Kamis, 24 Oktober 2013

Kata-Kata Mengisi Kesepian

MENGAPA saat itu kita dipertemukan kalau pada akhirnya kita dipisahkan seperti ini?
Mungkinkah ada sinar bersama impianku? Suasana tak akan indah dalam waktu yang cepat. Aku tahu itu tak mungkin.


Detik-detik yang dilalui jiwaku telah berubah gelisah dan membisu. Pada hal…Aku telah setia menantimu disini dalam kamar sunyi sendirian tanpa aku tahu kapan engkau kembali. Kini dirimu laksana banyangan yang tak pernah bisa kusentuh.

Bulan itu masih bersinar setiap malam. Aku dan kamu telah berhenti membina hubungan cinta yang sekian lama terbina. Cintaku layu. Kau rebut hatiku dan membingkainya dalam relung terdalam keangkuhanmu. Mudah kau akhiri semuanya dengan mengkhianati diriku. Panas laksana mentari yang telah mengekalkan dirinya karena bulan telah ditelan.

Engkau telah lama berlalu. Namun janji-janji kita masih kuingat selamanya di pantai itu. Rasa cintaku telah mencapai puncaknya. Tapi kini tak ada artinya sama sekali. Hatiku malu pada diriku sendiri. Hanya gumpalan rindu yang bisa kusimpan tanpa bisa menuangkannya dalam gelas hatimu.
Aku tahu sejak dulu kamu tak pernah mau pedulikan hatiku. Dan dirimu tak sudi sama sekali mendengarkan kata-kataku. Mengapa engkau tega melakukan ini padaku sayang?

Wanita idamanku kini dimiliki lelaki lain. Dan cintaku pun punah di tengah jalan. Mengapa kau pura-pura mencitaiku? Aku tersiksa sekali karena semua ini. Tak ada yang kau pikirkan akan sakit yang kuderita. Aku menantap sayu kini ke arahmu. Kau tak sudi menoleh walau sedetik.
Kini diriku ditemani penyesalan mendalam setelah kau hentikan cintamu padaku.

Sumber: http://fiksi.kompasiana.com

Cerita Misteri » Kebahagiaanku Yang Tak Wajar Bersama Laki-Laki Beda Dunia

Hidup, Dalam kehidupan ini tidak ada yang pernah sempurna, selalu diselingi dengan masalah-masalah yang membuat semua orang hampir gila. Manusia memiliki sifat yang berbeda-beda, dan dari situlah kita dapat mengetahui sifat manusia yang baik dan yang buruk. Kehidupan yang aku miliki saat ini mungkin sudah pernah dialami oleh orang lain selain aku. Kehidupan bernuansa gelap dan kelam. Kehidupan yang mungkin setiap orang tidak ingin alami. Karena kehidupan yang aku jalani penuh dengan kesunyian dan ketidakadilan yang di berikan oleh kedua orang tuaku. Kehidupan kelam yang sudah mereka berikan kepadaku sejak aku berumur 13 tahun, dan saat itu aku masih duduk di bangku SMP.

Aku menjalani hidup diiringi dengan cercaan dan hinaan dari orang-orang yang ada di sekolahku. Tapi dengan cercaan dan hinaan itulah aku dapat menjalani hidup dengan kuat dan tegar, mengingat Ayah dan Ibuku bercerai karena kesalahan yang mereka perbuat sendiri. Ya! Orang tuaku bercerai karena perbuatan mereka sendiri. Aku terlahir sebagai seorang anak dari pemilik perusahaan yang jaya dan besar. Tetapi bukan berarti keadaan tersebut membuatku bahagia. Aku tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuaku. Ayahku selingkuh dengan perempuan lain sedangkan Ibuku menganut ilmu gelap yang aku tidak tahu untuk apa.

Tapi hal itu tidak membuatku mundur untuk melanjutkan pendidikan, selama ada orang yang masih menanggungku. Dan ternyata dengan bersungguh-sungguh sekolah, aku mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku terkenal sebagai murid yang berprestasi, walaupun cercaan dan hinaan masih terus terdengar di telingaku. Dan pada saat aku mencicipi bangku kuliah, di situlah aku menemukan kebahagiaan yang di berikan oleh seseorang baik hati dan dermawan. Seseorang yang mungkin membuat orang-orang terkejut jika mengetahui asal-usulnya.
***

Semarang, 10 Mei 2009
Pagi itu, seperti pagi-pagi biasa yang telah aku jalani. Bersiap-siap untuk pergi kuliah. Mandi dan berpakaian, memasukkan buku-buku penting untuk bahan kuliahku. Aku telah bersiap-siap dan menuruni tangga rumahku. Menuju dapur dan mencemot sepotong roti berisi selai stroberi yang telah kusiapkan. Lalu aku mulai naik kembali kelantai atas, menuju sebuah ruangan yang sering digunakan Ibuku untuk bersemedi. Ya! Hak asuh anak jatuh ke tangan Ibuku dengan tipu daya yang ia perbuat, sehingga perasaan Hakim terlena oleh tipu daya tersebut. Kubuka pintu ruangan besar itu, di dalam aku melihat Ibuku duduk bersila dengan mata terpejam. Seluruh ruangan sangat gelap. Sesajen ada di mana-mana, bau kemenyan mengharumi seluruh ruangan dengan baunya yang sangat menyengat. Aku sudah terbiasa dengan bau ini sejak kecil. Aku berjalan mendekati Ibu, terlihat wajah tua Ibuku yang sudah mulai mengeriput.
“Bu, Ai pergi dulu. Assallamualaikum.”
Karena tidak ada respon, aku beranjak dari ruangan itu.
“Aisyah! Belajarlah untuk mengetok terlebih dahulu!” Bentak Ibuku.
Aku tidak menoleh kearah Ibuku, aku hanya berdiri membelakanginya di ambang pintu. Aku sudah terlalu sering di marahi oleh Ibuku. Bahkan jika Ibu kesal, dia tidak segan-segan mengguna-gunaku dengan ilmu hitam yang ia miliki.
“Baik, Bu. Assallammu…” Belum habis aku bicara, Ibu sudah memotong.
“Jangan sekali-kali kamu ucapkan salam seperti itu! Kamu mau membuat Ibu lekas mati?!” Bentak Ibuku, lagi.
Rasa kesal dan marah muncul dalam hatiku. Kelakuan Ibu yang sudah jauh dari nalar, membuat diriku hampir di bisiki oleh setan. Tapi aku langsung menutup pintu ruangan sesat yang sering di gunakan Ibuku itu. Aku berjalan cepat menuju garasi, memasuki mobil Suzuki Fortune. Beranjak pergi meninggalkan rumahku.

Universitas Hassanudin…
Aku memarkirkan mobilku di parkiran khusus untuk para mahasiswa. Orang-orang sudah banyak berlalu lalang di sekitar kampus. Ketika aku keluar dari mobil, orang-orang di sekitarku menatap ngeri terhadapku. Ya! Kehidupan yang diiringin dengan cercaan dan hinaan masih ada sampai aku mencicipi bangku kuliah. Seperti yang aku katakan, cercaan dan hinaan itu membuatku menjalani kehidupan dengan tegar dan kuat. Aku berjalan melewati orang-orang di sertai dengan tatapan ngeri dari mereka. Mungkin karena raut wajahku ini dan penampilanku. Memang kulitku yang putih pucat dan rambutku yang panjang serta poni yang sudah mulai panjang tapi tetap kusisir kearah depan sehingga memunculkan kesan seperti kuntilanak hidup yang sedang berjalan di hadapan mereka. Mungkin karena itulah mereka memberiku tatapan ngeri.
“Eh… eh. Lihat, itu Nur Aisyah. Hii… ngeri, ya? Kenapa sih, dia harus kuliah di sini? Seharusnya dia berkumpul dengan sebangsa setan.”
“Hush! Jangan bicara seenaknya, tidak baik. Kudengar dia itu anak seorang perusahaan besar. Tapi perusahaan itu sudah bangkrut dan keluarganya pun berantakan.”
“Oh… ternyata begitu, tapi seharusnya dia tidak perlu berkelakuan seperti itu. Tapi… mungkin karena kejadian itu dia berubah.”
“Mungkin.”


HIDUPKU BAHAGIA BERSAMA LELAKI BERBEDA DUNIA
Karya Meisy Pratiwi

Aku mendengarnya. Tapi tanpa kusadari, masih ada orang yang mengerti denganku. Walaupun aku tidak pernah mengetahuinya, tapi aku sangat bersyukur. Seperti biasa, kuliah di jurusan Ekonomi Marketing selalu banyak defenisi-defenisi dan hitungan. Aku yang sedang duduk manis memperhatikan Dosen Yuda yang tengah menjelaskan ‘Konsep Fisik Fundamental’. Kulihat di sekelilingku, wajah bosan terpampang dari sebagian orang-orang yang ada di dalam kelas ini. Dan aku heran.
“Hhh…” Kuhembuskan nafas berat.
Kenapa semua perempuan yang ada di kelas ini memberikan tatapan menawan kepada Dosen Yuda. Memang, Dosen Yuda adalah Dosen termuda yang ada di Universitas ini. Dan ia memiliki wajah yang dapat membuat setiap perempuan ingin menjadi pacarnya.
“Ya, Aisyah. Apakah kamu dapat menjelaskan tentang konsep yang satu ini?” Tanya Dosen Yuda.
Aku mulai berdiri, “Iya. Saya dapat menjelaskannya.”


