Minggu, 19 Mei 2013

Ikhlas [8]

Rasanya seperti tertohok tepat di ulu hati. Kaget sekaligus sakit. Benarkah yang baru saja diucapkan Raka? Separah itukah? Bukankah selama ini Mas Dewo dan Mbak Laras pasangan yang amat rukun? Atau anak muda ini yang sedang ngelantur, seperti ketika ia menjawab soal-soal bahasa Inggris yang aku berikan dalam ujian?

”Tidak lama lagi aku akan punya adik.” Raka berdiri. Matanya menatapku penuh arti.

Sore ini akan jadi sore tak terlupakan seumur hi¬dupku. Sebuah undangan merah jingga sampai ke tanganku lewat pos. Undangan pernikahan Mayang dengan pria bernama Indra. Undangan per¬nikahan adik kandungku sendiri yang kuterima dari pak pos. Aku duduk di teras dan termenung untuk beberapa saat. Begitu besarkah kebencian Ibu dan Mbak Laras sehingga mereka tega memperlakukanku seperti ini?

Hingga satu hari sebelum tanggal pernikahan Mayang, aku belum memutuskan apakah aku ingin menghadiri pernikahan tersebut atau tidak. Mas Endi tidak membujukku sama sekali. Agaknya kesabarannya pun nyaris habis. Tapi, lagi-lagi hati kecilku menentang. Ibu tetaplah Ibu. Orang tua yang sudah mengandung dan melahirkanku.

Sampai hari yang ditentukan tiba, pagi-pagi sekali aku mendengar dering telepon dari ruang tengah. Kuangkat gagang telepon dengan tak bersemangat.

”Kau tidak datang?”

Aku terkesiap. Mbak Laras!

”Tidak tahu, Mbak. Apa penting aku ada di sana?”

Lama tak terdengar suara di seberang. Cuma desahan berat, kemudian disusul suara yang agak parau. ”Itu ide Ibu. Aku sebenarnya mau mengantarkan undangan itu sendiri ke sana, tetapi kata Ibu....”

”Aku tak perlu undangan, Mbak!” Mendadak aku ingin menangis. ”Sebenarnya aku ini siapa, Mbak? Saudaramu atau bukan? Anak Ibu atau bukan? Kakak Mayang atau bukan?!”

Lama tak terdengar suara. Entah bagaimana ekspresi Mbak Laras saat ini. Entah bagaimana perasaannya.

”Tak usah dibesar-besarkan. Kau adikku, anak Ibu sekaligus kakak Mayang. Aku minta maaf soal itu. Kau bisa datang, ’kan?”

Maaf? Semudah itu? Aku hanya seorang lemah tak berdaya! Kututup telepon dengan pelan. Mas Endi mematung di sisiku. Aku tahu, ia telah kehabisan nasihat untukku. Harga dirinya pun mulai tersakiti.

”Kau boleh tidak pergi, jika tidak ingin,” ucap Mas Endi kemudian, seraya tangannya membelai halus rambutku. ”Sudah saatnya mereka sadar akan sikapmu. Mereka pun harus belajar mengerti dirimu.”

Aku tak tahu kegilaan apa yang telah merasuki diriku. Cinta adalah anugerah, tetapi cinta yang kurasakan kali ini adalah malapetaka. Cinta yang takkan mungkin menjelma menjadi kenyataan manis. Cinta yang berbalas, tetapi tak mungkin bersanding. Tuhan, kalau boleh aku ingin jatuh cinta pada orang lain, selain dia....

Aku membaca dengan seksama kata demi kata, tulisan tangan Mayang dalam buku harian yang dititipkannya pada Adi. Tadi sore, sahabat Mayang itu datang dan memberikan buku itu tanpa berucap sepatah kata pun. Malam ini, di malam pernikahan Mayang, aku menyendiri di teras depan.

Mencintai tidak harus memiliki, itu yang diucapkannya berulang-ulang. Ia amat bahagia bisa mencintaiku dan sebaliknya. Ia ingin aku merasakan kehadirannya kini dan tak risau akan hari esok yang jelas-jelas bukan milik kami. Oh, sungguh malangnya aku.... Setiap detik bersamanya begitu membahagiakan sekaligus mencemaskanku. Jika esok semuanya harus berakhir, apa yang akan terjadi padaku? Bagaimana aku bisa melupakannya? Sementara hatiku telah kuberikan utuh padanya.

Aku menahan napas. Tiap goresan tangan Mayang menyiratkan kepedihan.

Terlalu bodoh mungkin, semua yang telah aku lakukan. Demi membuktikan cintaku, aku akhirnya takluk pada dosa. Aku tak sanggup kehilangannya. Aku tak sanggup setiap kali melihatnya bersama wanita itu. Wanita yang sebenarnya dengan diam-diam telah kukhianati. Hatiku sakit. Sampai kapan pun aku takkan bisa menyamai wanita itu, ia terlalu sempurna untukku.

