.

Malaikat Jibril dan Mikail yang melihat hal itu segera menangkap iblis kemudian Malaikat Israfil menghantam iblis dengan sayapnya lalu dibuang ke matahari. Nabi Isa as kemudian pergi, tapi masih sempat saja iblis menggoda.
"Wahai Isa, aku bertemu engkau pada hari ini mengalami kesulitan yang sangat luar biasa."

Dialog Ketiga.
Iblis laknatullah masih juga belum kapok meskipun telah dihantam sayap malaikat.
Pada suatu hari, iblis menemui lagi Nabi Isa as dan terjadilah percakapan lagi.

Nabi Isa as: Apakah kamu tidak tahu bahwa sesuatu tidak akan emnimpamu kecuali jika telah ditakdirkan kepadamu?
Iblis: Sekarang coba saja naik ke puncak gunung sana lalu jatuhkan tubuhmu dari puncak gunung itu, apakah engkau hidup atau mati?
Nabi Isa as: Apakah kamu belum mengetahui bahwa Allah SWT berfirman,
"Janganlah hambaKu mengujiKu, karena Aku berbuat sesuatu atas kkemauanKu."
maksudnya adalah jika ALlah SWT menghendaki masih hidup, maka tidak akan mati orang yang terjun dari puncak gunung. Karena hamba tidak bisa menguji Tuhannya tetapi Tuhanlah yan menguji hambaNya.

Iblis: Apakah kamu tidak mengatakan benar? Cobalah ambillah wadah lampu, kemudian pukulkan ke tubuhmu, tentu engkau akan kesakitan bukan?
Nabi Isa as: Kamu ini celaka, bukankah Allah SWT telah melarang seseorang untuk memohon atas kerusakan tubuh.

Dari Kisah Islamiah, dialog antara Nabi Isa as dan Iblis tersebut dapat diambil pelajaran bahwa segala sesuatu yang terjadi dan yang akan terjadi adalah merupakan kekuasaan dan kehendalk ALlah SWT.
Siapapun dia, bagaimanapun hebatnya, tidak akan mampu lari dari takdir Allah SWT

Sumber: http://kisahislamiah.blogspot.com

Surat untuk Istri Kedua

Yang…, melalui goresan tangan ini, kutuliskan apa yang kurasa saat ini.

Berat rasanya mengungkapkannya, namun aku harus jujur dengan diri sendiri. Seharusnya aku mengutarakannya namun apa daya aku tak mampu bertatap rupa dengan dirimu untuk menghalau segala sesak di dada ini.

Aku harap engkau di sana baik-baik saja.

Harus ku akui bahwa engkau telah mencuri perhatianku, setiap kali ku lihat sosokmu, seisi dada bergejolak.
Ada rasa hendak menghianati pilihan hatiku. 

Parasmu yang teduh menyenangkan, berada di dekatmu membuatku tak tenang. Di antara sekian Perempuan Cantik, engkau tampak berbeda. Sosokmu indah dipandang, menjadi fokus perhatian para lelaki.

Dek…, aku lemah… terlalu mudah jatuh hati, terlalu gampang terbuai pandangan mata.

Aku seorang laki-laki, lahir dari satu Perempuan. Apa yang telah kuikrarkan pantang kulanggar!

Saat ini di sini,
aku tegaskan untuk menahan dan membuang keinginan ini sejauh timur ke barat. Kutetapkan bahwa aku tak akan pernah melukai Istri Pertama, mengecewakan anak-anakku. 

Aku tahu hal ini membuatmu sedih, namun aku yakin ada yang terbaik menunggumu di sana. Berjalanlah terus, jangan goyah, niscaya dia mendapatkanmu.

Diri ini tidak ingin dicaci mereka, tak mau aku dijauhi anak, enggan aku berbuat zinah.

Cukuplah satu istri saja. Itu lebih dari cukup!
Aku tak ingin diperhamba inginku, aku tak sudi dikendalikan hawa nafsu.

Aku tidak akan membuka pintu hatiku bagi Perempuan manapun.
Hati ini ada yang punya, dialah istri Pertamaku.

dan… sekali lagi Tak Ada Istri Kedua, Ketiga dst…!

Sumber:  http://fiksi.kompasiana.com

Selasa, 02 Juli 2013

Bunga Mawar Merah untuk Ibu – Cerita Mini Edy Priyatna

Hari ini tanggal 22 Desember 2011, Ajen masuk kuliah pagi sekali. Setelah hanya dua jam kuliah ia segera meninggalkan kampus untuk pulang ke rumah. Dia anak pintar, di rumah ia hanya tinggal berdua dengan ibunya. Ayahnya sudah lama meninggal dunia. Ajen pulang bukan karena bolos tetapi hari itu memang sudah tidak ada kuliah lagi. Disamping itu ia baru ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahun ibu, makanya ia buru-buru untuk segera pulang. Dalam perjalanan pulang Ajen sempat mampir ke sebuah toko untuk membeli sebuah kado untuk ibunya.

“Ibu……ibu……ibu…..,” Ajen memanggil ibunya ketika tiba di depan rumahnya.

“Ada apa sayang…,” sahut ibunya, “koq sampai teriak-teriak begitu sih?”

“Ini bu….aku ada hadiah buat ibu. Selamat ulang tahun ya bu…,” kata Ajen memberikan hadiah tersebut sambil memeluk dan mencium ibunya.

“Terima kasih ya nak…..” sahut ibunya sambil menangis. Menerima seikat bunga mawar merah yang indah, persis seperti bunga yang pernah diberikan mendiang suaminya pada saat pertama kali bertemu.-

Sumber:  http://kumpulanfiksi.wordpress.com

Detik-Detik Wafatnya Nabi Adam as

Nabi Adam as dan Siti Hawa
Kisah Islamiah hadir sebagai pendamping saat berbuka puasa.
Kali ini dengan kisah Nabi Adam as.
Sebuah kisah mengenang detik-detik akhir wafatnya Nabi Adam asa.

Nabi Adam as sebelum meninggal dunia terlebih dahulu beliau menderita sakit.
Pada hari jumat sebelum beliau wafat, beliau memberikan wasiat kepada ahli warisnya,
Bagaimana kisahnya.


Kisahnya.
Sebagai pedoman dari kisah ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Ibnu Katsir, Al Qur'an, Ubay bin Ka'ab.
Setelah terbunuhnya putra Adam as yang bernama Habil, bukan main rasa sedih yang dialami oleh Nabi Adam as. Isak tangis pun terdengar bertahun-tahun mengiringi kepergiannya.

Pada akhirnya, Allah SWT memberikan pengganti, seorang anak yang bernama Syits.
Syits artinya adalah pemberian Allah SWT untuk menggantikan Habil.
Setelah Syits beranjak dewasa, Nabi Adam pun memberikan kepercayaan kepada Syits serta memberikan semua ilmunya kepadanya.
Bahkan ketika akan wafatpun Nabi Adam as memberikan wasiat kepada Syits untuk menggantikan dalam memimpin anak keturunannya untuk beribadah kepada Allah SWT.

Usia 960 tahun.
Setelah hidup selama 960 tahun dan sudah pula memiliki banyak keturunan, tibalah saatnya Nabi Adam as untuk bertemu Allah SWT.

Ibnu Katsir berkata,
"Para ahli sejarah telah menceritakan bahwa Adam as tidak akan meninggal kecuali ia sudah meliaht keturunannya, dari anak, cucu, cicit terus ke bawah yang jumlah mencapai 400 ribu jiwa."

Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman,

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[1] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[2], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Penjelasan ayat:
[1] Maksud dari padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.

[2] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.

Konon,
Nabi Adam as jatuh sakit beberapa hari hingga pada hari Jumat datanglah malaikat untuk mencabut nyawanya sekalian bertakziah mengungkapkan bela sungkawa kepada pemegang wasiatnya yaitu Syits.

Nabi Adam as Dishalati Malaikat.
Ubay bin Ka'ab meriwayatkan.
Sesungguhnya ketika akan datang wafat, Nabi Adam as berkata kepada anak-anaknya,
"Wahai anak-anakku, sesungguhnya aku menginginkan buah dari surga."

Maka, pergilah anak-anak beliau untuk mencari buah dari surga.
Ketika dalam perjalanan, mereka bertemu dengan para malaikat yang membawa kain kafan, ramuan minyak wangi untuk mayat, kapak, cangkul dan keranda.

Para malikat itu berkata kepada anak-anak Adam as,
"Wahai anak-anak Nabi Adam as, apa yang kalian kehendaki dan apa yang kalian cari?"
"Bapak kami sedang sakit, ia menginkan buah dari surga," kata salah satu anak Adam as.
"Kembalilah kalian, sungguh saat ini telah datang keputusan kematian bagi bapakmu," kata malaikat.

Sesaat kemudian, malaikat sudah mendatangi nabi Adam as.
Ketika mereka tiba di rumah, Siti Hawa kaget sesaat sebelum akhirnya mengerti maksud kedatangan malaikat tersebut.
"Wahai Adam, minta tangguhlah kematianmu," kata Ibu Hawa.
"Pergilah engkau dariku, sungguh aku diciptakan sebelummu. Biarkan nyawaku dicabut oelh para malaikat Rabbku," kata Nabi Adam as.

Akhirnya,
Para malikat mencabut nyawa Nabi Adam as pada hari Jumat. Para malaikat memandikannya, mengkafani, mengoleskan ramuan minyak wangi serta menggali liang kubur untuk Adam as.
Selanjutnya mereka menyalatinya lalu memasukkannya ke liang kubur dan menempatkannya di liang lahat.

Para malaikat juga meratakan tanah kuburnya.
Lalu para malaikat berkata,
"Wahai anak Adam, inilah tuntunan bagi kalian pada orang mati di antara kalian."

Wassalam...

Sumber:  http://kisahislamiah.blogspot.com

Kisah Jin yang Menjelma Menjadi Istriku

gambar ilustrasi jin
Jin dapat dilihat secara transparan dengan kasat mata bila ia menjelma menjadi makhluk berwujud, ia bisa menjelma menjadi wanita yang sangat cantik, tetapi juga bisa menjelma menjadi makhluk yang sangat menakutkan dan menjijikkan.

Tentang jin yang dapat menjelma ini, saya ingin menceritakan apa yang pernah dituturkan seorang kenalan saya, tinggal di Bandung, sebut saja namanya Agus. Dia bersama istrinya, Tina, dan seorang anak perempuannya - Nanda (6 tahun) - berangkat dari Bandung ke Jakarta dengan kendaraan sendih untuk menghadiri resepsi pernikahan putera paman Tina.

Setiba di Puncak, Tina membujuk suaminya agar beristirahat sejenak di Telaga Warna sambil menikmati udara sejuk menyegarkan. Agus mengomentari ajakan istrinya itu kemudian, "Kalau saja saya bisa mengetahui musibah mengerikan dan menjijikkan yang terjadi akibat beristirahat di tempat itu, permintaan istri saya itu pasti akan saya tolak mentah-mentah, Tetapi karena saya tak tahu tempat itu angker, saya meminggirkan mobil dan parkir di kawasan Telaga Warna tersebut. Apa yang terjadi sesudahnya membuatku merinding dan tak akan terlupakan seumur hidup."

Setelah puas menikmati keindahan panorama Telaga Warna, mereka melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Waktu itu, jalan Tol Jagorawi sedang dalam proses penyelesaian, sehingga mereka masih harus melalui Jalan Bogor lama. Setiba di Bogor, Tina meminta mampir di toko roti untuk membeli roti.

Nanda, puteri mereka pada saat itu lelah sekali sehingga tertidur di jok belakang, sedangkan Agus merasa malas turun dari mobil. Jadi. Tina saja yang turun dan pergi ke toko roti tersebut.

Beberapa saat kemudian, Agus melihat istrinya membawa bungkusan besar berisi roti dan makanan lainnya mendekat ke mobil, Agus membukakan pintu mobil. Saat istrinya memasuki mobil, sekilas tercium oleh Agus aroma bunga kamboja bercampur kemenyan yang menyebabkan bulu kuduknya agak merinding. Tetapi karena melihat wajah istrinya berseri-seri seraya mengatakan bahwa ia telah membelikan beberapa roti kesukaan Agus, maka Agus segera melupakan keanehan yang dirasakannya muncul bersamaan dengan kedatangan istrinya itu.

Tanpa curiga dan berburuk sangka, Agus menghidupkan mobil, lalu meluncur menuju Jakarta.

Sayangnya mata Agus kurang jeli. Ia tidak melihat bahwa beberapa detik sebelum mobil meninggalkan area toko roti, Tina muncul di pintu toko dengan membawa bungkusan besar dan melihat di dalam mobil ada wanita lain.

Akibatnya Tina marah besar. Ia mengira, suaminya pergi meninggalkan dirinya dengan membawa wanita lain. Saking marahnya, ia membantingkan bungkusan belanjaanya ke tanah dan dengan air mata bercucuran ia kemudian pulang naik taksi ke Bandung. Hatinya dipenuhi emosi, marah, cemburu, benci, sedih dan kesal bercampur menjadi satu.

"Awas kalau pulang nanti", katanya berkali-kali sepanjang perjalanan kembali ke Bandung. Hatinya yang terus menerus dipenuhi perasaan marah dan cemburu, bertanya-tanya siapa gerangan wanita yang pergi bersama suaminya itu? Mengapa dirinya sebagai istri ditinggalkan begitu saja tanpa menoleh sedikit pun? Mengapa Agus sampai hati meninggalkan dirinya? Bagaimana dengan Nanda, anak mereka? Apakah Nanda sedang menangis menanyakan ibunya? Jahat sekali Agus itu. Kalau saja ia tahu hati suaminya sejahat itu, tak akan mau dia diperistri. Perasaan benci semakin berkecamuk di dalam hatinya. Sedih dan luka bagai tertusuk sembilu.

Setiba di rumah langsung ia membanting tubuhnya ke atas tempat tidur dan menangis tersedu-sedu sambil tak henti-hentinya mengeluarkan ancaman terhadap suaminya.

Pada saat Tina marah-marah dan kecewa serta bersedih, Agus sama sekali tidak merasa bersalah dan tak merasa telah menzalimi istrinya. Bahkan ia asyik berbicara dengan wanita yang dikiranya istrinya itu. Sebab perjalanan itu sangat dinikmatinya. Hanya ada yang agak mengherankan hatinya, yaitu istrinya bersikap genit dan ingin bermanja-manja, beberapa kali pipinya dicium mesra.

Keheranan Agus bertambah ketika istrinya kemudian merapatkan duduknya dan merebahkan kepala ke pundaknya, seraya berkata "Maas, kalau bisa aku ingin peristiwa ini jangan cepat berlalu."

Pada waktu itu, Agus membatin, "Lho nanti kan banyak waktu sesampainya di Jakarta...."

Ketika rambutnya menyentuh pipi Agus, kembali sekilas tercium oleh Agus aroma wangi bunga kamboja bercampur aroma kemenyan, sehingga bulu romanya merinding lagi. Di dalam hati ia berjanji akan membelikan istrinya shampo standar, karena bau wangi shampo yang digunakannya saat itu menimbulkan rasa tidak sedap di hatinya.

Setiba di Jakarta, Agus langsung ke hotel di kawasan Cikini, dan memesan kamar untuk satu malam, karena ingin beristirahat sejenak menjelang resepsi pada malamnya di rumah paman Tina.

Nanda, sangat senang dan bernyanyi-nyanyi kecil lucu sambil menyentuh barang-barang hiasan yang terdapat di kamar hotel. Pada sore harinya, setelah memandikan Nanda, istrinya mengajak Agus mandi bareng, Ajakan itu dirasakan aneh oleh Agus, karena di luar kebiasaannya, tetapi ia mau juga. Di dalam kamar mandi, istrinya mesra berbisik meminta hubungan intim, Agus semula kurang setuju. Tetapi karena istrinya sangat aktif dan 'terampil' membangkitkan hasrat kelaki-lakiannya, Agus akhirnya memenuhi keinginan istrinya itu. Dan saat berhubungan badan itu, Agus menemukan beberapa hal yang tak lazim dialaminya. Di antaranya gairah istrinya luar biasa, sampai-sampai Agus merasa kewalahan.

Acara resepsi pernikahan yang dihadiri Agus bersama istri dan anaknya itu sangat meriah. Keluarga yang datang banyak sekali, sehingga bagaikan reuni keluarga besar. Mereka saling bertanya dan menceritakan keadaan terakhir keluarga masing-masing dengan gembira. Beberapa kali Nanda, meminta ayahnya membersihkan pipinya yang berubah menjadi merah bekas lipstik karena diciumi gemas oleh tante-tantenya.

Ketika berfoto bersama, istrinya semula menolak keras, Tetapi setelah didesak-desak akhirnya ia mau juga. Akhirnya acara resepsi usai sudah dan seorang demi seorang para tamu pamit pulang, demikian juga Agus sekeluarga.

Dalam perjalanan kembali ke hotel Agus melihat istrinya sangat bahagia. Bahkan komentarnya terhadap suasana resepsi bertubi-tubi. Nanda sendiri kelelahan dan segera tertidur pulas begitu kepalanya menyentuh bantal.

Melihat Nanda telah tertidur, Tina melepaskan pakaian pestanya sehelai demi sehelai, lalu menggerak-gerakkan tubuhnya dengan erotis, berusaha memancing gairah Agus, dan setelah busananya terlepas semua, ia langsung menerkam Agus, dan mengajak bercinta.

Pada malam itu berkali-kali hubungan intim mereka lakukan, membuat Agus merasa tulang-tulangnya lunglai karena kelelahan melayani hasrat istrinya yang menggebu-gebu, sehingga saat matahari telah tinggi mereka masih tertidur kelelahan. Lewat tengah hari baru mereka berangkat pulang ke Bandung,

Perjalanan pulang agak lambat karena mereka sering berhenti untuk belanja oleh-oleh. Lagi pula Agus menjalankan kendaraan perlahan karena masih agak mengantuk. Nanda, sepanjang jalan kembali tertidur pulas, mungkin karena masih kelelahan.

Menjelang magrib, ketika mobil mendekati Puncak, Tina mendesak untuk - berhenti sebentar agar kembali beristirahat di Telaga Warna. Agus menolak, Alasannya perjalanan masih jauh. Lagi pula sudah menjelang magrib. Tetapi karena Tina terus bersikeras dengan bujukan dan alasan yang sebetulnya sulit diterima akal, Agus akhirnya mengalah dan memarkir mobil di kawasan Telaga Warna.

Udara saat itu masih agak terang. Nanda, walaupun sudah terbangun namun masih menggeliat malas untuk berjalan, sehingga Agus menggendongnya turun mengikuti ibunya ke tepi telaga.

Setelah duduk, suasana menjadi santai. Tina berkata dengan serius, bahwa perjalanan ini tak akan pernah dilupakannya dan ia mencium pipi Agus berkali-kali. Kelakuannya itu dirasakankan agak aneh oleh Agus, seakan mereka tidak akan pernah bertemu lagi.

Ketika azan magrib berkumandang, terjadi kejutan dan sekaligus keanehan
yang irasional. Di luar nalar Agus, istrinya terjun ke dalam Telaga Warna. Agus terkejut setengah mati dan cemas ketakutan. Apalagi setelah mendengar putrinya berteriak histeris dan kemudian menangis meraung-raung memanggil-manggil ibunya, "Mamaaaamaama..."

Setelah menunggu beberapa saat, namun istrinya tidak muncul juga dari dalam telaga, Agus berteriak-teriak memanggil nama istrinya lalu kemudian terjun ke dalam air telaga untuk mencarinya.

Beberapa orang berkumpul melihat kelakuan Agus yang dianggap aneh. Agus menjelaskan apa yang terjadi dengan suara terbata-bata dan tubuh gemetar kebingungan. Beberapa orang kemudian tergerak untuk ikut terjun berusaha mencari istri Agus di dasar telaga. Beberapa wanita yang hadir berusaha membujuk mendiamkan Nanda yang terus menangis.

Lebih dua jam mengobok-obok seluruh telaga dibantu banyak orang tanpa hasil. Akhirnya dengan baju basah kuyup dan tubuh menggigil kedinginan serta perasaan tak menentu karena sangat sedih, Agus memutuskan untuk kembali ke Bandung dengan perinsip pencarian dilanjutkan esok paginya. Apalagi Nanda terus menangis memanggil-manggil ibunya.

Saat itu pikiran Agus terus bertanya-tanya, "Mengapa istriku tega berbuat begitu? Apa salahku? Setelah cukup lama tidak juga muncul dari dalam air apakah mungkin ia telah mati....?"

Ia menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi agar cepat tiba di rumah, dan berniat untuk mengabari saudara-saudaranya perihal istrinya yang 'hilang' itu, agar besoknya, mereka dapat ikut membantu upaya pencarian. Dengan perasaan sangat sedih dan terpukul atas musibah ini, Agus, masuk ke dalam rumah dan...


Mendengar suara mobil memasuki rumahnya, Tina yang ternyata belum tidur, bangun dan meloncat mengintip dari jendela kamar. Mengetahui suaminya pulang, emosinya kembali muncul. Diambilnya sepatu hak tingginya dan berlari ke pintu depan.

Agus sangat terkejut dan sekaligus merasa heran ketika membuka pintu depan, sepasang sepatu hak tinggi mendarat telak di kepalanya, Dan perasaan herannya bertambah ketika melihat pelakunya adalah istrinya. Agus kaget setengah mati, bahkan ketakutan, wajahnya pucat pasi, sehingga rasa sakit pada kepalanya yang benjol-memar karena terbentur sepatu tak dirasakannya lagi.

Kata Agus di dalam hatinya, "Bagaimana mungkin istriku yang hilang tenggelam di Telaga Warna sekarang muncul di hadapanku dengan wajah marah menakutkan dan suara menggelegar keras, mengumpat dan memaki?"

Dengan terpana, bengong dan perasaan tak karuan, Agus hanya bisa berdiri mematung di depan pintu, sementara Tina masih terus melemparkan segala macam benda ke arahnya sambil memaki-maki. Nalar Agus pada saat itu masih kacau belum jalan, dan masih bingung, sehingga ia tak berusaha menghentikannya. Kemudian baru buka mulut, "Ka..kaau ...ternyata masih hidup? Kukira sudah mati tenggelam." Mendengar kata-kata itu, dan melihat keadaan suaminya yang kacau, kini giliran Tina yang bingung, apalagi kemudian Nanda berlari dan memeluk dirinya sambil berteriak keras, "Mama... jangan melompat lagi ke danau, Nanda takuuut."


Tina terkejut dan heran mendengar ucapan Nanda, sehingga kemarahannya terlupakan, dan matanya melotot ke arah suaminya, meminta penjelasan, sambil mendekap Nanda yang menangis tersedu-sedu di pelukannya. Agus sendiri masih belum bisa mencerna dengan baik situasi di luar prediksinya itu, sehingga terpaku keheranan.

Melihat Agus tidak memberikan jawaban, emosi Tina timbul lagi dan berteriak keras, "Mengapa kau tinggalkan aku sendirian di Bogor, dan siapa wanita sialan itu!"

Pikiran Agus berusaha menyimak kata-kata istrinya, ... ditinggal di Bogor?, Siapa wanita itu? Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Bukankah aku pergi dengannya ke Jakarta? Kalau yang pergi denganku itu bukan istriku, lalu siapa wanita yang menyerupai diri istriku dari Bogor hingga terjun ke telaga itu?

Setelah berpikir sejenak sambil mengingat-ingat apa yang dialaminya di telaga angker itu, baru Agus sadar bahwa wanita yang bersamanya itu bukan istrinya, Tiba-tiba ia berteriak keras, " Tidaaaak....! Aku tidak tahu bahwa wanita itu bukan kau! Makhluk itu menyerupai kau, lalu kukira kau."

Kemudian Agus memeluk Tina dan berkata, "Syukurlah bahwa kau masih hidup, kukira sudah matiiiii !"

Pelukan erat suaminya seakan takut kehilangan dirinya, membuat emosi Tina akhimya cair juga dan tenang, kemudian meminta penjelasan lengkap apa yang telah terjadi sebenarnya.

Agus menjelaskan kronologis kejadian yang telah dialaminya. Tentu saja dengan menyembunyikan adegan hubungan intimnya dengan makhluk itu. Tetapi Tina tak percaya. Tak masuk di akalnya. Untuk lebih meyakinkannya, Agus mengajaknya menelepon ke Jakarta.

Paman Tina di Jakarta setelah mengetahui kejadian ini, atas permintaan Agus dan atas keingintahuannya atas peristiwa aneh yang membuat orang merinding itu, esok harinya dengan kereta api terpagi segera berangkat ke Bandung. Sang paman bersumpah meyakinkan Tina bahwa mereka bertiga - Agus,Tina dan Nanda - memang benar-benar datang ke resepsi pernikahan anaknya. Bahkan berfoto bersama, dan katanya nanti bila sudah diafdruk akan dikirim ke Bandung. Sang paman terpaksa bermalam di Bandung karena Tina sangat terpukul dan histeris dengan kejadian fantastis dan menyeramkan itu. Bagaimana pun sang paman meyakinkan keponakannya itu, ia tetap tak dapat mempercayainya. Bahkan berkali-kali ia mengatakan apa yang diungkapkan itu tak masuk di akalnya.

Besoknya salah seorang putera pamannya itu datang dengan keluarga yang lainnya dan ikut meyakinkan Tina dengan kesaksian mereka membawa hasil cetakan foto-foto resepsi perkimpoian, Tina dengan perasaan penuh keheranan memperhatikan foto yang di dalamnya terdapat foto Agus, suaminya sendiri, Nanda puterinya sedang menggandeng bayangan kosong. Ternyata makhluk berwujud Tina yang juga ikut berfoto itu tidak nampak di kertas foto.

Tiba-tiba Tina terhuyung, mujur Agus cepat menangkap tubuhnya agar tidak jatuh. Tina ternyata pingsan. Apa yang diceritakan kepadanya itu ternyata baginya cukup dahsyat menghantam jiwanya sehingga membuatnya shok. Mungkin terbayang di pikirannya apa saja yang dilakukan oleh suaminya dengan makhluk itu karena mengira bahwa mahluk itu adalah dia, isterinya.

Sampai saat ini tak seorang pun mengetahui siapa sesungguhnya wanita misterius itu, yang ikut naik mobil Agus mulai dari toko roti di Bogor, tidur di hotel bersama Agus, lalu akhirnya terjun ke Telaga Warna itu. Nanda sendiri tak pernah memikirkannya, karena pikirannya belum sampai ke sana. Bahkan ia sering bercerita kepada keluarga yang datang bahwa dirinya sangat senang diajak pergi jalan-jalan ke Jakarta bersama ibunya, menginap di hotel, pergi ke pesta, ia ternyata masih belum mampu memahami bahwa sesungguhnya orang yang dikiranya ibunya itu bukan ibunya.

Lalu pada suatu malam Agus bermimpi didatangi makhluk hijau menyeramkan, berbadan reptil seperti bunglon tetapi kepalanya menyerupai istrinya. Makhluk itu minta maaf telah mengacaukan keluarga Agus dengan menjelma dan menggantikan sosok Tina, Ia melakukan hal itu karena merasa tertarik mendengar celoteh Tina yang mesra di tepi telaga mengenai enaknya bepergian ke pesta pernikahan. Maka ia ikut dalam mobil Agus karena ingin tahu. Begitu ia melihat Tina masuk ke toko roti, kesempatan itu tak disia-siakannya lalu mendahului masuk ke mobil dengan wujud menyerupai Tina.

Makhluk itu memberitahukan bahwa ia sangat menikmati perjalanan itu dan tidak akan pernah melupakannya, dan berharap semoga Agus juga demikian. Akhirnya dia minta maaf atas segala kelancangannya itu dan juga menitipkan permintaan maafnya kepada Tina.

Agus yang sebelumnya marah dan benci kepada makhluk itu akhirnya luluh hatinya dan memaafkannya karena melihat tetesan air mata di pipinya tanda penyesalan dan ketulusan hatinya.

Makhluk itu kemudian menghilang setelah sebelumnya mendoakan agar keluarga Agus selalu rukun dan bahagia.

Sumber:  http://www.seremcuy.com

Cerita Humor Seputar Puasa :: Ketika Tiba Saat Berbuka Puasa

Ada seorang Yogis (Ahli Yoga) mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan memperdaya iman Abu Nawas. Setelah mereka mencapai kata sepakat, mereka berangkat menemui Abu Nawas di kediamannya. Ketika mereka datang Abu Nawas sedang melakukan sholat Dhuha.

Setelah dipersilahkan masuk oleh istri Abu Nawas mereka masuk dan menunggu sambil berbincang-bincang santai. Seusai sholat Abu Nawas menyambut mereka. Abu Nawas dan para tamunya bercakap-cakap sejenak.

“Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan bergabunglah bersama kami.” kata Ahli Yoga.
“Dengan senang hati lalu kapan rencananya?” tanya Abu Nawas polos.
“Besok pagi.” kata Pendeta.
“Baiklah kalau begitu kita bertemu di warung teh besok.” kata Abu Nawas menyanggupi. Hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi. Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka masing-masing.

Di tengah jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena mereka memang sengaja tidak membawa bekal,
“Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian.” kata Pendeta.

Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari dan mengurnpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain. Setelah derma terkumpul, Abu Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu Nawas kembali ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan.

Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata, “Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga.”
“Jangan sekarang. Kami sedang berpuasa.” kata Ahli Yoga.
“Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian terserah pada kalian.” kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.
“Akan tidak setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun.” kata Pendeta.
“Betul aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi. Besok pagi aku baru akan berbuka.” kata Ahli Yoga. Bukankah aku yang engkau jadikan niat pencari derma Dan derma itu telah ku tukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengizinkan aku mengambil bagian sendiri. Itu tidak masuk akal.” kata Abu Nawas mulai merasa jengkel.

Namun begitu Pendeta dan Ahli Yoga tetap bersikeras tidak mengizinkan Abu Nawas mengambil bagian yang menjadi haknya. Abu Nawas penasaran. Ia mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka tetap saja menolak. Abu Nawas benar- benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tidak memperlihatkan sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.

“Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian.” kata Pendeta kepada Abu Nawas.
“Perjanjian apa?” tanya Abu Nawas.
“Kita adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia akan mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang terburuk akan mendapat paling sedikit.” Pendeta itu menjelaskan.

Abu Nawas setuju. Ia tidak memberi komentar apa-apa. Malam semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. Ia hanya berpura-pura tidur. Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan habis makanan itu hingga tidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru bisa tidur.

Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah berseri-seri bercerita, “Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirwana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini.”

Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betul-betul luar biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya. “Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan ternyata memang benar. Aku secara tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya.”

Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta Abu Nawas hanya diam. Ia bahkan tidak merasa tertarik sedikitpun. Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dan Ahli Yoga mulai tidak sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas.

“Kalian tentu tahu Nabi Khidir. Beliau adalah seorang mahaguru para sufi. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu.” kata Abu Nawas tanpa perasaan bersalah secuil pun.

Sumber:  http://muhshodiq.wordpress.com



Hikmah Dalam Hidupku

Sempat aku merasa hidup ini tak adil untukku, aku selalu bertanya dalam hatiku, kenapa aku tidak bisa merasakan kebahagiaan yang orang-orang rasakan? memiliki keluarga yang sempurna, mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua. Memiliki ibu dan ayah, kakak dan ade, dan yang lainnya. Mungkin rasanya akan begitu bahagia memiliki banyak keluarga. Dan pada saat-saat tertentu bisa berkumpul bersama.

Aku sering lihat teman-temanku, tetanggaku yang selalu ramai dirumahnya. Meskipun dalam keadaan ekonomi yang sederhana tetapi mereka terlihat begitu bahagia. Aku juga iri jika melihat temanku yang terlahir dari keluarga yang serba kecukupan, mereka selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Berbeda denganku apa yang aku inginkan tak pernah aku dapatkan sekalipu kasih sayang dari seorang Ayah.

Aku lahir dari keluarga yang sederhana. Sekarang aku tinggal hanya bersama ibuku dan kakakku, setelah perceraian di antara ibu dan ayahku. Pada saat itu usiaku baru 4 tahun, meskipun pada saat itu aku masih kecil, tapi aku masih teringat akan kejadian itu, kejadian yang sangat menyakitkan bagiku. Dulu memang aku tidak merasakan apa-apa karena aku belum mengerti sebenarnya apa yang telah terjadi, tapi kini aku telah dewasa aku telah mengerti semuanya dan itu sangat menyisakan luka yang mendalam. Mungkin sampai mati pun aku akan terus teringat kejadian itu dan luka itu terus ada.

Sebenarnya aku tidak ingin semua itu terjadi, aku tidak ingin ibu dan ayahku bercerai, tapi aku tidak bisa apa-apa karena semua itu telah terjadi. Dan bagi meraka mungkin perceraian jalan yang terbaik. Dan aku mulai bisa menerima kenyataan itu.

Tapi meskipun mereka telah bercerai aku ingin mereka tetap menyayangiku seperti dulu waktu masih bersama. Tapi semua keinginanku itu tidak terwujud. Aku hanya merasakan kasih sayang dari sebelah pihak yaitu dari ibuku saja, karena aku memilih untuk tiggal bersama ibu, tapi meskipun begitu seharusnya kan seorang Ayah memberi nafkah anak-anaknya.
Aku tau, aku sadar aku memang bukan anak satu-satunya aku masih mempunyai seorang kakak kandung dan 2 orang adik dari pernikahan ayahku yang kedua yang menyebabkan perceraian ibu dan ayahku itu. ayahku tidak adil, Dia hanya menyayangi anak-anaknya dari istri pernikahan kedua. Sedangkan aku dan kakakku hidup terlantar makan dan untuk biaya sekolah pun hanya mengandalkan penghasilan dari seorang ibu yang tidak seberapa. Memang Dia sempat memberikan nafkah untuk aku dan kakakku, tapi itu masih sangat kurang, untuk biaya makan pun itu tidak cukup apalagi untuk biaya sekolahku dan kakak.

Aku sempat berbicara dengan ayahku, meminta sesuatu yang menjadi hakku, tapi apa yang ku dapat hanya sebuah kata-kata tangan dan cacian yang membuat hatiku terluka.
Dan dari situlah aku tidak pernah bicara lagi dengan nya, apalagi meminta sesuatu kepadanya. dan aku tidak pernah ingin melakukan hal itu lagi.
Ayahku telah mengecewakanku kedua kalinya dan aku tidak ingin terus kecawa olehnya. Aku hanya bisa berdoa semoga Dia sadar atas apa yang telah Ia lakukan kepada anaknya.

Sampai saat ini aku belum pernah bertemu dengan Ayahku lagi, dan aku juga tak pernah berharap bisa bertemu dengannya lagi. Tapi aku sadar bagaimanapun Dia adalah Ayahku, tanpanya aku takan ada di dunia ini. Maka dari itu aku masih memberikan kesempatan untuknya. Jika Dia minta maaf maka aku akan memaafkannya. Tapi sebenarnya aku telah memaafkannya meskipun dia belum meminta maaf.

Meskipun aku telah memaafkan ayahku. Tapi luka yang dibekaskan olehnya masih tersimpan di lubuk hatiku dan masih terasakan sakitnya. Aku tidak ingin larut dalam luka itu, maka dari itu aku selalu mencari aktivitas yang bisa melupakan rasa sakit dari luka yang aku rasakan. Akan tetapi sulit dipungkiri, jika ada orang, taman-temanku dan guru-guruku di sekolah menanyakan tentang Ayahku, aku selalu teringat akan semua yang pernah Dia lakukan padaku yang membuat aku terluka. Aku bingung apa yang harus aku katakan untuk menjawab pertanyaan mereka. Aku hanya terdiam dan meneteskan air mata. Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku dihadapan mereka. Padahal aku di sekolah dikenal orang yang paling tangguh, pantang menyerah, dan tidak pernah mengeluh. Tapi jika aku dilontarkan pertanyaan itu ketangguhanku meleleh, lemah tak berdaya.

Sekarang semua orang sudah tau kelemahanku. Aku tidak ingin semua itu menjadi kelemahanku.
Aku selalu menyesali semua yang terjadi dalam hidupku.
“Kenapa harus aku yang merasakanya?”
“Kenapa jalan takdir hidupku seperti ini?”
“apa salahku? Apa aku tidak pantas merasakan merasakn kebahagiaan dalam hidupku?”

Lalu aku menceritakan semua keluh-kesahku kepada ibuku tercinta. Dan Beliau mengatakan kepadaku:
“Nak, semua yang terjadi dalam hidup kita sudah ada yang mengatur yaitu ALLAH s.w.t. Allah telah mengatur suratan takdir kita, dan kita tidak pernah tau apa yang akan direncanakan_Nya. Ambilah hikmah dan pelajaran dari cobaan yang diberikan_Nya kepada kita. Karena setiap cobaan sebesar apapun pasti ada jalan keluarnya. Jangan pernah kamu sesali apa yang telah menimpa hidup kita.
Coba kamu lihat, Anak-anak jalanan sebagian besar dari mereka yatim-piatu.
Mereka tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya. bahkan Mungkin mereka tidak pernah tau siapa Orang tuanya. Seperti apa wajah orang tuanya mereka tidak tau. Tidurnya pun di emperan, mungkin saja mereka kelaparan.
Kamu harus bersyukur Nak, masih mempunyai kedua orang tua yaitu ibu dan ayah meskipun telah berpisah. Tapi ibu sangat menyayangimu.
Meskipun ayahmu seperti itu, tapi ibu yakin ayahmu pasti menyayangimu. Karena sejahat apa pun orang tua pasti menyayangi anaknya. Suatu saat pasti kamu akan merasakannya.
Ingat Nak, sebelum kita melihat orang yang lebih tinggi derajatnya dari kita, kita harus melihat dulu orang yang derajatnya di bawah kita. Agar kita selalu bersyukur, karena masih ada orang yang tak seberuntung kita”.

Aku merenungkan kata-kata ibu dan pada saat itu aku baru tersadar tak sepantasnya aku merasa hidup ini tidak adil untukku, karena ternyata masih banyak orang yan nasibnya tak seberuntung aku, tapi mereka tetap menghadapinya dengan penuh rasa syukur. Tidak sepertiku yang selalu menyesali takdirku.

“Ya, Allah ampunilah aku yana tak pernah bersyukur atas nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku. Ampunilah aku atas keraguanku kepada Mu. Sekarang hamba yakin bahwa setiap cobaan sebesar apa pun yang Engkau berikan pasti ada jalan keluarnya dan hikmahnya”.

Aku telah menemukan hikmah dalam hidupku yang mampu menyadarkanku dari semua kesalahanku. Sekarang aku tidak pernah menyesali takdiku lagi. Semua ini berkat Ibu dan tak luput dari kekuasaan Allah s.w.t.
Aku bersyukur memiliki seorang Ibu yang luar biasa selalu membimbingku kedalam kebaikan.

TERIMAKASIH IBU…

AKU AKAN SELALU MENCINTAIMU

Cerpen Karangan: Sintiya Nuri

Sumber: http://cerpenmu.com

Menggenggam Dunia – (19) GENIUS

Keunggulan poin untuk Arif pada sesi pertama dengan poin lima ratus, disusul oleh Rahmat dan Aldita dengan empat ratus poin. Hanya selisih seratus poin dari Arif, dilanjutkan dengan sesi kedua yang kemungkinan besar akan terjadi perbedaan poin yang sangat besar. Karena selanjutnya adalah sesi pertanyaan rebutan.

Terlihat Pak Rudi beserta teman-teman Rahmat, merasakan perasaan harap-harap cemas selama berlangsungnya perlombaan cerdas cermat ini. Tak dipungkiri dengan para penonton yang lain, mungkin merasakan hal yang sama seperti yang kami rasakan terhadap jagoan mereka.

“Mas Arkan, kita berdoa saja semoga Rahmat berpeluang mendapatkan poin lebih dari yang lain.” Ujar Pak Rudi terhadapku.

“Iya, Pak. Saya harap juga seperti itu.” Jawabku. “Tapi, dari cara menjawab pada sesi pertama, Arif memang sangat berpotensi untuk lolos ke babak final. Kemampuan menjawab dia, tanpa memerlukan waktu yang lama. Saya salut dengan dia, Pak.”

“Waduh, yang penting kita doakan untuk Rahmat, Mas Akan.” Seloroh Pak Rudi dengan tampang cermasnya.

“Hehe, iya Pak.” Jawabku dengan guyon berharap menenangkan hati Pak Rudi.

“Ya, sesi pertanyaan rebutan ini terdiri dari sepuluh pertanyaan. Jika pertanyaan dijawab benar, akan mendapatkan poin seratus, sedangkan jika pertanyaan dijawab salah maka akan terjadi pengurangan poin seratus.” Ungkap juri perlombaan.

“Baik, pertanyaan masih di dalam amplop yang tersegel.” Ucap sang juri sembari membuka segel yang membuat nuansa hening, karena ketegangan yang berada di ruangan.

“Siap? Soal pertama. Indiche Partij adalah partai politik pertama di Hindia Belanda. Didirikan oleh tiga serangkai. Siapa saja anggota tiga serangkai?”

TETT. Bunyi bel dari meja Arif.

“Arif, silahkan jawab.” Ucap dewan juri.

“Douwes Deker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat.” Jawab Arif.

“Betul! Seratus poin untuk Arif.” Sahut dewan juri diikuti tepuk tangan yang meriah dari penonton terutama pendukung dari sekolahnya.

Jawaban yang dikeluarkannya cukup meyakinkan. Aku melihat Rahmat sedikit agak tertekan diatas panggung. Terlihat tangannya sedikit gemetar, tanda ia memang tidak tenang.

Aku berusaha melambaikan tangan, ia melihat sekilas dengan wajah tanpa senyum. Aku hanya bisa membalas dengan kepalan tangan dan tesenyum untuk menyemangati dia. Dengan harap membuat dia sedikit tenang, diapun membalasnya dengan tersenyum.

“Pertanyaan kedua. Apakah ibu kota dari Negara Turki?”

TETT. Tiga meja bunyi hampir terlihat secara bersamaan, tetapi juri memutuskan bunyi bel pertama kali berasal dari meja Aldita.

“Aldita, silahkan jawab.”

“Istanbul.” Jawab ragu oleh Aldita

“Salah, pertanyaan dilempar.”

TETT. Kali ini bel dari meja Rahmat.

“Ankara.” Jawab Rahmat.

“Tepat! Ibu kota negara Turki adalah Ankara, sedangkan Istanbul merupakan kota terbesarnya. Seratus poin untuk Rahmat, dan kurangi seratus poin untuk Aldita.” Ucap dari dewan juri.

“Ayo, Met! Kamu pasti bisa juara Met!” sahut dari Ipul disertai tepuk tangan rekan-rekannya beserta Pak Rudi.

Jawaban benar dari Rahmat disertai semangat dari Saiful dan rekan-rekannya, membuatnya terlihat sedikit tenang dibandingkan sebelumnya. Memang terlihat sekali, ia berusaha untuk masuk ke dalam suasana lomba yang belum pernah ia hadapi sebelumnya. Aku yakin dia dengan mudah cepat untuk beradaptasi.

“Baik, pertanyaan ketiga. Tari Kipas, Tari Bosara, dan Tari Pakarena, berasal dari provinsi manakah tarian tersebut?”

TETT. Bunyi bel hanya berasal dari meja Arif dan Aldita.

“Iya, Arif terlebih dahulu.”

“Provinsi Sulawesi Selatan.”

“Seratus, untuk Arif.”

Tepuk tangan kembali terdengar dari pihak pendukung Arif. Rekannya dari SD Gentra, nampak tidak setegang dengan apa yang kami rasakan untuk mendukung Rahmat. Mereka terlihat sangat yakin, bahwa Arif akan lolos ke tahap berikutnya. Dan perwakilan gurunya, hanya terduduk manis tanpa rasa excited melihat perlombaan berlangsung.

“Pertanyaan keempat. Bagian pada mata yang berfungsi untuk mengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk adalah?”

TETT. Bel berbunyi secara serempak oleh tiga peserta.

“Ya, Rahmat. Silahkan jawab.”

“Pupil.” Rahmat menjawab yakin.

“Jawabannya, tepat! Seratus untuk Rahmat.”

Suara tepuk tangan kembali terdengar keras dari kami yang mendukung Rahmat. Perlahan tapi pasti, Rahmat tidak tertinggal jauh dari poin Arif yang hanya selisih seratus poin. Suasana lombapun semakin diliputi ketegangan, terutama dari pihak SD Gentra yang terlihat sudah mewaspadai Rahmat sebagai pesaing terberat perwakilan mereka. Akupun melihat guru yang cuek tadi, sudah menaruh perhatian dengan mengubah posisi duduknya yang terlihat tegang.

“Baik, pertanyaan kelima. Apakah yang dimaksud dengan majas ironi?”

TETT. Hanya Arif dan Aldita yang menekan bel.

“Ya, Aldita yang menekan terlebih dahulu. Silahkan menjawab.”

“Sindiran.” Singkat Aldita.

“Bisa lebih diperjelas lagi?” Pinta dewan juri.

“Oh ya, gaya bahasa yang bersifat menyindir tetapi dengan halus.” Ungkap Aldita.

“Tepat, poin seratus untuk Aldita.” Sahut dewan juri diiringi tepuk tangan dari pendukung Aldita.

“Ya, lima dari sepuluh pertanyaan telah terjawab. Kami akan menyampaikan poin sementara yang diraih dari masing-masing peserta. Saat ini, Arif dari SD Gentra masih unggul dengan tujuh ratus poin, disusul tipis oleh Rahmat dari SD Harapan dengan enam ratus poin, dan Aldita dari SD Dewi Sartika dengan empat ratus poin. Ya, beri tepuk tangan yang meriah untuk peserta kita!” ucap dewan juri.

Dilihat dari jalannya pertandingan, masing-masing peserta masih mempunyai peluang untuk menang dalam babak ini. Dari secara mental mereka semua sudah masuk dalam ritme pertandingan ini, yang dibutuhkan kali ini memang dari segi wawasan dan kecepatan dalam hal menjawab.

“Pertanyaan selanjutnya, yang keenam. Harap simak dengan baik. Mr. Michael goes to the bla bla bla. He wants to swimming with his friend. Lengkapi kalimat tersebut.”

TETT. Rahmat tak berkutik untuk menekan bel, hanya Aldita dan Arif yang menekan bel.

“Terlihat Aldita terlebih dahulu menekan, silahkan menjawab.”

Swimming pool.” Jawab Aldita.

“Silahkan untuk dieja kata tersebut.” Pinta dewan juri.

“Es-doubel you-ai-em-em-ai-en-ji. Pi-o-o-el.”

“Tepat, poin seratus untuk Aldita.” Ucap dewan juri diiringi tepuk tangan penonton yang mendukung masing-masing jagoannya.

“Baik, tersisa empat pertanyaan lagi. Ingat, masing-masing peserta masih memiliki kesempatan yang sama untuk lolos ke babak berikutnya. Diharapkan jangan sampai lengah. Selanjutnya, pertanyaan ke tujuh soal matematika, sediakan selembar kertas.”

Suasana ruangan kembali senyap diikuti ketegangan serta kecemasan yang tersirat pada wajah masing-masing pendukung. Tak kalah tegangnya dengan muka para peserta terlihat gregetan, sembari tangan kanan yang memegang alat tulis serta tangan kiri sudah siap diatas papan bel.

“Tiga jam ditambah dua ratus empat puluh detik sama dengan, berapa menitkah?”

TETT. Hanya Rahmat yang menekan bel dengan sangat cepat setelah juri selesai membacakan soal.

“Luar biasa, silahkan Rahmat.”

“Hem, tunggu.” Ucap Rahmat.

Ternyata yang dipikirkan Rahmat adalah dengan menekan bel terlebih dahulu baru menjawabnya. Ide bagus, tapi cukup rawan bila salah menjawab.

“Baik, kami hitung mundur. Lima… Empat… Tiga..,”

“Seratus delapan puluh empat menit.” Jawab Rahmat sedikit tergesa-gesa.

“Dan jawabannya, BENAR! Tambahan seratus poin untuk Rahmat.”

Yes! Sontak, suara tepuk tangan terdengar dari seluruh penonton, tak terkecuali Pak Rudi serta rekan-rekan yang terlihat berdecak kagum melihat aksi Rahmat.

“Baik, poin sementara Arif perwakilan dari SD Gentra dan Rahmat perwakilan dari SD Harapan memiliki poin yang sama yaitu tujuh ratus poin, lalu Aldita perwakilan dari SD Dewi Sartika dengan poin lima ratus.” Ucap dewan juri yang membuat suasana lomba semakin ramai dengan dukungan kepada masing-masing peserta.

“Tersisa tiga pertanyaan, penonton diharap tenang. Pertanyaan kedelapan, apakah organisasi di Indonesia yang didirikan pada 20 Mei 1908?”

TETT. Hanya Arif yang menekan bel, dengan kencang dan berulang-ulang. Mungkin dia takut didahului oleh peserta lain, walau kenyataannya hanya ia yang menekan bel.

“Budi Utomo.” Jawab Arif.

“Tepat! Organisasi Budi Utomo merupakan organisasi yang pertama di Indonesia yang dibentuk pada 20 Mei 1908. Seratus poin untuk Arif.”

Lagi-lagi, selisih seratus poin berhasil Arif raih untuk memimpin keunggulan poin sementara. Terlihat pendukung dari SD Gentra sedikit bernafas lega karena keunggulan itu, tetapi berbeda dengan yang terjadi pada kami untuk mendukung Rahmat.

Tersisa dua pertanyaan lagi. Secara persaingan untuk menuju babak final, hanya Arif dan Rahmat yang berpeluang lolos. Aldita sudah dipastikan gagal melaju di babak ini.

“Pertanyaan sembilan. Cystic fibrosis adalah sejenis penyakit karena kekurangan vitamin apa?”

TETT. Bel berbunyi dari meja Arif dan Rahmat. Jika kesempatan diberikan pada Rahmat, aku yakin dia bisa menjawabnya karena ia telah cukup belajar banyak dari buku kedokteran punyaku.

“Terlihat hampir secara bersamaan. Tapi juri memutuskan, Rahmat! Silahkan menjawabnya.”

“Vitamin E.” Jawab Rahmat.

“Tepat! Poin seratus untuk Rahmat. Sehingga perolehan poin untuk sementara Rahmat dan Arif dengan poin delapan ratus, dan Aldita dengan poin lima ratus.”

Tepuk tangan membahana dari seisi penonton yang melihat pertandingan ini. Nampak, jumlah kehadiran penonton semakin bertambah. Mungkin karena tiga pertadingan lain telah selesai, hingga mereka berkunjung ke tempat pertandingan yang masih berlangsung. Terlihat Fauzi, rekan Arif dari SD Gentra telah hadir bergabung untuk mendukung Arif.

“Baik, Aldita telah dipastikan tidak lolos untuk babak final dan untuk pertanyaan terakhir hanya ditujukan kepada Rahmat perwakilan dari SD Harapan dan Arif perwakilan dari SD Gentra untuk menjawab soal pamungkas. Soal matematika, diharap untuk mempersiapkannya. Penonton diharap tenang.” Ucap dewan juri yang memberikan nuansa tegang kepada para penonton.

“Soal terakhir, Budi pergi ke Lumajang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan dua puluh kilometer per jam. Jarak Lumajang ke rumah Budi empat puluh kilometer. Jika Budi berangkat pukul delapan lebih sepuluh menit, maka pukul berapa Budi sampai di Lumajang?”

Arif dan Rahmat berkutik dengan lembar kertas dihadapannya, terlihat Rahmat mengerjakan soal lebih tenang dibandingkan Arif. Mungkin, aku merasa Arif akan lebih terbeban karena ia membawa nama baik sekolahnya yang terbilang kualitasnya lebih baik dari sekolah Rahmat.

TETT. Arif menekan bel terlebih dahulu. Sekejap, hal itu membuatku dan Pak Rudi terkulai lemas serta ekspresi pasrah yang beraneka ragam dari rekan-rekan Rahmat.

“Ya, Arif. Silahkan menjawabnya.”

“Pukul sepuluh tepat.”

“Baik, jawaban telah diterima. Dan, jawabannya adalah…” potong juri yang seakan membuat penonton ikut berdebar-debar. Rahmat telah selesai menghitung, terihat ia ragu dengan jawaban yang ada pada kertasnya.

“SALAH! Otomatis, Rahmat perwakilan dari SD Harapan yang melaju ke babak final. Selamat!!”

Pak Rudi yang semula lemas menjadi semangat dan gembira, seakan tak percaya dengan kelolosan bocah wakil dari SD Harapan tembus ke babak final yang belum pernah terjadi sebelumnya. Rekan-rekan Rahmat bersorak gembira, melihat keberhasilan Rahmat dan aku hanya tersenyum salut padanya.

“Baik, untuk Rahmat. Anda sudah dipastikan lolos ke babak final. Tetapi apakah Rahmat mempunyai koreksi atas jawaban dari Arif?” tanya dewan juri.

“Ya, hasilnya pukul sepuluh lebih sepuluh menit.” Jawab Rahmat dengan polosnya.

“Ya, jawabanmu tepat.” Balas dewan juri yang tak kalah bangga dengan Rahmat.

Memang luar biasa, bocah bernama Rahmat ini. Genius.

Sumber: http://aliwasi.wordpress.com








Menggenggam Dunia – (18) Tak Ada Kata Mustahil

Pengumuman tinggal beberapa saat lagi, beberapa pesertapun mulai merasa ketegangan atas hasil yang mereka capai. Semua peserta, para pendamping dan penonton dikumpulkan dalam satu ruangan luas tempat gedung olahraga, sehingga menimbulkan suara sangat bergemuruh saking banyaknya para penonton yang hadir diluar pendamping dan peserta. Aku duduk bersama teman-teman Rahmat, sedangkan Rahmat bersama Pak Romli yang berdampingan dengan para peserta lain.

“Selamat Siang, semuanya.” Ucap salah seorang dari panitia di atas pangung yang terdengar dari speaker. “Baik, kami ucapakan terimakasih atas kehadiran Bapak dan Ibu serta anak-anak yang akan menjadi penerus Bangsa. Di sini kami akan membacakan peserta yang lolos ke babak selanjutnya, setelah mengikuti ujian tertulis yang diikuti oleh dua puluh delapan peserta dari perwakilan daerah. Peserta yang lolos ke babak selanjutnya sebanyak dua belas orang, dimana peserta selanjutnya akan mengikuti babak cerdas cermat meliputi semua mata pelajaran.”

Terdengar gemuruh suara tepuk tangan dari hadirin yang berada dalam ruangan itu.

“Baik, langsung saja kami umumkan satu persatu peserta yang lolos ke babak selanjutnya sesuai peringkat atas ujian tertulis. Peringkat pertama, kami ucapkan selamat kepada Fauzi Nurwenda dari SD Gentra.” Ucap panitia disertai suara tepuk tangan dari para penonton yang hadir. “Kepada Fauzi silahkan naik ke atas panggung. Selanjutnya, wakil dari SD Negeri Pajajaran yaitu Taufik Hidayat.”

Suara gemuruh kembali terdengar dari penonton yang hadir, untuk peringkat pertama dan kedua memang tidak mengejutkanku karena mendengar dari cerita Pak Romli, mereka berdua layak dijagokan untuk mewakili Tingkat Kota ke Tingkat Provinsi.

“Baik, selanjutnya peringkat ke tiga dalam ujian tertulis, jatuh kepada wakil dari SD Gentra yaitu Arif Saputra silahkan untuk naik ke panggung.” Kembali suara gemuruh penonton bertepuk tangan mengikuti langkah Arif menuju panggung.

“Kami ucapkan selamat kepada tiga besar peserta yang berhasil dalam ujian tertulis. Sebagai penghargaan, kepada tiga besar peserta akan mendapatkan sebuah bingkisan dari sponsor pada akhir acara. Kami lanjutkan kembali, untuk peringkat keempat dan kelima jatuh kepada Dewangga Aditya dari SD Negeri Pajajaran dan Kiki Haqiqi dari SD Babakan Sirna. Silahkan untuk naik ke atas panggung.”

Suara tepuk tangan kembali membahana untuk mereka yang dipanggil oleh panitia. Sudah lima peringkat yang dipanggil, dan masih ada harapan untuk Rahmat melengkapi dua belas peserta.

“Selanjutnya peringkat enam dan ketujuh, jatuh kepada perwakilan dari SD Baros Kencana yaitu Devi Sohifah dan Aldita Kumara dari SD Dewi Sartika. Kami persilahkan untuk naik ke panggung.”

Tinggal lima peserta lagi yang belum dipanggil, perasaanku diliputi harap-harap cemas dan berharap Rahmat dapat masuk dalam lima peserta yang belum dipanggil.

“Selanjutnya peringkat delapan dan kesembilan jatuh kepada perwakilan dari SD Pakujajar yaitu Adesti Pratiwi dan Hani Fauziah dari SD Brawijaya. Kami persilahkan untuk maju ke panggung.”

Tiga peserta lagi untuk melengkapi dua belas besar, peluang Rahmat semakin kecil karena dari sembilan belas peserta yang belum terpanggil hanya terpilih tiga orang peserta untuk melengkapi dua belas besar. Semoga tiga nama yang akan disebut, salah satunya adalah Rahmat.

“Dan tiga peserta terakhir adalah, Rahmat Dipraja dari SD Harapan, Geri Tria Irawan dari SD Kopeng, dan Romlan Satria dari SD Nusa Bangsa. Silahkan untuk naik ke atas panggung.”

Rahmat disebut oleh panitia dan berada di posisi sepuluh besar, tak ayal pengumuman terakhir itu membuat rasa harap-harap cemas berubah menjadi bahagia yang tiada kira. Aku bersama dengan teman-teman Rahmat bersorak gembira mendengar nama Rahmat masuk dalam babak selanjutnya. Aku yakin Pak Romli pasti bangga pula atas prestasi Rahmat yang sempat diragukan oleh rekan-rekan guru, karena hal itu merupakan untuk pertama kalinya untuk wakil dari sekolah tembus babak dua belas besar yang tak pernah dicapai semenjak diadakan lomba murid Teladan Tingkat Kota.

“Sekian pengumuman dari kami, terima kasih.” Ucap panitia mengakhirinya.

***
Aku bersama teman-teman Rahmat mengahampiri Pak Romli yang sedang berbincang dengan seorang pendamping peserta.

“Eh, Mas Arkan.” Sambut hangat Pak Romli yang terpancar kebahagian dari raut mukanya.

“Saya ingin bertemu dengan Rahmat, bisa Pak?” harapku.

“Wah, sepertinya sulit Pak. Tadi saya dapat pengumuman dari panitia, bahwa yang berhasil masuk dua belas besar akan langsung diamankan dalam arti jangan sampai pihak luar berusaha berkomunikasi dengan peserta sampai waktu yang telah ditentukan.” Ujar Pak Romli.

“Loh, kenapa Pak?”

“Karena itu mekanisme dalam peraturannya, Mas. Peserta yang lolos tidak bisa diberi kesempatan lagi untuk belajar dan langsung menuju pertandingan di cerdas cermat di babak kedua. Lalu saya dapat kabar juga, nanti babak selanjutnya dari dua belas peserta itu akan dibagi menjadi empat kelompok, jadi setiap kelompok ada tiga orang dan tiap kelompok itu hanya satu yang dapat tembus babak final. Saat ini, undian peserta lagi ditentukan dimana ditiap kelompok itu akan diwakili oleh empat besar dari peringkat ujian tertulis.”

“Sudah ditentukan, Pak?”

“Akan ditentukan sesaat lagi, Mas Arkan silahkan tunggu diruang penonton bersama Saiful dan yang lain untuk menyemangati Rahmat dari bangku penonton.”

Terlihat pihak panitia menghampiri para pendamping memberikan selembar kertas.

“Nah ini dia, masing-masing kelompok yang akan bertanding di babak kedua. Rahmat sekelompok dengan Arif yang berada di peringkat tiga dan Aldita peringkat tujuh.” Ucap Pak Romli dengan mimik yang sedikit pesimis.

“Boleh saya lihat kertasnya, Pak?” ucapku.

“Silahkan.”

Pak Romli memberikan lembaran kertas itu padaku. Selain Rahmat yang menjadi pusat perhatianku, aku mencari nama Fauzi yang telah memenangi peringkat pertama dalam ujian tertulis. Fauzi sekelompok dengan peringkat enam dan sebelas. Tak ada yang meragukan lagi, aku yakin Fauzi akan lolos ke tahap berikutnya. Sedangkan kelompok lain mempertemukan Taufik bersama peringkat sembilan dan dua belas, serta kelompok terakhir mempertemukan Dewangga, Kiki dan Adesti.

Dari hasil undian itu memang cukup sulit untuk tembus ke babak final. Menang ataupun kalah hal itu cukup menjadikan pengalaman yang berhaga untuk Rahmat, walau kesempatan ke final hanya satu berbading tiga tapi aku meyakini tak ada kata mustahil untuk menciptakan sebuah keajaiban.

***

Lomba Cerdas Cermat diadakan serempak untuk setiap kelompok diruangan yang berbeda. Aku bersama dengan Saiful dan kawan-kawan tak ada hentinya menyemangati Rahmat walau hanya berupa bahasa isyarat, karena penonton tidak diperkenankan untuk mengganggu peserta.

Aku melihat Rahmat terlihat agak sedikit gugup untuk memulai perlombaan ini dibanding dengan Arif yang sudah terbiasa mengikuti lomba. Disisi lain Aldita, seorang gadis cilik berambut panjang itu tampak pasrah dan terlihat selalu menunduk ke bawah, entah karena malu, grogi, ataupun tanda siap untuk mengibarkan bendera putih pada lawan-lawannya.

“Selamat Siang.” Ucap juri membuka perlombaan. “Selamat kepada para peserta yang berhasil lolos ke babak kedua. Di babak kedua ini, akan dilangsungkan Lomba Cerdas Cermat meliputi pelajaran Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Seni, dan Pendidikan Jasmani. Lomba akan berlangsung dalam dua sesi, sesi pertama para peserta dipersilahkan untuk memilih salah satu amplop yang berada di juri, dan amplop itu berisi lima pertanyaan yang akan ditanyakan langsung kepada peserta yang mengambil amplop tersebut. Satu pertanyaan benar mendapatkan poin seratus dan jika salah menjawab, pertanyaan akan dilempar kepada peserta lain. Untuk peserta pertama silahkan kepada Rahmat untuk mengambil amplop yang telah disediakan.”

Rahmat segera mengambil amplop lalu memberikannya pada juri.

“Baik, amplop masih dalam keadaan disegel.” Ucap juri sembari membuka amplop dengan menggunting ujungnya dan mengeluarkan kertas didalamnya. “Pertanyaan pertama mengenai Matematika. Apakah yang dimaksud dengan bilangan genap?”

“Bilangan yang bisa dibagi dua atau bilangan dengan kelipatan dua.” Jawab Rahmat dengan yakinnya.

“Poin seratus untuk Rahmat. Pertanyaan kedua, mengenai Ilmu Pengetahuan Alam. Sebutkan tiga macam makanan yang termasuk ke dalam protein nabati.”

“Tahu, tempe, dan …” Jawab Rahmat sembari mengira-ngira jawaban selanjutnya.

Juri melihat arloji menunggu Rahmat untuk melengkapi jawabannya. “Lima detik lagi, jika tidak menjawab dilanjutkan pada pertanyaan berikutnya.” Ucap Juri.

“Kacang. Kacang-kacangan.” Ucap Rahmat.

“Poin seratus untuk Rahmat.”

Sontak suara tepuk tangan dari teman-teman Rahmat dan Pak Romli yang sebelumnya tegang karena Rahmat terlihat kesulitan untuk menjawab pertanyaan.

“Baik, penonton diharap tenang. Pertanyaan selanjutnya, mengenai Ilmu Pengetahuan Sosial. Siapakah presiden pertama Republik Indonesia?”

“Bapak Insinyur Soekarno.” Jawab Rahmat.

“Poin seratus untuk Rahmat, pertanyaan berikutnya mengenai kesenian. Termasuk dari daerah manakah alat musik angklung?”

“Jawa Barat.”

“Poin seratus untuk Rahmat, dan pertanyaan terakhir untuk sesi pertama mengenai pendidikan jasmani. Sepak bola berasal dari negara?”

“Brasil.” Jawab Rahmat dengan yakin.

“Salah, yang benar adalah dari Negara Inggris.”

Terlihat Pak Romli seperti menyayangkan karena Rahmat gagal menjawab pertanyaan kelima. Rekan-rekan Rahmat pun hanya bisa menghembuskan nafas panjang, tanda gregetan mereka karena melihat Rahmat menjawab salah.

Poin untuk sesi pertama yang dikumpulkan oleh Rahmat adalah dengan poin empat ratus.”

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com