Aku berjalan kemuka kelas, raut wajah semua perempuan yang tadinya sedang menikmati pesona Dosen Yuda berubah menjadi gersang.
“Haah… kenapa si kuntilanak ini yang menjelaskan?” Rengek salah satu perempuan.
“Iya. Pergi sana! Hush… hush…” Hina perempuan yang lain.
“Kalau kamu keberatan dengan keberadaan Aisyah, kamu dapat menggantikannya di depan sini. Bagaimana?” tanya Dosen Yuda sambil tersenyum.
“Errm… tidak usah, deh. Kamu saja yang menjelaskan, Aisyah.” Kata perempuan itu.
Aku hanya diam dan cuma mendengarkan hinaan yang mereka berikan. Tidak ada rasa kesal. Tapi aku malah tertawa geli dalam hati, melihat ekspresi perempuan tadi ketika dipersilahkan Dosen Yuda untuk menjelaskan.
“Ya, silahkan Aisyah.” Kata Dosen Yuda.
“Baiklah dalam konsep ini…”
Gelap……

Brrmm…
Suara mesin mobilku berderum keras memasuki halaman rumahku yang cukup besar. Ya! Rumah besar yang dulu kami huni kembali lagi ke tangan Ibuku setelah sekian lama disita. Aku tidak tahu, dengan cara apa Ibuku dapat merebut rumah ini kembali. Tapi aku tidak ingin menjadikan hal ini sebagai beban, lebih baik kusingkirkan terlebih dahulu. Aku berjalan menuju pintu besar rumahku, kubuka pintu bergaya mewah itu.
“Assallamualaikum…”
Tidak ada sahutan. Suara Ibuku tidak terdengar. Mungkin masih bersemedi. Pikirku. Ketika masuk ke dalam rumah, aku terus merasakan suasana yang berbeda dari sebelumnya. Suasana berbeda dari rumahku, susasana aneh yang berbeda ketika aku meninggalkan rumah untuk pergi ke kampus. Keadaan rumah sunyi, terlalu sunyi. Rasa panik dan khawatir mulai muncul di hatiku.
“Ibu…” Panggilku pada Ibu.
Tidak ada sahutan.
“Ibu…!” Panggilku lagi. Kali ini sedikit berteriak.
Masih tidak ada sahutan.
Refleks. Aku langsung berlari ke lantai atas, menuju pintu besar yang tak jauh dariku saat itu. Kuraih ganggang pintu. Dan cepat kubuka pintu besar itu. Terbuka!
“A… a…”
Mahluk apa itu?! Batinku.

Aku terkejut, tubuhku tak dapat kugerakkan. Berkali-kali aku bertanya dalam hati ‘Mahluk apa itu?!’. kulihat mahluk yang sedang mencekik leher Ibuku. Mata Ibu membelalak lebar. Mahluk bertubuh hitam dan besar itu sedang mencoba untuk membunuh Ibuku. Tubuhku beku, tidak dapat di gerakkan. Makin tak dapat ku gerakkan lagi, ketika mahluk itu menoleh ke arahku. Aku melihat matanya! Mata berwarna merah darah yang melihat ke arahku seakan-akan ia akan membunuhku juga setelah ia membunuh Ibuku. Tapi, aku menepiskan rasa takutku kepada mahluk yang ada di depanku sekarang. Aku bertekad, yang aku takuti cuma Allah SWT. Bukan mahluk gaib yang sekarang ada di hadapanku ini. Aku berlari menerobos dan mendorong mahluk itu, tiba-tiba mahluk itu menghilang dengan sendirinya. Ketika mahluk itu menghilang, aku langsung marangkul Ibuku yang masih setengah pingsan.
“Ibu… Ibu… Ibu…!” Teriakku.
“Bu… sadar…” Desahku. Dengan terkejut, Ibu terbangun di pelukkanku.
Tapi, tanpa aba-aba Ibuku langsung melepaskan pelukanku dengan kasar. Dia berdiri, matanya masih terbelalak dan ia melangkah kesana kemari seperti orang kebingungan. Aku hanya duduk bersimpuh dan cuma melihat gelagat Ibuku. Pandangan Ibuku beralih kepadaku, kemarahan mulai terlihat di wajahnya.
“Kamu! Kenapa kamu di sini?!” Bentak Ibuku.

Aku diam.
“Kau tak seharusnya berada di sini!” Aku diam, sekali lagi.
“Keluar! Keluar! KELUAR!!!!”
Akhirnya, setelah mendengar teriakan ibuku, aku berdiri dan beranjak meninggalkan tempat Ibuku bersemedi. Berjalan kearah yang berlawanan dari ruangan besar itu di lantai atas. Menuju kamarku yang terletak tak jauh dari ruangan itu. Aku membuka pintu kamarku, masuk ke dalamnya. Sesampainya di dalam aku sembarang melempar tas ranselku, kemudian menghempaskan badanku yang lelah di atas tempat tidur. Mengingat kejadian yang baru saja terjadi pada Ibu dan juga aku. Hal ini sudah terjadi ke-24 kalinya. Dulu Ibu hampir terbunuh oleh mahluk gaib yang kepalanya buntung. Dan setelah aku menyelamatkannya, seperti tadi, dia membentak dan memarahiku untuk segera keluar dari ruangannya. Aku memejamkan mata, menjernihkan pkiranku dan mengistirahatkan tubuhku. Dalam beberapa saat aku masuk ke dalam alam bawah sadarku.

***
Pukul 03.45 WIB. Dini hari.

Harum embun pada dini hari, membuat mataku kembali terbuka. Suara Azan berkumandang dari Mesjid kecil yang berada tak jauh dari rumahku. Aku bangkit dari tempat tidurku, menuju kamar mandi. Mencuci wajahku dan menggosok gigi. Aku kembali berjalan keluar dari kamar mandi. Seluruh rumah gelap. Penerangan lampu rumahku tak terlalu terang saat itu. Hanya ada sebagian tempat yang diterangi oleh lampu. Aku menuju tempat ber-wudhu, membuka selang dan mancuran air suci pun keluar. Aku mengusapkan air suci itu kelengan dan bagian alat gerak yang lainnya. Membersihkan diri dari kotoran yang tak terlihat. Lalu aku kembali ke kamarku dan mulai menghadap sang Maha Kuasa.

Aku berangkat kuliah pagi-pagi sekali. Dikarenakan masih ada urusan penting yang harus aku selesaikan terlebih dahulu. Seperti biasa, aku memarkirkan mobilku di parkiran dan berjalan menyusuri koridor Universitas Hassanudin yang megah.
WHUUS…
Sekelebat angin kencang menerpa tubuhku. Aku hampir terjatuh oleh angin yang kencang itu. Aku menoleh kebelakang, tidak ada siapa-siapa di kampus maupun disekelilingku. Tapi ketika aku menoleh kembali.
“HAAH!!” Aku terkejut.

Sesosok perempuan berambut panjang tiba-tiba muncul dihadapanku. Dia berdiri dengan wajah tertunduk. Tapi aku tidak merasa takut sama sekali. Aku malah mengajukan pertanyaan kepada perempuan yang ada di depan mataku ini.
“Permisi, kamu kenapa? Ada perlu apa denganku?” Tanyaku.
“ To… to… tolong… a… ku…”
“Hah? Apa? Maaf saya tidak mendengar. Bisa kamu ulangi lagi?”

GREEP…
“TOLONG AKU!”
Tiba-tiba perempuan itu memegang kedua pundakku. Kemudian mendekatkan wajahnya sambil berkata.
“Tolong aku… tolong aku… tolong aku… TOLONG AKU…”
Mataku terbelalak. Melihat mata perempuan itu. Warna merah darah. Warna yang sama dengan mata mahluk hitam yang menyerang Ibuku kemaren. Perempuan itu terus mengatakan hal yang sama. Dia terus melihatku dengan mata merah itu. Mataku masih terbelalak, tubuhku beku tidak dapat di gerakkan seperti waktu itu. Tiba-tiba banyak suara-suara minta tolong terdengar dari berbagai arah. Lalu…
BUUKK!!
Sesuatu menghantam kepalaku dengan keras. Mataku berkunang-kunang. Pandanganku mulai tidak jelas. Rasa sakit sudah tak tertahankan lagi.
GEDEBUK!!
Aku jatuh. Terbaring di lantai koridor kampus, mataku masih berkunang-kunang. Aku melihat perempuan itu masih menatapku. Tersenyum. Perempuan itu tersenyum lebar melihatku terbaring lemah. Pandanganku semakin pudar. Lalu yang ada hanyalah… gelap.
***

1 Tahun Kemudian…

Suara ramai orang-orang berdengung di telingaku. Aku yang sedang duduk di bawah pohon beringin besar yang ada di halaman kampus, membuat pandangan semua orang mengarah kepadaku. Mereka terus memberikan tatapan ngeri karena aku berani duduk di bawah pohon beringin ini. Kata orang-orang yang ada di kampus, pohon beringin yang berposisi tepat di tengah halaman kampus terkenal angker. Tapi aku tidak merasa merinding sama sekali. Malah berbicara dengan orang-orang yang ada di sekitar pohon sungguh mengasyikkan. Walaupun bentuk mereka agak sedikit menakutkan.
Sejak kejadian satu tahun lalu, aku mendapatkan bakat dapat melihat orang-orang yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Kejadian tragis yang membuatku koma selama 3 minggu. Kejadian yang terjadi di koridor kampus ini. Perempuan yang telah melakukan sesuatu kepadaku. Bahkan ketika aku koma, Ibu sama sekali tidak pernah menjenguk maupun menjagaku. Cuma paman dan bibiku saja yang senantiasa menjaga dan merawatku.
“BISA DIAM GAK, DEK?!” Suara seseorang membentak.
Aku menoleh kearah suara itu, yang berada tak jauh dari hadapanku. Oh iya, aku baru ingat kalau Ospek penerimaan mahasiswa baru dilaksanakan hari ini. Kulihat para Senior membentak-bentak para angkatan baru. Mereka di suruh baris-berbaris, scotjump, push up, sit up, dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan fisik dan mental. Sampai-sampai ada salah satu Junior yang pingsan karena tidak kuat, ada juga yang menangis dan sebagainya. Sepertinya Ospek yang diadakan tahun ini sangat berat, dan aku yakin para Senior sangat senang menyiksa Juniornya. Tapi tanpa kusadari ada salah satu angkatan baru yang sangat aku salut kepadanya. Laki-laki muda berperawakan sedang dan berwajah cukup tampan. Tapi… sebenarnya… ehm, tampan sedikit saja. Aku sangat salut kepada bocah itu, ia terus berusaha dan tekun sekali mengikuti perintah yang dikatakan oleh Seniornya. Walaupun kentara jelas di wajahnya bahwa ia sangat lelah, tetapi ia sangat pintar menyembunyikannya. Aku harus memperhatikannya dengan teliti terlebih dahulu baru aku tahu ternyata dia sangat lelah. Anak yang pantang menyerah. Ternyata masih ada orang yang seperti itu. batinku. Karena terus memperhatikan gerak-geriknya dalam mengikuti kegiatan Ospek, ternyata aku ketahuan. Tapi memangnya tidak boleh melihat kegiatan Ospek Juniorku. Ia menatapku ketika sedang istirahat. Aku langsung membuang muka, dan kembali membaca buku untuk bahan penjelasanku selanjutnya yang di suruh oleh Dosen Yuda.
Tak beberapa saat aku membaca buku, terdengar suara teriakan centil seorang perempuan. Aku menoleh, dan tak beberapa centimeter dari hadapanku segerombolan Senior yang perempuan sedang mengerumuni sesuatu. Aku yang masih mempunyai rasa penasaran ini, melirik apa yang sedang mereka kerumuni. Aku mencari celah diantara perempuan itu. Ketika aku menemukannya, kulihat laki-laki yang aku salut kepada kerja kerasnya. Ketika melihatnya aku langsung kembali membaca buku lagi. Ternyata bocah itu cepat terkenal. Batinku.
“Hai…”
Sebuah suara membuyarkan konsetrasiku ketika membaca buku. Aku menoleh, sesosok lelaki berdiri di hadapanku dengan tersenyum. Hhh… ternyata dia. Pikirku. Aku hanya menunjukkan ekspresi dingin dan memcoba kembali membaca bukuku lagi.
“Anu… permisi. Kamu…” Tanyanya.
“Bisakah kau bicara lebih sopan sedikit. Aku ini Seniormu,”
“Aduh maaf, kak. Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya cuma mau bertanya.”


Aku menatap bingung pada Junior yang tak kutahu namanya ini. Tanpa pikir panjang aku langsung memperbolehkan dia bertanya.
“Boleh. Apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Ehm… kenapa kakak duduk sendirian di sini? Di bawah pohon beringin lagi. Apa tidak apa-apa? Orang-orang ngeliatin kakak dari tadi, terutama teman-temanku.” Katanya panjang lebar.
“Itu namanya bukan bertanya. Terus kenapa? Memangnya salah kalau aku duduk di sini? Aku tidak mengusik pikiran mereka, kan?” Kataku, dingin.
“Bukan begitu…”
“AKHMAD….” Panggil seseorang.
Laki-laki yang ada di hadapanku menoleh ke asal suara itu.
“Maaf ya, kak. Teman saya memanggil. Lain kali kita ngobrol-ngobrol, ya.” Katanya, sambil tersenyum lebar.
Aku menghembuskan nafas berat. Aku merasa senyum kecil terlukis di bibirku. Cuma dia satu-satunya orang yang berani berbicara denganku. Selain pantang menyerah, dia juga sangat baik hati dan pandai bergaul.

Malam itu menjadi malam yang sangat suram ketika aku berada di rumah. Akhir-akhir ini aku sering mendengar suara Ibuku sedang berbicara dengan seseorang. Padahal selama beberapa tahun ini tidak ada satu orang pun yang berkunjung ke rumah kami. Tetangga kami pun tak pernah berkunjung. Tapi aku yakin, orang yang berbicara dengan Ibuku bukanlah manusia. Aku merebahkan kepalaku di atas bantal, dan mulai memejamkan mataku.
Keesokan harinya aku kembali menjalani hari-hariku di kampus. Aku di panggil Dosen dan di suruh untuk segera menyiapkan bahan untuk Proposal, mengingat bahwa tahun ini adalah tahun terakhirku dalam kuliah. Ketika aku keluar dari ruang Dosen, dari kejauhan kulihat laki-laki yang kemaren yang mengajakku berbicara berjalan kearahku dengan melambaikan tangannya. Dan aku langsung membelokkan arah tujuanku kembali kearah sebaliknya.
“Eh… eh… kak, tunggu…!” Teriaknya.

Aku tak memperdulikan panggilannya dan terus berjalan cepat, berusaha menjauh darinya.
“KAK…! TUNGGU…!” Teriaknya lagi.
Aku berjalan berakhir di pohon beringin di tengah halaman kampus. Dan kulihat dari belakang dia masih mengikutiku. Dia berlari menujuku, dan dengan nafas terengah-engah ia menghampiriku.
“Haah… haah… haah… kakak cepat sekali jalannya. Aku sampai kelelahan.” Desahnya.
“Lalu… kenapa kau mengikutiku?” Kataku, jutek.
“Aku kan sudah bilang kemarin. Aku akan menemui kakak lagi. Memangnya tidak boleh kenalan dan berteman dengan Senior?” Tanyanya dengan nada lugu.

Aku melirik ke wajahnya. Ternyata ia memasang wajah yang polos, sehingga membuatku menjadi gemes melihat wajahnya. Andaikan aku mempunyai adik seperti dia, akan kupeluk setiap hari. Batinku.
“B… boleh saja. Tapi apa tidak apa-apa?” Tanyaku.
“Kenapa apanya, kak?”
“Aku kan dikenal sebagai orang yang aneh di sini. Apa tidak apa-apa kamu berteman dengan Senior yang aneh sepertiku ini? Nanti popularitasmu turun, lho.”
“Tidak apa-apa. Memangnya mereka yang mengatur aku dalam memilih teman. Aku tidak popular. Mereka saja yang mendekatiku.”
“Baiklah. Namaku Nur Aisyah, panggil saja Ai. Senang berkenalan denganmu.” Kataku mengulurkan tangan. Dan ia pun membalas jabatanku.
“Nama saya Muhammad Nur. Panggil saja Akhmad. Wah… nama kita hampir mirip ya, kak. Cuma beda belakang sama di mukanya saja.”

Aku tersenyum kecil. Akhirnya aku bisa merasakan yang namanya berteman. Sudah sekian lama aku tidak merasakannya. Tapi ada satu hal yang membuatku bingung, kenapa ia tidak mempunyai belahan bibir. Biasanya setiap orang memilikinya. Aku memandangnya, memperhatikan bibirnya. Siapa tahu saja aku salah.
“Ada apa, kak?”
Ternyata memang tidak ada belahannya. Mungkin karena faktor keturunan.
“Kak?”
“Ah… tidak. Tidak ada apa-apa.”

Selama aku berteman dengan Akhmad, aku mendapatkan hari-hari yang menyenangkan. Tidak ada lagi hari-hari suram yang aku rasakan, mungkin Akhmad dikirim oleh yang Maha Kuasa untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dan aku sangat mensyukuri itu. Sekian lama kami berdua berteman, Akhmad pernah di olok-olok oleh teman-temannya pada tahun kedua kuliahnya. Dan aku pernah menyarankan untuk memperjauh hubungan pertemanan kami supaya ia tidak di olok-olok lagi, tapi ia tidak menyetujui saranku. Ia berkata ‘Bukan mereka yang mengatur aku untuk memilih teman. Kalau aku mau berteman dengan kakak, ya aku berteman denganmu’ hal indah yang dikatakan oleh Akhmad melalui mulutnya sangat menyentuh hatiku. Dan pada saat tahun terakhirku, aku disibukkan dengan pekerjaan dalam membuat Skripsi. Tentu saja aku sangat kesusahan dalam mencari bahan. Tapi di mana aku kesusahan, Akhmad selalu ada untuk membantuku. Walaupun saat itu dia masih semester ke-3, dia mengerti bahan yang bagus untuk Skripsiku. Dan itu sangat mengagumkan untuk laki-laki yang masih bergelut di semester ke-3. Aku sangat mengagumi laki-laki yang membantuku ini.

Hari itu adalah hari Ujian Skripsi. Dan aku di wawancarai mengenai topik skripsi yang aku buat. Dia dalam aku melihat Dosen Yuda juga turut ikut mewawancaraiku. Di dalam ruangan yang berisi 5 orang Dosen pembimbing dan aku. Mereka menanyakan topik dan tujuanku memilih judul dalam Skripsiku. Aku menjelaskan kepada mereka dari awal hingga akhir mengapa aku memilih judul yang aku buat dalam Skripsiku. Hingga aku pun memberikan alasan dan kesimpulannya, dosen yang memperhatikan dan mendengarku, berangguk pelan. Setelah aku selesai mengatakan semua penjelasanku, aku pun melihat ke para Dosen. Reaksi mereka sangat tenang, kemudian mereka saling berpandang satu sama lain berkomunikasi lewat kontak mata. Dan dengan tersenyum mereka berkata,
“Penjelasan yang bagus Nona Ai. Tidak salah Yuda menyuruhmu untuk masuk ke dalam ruang lebih dahulu. Kami sangat puas. Kamu secara resmi di nyatakan LULUS,”
“Allhamdullillahirabbilallammin….” Aku mengusap dada, dan mengucapkan kata syukur.

Lalu aku pun keluar dengan rasa berterima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikanku ketegaran dan mempermudahkan aku dalam menghadapi ujian kali ini. Aku melangkahkan kaki keluar dari ruangan itu, ketika aku sudah berada di luar kulihat Akhmad sudah menungguku dengan cemas.
“Bagaimana, kak?” Tanyanya dengan nada cemas.
“AKU LULUS, AKHMAD! KYAAA….” Aku bersorak riang dan menghamburkan pelukkanku ke Akhmad.
“Selamat ya, kak. Kakak sudah berusaha.”
“Ini semua juga berkat kamu, Akhmad. Terima kasih ya.”
“Sama-sama. Selebihnya kan kakak yang mengerjakannya. Oh iya, kak. Mau sampai kapan meluk aku?”
Mendengar pertanyaan Akhmad, aku langsung melepaskan pelukkanku. Dan aku merasakan pipiku panas.
“Oh… maaf ya,”
“Tidak apa-apa,”

Suasana menjadi hening.
“Kak…?” Tanyanya lagi.
“Iya? Ada apa?” Jawabku.
Akhmad menatapku dengan pandangan serius. Lalu dengan sigap ia langsung memegang tangaku.
“Kak! Baru kali ini aku melihat kakak sesenang ini. Aku ingin membuat kakak bahagia selamanya. Aku ingin di sisi kakak dan menghibur kakak,”

Aku tercengang. Serasa tidak percaya dengan yang baru saja Akhmad katakan. Apakah ini yang dinamakan pernyataan cinta.
“A… aku. Tapi Akhmad, umur kita berbeda jauh dan itu sangat tidak mungkin.”
“Tapi…”
“Akhmad aku tidak bermaksud untuk tidak menolak tawaranmu. Coba kamu pikir lagi. Apa kamu mau menerimaku yang seperti ini?”
“Tentu saja. Aku tidak pernah melihat perempuan tegar seperti kakak dan aku sangat menyukai sifat kakak yang seperti itu. Jadi maukah kakak berada di sisiku selamanya?”
Aku mengangguk. Lalu dengan sekejap Akhmad langsung memelukku dan mengangkatku. Senyum gembira tertera di wajahnya yang polos. Aku memberikannya senyuman kecil. Sesuatu hal mengganjal pikiranku mengenai hubunganku dengan Akhmad. Masalahnya, dalam hukum Islam jika seorang lelaki dan perempuan telah mengetahui sifat satu sama lain, dan lelaki tersebut menyatakan perasaannya. Itu menyatakan bahwa lelaki itu sedang mempersunting perempuan tersebut. Sedangkan Akhmad tidak tahu asal usul keluargaku, dan keadaan Ibuku. Dan aku sangat bingung ketika aku menerima tawarannya, dia langsung ingin segera menemui orang tuaku. Dengan terpaksa aku membawanya kepada Ibuku.

Sesampainya di rumah, aku mempersilahkannya duduk di ruang tengah. Aku naik ke atas dan memasuki ruangan itu lagi. Kubuka pintu itu, didalam kutemui Ibuku yang sedang berdiri di depan cermin.
“Bu… ada seseorang yang ingin bertemu dengan ibu. Calon suami Ai, dia ingin meminta restu dengan Ibu,”
Ibu langsung berjalan melewatiku, keluar dari ruangan itu. Baru kali ini Ibu keluar dari ruangan semedinya setelah sekian lama. Ibuku dan aku menuruni tangga, Akhmad yang melihat langsung berdiri. Tapi ketika Ibuku melihat ke Akhmad, bola mata Ibu langsung membesar.
“HAH! Sedang apa kau disini?! Keluar kau! Kau tidak berhak berada disini! KELUAR!!!” Teriaknya.
Aku terkejut dengan kelakuan Ibu yang mendadak histeris.
“Ibu! Ibu kenapa?! Ini Akhmad calon suami Ai, bu.”
“TIDAK! KELUAR!!!!”

Akhmad hanya memasang wajah serius ketika bertemu dengan Ibuku. Kami berdua pun keluar. Mengantar Akhmad ke depan pintu, jeritan histeris Ibu masih terdengar dari luar.
“Maaf ya, Akhmad.”
“Tidak apa-apa, kak. Kalau begitu aku pulang dulu. Assallammuallaikum.”
“Wallaikumsallam. Akhmad.” Panggilku.

Ia menoleh.
“Jangan panggil aku dengan sebutan ‘kakak’ lagi. Panggil saja aku Ai.”
Ia tersenyum dan pergi meninggalkan rumahku. Tapi pada keesokkan harinya aku meminta nasihat kepada paman dan bibiku mengenai lamaran Akhmad kepadaku. Dan aku masih memiliki kendala untuk mendapatkan restu. Akhirnya paman dan bibiku menyuruhku untuk membawa Akhmad dan memperkenalkannya kepada mereka. Dan tepat pada malam hari, aku memperkenalkan Akhmad kepada paman dan bibiku. Dan luar biasa, reaksi paman dan bibiku terhadap Akhmad sangat memukau. Dalam sekejap paman dan bibiku langsung menyukai Akhmad. Dan pada malam itu juga Akhmad mendapatkan restu dari paman dan bibiku, lebih baiknya lagi paman bersedia untuk menjadi waliku.
“Tolong jaga keponakan kami, nak Akhmad.” Ucap pamanku sembari tersenyum.

Pernikahan kami di selenggarakan pada Tanggal 05 Mei 2010. Aku duduk bersanding bersama Akhmad. Proses akad nikah berjalan lancar dan tidak ada kendala sama sekali. Aku dan Akhmad sangat bahagia pada saat itu, sayangnya orang tua Akhmad tidak dapat datang pada hari itu. Dikarenakan jarak yang sangat jauh dapat memungkinkan penyakit Ayahnya kambuh lagi. Dan yang dapat mewakilkannya hanya kakak dari Akhmad. Setelah proses akad nikah selesai, kami semua pergi ke rumah pamanku untuk acara pestanya. Tapi keesokkan harinya, Akhmad harus segera turun kuliah untuk mengajukan Skripsinya. Dan aku mulai merekomendasikan diriku kepada salah satu Perusahaan Marketing terbesar di Semarang, dan aku sangat bersyukur aku di terima dengan senang hati. Dan aku langsung diangkat menjadi Manejer Marketing karena nilai yang kuperoleh pada saat kuliah.
Hari-hari yang kulalui penuh dengan pekerjaan, dan Akhmad pun sibuk dalam menyelesaikan kuliahnya dan minggu depan ia akan Ujian Skripsi. Waktu untuk kami saling bertemu sangatlah sedikit, dan kami berdua belum mempunyai rumah. Dan masih belum terpikir untuk membeli rumah, mengingat Akhmad masih belum lulus. Dan pada minggu Akhmad Ujian Skripsi aku minta cuti dengan atasanku untuk mendampinginya. Seperti dia mendampingiku saat aku Ujian Skripsi pada waktu itu. Dengan gelisah aku menunggunya di luar ruangan. Beberapa menit kemudian aku melihat pintu ruangan itu pun terbuka, kulihat sosok Akhmad yang sedang berjalan. Lalu ia pun menghampiriku, wajahnya masih tidak menunjukkan ekspresi senang. Melainkan ekspresi datar, pada saat itu kukira ia tidak lulus. Tapi beberapa detik kemudian ia langsung berteriak memeluk dan mengangkatku.
“AKU LULUS, AI…” Soraknya.

Aku yang mendengarnya langsung meneteskan air mata bahagia. Dan juga mengucapkan syukur kepada Allah SWT karena telah memberikan kemudahan untuk Akhmad. Malamnya Akhmad dan aku berencana mengundang paman dan bibiku untuk makan malam di luar dalam rangka kelulusan Akhmad. Paman dan bibi sangat bangga kepada Akhmad. Dan pada hari berikutnya Akhmad mulai membuka toko komputernya, dan menunjukkan keahliannya dalam Bidang Teknologi. Bulan demi bulan kami isi dengan kesibukkan masing-masing dalam pekerjaan sampai pada suatu hari Akhmad mempertanyakan sesuatu ketika kami sedang makan siang di luar.
“Ai?” Tanyanya.
“Iya, mas?” Balasku.
“Begini, lusa kan aku mau cuti sebentar dan ingin pulang ke kampung halamanku.”
“Kenapa mendesak sekali, mas?”
“Penyakit Ayah kambuh lagi,” Tukasnya.
“Astagfirrullahallazim. Kenapa?” Kataku, terkejut.
“Mas juga tidak tahu, Ai. Makanya kalau mas pulang kamu mau tidak ikut sama mas?”

Aku mendongkakkan kepalaku.
“Tapi… apa tidak apa-apa, mas. Aku masih masih belum siap bertemu dengan orang tuamu. Malu. Bisa-bisa pas aku bertemu dengan orang tuamu, mereka langsung menyuruh kita cerai.”
“Ya Allah… Ai… Ai… pikiran kamu jauh sekali. Masa orang tuaku sekejam itu, ya tidak lah. Ikut saja sekalian bertemu dengan keluarga besarku di sana.”
“Aku mau saja, mas. Tapi apa tidak apa-apa?”
“Aduh ai… kamu ini segugup itu ketika ingin ku bawa ke mertuamu.”
“He… he…”

Aku menyeringai.
“Di mana kampung halaman kamu, mas.”
“Di Kalimantan Tengah.”
“Wah… jauh sekali. Pantas orang tuamu tidak bisa datang ke pernikahan kita.”
“Walaupun jauh pemandangan di sana sangat indah sekali, lho. Dan kampungnya di pinggir pantai lagi.”
“Yang benar? Tapi mas, aku juga kebetulan di tugaskan atasanku untuk menjadi manajer di salah satu Perusahaan Sawit yang ada di Kalimantan Tengah. Dan minggu depan aku berangkat.”
“Nah… sekalian saja. Tapi di kota mana?”
“Di kota Sampit. Tapi harus pulang pergi lagi menggunakan travel ke kilometer 21.”
“Nah… kalau begitu kita berangkatnya minggu depan saja.”

Aku pun mengangguk tanda setuju.
“Tapi sebelum berangkat, kita berpamitan dengan Ibumu dulu. Sudah lama kamu tidak menjenguk Ibumu.” Kata mas Akhmad.
Aku pun menundukkan kepalaku. Iya sudah lama aku tidak menjenguk Ibu. Aku tak tahu keadaannya saat ini semenjak aku tinggal di rumah paman dan bibi.
“Iya. Baiklah, mas.”


Aku dan mas Akhmad sudah menentukan hari kapan kami berangkat. Aku tidak sabar ingin bertemu dengan Ayah dan Ibu mertuaku. Mereka seperti apa ya? Pasti mereka orangnya baik sama seperti mas Akhmad. Hari demi hari terus berlalu. Waktu untuk berpamitan dengan Ibuku pun telah tiba, aku berdua mas Akhmad mengendarai mobil menuju rumah Ibu. Kami memasuki rumah megah, tapi keadaan rumah saat itu sangat berantakkan seakan tidak ada sama sekali orang yang mengurusnya. Aku memandang rumah yang dulunya kutinggali, keadaannya sangat jauh berbeda ketika aku meninggalkan rumah ini. Aku dan mas Akhmad memandang tak percaya dengan apa yang kami lihat. Rumah yang dulu sangat megah dan indah, kini terlihat seperti rumah kosong dan bernuansa angker.
“AAAARRRRGGGGHHHHH!!!!”
Aku terkejut mendengar jeritan keras yang berasal dari rumah. IBU! Aku pun langsung berlari masuk ke dalam rumah dan tak menghiraukan panggilan mas Akhmad. Aku menaiki tangga dengan cepat, menuju ke ruangan yang dulunya sangat kubenci. Ruangan berpintu besar berada di hadapanku, langsung kubuka pintunya. Ketika kubuka, kulihat Ibuku telah terkapar di atas lantai. Lalu aku serasa tak percaya dengan apa yang telah kulihat di depan mata kepalaku. Perempuan yang membuatku koma selama 3 minggu berdiri di samping Ibuku. Ia melihatku dengan mata merahnya, lalu menghilang meninggalkan asap hitam pekat. Aku langsung memeluk Ibuku yang tergeletak diam di lantai dengan mata membelalak lebar dan mulut ternganga serta mengeluarkan lidahnya.
“Ibu! Ibu! Ibu!”

Aku meraih pergelangan tangan Ibuku, dan merasakan denyut nadinya. Tidak ada!
“Ibu…! Ibu…! IBU….! MAS…! MAS AKHMAD…!” Teriakku. Memanggil mas Akhmad.
Mas Akhmad muncul di balik pintu dengan wajah cemas. Aku langsung menangis dengan Ibu dalam pelukkanku.
“Mas… Ibu mas…”

Mas Akhmad mendekat dan merasakan denyut nadi Ibuku sekali lagi.
“Innallillahhi Wainnallillahhiroziun. Ai, Ibu telah berpulang kepada yang maha kuasa.” Tukas mas Akhmad.
Aku langsung menangis dengan keras dan memeluk erat mayat Ibuku. Dan mas Akhmad pun ikut memelukku, menenangkanku.
“Kita harus hubungi keluargamu, Ai.”
***

Hari pemakaman Ibuku penuh dengan haru. Aku sangat sedih dengan kepergian Ibuku yang sangat aku sayangi walaupun ia sering tidak terlalu memperhatikanku. Tapi aku sangat menyayanginya, kenapa Ibu meninggal dengan cara yang sangat tragis. Mas Akhmad selalu berada di sampingku, menenangkanku dan menjagaku. Dan aku sangat menghargai perbuatan suamiku. Ketika malam tahlilan, dan membaca Surah Yaasin mataku tak henti-hentinya mengeluarkan air mata sampai aku tak sanggup lagi dan beranjak masuk kedalam kamar rumah paman dan bibiku. Orang-orang pun selesai mengirimkan Do’a untuk Ibuku, kudengar para wanita yang berada di dapur telah menyuguhkan makanan untuk semua orang yang datang dalam tahlilan malam itu. Pintu kamar yang aku masuki terbuka, sosok mas Akhmad yang menggunakan baju koko dan memakai kopiah menghampiriku.
“Ai… sudahlah. Ikhlaskan saja,” Kata mas Akhmad dengan suaranya yang lembut. Tangannya yang besar dan kokoh mengusap air mataku yang masih berjatuhan.
“Aku sudah merelakannya, mas. Tapi kondisi Ibu ketika meninggal sangat membuatku terpukul.”

Mas Akhmad diam.
“Ai… bagaimana kita membangun rumah?”
“Hah… membangung rumah.”
“Iya. Bagaimana kita berkeluarga dan tinggal di kampung halamanku dan meninggalkan kehidupan kota. Kita akan membangunnya di dekat pantai, tapi agak jauh dari rumah Ayah dan Ibuku. Bahan-bahannya sudah di sediakan disana biayanya pun menggunakan uang gajiku.”
Aku terdiam.
“Apakah engkau mau, Ai?” Tanyanya dengan nada sendu.

Aku berfikiti sejenak. Menimbang-nimbang penawaran mas Akhmad yang sangat memungkinkan untukku. Aku mendongkakkan kepalaku, dan menatap mata mas Akhmad dengan tajam. Dan aku pun berkata.
“Baiklah. Aku mau, mas.”
“Allhamdullillah. Ternyata kamu setuju dengan penawaranku. Aku sudah minta izin dengan paman dan bibimu, dan mereka menyetujuinya.”
Aku tersenyum kecil. Wajah ceria mas Akhmad terpancar ketika aku berkata setuju kepadanya. Dan aku merasa aku sangat beruntung mempunyai suami yang bijaksana seperti mas Akhmad, walaupun ia lebih muda dariku. Dan ia tidak membandingi perbedaan umur kami. Kami berdua akan berangkat pada hari senin. Aku dan mas Akhmad pamit pada hari senin itu. Perjalanan jauh dan melelahkan menunggu kami, perjalanan melalui udara dan darat. Setelah 16 jam perjalanan kami pun sampai di kampung halaman mas Akhmad. Memang benar apa kata mas Akhmad, kampung ini sangat indah tepat berada di dekat pantai. Pohon-pohon kelapa mengelilingi kampung ini, dan hebatnya lagi kampung ini sangat bersih dan asri.
“Nah… Ai. Selamat datang di Kampung Kalap. Ini adalah kampung yang sangat aku cintai dan sayangi,”
Aku melangkahkan kakiku di atas kampung yang aku tidak kenali ini, tapi kampung ini sangat membuatku takjub dengan pemandangan pantai yang sangat indah serta kampungnya. Mas Akhmad membimbingku menuju sebuah rumah berpondasikan kayu ulin yang sangat kuat. Rumah itu agak besar tetapi lebar, dan desainnya ala Kalimantan Tengah sekali. Sekerumunan orang-orang yang berada di kampung menyambut kami berdua. Ternyata mas Akhmad sangat di kenal di kampungnya, dan orang-orang yang ada di kampung ini sangatlah ramah. Dan kulihat di muka rumah yang kusebutkan tadi berdiri dua orang wanita dan lelaki paruh baya dan aku juga melihat kakak Akhmad. Jangan-jangan wanita dan lelaki itu mertuaku, orang tua mas Akhmad. Ketika kami menghampiri orang tua mas Akhmad, mereka langsung memeluk mas Akhmad. Mas Akhmad mencium tangan kedua orang tuanya dan kakaknya. Keluarga yang sangat harmonis, aku selalu mendambakan keluarga seperti ini.
“Mai, jituh sawan kula,” (Bu, ini istri saya). Kata mas Akhmad dalam bahasa yang sama sekali tidak aku ketahui.
Lalu Ibu mas Akhmad tersenyum dan memegang pipiku, dengan refleks aku langsung mencium tangan Ibu mas Akhmad. Ibu mas Akhmad berkata sesuatu dan aku sama sekali tidak mengerti. Mas Akhmad menyadari raut wajahku yang sangat kebingungan, lalu membisikkan sesuatu di telinga Ibunya. Lalu Ibunya langsung seperti orang terkejut dan lupa.
“Jadi ini namanya nak Aisyah. Kamu cantik sekali, nak. Akhmad, Aisyah ayo masuk. Masa kita berdiri di sini, nanti kaki cepat lunglai.” Kata Ibu mas Akhmad dengan Bahasa Indonesia yang sangat lancar, sambil tertawa dan mempersilahkan masuk.
“Ah, ibu ini,” kata mas Akhmad.

Kami semua pun masuk ke dalam rumah orang tua mas Akhmad. Keadaan di dalam rumah sangat rapih dan terurus, dan sangat bersih serta tertata. Kami semua bercerita-cerita tentang kisah masing-masing. Sangat menyenangkan tinggal bersama keluargaku yang baru ini, terutama Ibu dan Ayah mas Akhmad yang sangat baik hati. Malamnya kami makan malam, masakan yang di buat Ibu mas Akhmad sangat enak. Aku sampai nambah dua kali. Dan aku langsung minta di ajarkan resep masakan Ibu mas Akhmad yang namanya ‘Gangan asam’. Ternyata ‘Gangan Asam’ itu dalam Bahasa Indonesianya itu sayur asem, tapi yang di buat Ibu mas Akhmad sangat enak dan bisa diacungi jempol. Keharmonisan yang aku dapatkan bersama keluarga baruku sangatlah membuatku terharu. Pernah mas Akhmad mengatakan kepada Ibunya bahwa aku saat ini sebatang kara dan Ibuku telah meninggal. Dan Ibu mas Akhmad pun berkata “Kamu telah mempunyai keluarga baru disini. Dan Ibu sangat senang jika kamu memanggi Ibu dengan panggilan ‘Ibu’” saat itu aku langsung meneteskan air mataku, seumur-umur Ibuku tidak pernah berkata seperti itu. baru kali ini ada seseorang yang berkata dengan ikhlas seperti itu. Lalu pada suatu hari aku minta izin kepada mas Akhmad untuk berjalan-jalan di tepi pantai, selagi mas Akhmad sedang membangun rumah untuk kami.

Ketika aku berjalan-jalan di pinggir pantai, dari kejauhan terlihat seorang nenek berjubah hitam berjalan menghampiriku. Kulitnya sangat mengeriput, matanya yang memutih sangat membuatku ketakutan. Lalu ia menunjukku dengan telunjuknya, dan berkata.
“Kau… kau tidak pantas berada disini.” Katanya dengan nada parau layaknya seorang nenek yang sudah memasuki usia senja.
“Memangnya kenapa, nek? Ini adalah kampung halaman suami saya dan kami akan tinggal di sini. Dan saya sangat menyukai penduduk kampung di sini.” Balasku.
“TIDAK! Kau harus pergi dari sini sesegera mungkin,”
Aku bingung dengan perkataan nenek yang sedag berada di depanku ini. Lalu ketika sesuatu luput dari mataku aku menoleh kebelakang. Dan ketika aku menoleh kembali, nenek yang berada di depanku sudah menghilang. Aku sangat terkejut. Secepat itukah nenek tersebut pergi. Lalu malamnya aku mengalami muntah-muntah hebat. Aku terus keluar dan memuntahkan semua makanan yang ada di dalam perutku, dan itu sangat menyakitkan. Mas Akhmad cemas melihat keadaanku dan mendampingiku.

Beberapa minggu kemudian, rumah dambaan kami pun jadi. Rumah yang di bangun dengan kayu sama seperti rumah Ayah dan Ibu mertuaku. Terbuat dari kayu ulin dan berada di dekat pantai dan agak jauh dari rumah Ibu dan Ayah mertuaku. Kami berdua pun kembali bekerja. Aku berkerja sebagai manejer di Perusahaan Sawit dan mas Akhmad membuka cabang toko komputernya di Kota Sampit. Kami pulang pergi dari rumah menggunakan travel. Sungguh hari-hari yang melelahkan membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami. Lalu malamnya aku muntah-muntah lagi, rasa sakit pada perut dan saluran nafasku tak tertahankan lagi. Mas Akhmad semakin cemas dengan keadaanku, dan ia pun menaruh curiga kepadaku.
“Ai, apa kamu tidak apa-apa. Ini minum air putih.” Katanya, sembari menyorongkan gelas berisi air putih.
“Makasih, mas.”
“Ai, dari semalam kamu terus muntah-muntah. Jangan-jangan kamu hamil.”
“Bisa saja, mas. Aku sudah telat 3 bulan. Tapi… tunggu. Aku ambil alat tes kehamilan dulu.”

Aku pun mengambil alat tes kehamilan di dalam lemari dan beranjak menuju kamar mandi. Ketika aku melihat hasilnya aku sangat terkejut. Lalu aku keluar mendatangi mas Akhmad.
“Mas…” Panggilku.
Mas Akhmad pun berdiri. Dengan pandangan cemas ia menatapku.
“Mas… aku… aku POSITIF HAMIL.” Sorakku. Dan menghamburkan pelukkan ke mas Akhmad.
“Akhirnya Aisyah. Kita akan segera memiliki anak.”
Kabar bahwa aku hamil pun di beritahukan kepada Ayah dan Ibu. Mereka sangat senang dan berkunjung ke rumah kami. Sungguh hari yang sangat menyenangkan. Buah hati yang selalu kami dambakan akan segera datang. Setiap hari aku mengelus-elus perutku dan menyanyikan Salawat Nabi untuk janin yang berada di dalam perutku ini. Mas Akhmad juga kegirangan dan sering menempelkan telinganya di perutku. Bulan demi bulan berlalu, aku cuti bekerja karena sedang mengandung. Perutku kian menjadi besar, menandakan bahwa kandunganku semakin tumbuh. Dan bayi yang berada dalam perutku ini sering kali menendang-nendang. Ketika ia menendang, aku selalu membacakan Salawat Nabi untuknya dan ia berhenti menendang. Kelak anak ini akan menjadi anak yang shaleh, berbakti kepada kedua orang tuanya dan menolong sesama. Mas Akhmad pun menunjukkan ekspresi aneh ketika bayi yang ada di dalam perutku ini menendang dan aku tertawa geli melihatnya. Aku sangat bersyukur karena Allah SWT telah mengirimkan buah hati yang akan selalu mengisi hari-hari kami.

Pada suatu sore, aku kembali berjalan-jalan di pinggir pantai agar anakku dapat merasakan angin sepoi-sepoi dan suara ombak yang berderu. Tapi ketika aku ingin beranjak pulang kerumah, sosok nenek yang aku temui beberapa bulan lalu tiba-tiba muncul dihadapanku. Aku langsung mundur beberapa langkah. Ia terus maju dan aku mundur beberapa langkah lagi.
“M, mau apa kau?” Tukasku.
Nenek itu cuma tersenyum. Dan mulai mendekatkan tangannya ke perutku. Aku langsung menepisnya.
“Apa yang kau lakukan?!” Kataku, kemudian menjauh dari nenek tersebut.
“Aku ingin sesuatu yang berada dalam perutmu.”
“Apa?! Tidak! Aku tidak akan memberikan anakku kepadaku. Lagipula apa salahku?”
“Salahmu…”

Lalu dalam sekejap nenek itu berubah menjadi perempuan dan bayangan hitam bermata merah darah yang membunuh Ibuku. Aku sangat terkejut melihatnya.
“Kau…”
“Iya. Aku lah yang membunuh Ibumu. Ibumu berjanji untuk memberikanmu kepadaku sebagai tumbal. Tapi saat ini yang aku mau adalah bayi yang ada di dalam perutmu itu.”
“TIDAK! Aku tidak akan memberikannya kepadamu!”
Nenek itu terus mendekat mencoba memegang perutku. Aku terus menjauh, berusaha untuk tidak menyerahkannya kepada nenek jahat yang berada di depanku.
“AISYAH! Menjauhlah dari nenek itu.”

Sebuah suara terdengar di telingaku, suara yang sangat familiar. Ketika kutoleh asal suara itu, kulihat mas Akhmad berdiri di pinggir dinding pasir disertai dengan seluruh penduduk dan keluargaku. Ayah dan Ibu mertuaku juga ikut. Lalu kulihat nenek itu sangat terdesak. Mas Akhmad pun mendekatiku merangkulku dan mencoba membawaku menjauh dari nenek itu. lalu seluruh penduduk yang ada di kampung kalap menyerang nenek itu.
“Kau tidak akan bahagia hidup bersama laki-laki itu Aisyah. Dia bukanlah laki-laki seperti yang kau kira. Kau akan menyesalinya.” lalu nenek itu akhirnya mati dan berubah menjadi abu yang ditiup angin laut.
Aku yang masih syok, di bawa mas Akhmad, Ayah dan Ibuku menuju rumah kami. Ketika kami berada di dalam, mas Akhmad meminta untuk membiarkanku berdua saja bersamanya. Mas Akhmad duduk di sampingku. Aku masih memikirkan kata-kata terakhir yang dikatakan nenek itu. lalu aku mulai bertanya kepada mas Akhmad.
“Mas, apa mas menyembunyikan sesuatu dariku?” Tanyaku.
Mas Akhmad terkejut dengan pertanyaanku. Lalu ia pun memegang tanganku.
“Ai, sebelumnya aku minta maaf. Kata-kata nenek itu benar. Aku bukanlah laki-laki seperti yang kau kira,”
“Sebenarnya aku bukanlah manusia sepertimu,”

Sudah kuduga. Batinku.
“Aku memang bisa di bilang manusia biasa karena menjalani kegiatan yang sama seperti manusia normal lainnya. Tapi aku beda, aku tidak memiliki raga. Dan aku sudah mengetahui bakatmu dalam melihat hal-hal aneh, makanya aku berani membawamu ke kampung ini. Apakah kau marah, Ai?”
Aku diam. Menatap wajah suamiku yang sangat polos ini. Tertera jelas rasa kecewa di wajahnya. Aku pun memegang tangannya.
“Mas, aku sudah tahu dari dulu.”
Mas Akhmad terkejut dengan perkataanku.
“Hah. Kamu sudah tahu. Kalau kamu sudah tahu kenapa kamu tidak mengatakannya dari dulu?”
“Itu cuma tebakkan Ai saja, mas. Tapi ternyata tebakkan itu benar. Aku sudah merasakan hal yang berbeda padamu dan keluargamu yang sangat baik.”

Kulihat wajah mas Akhmad berubah jadi murung.
“Jadi… kamu mau kita cerai?”
“Ya Allah mas… mas… memang aku ada berkata seperti itu?”
“Ya tidak ada, sih. Tapi aku tahu kamu pasti mau minta cerai.”
“Ya tidaklah, mas. Aku sudah menerimamu apa adanya. Kamu tetap mas Akhmad milikku, aku menerimamu apa adanya. Aku menerima semua kekuranganmu. Bagiku kamu adalah orang satu-satunya yang memberikan kebahagiaan kepadaku. Dan kamu adalah suami yang hebat dan aku yakin kamu akan menjadi ayah yang hebat ketika buah hati kita nanti lahir.” Kataku, tulus. Mengeluarkan segala isi hatiku.
“Oh… Ai… aku sangat menyayangimu. Kamu adalah istri terbaik yang ada di dunia.”
Mas Akhmad memelukku dengan erat. Aku meneteskan air mataku di pelukkan mas Akhmad. Lalu tiba-tiba aku merasakan sakit yang luar biasa dari perut dan selangkanganku. Sesuatu ingin keluar.
“Aduh! Mas… perutku sakit!!” Teriakku. Mas Akhmad terkejut mendengar jeritanku.
“Jangan-jangan kamu mau melahirkan. Tunggu sebentar Ai, mas akan panggilkan Ibu dan dukun beranak.”
“Aaakkkhhh!!!”

Mas Akhmad pergi keluar sebentar untuk memanggilkan Ibu dan dukun beranak. Beberapa saat kemudian mas Akhmad datang membawa Ibu dan dukun beranak. Ibu langsung membaringkanku di atas kasur, dan dukun beranak langsung memberi instruksi kepadaku. Rasa sakit yang luar biasa menyiksaku, berusaha untuk membawa anakku melihat dunia baru bumi. Aku terus menjerit dan menyebut nama Allah SWT, berharap di berikan kemudahan dan tidak terjadi halangan apa pun. Aku terus mendorong dan mengikuti arahan dari dukun beranak tersebut. Rasa sakit sangat menyiksaku, kulihat mas Akhmad memegangi tanganku, besimpuh di sampingku.
OOEEKK!!!
Suara tangisan bayi terdengar di telingaku. Seluruh orang yang berada di sekitarku mengucapkan syukur kepada yang Maha Kuasa begitu pula aku. Seorang anak manusia telah terlahir di muka bumi untuk mengisi hari-hariku bersama mas Akhmad. Seorang anak yang akan memberikan kebahagiaan kepada kami.
“Kamu sudah berusaha Aisyah,” Kata mas Akhmad, kemudian mengecup keningku.


Kulihat anakku sedang di gendong anaknya, kemudian ia memberikannya kepadaku. Anaku yang kutunggu-tunggu telah datang. Lalu mas Akhmad menyerukan Takbiratul Ilham sebagaimana ajaran Islam ketika bayi di lahirkan di bumi. Ketika mas Akhamd menyerukan Takbir, bayi yang berada di pelukkan aku tersenyum kecil dengan mata terpejamnya. Dan hal itu sangat memukau. Seluruh keluargaku menyaksikan pemandangan itu. anak dari orang tua yang berbeda dunia. Tapi itulah kelebihannya, anak shaleh telah terlahir di dunia dan membawa kebahagiaan untuk semua orang.
“Mas, saatnya memberikan nama.” Ucapku.
“Menurutmu nama anak kita apa?”
“Aku tahu. Namanya adalah Muhammad Akbari.”
“Nama yang bagus Aisyah.” Sahut Ibu mertuaku.
“Iya. Nama yang bagus Ai. Akbari.”
“Ibu harap kamu akan menjadi anak yang Shaleh dan memberikan kebahagiaan kepada kami kelak. Akbar kecil.” Aku tersenyum.
Kehidupanku bersama seorang lelaki berbeda dunia tidak akan pernah kusesali. Karena lelaki itulah yang telah memeberikan kebahagiaan yang sama sekali tidak dapat kubayar dengan uang. Karena dialah orang yang dikirim Allah SWT untuk membahagiakanku.