Aku teringat percakapan dengan Mbak Laras beberapa minggu yang lalu di kamar Mayang. Benar, Mayang terjebak dalam cinta pria yang telah menikah.

Aku harus menghentikan semua ini. Sia-sia dan begitu melelahkan. Aku takkan pernah memenangkan hatinya. Dan... wanita itu telah menemukanku bersamanya. Apa yang harus kulakukan kini? Hidupku ada di tangannya....
Aku makin penasaran. Segera kubalik halaman berikutnya.

Aku sudah jauh berlari, tetapi entah mengapa aku ingin sekali kembali. Merasakan pelukannya, mendengar suaranya yang menenteramkan. Tuhan, tolong aku.... Kalau saja aku bisa menjadi miliknya.... Kalau saja makhluk kecil dalam diriku ini bisa membuatnya kembali padaku.... Tetapi, wanita itu akan membunuhku, jika itu sampai terjadi.

Aku menahan napas.

Kubalik lembar berikutnya. Kosong. Halaman berikutnya, kosong lagi. Seterusnya, tak ada lagi tulisan tangan Mayang. Kuperiksa lembar per lembar dan di akhir buku itu kutemukan foto seorang pria yang nyaris membuat jantungku copot.

Gusti Allah! Ini tidak mungkin....

Tengah malam lewat aku dibangunkan Mas Endi. Mbak Laras menelepon, mengabarkan tentang Mayang yang nekat melompat dari lantai empat di hotel tempat ia dan suaminya menginap. Saat ini kondisinya kritis.
Aku tak bisa menahan detak jantungku yang berdegup kencang sepanjang perjalanan ke rumah sakit dini hari itu. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya kupanjatkan doa memohon keselamatan Mayang.

Di pintu rumah sakit, kami disambut oleh Mas Dewo. Perasaan asing tiba-tiba menyergapku, ketika ia menyapaku. Mbak Laras terduduk lemas di kursi tunggu di depan ruangan gawat darurat bersama seorang pria muda yang kuduga adalah suami Mayang. Kucari sosok Ibu, tetapi tak kutemukan. Di ruangan itu hanya ada kami berlima, dan dua orang suster jaga.

”Mbak....”

Aku terkejut. Mbak Laras bangkit dan menyongsongku, memelukku, dan terisak-isak, seperti anak kecil yang kehilangan ibu. Aku canggung. Bingung harus berbuat apa. Seumur-umur, ia tak pernah memelukku seerat ini. Pun pada saat kematian Bapak.

”Bagaimana keadaan Mayang?” tanyaku.

Tangis Mbak Laras makin menjadi-jadi. Aku terpaksa membiarkan badanku sakit, karena pelukannya yang terlalu erat. Perasaanku campur aduk dibuatnya. Tak pernah sekali pun kulihat ia selemah ini. Mbak Laras adalah wanita paling angkuh yang pernah kukenal dalam hidupku. Ia pantang menangis untuk hal apa pun.

Seorang pria berseragam putih keluar dari ruangan gawat darurat diiringi dua perawat. Mas Dewo segera menyongsong pria itu dan berbicara padanya sebentar.

Dan, Mas Dewo tertunduk dalam. Suami Mayang terlihat membelalak di sampingnya. Apa yang terjadi? Kulihat Mas Endi pun berubah air wajahnya.

Dokter berikut dua orang perawat tersebut kembali masuk ke dalam ruangan. Indra, pria malang yang belum 24 jam menjadi suami Mayang, mengikuti langkah Mas Dewo dengan tidak sabar.

”Mas! Apa maksud dokter tadi? Kandungannya tidak bisa diselamatkan? Mayang hamil??”

Mas Dewo tak menjawab. Mbak Laras yang telah berhasil tenang, segera kuajak duduk.

”Mas, jawab aku! Jangan bilang Mas tidak tahu masalah ini!” Indra mencecar Mas Dewo. Dari Mas Endi kuketahui bahwa Mayang dalam kondisi koma, tulang kepalanya retak dan kandungannya tak terselamatkan. Ia mengalami perdarahan hebat.

”Mas?! Bagaimana ini? Aku minta penjelasan kalian berdua. Pantas aku dipaksa melaksanakan pernikahan secepatnya. Kalian pasti sudah tahu tentang kondisi Mayang. Betul, ’kan?”

Mas Endi berdiri menenangkan Indra. Mbak Laras menunduk tak berani memasang wajahnya. Suara bisik-bisik suster jaga yang kini bertambah menjadi lima orang, terdengar mengganggu.

Sumber:  http://www.femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar