Minggu, 20 April 2014

PERMAISURI HATI FAHRIE

Mata Fahrie menatap buliran-buliran rintik hujan dibalik kaca jendela ruang bersalin tempat istrinya Farida dirawat setelah baru saja melahirkan 2 jam yang lalu. Samar-samar dia teringat sesuatu. Dia berusaha keras mengingat potongan-potongan memori yang dialami sepanjang perjalanan hidupnya.
Memori itu mulai tersusun dalam benak pikirannya. Mulai dia mengenal kekasihn
ya sebelum dengan Farida, hampir empat tahun dia merajut kisah asmara bersamanya, tinggal satu langkah lagi mereka memasuki jenjang pernikahan. Tapi sayang mereka tidak berjodoh, tak tahu apa sebabnya kekasih Fahrie meninggalkanya begitu saja dan menikah dengan lelaki lain.
Sejak itu Fahrie patah hati, dia mulai mengenal dunia yang lain sebagai pelampiasannya. Hidupnya berubah sangat drastis, dan sebagai pelampiasan atas kekesalan pada nasibnya, dia suka mempermainkan hati wanita yang dia kehendaki. Beberapa wanita bertekuk lutut terhadap rayuannya.
Dan setelah dia mendapatkannya, lalu dia tinggalkan begitu saja. Saat itu hidupnya kacau dari satu wanita ke wanita yang lainya, dan rata-rata mereka cantik secara fisiknya.
Hingga suatu hari dia menemukan titik balik jalan kearah yang benar setelah berjumpa dengan seseorang yang bisa menuntun jalan hidupnya, dia seorang mantan preman yang telah tobat dan menjadi seorang ustad. Kisah hidupnya lebih parah dari Fahrie, kemudian mereka berteman dan sejak itu Fahrie mulai belajar sedikit demi sedikit tentang agama darinya.
Alhamdulillah Fahrie diberi petunjuk sama Allah melalui dia, Ustad Zulkarnain namanya. Kemudia Fahrie bertemu dengan teman kecilnya yaitu Farida. Mereka saling mengenal karena mereka bertetangga. Dan juga sejak kecil mereka sering main bersama.
Fahrie jatuh cinta padanya ketika Farida umur 25 tahun dan Fahrie umur 30 tahun, dan gayung pun bersambut, Farida juga mencintainya. Tak terbayang oleh mereka kalau mereka berjodoh dan menjadi kekasih hati terajut oleh untaian tali pernikahan.
Jujur Fahrie mengakui Farida tidak terlalu cantik, juga bukan keturunan orang berpangkat, bangsawan atau pun ningrat. Dia tidak perduli, raga yang terbalut kain-kain penutup aurat dan jiwa yang terpaut akherat itu yang dia inginkan, terlebih terpoles ilmu syar’i. Maka tekadnya pun bulat untuk meminang Farida saat itu.
Maka keinginan Fahrie, ia sampaikan pada kedua orang tuanya. Sempat kedua orang tua Fahrie tidak merestui hubungan mereka. Faktor klise yang mendasarinya. Karena orang tua Fahrie tergolong orang berada, sedangkan orang tua Farida orang biasa saja.
Fahrie tak patah semangat dia tetap berusaha memberi pengertian kepada kedua orang tuanya. Dan akhirnya hati kedua orang tua Fahrie pun luluh, karena kesederhanaan yang dimiliki Farida.
Hari bahagia yang ditunggu-tunggu pun datang, pernikahan sederhana digelar di rumah Farida. Terbitlah kebahagian yang mereka tunggu menyelimuti sanubari. Telah tiba saatnya biduk rumah tangga yang harus berlayar di samudra kehidupan terhempas sudah karang-karang penantian yang bertengger di taman hati mereka.
Dan malam yang penuh kebahagian, masih terbayang dipelupuk mata Fahrie, ketika dia menatap wajah Farida, matanya fokus memandang bola mata bening milik Farida dan sang pemilik pun membalasnya dengan senyuman. Beberapa detik mereka merasakan getaran yang sama yang berkecamuk didalam hati. Dan buliran-buliran air mata haru pun jatuh membasahi kedua pipi mereka.
Semenjak menikah hingga saat ini mereka memutuskan untuk hidup mandiri, dan memulai biduk rumah tangganya dari nol. Dengan restu orang tua, dan berbekal ketrampilan Fahrie sebagai seorang penulis, maka mereka memulai perjalanan rumah tangganya dengan kalimat Hamdalah, mereka hidup di kontrakan rumah yang ukurannya tidak terlalu besar, cuma ada ruang tamu, kamar tidur dengan sebuah ranjang usang dan beralaskan kasur tipis, disetiap detik perjalanan hidup mereka, dinikmati dengan penuh kebahagiaan
Walaupun penghasilan suaminya tergolong paspasan bahkan antara pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang, mereka pun harus hidup hemat, mengikis keinginan karena tidak sanggup menggapainya. Benar-benar tak pernah melihat kristas bening yang menetes dari pelupuk mata Farida karena hal itu.
Dia wanita sederhana yang pintar, tak banyak bicara, kesederhanaan dan kedewasaan yang diperagakan justru mengusik hati Fahrie, tak bisa dia pungkiri dan tutupi, dia mencintai Farida. Tak terasa tetes bening air mata bak kristas menetes membasahi kedua pipinya. Diusapnya air mata itu dengan kedua tangannya.
“Abi… dimana anak kita?”
Tersentak Fahrie mendengarnya, dia tahu kalau seharian tadi Farida tidak makan karena kesakitan sejak kemarin dan ketika dia tawarkan sepotong roti Farida tidak mau karena rasa sakit yang diderita menyebabkan hilang nafsu makannya. Tapi ketika terbangun dari rasa letih, bukan rasa lapar yang didahulukannya, tapi buah hati yang ia tanyakan.
Bayi yang menjadi permata hati mereka lahir dengan selamat dan nampak sehat, membuat rasa lapar dan dahaganya hilang seketika. Dengan begitu perhatiannya, Fahrie menyuguhkan segelas air putih, dia berharap agar kemesraan yang terjalin dan barangkali letih yang diderita istrinya akan segera terkikis.
Sepotong roti yang Fahrie tawarkan tadi kepada istrinya telah habis ia makan, karena Farida tak nafsu makan tadi. Saat ini hari sudah malam, tidak ada toko atau warung yang menjual makan . Segelas air putih pun dia teguk perlahan tanpa ada keluhan atau tuntutan.
Setelah minum satu gelas air putih, Farida lemas tertidur, wajahnya pucat pasi. Fahrie terlihat sangat bingung, dibangunkan tubuh istrinya yang tidak berdaya, tetap saja tak terbangun, maka dia pun mulai panik, dipanggilnya bidan dan suster yang ada di rumah sakit itu, maka kepanikanpun terjadi di ruang kamar Farida, dia mengalami pendarahan setelah habis melahirkan, HBnya turun dan sangat rendah. Jika tak tertolong maka nyawanya terancam.
Kondisi Farida semakin parah, sudah 2 hari dia dalam kondisi tak sadarkan diri. Transfusi darah sudah dilakukan, dokter pun sudah berusaha menolongnya, tapi hasilnya belum maksimal. Kiranya Allah masih menguji umatnya, kini tubuhnya terbaring lemas tak berdaya, Fahrie sedikit pun tak beranjak duduk disamping tempat tidurnya, dia genggam tangan Farida dan berkata.”Dinda, satu pinta yang aku mohon kepada Allah disetiap sujud dan tarikan nafasku, ku mohon janganlah kau tinggalkan aku.”
Kembali air mata bening bak kristas jatuh di kedua pipinya dengan penuh kesedihan. Tak terasa air mata itu jatuh menelusuri lembah hidungnya kemudian tetesan terakhirnya jatuh di kening istrinya Farida.
Satu keajaiban walaupun Farida dalam kondisi koma hatinya bisa merasakan kesedihan yang sedang dialami suaminya Fahrie, kedua mata yang terpejam sejak 2 hari yang lalu kini mengeluarkan air mata yang bening penuh kesedihan. Fahrie melihat perubahan membaik pada kondisi Farida, dia senang.
“Dinda, bangunlah. Anak kita masih membutuhkan kita, mari kita merajut hari bersama. Kita masih punya cita cita, membuat permadani cinta bersama, untuk mewujudkan impian kita.”
Air mata haru Farida semakin deras meleleh di kedua pipinya, mendengar ucapan suaminya. Mulutnya terkunci rapat oleh kondisi kesehatannya, tapi hatinya tetap berbicara merasakan kesedihan yang ada.
Sudah satu minggu Fahrida terbaring lemas tak berdaya. Kemajuan akan perkembangan kesehatannya pun sangat lambat, dia hanya bisa menangis bila diajak bicara dan tangannya sedikit bergerak, tapi kesadarannya belum juga pulih. Disetiap sujud Fahrie, dikeheningan malam dia panjatkan doa-doa kepada Allah, untuk kesembuhan Farida istrinya.
Kondisi kesehatan Fahrie mulai melemah. Berat badannya sempat turun beberapa kilogram, dan saat ini dia sedang terserang virus influenza. Ada satu yang membuatnya tetap semangat yaitu perkembangan kesehatan bayinya, anaknya lahir dengan selamat dan sehat.
Tepat dihari yang kesepuluh, bak sejuknya tanah yang gersang yang kembali subur setelah dentuman hujan, bak cerahnya bunga mawar yang mulai merekah kelopak-kelopaknya, bak syaduhnya kicauan burung menyambut datangnya mentari pagi, begitulah kuncup bahagia dihati Fahrie.
Di pagi yang cerah, kiranya Allah telah mengabulkan doa-doa Fahrie yang selama ini dia panjatkan. Dia melihat senyum manis di wajah Farida, senyum manis itu datang kembali, Farida mulai siuman, setelah sepuluh hari tidak sadar.
Dan kini air mata bahagia mereka tumpahkan bersama, sujud syukur Fahrie persembahkan atas nama Allah yang telah memberinya kebahagian, yaitu anugrah yang terindah dalam hidupnya adalah istri dan anaknya, dalam hati dia menganggumi istrinya, engkaulah permaisuri hatiku.
Penulis: Salami Ami Malang: 24- Oktober- 2012
Sumber: cerpenomben.blogspot.com
 
 

KISAH KETABAHAN NABI AYYUB

Nabi Ayyub adalah seorang bangsa Rum, beliau putra ‘Aish bin Ishak, seorang Nabi, ibunya salah seorang putri Nabi Luth. Beliau termasuk salah seorang laki-laki yang memiliki otak cerdas dan jenius. Beliau rajin, berbudi luhur lagi bijaksana. Ayahnya adalah seorang yang memiliki kekayaan, memiliki sejumlah besar hewan ternak, onta, lembu, domba, kuda, keledai dan khimar. Tiada seorang pun yang membandingi kekayaannya di negri Syam di masa itu. Setelah wafat, harta benda di wariskan semua kepada Nabi Ayyub. Beliau menikah dengan Dewi Rahmah putri Afrayim anak laki-lakinya Nabi Yusuf. Dari pernikahan mereka Alloh menganugrahi 12 kali mengandung, setiap lahir 2 orang anak, masing-masing putra dan putri.

Nabi Ayyub di utus oleh Alloh kepada kaumnya, yakni kaum Huran dan Tih, beliau berbudi baik dan halus, sepanjang hidupnya tiada seorang pun yang menyalahi dengan dusta dan ingkar, berkat kehormatan yang diberikan oleh Alloh kepadanya dan ibu bapaknya. Beliau suka mendirikan masjid-masjid dan menyampaikan syari’at-syari’at agama Alloh. Beliau suka menyantuni anak-anak yatim bagaikan seorang bapak yang penuh kasih sayang, terhadap para janda bagaikan seorang suami, demikian pula terhadap rakyat kecil yang lemah bagaikan saudara kandung penuh cinta kasih. Para pembantu yang mengurus tanaman dan buah-buahan di kebun dan sawahnya, dipesankan kepada mereka supaya membiarkan bagi siapa saja yang yang ingin memetiknya.

Dalam hal peternakan, setiap tahun terus meningkat, bahkan setiap hewan mempunayi anak kembar-kembar, sekalipun demikian semua harta kekayaan tidak mempengaruhinya sedikitpun, beliau pandai mensyukuri nikmat pemberian Alloh, baik dalam hati maupun dicetuskan lewat lesannya, bahkan beliau selalu memanjatkan do’a kepada Alloh, “Ya Alloh, ini semua adalah pemberian-Mu kepada semua hambamu di lokasi penjara dunia, sangat jauh dibandingkan dengan pemberian-Mu di sorga bagi ahli karomah-Mu di negri penuh hidangan-Mu”.

Itulah pangkal penyebab timbulnya iri, drengki makhluk Alloh tiada berbudi sebangsa Iblis. Iblis tidak terima dengan keberhasilan Nabi Ayyub, suatu hari ia berkata, “Ayyub benar-benar sukses usahanya, baik urusan dunia maupun akhirot. Untuk itu, ia harus dirusak salah satu atau kedua-duanya”.

Pada masa itu, Iblis dapat naik ke langit tingkat tujuh, ia bebas parkir di tempat mana saja sesukanya. Pada suatu hari ia naik seperti biasanya, dan ditanya oleh Alloh,

“Hai makhluk terkutuk, tidakkah melihat hambaKu yang telah sukses dalam usahanya? Mampukah kamu mencontoh barang sedikit saja?”.

“Ya Tuhan, benar saja Ayyub tekun beribadah kepadaMu, sebab ia diberi kelapangan rizki dan kesehatan jasmani, seandainya tidak demikian, pasti ia pun enggan beribadah kepada-Mu, ia seorang hamba yang penuh dengan kecukupan”. Jawab Iblis.

“Bohong kamu, sebab Aku tahu pasti bahwa ia benar-benar beribadah dan bersyukur kepadaKu, sekalipun tiada kelapangan rizki baginya”.

“Ya Tuhan…. kalau begitu, aku ingin mengujinya, sampai sejauh mana ia tidak lupa berdzikir dan beribadah kepadaMu, untuk itu berilah aku kemampuan untuk menguasai dirinya!”. sahut Iblis.

Setelah terjadi perdebatan yang panjang, akhirnya Alloh memenuhi tuntutan Iblis terkutuk, dengan catatan tidak pada jiwa dan lesan Nabi Ayyub.

Sekembalinya dari langit, Iblis menelusuri pantai laut, ia berteriak sekerasnya memanggil bangsa jin. Dengan waktu yang tidak lama semua bangsa jin pun segera berhimpun, tiada seorang pun yang tersisa, baik pria maupun wanita, semuanya mendekat di sisi Iblis, kemudian bertanya,

“Apa yang menimpa tuan besar?”.

“Kini aku memperoleh proyek besar, yang belum pernah diperoleh sejak aku sukses menggulingkan Adam dari surga, yaitu memperdaya Ayyub, untuk itu marilah kita kerjakan bersama-sama”.

Tanpa banyak pertanyaan, semua bangsa jin dengan caranya masing-masing mulai bergerak memperdaya Nabi Ayyub. Mereka mengerahkan seluruh pasukan yang ada, dan mengatur strategi. Rumah-rumah, taman-taman, kebun-kebun dan sawah-sawah semua mereka hancurkan, sehingga semua harta kekayaan Nabi Ayyub habis dimusnahkan Iblis dan bala tentaranya.

Setelah berhasil menghancurkan semua harta kekayaan Nabi Ayyub, Iblis menghampiri Nabi Ayyub yang sedang sholat di masjid dan berkata,

“Hai Ayyub, kenapa engkau tenang-tenang beribadah kepada Alloh, padahal engkau dalam keadaan terancam bahaya. Tuhanmu telah mengirim api dari langit yang membumi hanguskan seluruh harta kekayaanmu”.

Nabi Ayyub tidak menjawab sepatah kata pun pada omongan Iblis, bahkan beliau memanjatkan doa kepada Alloh setelah sholat selesai, “Segala Puji bagi Alloh yang telah memberi harta kekayaan kepadaku, kemudian sekarang sudah saatnya Dia menarik kembali dari tanganku”. Setelah berdoa kemudian beliau meneruskan lagi sholatnya.

Melihat keadaan seperti itu, Iblis merasa usahanya tidak berhasil dan ia pulang dengan penuh kecewa, bahkan merasa terhina dan menyesal akibat tindakan Nabi Ayyub.

Adalah Nabi Ayyub punya 14 orang anak, tujuh diantaranya putra, dan tujuh putri. Setiap hari makan siang di rumah saudaranya, saat itu berkumpul di rumah saudara mereka tertua  (yakni Harmula), dan pasukan syetan pun menyekap mereka dan melempari, hingga meninggal dunia semua dalam satu meja makan, diantara mereka ada yang tengah menyuap makanan dan ada pula yang memegang gelas minuman. Lagi-lagi Iblis menghampiri Nabi Ayyub, yang tengah shalat. Sahut Iblis,

“Hai Ayyub, kenapa engkau tetap tekun beribadah pada Allah, padahal Allah telah merobohkan rumahmu dan menimpa anak-anakmu, hingga binasa seluruhnya?”.

Namun Ayyub tidak menjawab sedikitpun, bahkan ia menyempurnakan shalatnya. Setelah selesai sholat beliau berdoa,

“Segala puji bagi Allah Yang telah memberiku, dan menarik kembali dariku”. Setelah berdoa Nabi Ayyub menambahkan, “Hai Iblis makhluk terkutuk, ketahuilah bahwa seluruh harta dan anak-anak adalah fitnah, ujian bagi pria maupun wanita, dan semua telah ditarik kembali oleh Allah  dari tanganku, hingga aku mampu bersabar dan tetap tekun beribadah kepada Tuhanku”. Kembali Iblis pulang dengan penuh kecewa, merugi serta terkutuk.

Namun Iblis tidak berputus asa, ia  terus mengejar Nabi Ayyub, lagi-lagi ia datang sewaktu Nabi Ayyub tengah melakukan shalat, bertepatan Ayyub melakukan sujud, Iblis meniup hidung dan mulut, maka mengembunglah tubuh Ayyub dan banyak berpeluh, hingga badan terasa berat. Melihat keadaan itu Rahmah istrinya mencoba menghibur dan mengingatkan Nabi Ayyub,

“Derita sakitmu ini adalah akibat kesedihanmu memikirkan hartamu yang musnah dan bencana yang menimpa anak-anakmu, sedang kamu beribadah terus menerus di malam hari, siangnya berpuasa, tak kenal istirahat barang sesaat pun, lagi pula tak suka berhibur”.

Selang beberapa hari kemudian Nabi Ayyub diserang penyakit cacar seluruh tubuhnya, mulai kepala sampai kaki, darah dan nanah mengalir dari tubuhnya, dan ulat-ulat pun berjatuhan, akibatnya seluruh famili dan kawan-kawan menyatakan cerai dan menghindarinya. Demikian pula dua dari ketiga orang istrinya menuntut cerai secara resmi, kecuali dewi Rahmah seorang istrinya yang setia melayani siang dan malam hari.

Tidak terbatas sampai di sini penderitaan Nabi Ayyub, kaum hawa tetangganya menuntut Nabi Ayyub supaya angkat kaki dari kampungnya, lewat istrinya, mereka berkata,

“Hai Rahmah, kami sangat khawatir kalau nanti penyakit suamimu menular pada anak-anak kami, seharusnya ia disingkirkan saja dari kampung kami, kalau tidak, kami akan memaksamu keluar”.

Mendengar perkataan tetangganya, Dewi Rahmah pun segera keluar,  pakaiannya dibungkus, lalu dibawa pergi sambil berteriak keras,      “Aduh, demikian berat penderitaan ini, kami harus mengembara dan berpisah, mereka telah mengusir dari kampung dan rumah kami”.

Nabi Ayyub di gendong pada punggungnya, diiringi isakan tangis istrinya, ia dibawa  kesebuah lokasi bekas  rumah yang sudah rusak, tempat pembuangan sampah dan disanalah ia ditaruh. Baru beberapa hari bertempat di situ, masyarakat sekitar melihat demikian itu kontan mengusirnya juga, dan mereka tidak segan-segan mengerahkan anjing-anjingnya untuk memaksa  Nabi Ayyub dan istrinya keluar dari lokasi tersebut. Dengan terpaksa dan diiringi isakan tangis Dewi Rahmah pun membawa pergi Nabi Ayyub menuju suatu tempat yang jauh dari kampung. Sesampainya disana Dewi Rahmah membuat sebuah gubug dari kayu dan disitulah Nabi Ayyub di rawat. Keesokan harinya Dewi Rahmah pergi dan datang dengan membawa alas tidur sebangsa tikar serta batu sebagai bantalnya. Untuk mengambil air minum, Dewi Rahmah membawakan wadah air yang biasa dipakai oleh para penggembala memberi minum ternak-ternaknya.

Suatu hari Dewi Rahmah berniat ingin menuju suatu dusun terdekat untuk mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dan untuk dibelikan sesuap nasi, tapi Nabi Ayyub memanggilnya, “Hai Rahmah, kembalilah.. aku menasehatimu, jika kamu hendak pergi menjauh dariku  aku akan kamu biarkan sendirian di tempat ini”.

“Janganlah tuanku khawatir, sebab tidak mungkin aku membiarkanmu seorang diri, selama hayat dikandung badanku”. Jawab Rahmah dengan lembut.

Akhirnya Dewi Rahmah berangkat menuju suatu dusun, dan diterima sebagai karyawan pada suatu perushaan roti. Ia bekerja setiap hari pada perusahaan roti berangkat pagi pulang sore untuk memberi makan Nabi Ayyub. Lama kelamaan masyarakat dusun itu mengerti bahwa ia adalah istri Nabi Ayyub, mereka pun berhenti tidak suka memberi makan padanya sambil mengatakan,

“Menjauhlah dari kami…sebab kini kami merasa jijik padamu”.

Sambil menangis, Dewi Rahmah memohon kepada Alloh,

“Ya Alloh…Engkau melihat keadaanku ini, seolah-olah dunia ini berubah menjadi sempit bagi kami, semua orang selalu menghina dan mengejek kami, namun kami berharap janganlah Engkau menghina kami kelak di akherat. Ya Alloh…mereka telah mengusir dari rumah kami di dunia, namun kami berharap janganlah Engkau mengusir kami dari rumahMu kelak di akhirat”.

Kemudian ia pun berangkat untuk menemui wanita istri perusahaan roti itu, sesampainya disana, ia mengutarakan keinginannya pada wanita itu,

“Sungguh, suamiku saat ini tengah lapar, untuk itu perkenankanlah aku meminjam roti kepadamu”.

“Menjauhlah dariku secepatnya supaya suamiku tidak melihatmu, untuk bisa mendapatkan roti, kamu supaya menyerahkan gelungan rambutmu kepadaku”. Jawab wanita itu.

Dewi Rahmah memiliki 12 buah gelungan melembreh ke tanah, indah dan bagus serupa dengan yang ditemukan oleh Nabi Yusuf pada Siti Zulaikhoh.

Wanita istri perusahaan roti pun datang dengan gunting untuk memotong gelungan rambut Dewi Rahmah, kemudian di tukarkan dengan empat potong roti.

Dewi Rahmah merasa bersalah dengan tindakannya itu, dalam hatinya mengatakan…  “Ya Alloh, tindakanku ini semata-mata berbakti kepada suamiku untuk memberi makan nabiMu dengan menjual gelunganku”.

Setelah tiba di rumah, Nabi Ayyub melihat roti segar di tangan istrinya, beliau pun menaruh perhatian dan menyangka jangan-jangan istrinya telah menjual dirinya, “Hai istriku, kamu bisa membeli beberapa potong roti dapat uang darimana?”, Demi Alloh, jika Alloh memberiku kesembuhan, aku akan memukul dirimu sebanyak 100 kali”.

Dewi Rahmah tidak menjawab dengan kata-kata, ia membuka kerudungnya dan memperlihatkan pada Nabi Ayyub, rambutnya habis dijual untuk membeli makanan.

Sambil meneteskan air mata Nabi Ayyub mengadu kepada Alloh,

“Ya Alloh, telah lenyap upayaku hingga mencapai suatu masalah bahwa seorang istri nabiMu telah menukarkan rambutnya untuk membelanjai diriku”.

Sambil memotong roti dan menyuapi Nabi Ayyub, Dewi Rahmah sedikit menghibur pada suaminya, “Hai suamiku, kini janganlah bersedih, sebab rambutku dapat tumbuh lebih bagus daripada yang semula”.

Sekujur tubuh Nabi Ayyub penuh dengan penyakit, sampai banyak ulat-ulat yang memakan dirinya, setiap ulat jatuh dari tubuhnya, beliau pun mengambil dan mengembalikannya ketempat semula pada dirinya sambil mengatakan, “Makanlah pada apa-apa yang telah di rizkikan oleh Alloh kepadamu”.

Daging pada tubuhnya sudah pada habis dimakan ulat-ulat itu, sehingga kelihatan tulang-tulang, urat dan sarafnya. Ketika matahari terbit menyinari, tembuslah sinarnya dari tubuh bagian depan sampai punggungnya. Yang tersisa hanyalah hati dan lesan, sebab hatinya tidak pernah sepi selalu bersyukur kepada Alloh dan lesannya pun selalu berdzikir kepada Alloh. Keadaan sakit seperti itu beliau terima dengan sabar dan tawakal serta tidak mengeluh sedikitpun selama 18 tahun.

Pada suatu hari Dewi Rahmah berkata kepada Nabi Ayyub,

“Engkau seorang Nabi yang terhormat di sisi Tuhanmu, alangkah baiknya jika engkau memohon kepada Alloh agar menyembuhkan penyakitmu..”.

“Sudah berapa tahun masa senang kita..?” tanya Nabi Ayyub

“Sudah 80 tahun”. Jawab istrinya

“Sungguh malu rasanya jika aku berdo’a kepada Alloh, mengingat cobaan yang telah menimpa diriku belum seberapa dibandingkan dengan kesehatan dan kesenangan yang selama ini aku rakasakan”. Sahut Ayyub.

Waktu terus bergulir, sakit yang diderita Nabi Ayyub tidak semakin membaik, dan ketika tiada lagi daging pada tubuhnya yang layak dimakan, maka ulat-ulat pun saling memakan pada sesamanya, hanya tersisa dua ekor ulat yang selalu mencari sisa-sisa daging pada tubuh Nabi Ayyub dan tidak menjumpai daging sedikit pun. Salah seekor ulat yang sampai ke hati dan memakannya, sedangkan seekor lainnya sampai ke lesan dan mengigitnya pula.

Pada saat itulah Nabi Ayyub berdo’a kepada Alloh,

“Ya Alloh, sesungguhnya aku telah mendapat cobaan yang berat, dan sesungguhnya Engkau maha Pengasih dari segala pengasih”.

Do’anya Nabi Ayyub bukan berarti keluh kesah dan bukan berarti pula menyimpang dari golongan orang-orang yang bersabar. Kesedihan Nabi Ayyub bukan akibat harta dan anak-anaknya yang musnah binasa, namun rasa takut terhenti dari bersyukur dan berdzikir kepada Alloh. Dan seolah-olah beliau berdo’a, “Ya Alloh, sabarkanlah hatiku dalam menerima segala ujian dariMu sepanjang hati terus mencintaiMu dan lesan berdzikir kepadaMu, jika keduanya telah lenyap dariku, berarti terhentilah cintaku dan dzikirku kepadamu dan aku bukan tergolong orang yang bersabar”.

Kemudian Alloh menjawab,

“Hai Ayyub, kamu tidak usah bersedih sebab lesan, hati, ulat, sakit semua adalah milikku. Sungguh 70 orang Nabi telah menuntut ujian macam ini dariku, namun engkaulah yang Kupilih, untuk menambah kemulyaanmu disisiku. Dan ini bagimu hanyalah cobaan bentuk lahir saja”.

Kesedihan Ayyub saat hati dan lesannya digerogoti ulat, sebab ia senantiasa tafakkur dan berdzikir pada Allah. Akhirnya kedua ekor ulat itu pun dijatuhkan oleh Allah dari tubuhnya, seekor menjadi lintah di air yang dapat dibuat menyembuhkan orang sakit, sedang seekor lagi jatuh di darat berubah menjadi lebah yang juga madunya dibuat obat bagi manusia.

Kemudian Jibril datang dengan membawa dua buah delima surga, begitu melihat Jibril datang Nabi Ayyub langsung bertanya,

“ Hai Jibril, masih ingatkah Alloh kepadaku?”

“Tentu, bahkan Alloh kirim salam kepadamu dan menyuruh supaya engaku makan dua delima ini, nanti penyakitmu bisa sembuh, daging dan tulangmu bisa pulih kembali”. Jawab Jibril
Sesudah makan bua delima, Jibril berseru, “Hai Nabi Ayyub. Berdirilah dengan izin Alloh.”

Setelah Nabi Ayyub berdiri dengan tegak, Alloh memerintahkan kepada Nabi Ayyub, “Hai Ayyub, pukullah bumi dengan kakimu”.

Nabi Ayyub menuruti perintahnya Alloh, beliau memukul bumi dengan kaki kanannya, seketika itu keluarlah air hangat dari dalam tanah kemudian beliau mandi dengan air tersebut. Berikutnya beliau memukul bumi dengan kaki kirinya, seketika itu keluarlah air dingin yang dapat diminum olehnya. Dengan keajaiban Tuhan, segalah penyakit yang diderita Nabi Ayyub lenyap, tubuhnya menjadi lebih bagus dari yang semula, mukanya bersinar melebihi cahaya bulan.

Firman Alloh,

Lalu Kami perkenankan do’anya dan Kami lenyapkan penyakit berbahaya pada dirinya, dan Kami datangkan kepadanya seluruh keluarganya semisal mereka, sebagai rahmat dari sisi Kami dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang beribadah”.

Semua anak-anak Nabi Ayyub meninggal dunia, setelah beliau sembuh dari sakitnya, Alloh menghidupkan anaknya dan menambah anak semisal dengan jumlah anaknya yang meninggal, yaitu tujuh orang laki-laki dan 7 orang perempuan sehingga jumlah seluruhnya menjadi 28 orang.

Kini Nabi Ayyub bisa berkumpul kembali dengan keluarganya dan merasakan kebahagiaan yang telah lama hilang. Setelah itu Nabi Ayyub mengambil dahan ranting kecil sebanyak seratus batang, lalu diikat menjadi satu. Dewi Rahmah dipukulnya sekali untuk menghilangkan sumpahnya ketika marah kepada istrinya beberapa waktu lalu. Selanjutnya mereka hidup bahagia serta menurunkan Nabi-nabi dibelakang hari.

Demikian kisah ketabahan seorang Nabi yang menderita penyakit koreng di sekujur tubuh selama 18 tahun. Ini sebagai contoh bagi orang-orang yang beribadah, supaya mereka tahu bahwa setiap orang yang menetapi barang haq pasti mendapat cobaan, dan supaya tahu tentang ujian terberat adalah  bagi para Nabi, kemudian para kekasih Alloh, selanjutnya orang-orang yang semisal mereka. Untuk itu, petiklah dari mereka, baik dalam hal amaliyah ataupun sikapnya yang penuh kesabaran. Dengan ini pula dapat diketahui bahwa, “JALAN MENUJU ALLOH/KE AMALIYAH YANG BAIK ADALAH LEBIH DEKAT DIBANDING PEMBERIAN YANG BAIK”.
********

Sumber: armymanshurin.wordpress.com
















Ceramah dan Cerita Lucu berita surga dan neraka di bulan ramadhan

Bulan ramadhan adalah bulan penuh berkah jadikan diri ini menjadi semakin kurus dosa dengan cara berpuasa di bulan ini, puasa jangan terlalu Extrime, santai saja.


Jamaah tahu kah anda, jika orang yang berat timbangan amalnya maka orang itu akan masuk surga, jika orang yang berat keburukanya maka akan masuk neraka, dan jika orang timbangan amal dan dosanya sama-sama berat maka akan dimasukkan di tengah-tengah surga dan neraka.... ada yang tahu apa di tengah tengahnya surga dan neraka???

ditengah-tengah surga dan neraka ada huruf dan.

Jamaah berita menggembirakan, bahwa di neraka di bulan ramadhan tidak menerima penghuni baru dikarenakan terlalu banyaknya penghuni neraka yang senior mengakibatkan panitia menambah gedung baru yang akan selesai bulan berikutnya.

kabar menyedihkan datang dari neraka bagian jahannam sebelah barat, bahwa kunci pintunya hilang sehingga mengakibatkan banyaknya korban yang terjebak, pemerintah tidak menyediakan fasilitas pengunsian dikarenakan uang yang dikirim belum sampai malah terbakar.

jamaah, kita kembali lanjutkan setelah yang lewat ini.

---IKLAN---   seorang nenek menaiki sepeda dengan ayungan kecepatan penuh, di depanya melaju mobil KIJANG dengan kecepatan penuh, tiba-tiba nenek tertabrak dan terlempar hingga 20 meter tiba di trotoar namun nenek itu tidak mati melainkan bangkit memberi jempol dan berkata " KIJANG MEMANG OK"   ---IKLAN---

jamaah ada sebuah kisah lucu banget.

Alkisah hiduplah seorang yang amat religius , sopan , santun , pokoknya semua sikap yang baik-baik ada padanya orang ini adalah saya, Ha...Ha...Ha

sorrry jamaah,,, bercanda, kisah ini datang dari pria diatas pada saat itu dia menemui seorang kakek tua yang sangat rentah, pria itu memandangi kakek tua itu dan berfikir 30 tahun kedepan mungkin aku akan seperti kakek ini, kakek itu juga memandangi pria itu dan berkata 30 tahun yang lalu aku mirip dengan mu anak muda.

ha...ha...ha jamaah cukup sekian mohon maaf yah di bulan suci ramadhan ini mungkin banyak dosa yang kita perbuat mari bersama-sama beribadah kepada ALLAH SWT, semoga amal dan ibadah kita diterima di sisinya, mari kita kirimkan rasa Syukur kita melalui via SMS ( Syukur melalui Sholat ).
Sumber: zahal-mahfudz.blogspot.com

BIDADARI YANG TERLUKA

Genderang perang di pukul lagi, Kaum musyrikin masih terus memusuhi umat islam. Kali ini, aku berlaga di medan Perang Uhud. Bukan main suaraku nyaring sekali. Aku bangga bisa mendampingi Rasulullah membela kaum Muslimin. Manusia nomor satu itu menggenggamku dengan gagah berani.

“Hei, Kirga! Coba lihat!” aku berteriak kepada Kirga sahabatku. Kirga menoleh ke arah yang kutunjuk. Disana ada seorang perempuan. Perempuan itu begitu gigih membantu para pejuang, Dia membawakan air dan mengobati para pejuang.
“Siapakah Perempuan itu, Kunda?” Tanya Kirga.
“Entahlah,” Jawabku.

Aku dan Kirga melanjutkan pekerjaan kami. Ya, aku dan Kirga adalah sebilah Pedang. Kami bersama kawan-kawan yang lain bertugas membantu Rasulullah melawan orang kafir.
Aku beradu dengan pedang musuh, Aku selalu  mengikuti ayunan tangan Rasulullah. Kulirik Kirga dia berada dalam genggaman sahabat Rasulullah, Dia juga mengikuti liukan-liukan tangan sahabat rasulullah itu.

Alhamdulillah sebentar lagi umat Islam akan menang. Tak lama kemudian Rasulullah memberikan aba-aba, Beliau membari tahu taktik selanjutnya.
Oh, Umat islam terlalu senang karena hampir mencapai kemenangan. Ini membuat pasukan Islam lengah dan itu membuat kaum musyrikin menang. Aku menangis tersedu-sedu, Aku sedih, sahabatku Kirga juga sedih, Pasukan Islam lari pontang panting.

“Rasulullah, izinkan aku ikut melawan musuh-musuhmu!” Teriak seorang perempuan.
Kulihat Rasulullah mengangguk. Aku menoleh, Subhanallah! Perempuan yang tadinya membantu mengobati luka-luka para pejuang, kini ikut bertempur!
“Kirga, lihatlah perempuan itu, Dia ternyata pan...,” Belum selesai aku bicara, Tiba-tiba ada yang mengangkat tubuhku.
Oh, Perempuan itu menggenggamku! Dia cekatan sekali memainkan diriku, ternyata dia pandai memainkan pedang!

“Nasibah, Hati-hati banyak musuh mengintai!” Teriak Rasulullah. Oh, Aku baru tahu kalo nama perempuan ini adalah Nasibah. Dia kelihatan begitu semangat membela agamanya. Semua musuh dilawannya. Mereka di ajak bertarung hingga titik darah penghabisan.

“DUUHH” Tiba-tiba Nasibah tertunduk, Aku terlempar dari tangannya. Oh, Ya Allah......Perempuan hebat itu terluka! Darah mengalir dari tangannya, Beberapa pejuang membawa ke luar arena perang.

Aku memejamkan mata memohon kepada Allah. Ya Allah, Selamatkan bidadari itu, izinkan dia hidup lebih lama. Aku ingin terus bersamanya membela Agama-Mu, Ya Allah!
Alhamdulillah Allah mengabulkan Doaku, Nasibah masih terus bersamaku membela agama islam dalam perang Al-Aqabah, Hudaybiyah, Khaibar, dan Hunain.


Aku Bangga Kepada perempuan itu karena dia gigih berjuang, Aku yakin, Allah telah menjanjikan surga untuknya. Perempuan itu adalah sang Bidadari yang dulu pernah terluka.
 
Sumber: kisahteladan.com

Selasa, 08 April 2014

Airmata Sakura

Hamparan tikar bambu juga sederet makanan kecil masih berjejer di samping keranjang, termasuk sebuah buku harian berwarna merah muda milik Ayumi. Sementara Miyuki duduk mematung, melihat ke sekeliling Murayama Koen[1] yang dipadati pengunjung. Mata cokelatnya mencari-cari Ayumi, gadis berambur kuncir kuda dengan sebuah pita merah muda terselip di rambutnya. Baru saja, setelah dia menutup telpon dari Shinji, kekasihnya, dia tersadar kalau sahabatnya yang tadi duduk di sampingnya menghilang tanpa memberitahu ke mana dia akan pergi.

            Hingga matanya kembali tertumbuk pada halaman buku harian Ayumi yang terbuka. Ada sebuah catatan yang dilelehi airmata dan sebuah kelopak sakura yang jatuh tepat di atasnya.

            Hiroshi, aku tak tahu sebenarnya apa itu cinta. Padahal sering sekali aku menuliskannya. Aku tak mengerti, cinta itu di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana. Aku hanya tahu -hanya sekedar tahu- bahwa cinta ada di dalam hati, dan dirasakan oleh jiwa. Hiroshi, adakah cinta lain yang mampu kurasakan selain dirimu?

            Hembusan angin musim semi yang berbaur dengan riuh tawa orang-orang yang sedang ber-hanami[2], tak menarik lagi bagi Miyuki. Dia berusaha keras mengusir pikiran buruk tentang Ayumi. Apalagi, dia tak bisa meninggalkan tempat duduknya hingga Shinji tiba.
***

            Sekelebat hitam mengelilingiku tiba-tiba. Mata tajam mereka yang tersembunyi di balik topeng ninja, menatapku tanpa ampun. Mereka berdiri dalam posisi menyerang dengan tangan kanan yang sudah siap menarik samurai keluar dari sarungnya.

            "Dare wa[3]?" tanya salah satu di antara mereka dengan suara kasar.

            Aku menelan ludah. "Yamada Ayumi." Kerongkonganku tercekat.

            Tatapan mereka makin menyelidik.

            "Dia temanku!" sebuah pekikan berasal dari belakangku, di balik rindangnya pohon ceri tempatku bersandar.

            Kemudian tengkukku terasa ditiup angin, dan sesosok pemuda seusiaku berdiri di sampingku. Sikapnya seolah melindungiku. Hati-hati sekali dia bergerak mendekat, lalu tangannya terulur pelan setelah orang-orang yang tadi mengelilingiku kembali berdiri tegap.

"Ayo, kita pulang! Aku kan sudah bilang, jangan main-main dengan pakaian para tojin[4] itu lagi." Setelah tangannya menggenggam tanganku. "Maaf, kami permisi!"

            Aku tak mengerti apa yang selanjutnya terjadi, tapi kini aku berada di punggungnya, berkelebatan di antara dahan-dahan ceri yang menjatuhkan sakura. Bahkan, jika aku ingin pun, aku dapat meraih beberapa sakuranbo[5] itu dan mencicipi rasa sepatnya. Kemudian ....

            "Turunlah!"

            Takut-takut, aku turun dari punggungnya. Dan saat dia berbalik ... aku menemukan mata teduh yang hampir dua tahun ini tak sanggup kuusir dari pikiranku. Gelombang rindu yang telah terlalu lama tertahan di tengah lautan hatiku, kini menghempas, menciptakan buih-buih yang tak tahu harus bergembira atau kembali menangis pilu.

            "Hiroshi?" tanpa sadar bibirku menggumamkan nama itu. Kusadari mataku mulai berembun lagi.

            "Aku bukan Hiroshi." Suara lembutnya berbaur dalam hembusan angin musim semi yang menjatuh berkelopak-kelopak sakura di sekitar kami. "Tadi, siapa namamu?"

            "Yamada Ayumi."

            "Untuk apa kamu datang kemari?"

            Aku menggeleng. "Aku bahkan enggak tahu sekarang aku di mana." Kualihkan pandanganku pada langit biru cerah, begitu bersih. Sementara tak ada bangunan lain yang kutemukan di sekitarku, selain pohon-pohon ceri yang sedang berbunga lebat.

            Dia menghela napas pelan. "Darimana asalmu?"

            "Kyoto."

            Matanya mulai menyelidik. Tetapi rona sendu dari matanya yang hitam pekat, tak membuatku takut.

            "Apa aku masih di Kyoto?"

            Dia mengangguk cepat. Saat itu, barulah kusadari kalau rambutnya panjang dan dicepol ke atas seperti pegulat. Juga pakaiannnya, dia menggunakan yukata[6] biru tua yang terlihat baru. Di pinggang kirinya, kutemukan sebilah pedang berukuran kecil terselip di obi[7]-nya. Bahkan dia hanya memakai geta[8] sebagai alas kaki.

            "Apa sebelum kamu berada di sini, sebuah kelopak sakura terkena airmatamu?" tanyanya halus.

            Aku tak mengerti apa yang ditanyakannya, maka hanya kumiringkan kepalaku ke kanan, seperti yang biasa kulakukan saat sedang merasa bingung, sebagai jawabannya.

            Perlahan, senyum di wajahnya memudar, berganti wajah sendu, serupa binar matanya yang sejak tadi tak bisa berbohong. "Kamu mirip sekali dengan Sachi, kekasihku yang telah dinikahi Yang Mulia Shogun[9] dan dijadikannya selir muda." Matanya menerawang. "Oh ya, namaku Jiraemon, bukan Hiroshi."

            Dia melangkah menjauh, lalu duduk bersandar pada batang pohon ceri. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam sebuah kantung yang terikat kuat di obi-nya, sebuah sisir kayu berukir.

            Aku mendekatinya, lalu duduk tenang di sampingnya. Kulihat tatapannya yang terus saja lekat pada sisir itu.

            "Ayumi, sepertinya aku yang memanggilmu datang kemari. Gomen nasai[10]."

            "Aku enggak mengerti."

            Matanya berembun, tatapannya kembali tertuju padaku, tepat ke dalam mataku. Tuhan, dia benar-benar mirip dengan Hiroshi, tak ada sedikit pun beda yang mampu kutemukan selain pakaiannya. Tidak. Bahkan pakaian yang dikenakannya, serupa dengan yang dulu dia kenakan saat pergi bersamaku untuk menikmati Festival Musim Panas.

            Kemudian dia beralih lagi dariku, cukup lama dia terdiam, hanya bersandar dengan mata yang terus lekat menatap langit, menikmati pikirannya sendiri. Aku tenggelam dalam ketenangannya, menunggu sebuah suara dari kalimat yang akan kembali dia ucapkan. Tapi hingga langit mulai berwarna kemerahan, dia masih tak juga mau berbicara.

            "Kamu ... mungkin Dewa yang mengirimmu sebagai pengobat luka hatiku selama ini. Ayumi, kamu mirip sekali dengan Sachi, gadis yang menghadiahkan aku sisir ini sebagai salam perpisahan sebelum dia diambil paksa oleh Shogun dari sisiku. Lalu dia memilih bunuh diri setelah tak bisa melarikan diri dari istana." Suaranya penuh pilu. "Tunggulah, akan kupetikkan beberapa kelopak sakura yang akan membawamu kembali."

            Aku tak tahu harus berujar apa, atau memberikan jawaban apa melalui ... sekadar mengangguk atau menggeleng. Dia berdiri, lalu melompat cepat pada batang ceri di belakangku. Kaki ringannya berlompatan di dahannya yang rapuh seperti melayang, dan tangannya berkali-kali meraih kelopak sakura yang baru saja mekar merekah merah muda. Dalam beberapa detik, dia kembali duduk di sampingku, kali ini tepat di hadapanku agar dia dapat menatap wajahku lebih lekat.

            Jantungku berdegub kuat, menimbulkan beriak di mataku yang mejatuhkan dua tetes airmata. Tetesan itu menerobos dari pelupukku tanpa mampu kucegah.

            Mendapati mataku yang berair, dia hanya terdiam. Kudapati raut bingung di wajahnya, dan gerakan tangannya kikuk. Dia hanya meletakkan kelopak-kelopak itu di pangkuannya.

            "Kenapa kamu menangis, Ayumi?"

            Bibirku bergetar. Tangan kananku menarik keluar sebuah rantai kalung keperakan yang telah lama bergantung di leherku. Kutunjukkan padanya bandulnya yang merah muda berbentuk bunga sakura dan kubuka bandul kalungku, memperlihatkan potret senyum manisku dan Hiroshi saat Festival Musim Panas yang pertama dan terakhir kami.

            "Itu ... seperti aku ... dan Sachi." Suara Jiraemon terbawa angin.

            "Ini aku dan Hiroshi, hampir dua tahun yang lalu. Dia meninggal dalam sebuah kecelakaan saat sedang bersepeda menuju ke Murayama Koen untuk menemuiku di akhir musim dingin. Aku menemukannya bersimbah darah di antara kerumunan orang-orang dan suara sirine ambulance yang menakutkan. Dia menatapku penuh cinta sebelum matanya terpejam selamanya."

            Jiraemon menatapku sendu. Tangan kanannya terulur, menghapus beberapa tetes airmataku yang memberontak, meluncur bergiliran dari kedua mataku.

            "Jiraemon, kalau boleh aku tahu, doa apa yang kamu minta pada Dewa, sampai-sampai tadi kamu meminta maaf padaku?"

            Dia tertunduk. "Doa bodohku, agar Dewa dan kelopak-kelopak sakura berkenan mengembalikan Sachi padaku. Ternyata kamu yang datang, gadis dengan kenangan tentang pemuda yang rupanya sama sepertiku." Tangannya cepat mengumpulkan kelopak sakura di pangkuannya. "Pulanglah, Ayumi!" lalu, dia berlutut dan menjatuhkan kelopak-kelopak itu ke atas kepalaku.

            "Jika takdir telah menautkan hatiku dengann Sachi, juga hatimu dengan seseorang yang begitu serupa denganku itu, maka takdir pula yang akan menuntun hidupku dan hidupmu kembali berjalan sesuai dengan cahaya kebahagiaan hingga aku, dan tentu juga kamu, akan menemukan belahan hati kita di surga." Itulah suara terakhirnya Jiraemon yang kudengar.

            Mataku masih saja berembun, tapi aku dapat melihat dengan jelas cahaya merah muda yang berpendar di sekitar tubuhku, memudarkan sosok Jiraemon yang menatapku tanpa berkedip.

            "Ayumi-chan, kimi wa zutto aisuru.[11]" suara Hiroshi ditiupkan angin hingga ke pendengaranku.

            Sekelebat, tiba-tiba kutemukan wajah Hiroshi yang tersenyum. Seragam musim dingin berwarna biru tuanya, juga rambut pendeknya yang selalu diberi gel rambut agar berdiri, juga kacamata berbingkai hitam tipisnya yang bertengger di hidungnya, membuatku semakin merindukannya. Kemudian tangannya mengelus kepalaku beberepa kali, diiringi aroma woody yang biasa kubaui dari tubuhnya.

            "Berbahagialah. Aku akan menunggumu di sini, di surga," ucapnya terakhir kali, sebelum tubuhnya kembali memudar.
***

            "Apa yang sedang kamu lakukan disini? Kamu mau bunuh diri?" bentak Shinji pada Ayumi. Dia menarik paksa tangan kurus sahabat kekasihnya itu menuju ke tepi jalan.

            Para penjual makanan dan minuman yang berjejer di sekitar jalan masuk Murayama Koen yang berseragam warna-warni, memperhatikan mereka sebentar. Baru saja Ayumi hampir tertabrak sebuah motor yang melintas.

            Ayumi tersadar. Matanya beralih ke sekelilingnya, menemukan keramaian dan lalu-lalang kendaraan. Sementara wajah Shinji memerah, tapi matanya terlihat tak tega.

            "Aku tahu ... Hiroshi meninggal di tempat ini, tepat di sini. Tapi apa pantas kamu juga ingin mati? Kamu nggak tahu, Miyuki mencemaskanmu, hingga memaksaku juga untuk ber-hanami di Murayama Koen ini untuk merelakan kepergian Hiroshi bersama-sama. Bahkan, hhh ... karena Hiroshi pernah memintaku untuk menjagamu saat dia sedang enggak bersamamu, sampai saat ini ... mana sanggup kutatap potretnya bersamaku, apalagi mengunjungi makamnya, terutama tempat ini."

            Shinji melepaskan cengkeraman tangannya. Menuntun Ayumi kembali menuju ke tengah Murayama Koen, tempat Miyuki menunggunya dengan cemas.

            Melihat Ayumi yang berjalan tertunduk mendekat, Miyuki bangkit, kelegaan tergambar jelas di wajahnya. Menemukan mata Ayumi yang memerah dan sedikit bengkak, dia memeluk erat sahabatnya itu, mengelus-elus punggungnya.

            Ayumi kembali terisak, sementara Shinji menghalangi pandangan orang-orang dari tangisan gadis yang sudah dianggapnya adik, sejak dia menjalin cinta dengan adik sepupunya sendiri.

            "Miyuki, tadi aku bertemu Hiroshi. Dia juga merindukan aku, Miyuki."

            Angin musim semi kembali berhembus, kali ini lebih kencang dan membalik halaman buku harian Ayumi, menjatuhkan sekelopak bunga sakura yang tadi terkena lelehan airmatanya ke atas tikar bambu.

Sumber: kawankumagz.com

Gadis Bermata Biru

Kau pasti sudah mati bila tidak segera aku cegah tindakan nekatmu kala itu. Dua hari selepas malam yang paling pahit itu, kau mengajakku minum kopi di Pavilion Café. Sebagai balas budi, begitu isi pesan terakhirmu via telepon sebelum kita bersua.
        
“Terima kasih telah menolongku” ujarmu sesaat seusai tangan mungilmu sibuk menghiasi Coffee Latte yang masih hangat.
“Aku hanya berada di waktu dan tempat yang tepat” balasku singkat.
“Bukan kebetulan kau berada di sana. Tuhan telah mengirimmu malam itu. Entah bagaimana, hanya Dia yang tahu”sahutmu lagi lalu menikmati kopi itu.
      Dan malam itu berlalu. Pertemuan kita di Lamberth Bridge telah membuka lembaran baru persahabatan kita. Ya, persahabatan yang terbentuk tanpa sengaja. Sebuah kebetulan semata. Mungkin.
    Setelah hari itu, kau sering mengajakku menghabiskan malam di Pavilion Café, sesekali menikmati  aroma malam di Westminster Abbey, berkelana di tengah lautan buku perpustakaan Britania, bergandengan tangan menelusuri bangku-bangku Kensington Garden, sesekali beradu pandang di Taman Istana Buckingham, menghabiskan Minggu pagi di Gereja St. Margareth  dan segala kebiasaanmu tiba-tiba tertular padaku.
   Satu yang masih terekam jelas dalam bayangan kebersamaan kita. Kau mengajakku menyaksikan pertandingan Chelsea akhir pekan itu.
“Kau tidak mau menemaniku ke Stamford Bridge?”tanyamu di depan pintu sembari memegang dua tiket masuk.
“Aku benci Chelsea”
“Mengapa?”tanyamu lagi dengan tatapan lugu.
“Aku Barcelonistas” balasku singkat.
Dia tertawa sejadinya. Menatapku penuh senyum kemenangan.
“Bukan karena Champions kemarin kan?”
“Itu hanya salah satunya”
Dan kau tertawa lagi. Sekali lagi. Tawa yang memecah petang di Street IX.
“Ayo temani aku. Paling tidak untuk hari ini saja”pintamu lagi.
Dan malam itu jadi lebih spesial. Bisa kusaksikan kegirangan yang terbenam dalam kedua mata birumu itu. Kita sama-sama mencintai sepak bola. Sayangnya, pilihan kita berbeda.
      “Mengapa kau mencintai Chelsea?”tanyaku suatu malam ketika kita berada diantara ribuan warna merah Theatre of Dreams.
 
“Apa? Aku tak mendengar. Di sini sangat ribut” ujarmu sembari mendekatkan wajahmu. Wangi rambut pirangmu yang sebahu itu bisa kurasakan begitu rapat.
     “Mengapa kau mencintai Chelsea”tanyaku lagi dengan suara lebih keras.
     “Aku terlahir di kota ini. Dan aku mencintai Chelsea. Mereka kebanggaan kami”balasmu santai.
Kau menatapku sesaat dengan mata yang menyimpan seribu tanya.
   “Lalu kau, mengapa kau mencintai Barcelona? Tidak adakah klub dari kotamu yang bisa kau banggakan?”serangmu kemudian.
Aku diam. Memperhatikan kau yang terlihat cantik memakai baju biru itu.
      “Sepakbola di negeriku sedang kacau. Mudah sekali dipolitisasi. Semua berpikir merekalah yang paling benar dalam mengelola sepak bola nasional. Kami kehilangan kebanggaan terhadap sepakbola kami sendiri”balasku sebisanya.
       Lalu malam itu pergi. Kau pulang dengan hati yang masih mekar berseri. Tiga angka yang berhasil di bawah pulang Chelsea menambah senyum ceriamu ketika kita kembali ke London dalam perjalanan kereta api.
      Kedekatan diantara kita, telah menumbuhkan ruang istimewa di hatiku. Ini terlihat bodoh. Tetapi keadaan telah membentuk kita demikian. Tidak mungkin kau jatuh cinta padaku. Seorang gadis bermata biru sepertimu (tentu) akan memilih pria bermata biru, bukan lelaki dengan kulit sawo matang dan rambut hitam. Kita berbeda. Memang demikian kenyataannya.
Sekali lagi, hari berlalu begitu cepat. Kita bertemu di London Bridge ketika petang hampir mati di ujung kota.
“Kamu tidak sedang ingin mengucapkan salam perpisahan bukan?” obrolmu membuka percakapan kita.
“Darimana kau tahu demikian?” balasku lagi.
“Seminggu yang lalu kita sama-sama merayakan wisudamu. Itu berarti kau akan pulang ke negerimu kan?”sergahmu lagi.
“Ya memang benar. Aku sudah berusaha menyembunyikan semua ini dari kamu. Tetapi kamu lebih pinta untuk membaca situasi.”
“Lalu”tambahmu lagi sembari menatapku polos. Tatapan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Matamu tampak berkaca-kaca.
“Dua hari lagi aku akan pulang. Ceritaku di sini nyaris berakhir”
Keheningan sekejap menyelimuti kami. Aku tak tahu mengapa, seperti berat harus meninggalkan kota ini. Lebih parahnya lagi, aku berat harus meninggalkan gadis bermata biru ini. Dialah pesona kota tua ini.
“Kamu tidak akan kembali lagi? Maksudku kembali ke kota ini?”
“Tidak ada alasan lagi aku harus kembali ke sini”jawabku datar.
“Bagaimana kalau tentang aku. Kembalilah karena aku di sini.”balasmu cepat.
“Itu tidak cukup”
“Kembalilah karena aku mencintaimu”tambahmu lagi.
Aku diam. Keheningan kembali merapat.
“Untuk waktu yang lama, aku menunggumu berbicara jujur tentang hati. Tetapi itu tidak pernah datang dari bibirmu.Dan hari ini, paling tidak aku sudah jujur dengan keadaan.”
“Aku tak ingin menaruh harapan yang sedemikian besar. Toh kita akan sampai juga pada hari ini, seperti saat ini dan itu pasti terdengar menyakitkan.”
“Aku butuh jawabanmu kini. Beritahu sesuatu yang bisa membuatku merasa kita pernah bersama.” imbuhmu lagi sembari memegang tanganku. Kedua mata birumu menyimpan harapan seribu tahun yang sulit ditebak.
“Aku pun mencintaimu Julie”
“Jika demikian, kembalilah untuk itu. Aku akan selalu menunggumu di sini”
 
Sumber: kotak-cermin.blogspot.com