Sumber: http://www.seremcuy.com

Beginilah Tahap-tahap Kemunculan Penampakan Hantu atau Mahluk Halus

Halo! Sobat :)

Berbicara masalah penampakan hantu, ada banyak pendapat yang menyatakan itu hanyalah tahayul dan tidak sedikit juga yang memprcayai hal tersebut. Namun yang pasti parapsikolog di Amerika yang mempelajari mahluk astral ini sudah sedikit banyak mengetahui bagaimana tahapan mahluk kasat mata dengan sifat elektromagnetik ini muncul di alam nyata (manusia). Berikut tahapannya.

1. Tahap Pertama: Orbs
Tahap ini ditandai dengan kemunculan Orbs
Orbs adalah pemunculan pertama dari Jin. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Jin terbuat dari Api yang sangat panas, maka apabila terjadi aktivitas mahluk tersebut dan cukup energy untuk mempengaruhi kelembaban udara, maka akan muncul titik-titik seperti air di atas. Untuk level orbs seperti ini, bisa dikatakan kekuatan mereka ( jin ) tidak begitu kuat. Tetapi mereka sudah cukup kuat untuk memberikan halusinasi pada manusia, berupa bayangan apapun yang manusia takuti.

2. Tahap Kedua: Ectoplasma
Tahap ini ditandai dengan kemunculan Ectoplasma
 

Ectoplasma adalah tahapan kedua pemunculan Jin. Kekuatan mereka sudah cukup untuk memadatkan dan menyatukan uap air di udara sehingga cukup untuk membuat bayangan asap dan memanjang seperti gambar di atas. Kekuatan mereka berasal dari ketakutan manusia dan dari manusia yang menyembah mereka seperti tukang minta-minta nomor pada setan atau dari mereka yang suka meberikan persembahan berupa suguhan suguhan kepada mereka. Tetapi sesungguhnya, bukanlah pengaruh dari suguhan yang manusia beri tetapi pengaruh dari energy manusia itu sendiri yang memohon pertolongan dan perlindungan dari mereka itu.

Tahapan pemunculan kedua dari Jin ini sudah memiliki kekuatan lebih besar dari Orbs. Pernahkah anda melihat hasil dari foto anda terlihat asap putih? Nah, asap putih itulah yang disebut Ectoplasma. Kekuatan dari Ectoplasma ini lebih besar dari Orbs. Ectoplasma sudah cukup untuk menggerak-gerakkan benda-benda ringan dan kecil.

3. Tahapan Ketiga: Vortex
Pada tahap ini ditandai dengan kemunculan vortex atau sering disebut penampakan.
Vortex atau Penampakan adalah tahap ketiga pemunculan Jin. Mereka memiliki kekuatan dengan level energy seperti ini dikarenakan kerjasama dengan manusia dalam bentuk sihir. Manusia yang mempelajari ilmu sihir, baik itu teluh, santet, ilmu kutuk, guna-guna, menyilap pandangan mata, susuk, ilmu ilusi seperti tali berubah menjadi ular dan sebagainya, pesugihan ( karena terus disembah oleh manusia ), itu memerlukan kerjasama yang sangat mendalam dengan mahluk Jin seperti ini.

Setiap hari energy manusia yang bersekutu dengan mereka akan mereka serap, sehingga cukup untuk membuat mereka mampu memasuki dimensi manusia secara nyata. Tidak perlu lagi mereka mengirimkan sinyal ke otak manusia, karena mereka bisa mewujudkan diri kapan saja dan dimana saja dalam waktu tidak terbatas siang atau malam.
Semakin mereka mempunyai energi yang kuat dari persekutuan mereka dengan manusia, maka dengan sangat mudah mereka masuk ke alam manusia dan tidak mengherankan apabila ada foto penampakan hantu yang sangat nyata (tidak samar) bahkan di siang hari, selain itu mereka mampu menggerakan benda benda yang lebih besar dan lebih berat, mampu mengapungkannya, tertangkap kamera dan melakukan kegiatan-kegiatan horor lain yang benar benar menyeramkan dan menakutkan.

Sumber: http://www.apasih.com

 

Sabtu, 12 Oktober 2013

Kisah Nenek dan Minyak Goreng

Suatu ketika saya bertemu dengan seorang nenek. Dia, yang yang ringkih dengan kebaya bermotif kembang itu, tampak sedang memegang sebuah kantong plastik. Hitam warnanya, dan tampak lusuh. Saya duduk disebelahnya, di atas sebuahmetromini yang menuju ke stasiun KA.

Dia sangat tua, tubuhnya membungkuk, dan kersik di matanya tampak jelas. Matanya selalu berair, keriputnya, mirip dengan aliran sungai. Kelok-berkelok. Hmm…dia tampak tersenyum pada saya. Sayapun balas tersenyum. Dia bertanya, mau kemana.
Saya pun menjawab mau kerja, sambil bertanya, apa isi plastik yang dipegangnya.

Minyak goreng, jawabnya. Ah, rupanya, dia baru saja mendapat jatah pembagian sembako. Pantas, dia tampak letih. Mungkin sudah seharian dia mengantri untuk mendapatkan minyak itu. Tanpa ditanya, dia kemudian bercerita, bahwa minyak itu, akan dipakai untuk mengoreng tepung buat cucunya. Di saat sore, itulah yang bisa dia berikan buat cucunya.


Dia berkata, cucunya sangat senang kalau digorengkan tepung. Sebab, dia tak punya banyak uang untuk membelikan yang lain selain gorengan tepung buatannya. Itupun, tak bisa setiap hari disajikan. Karena, tak setiap hari dia bisa mendapatkan minyak dan tepung gratis.

Degh. Saya terharu. Saya membayangkan betapa rasa itu begitu indah. Seorang nenek yang rela berpanas-panas untuk memberikan apa yang terbaik buat cucunya. Sang nenek, memberikan saya hikmah yang dalam sekali. Saya teringat pada Ibu. Allah memang maha bijak. Sang nenek hadir untuk menegur saya.

Sudah beberapa saat waktu sebelumnya, saya sering melupakan Ibu. Seringkali makanan yang disajikannya, saya lupakan begitu saja. Mungkin, karena saya yang terlalu sok sibuk dengan semua urusan kerja. Sering saat pulang ke rumah, saya menemukan nasi goreng yang masih tersaji di meja, yang belum saya sentuh sejak pagi.

Sering juga saya tak sempat merasakan masakan Ibu di rumah saat kembali, karena telah makan di tempat lain. Saya sedih, saat membayangkan itu semua. Dan Ibu pun sering mengeluh dengan hal ini. Saya merasa bersalah sekali. Saya bisa rasakan, Ibu pasti memberikan harapan yang banyak untuk semua yang telah dimasaknya buat saya. Tentu, saat memasukkan bumbu-bumbu, dia juga memasukkan kasih dan cintanya buat saya.

Dia pasti juga akan menambahkan doa-doa dan keinginan yang terbaik buat saya. Dia pasti, mengolah semua masakan itu, mengaduk, mencampur, dan menguleni, sama seperti dia merawat dan mengasihi saya. Menyentuh dengan lembut, mengelus, seperti dia mengelus kepala saya di waktu kecil.

***

Metromini telah sampai. Setelah mengucap salam pada nenek itu, saya pun turun. Namun, saya punya punya keinginan hari itu. Mulai esok hari, saya akan menyantap semua yang Ibu berikan buat saya. Apapun yang diberikannya. Karena saya yakin, itulah bentuk ungkapan rasa cinta saya padanya. Saya percaya, itulah yang dapat saya berikan sebagai penghargaan buatnya.

Saya berharap, tak akan ada lagi makanan yang tersisa. Saya ingin membahagiakan Ibu. Terima kasih Nek

Sumber: http://virouz007.wordpress.com

Rabu, 09 Oktober 2013

Kisah Malaikat Seribu Tangan

Assalamu'alaikum wr wb.

Kisah dialog singkat ini memberitahukan kepada kita semua bahwa begitu besarnya pahala membaca shalawat nabi, sehingga malaikat saja yang mempunyai seribu tangan dan setiap tangan memiliki seribu jari tak sanggup menghitungnya.
Subhanallah...

Berikut Kisahnya

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda,

Ketika aku diperjalankan pada malam hari untuk mikraj ke langit, aku melihat ada malaikat yang memiliki seribu tangan dan di setiap tangannya terdapat seribu jari jemari.

Ketika ia sedang menghitung setiap tetesan hujan yang diturunkan dari langit ke bumi, aku bertanya kepadanya,
"Apakah kamu mengetahui jumlah tetesan hujan yang diturunkan dari langit ke bumi sejak Allah SWT menciptakan dunia?"

"Ya Rasulullah, demi Allah SWT yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran kepada makhluk-Nya, aku tidak hanya mengetahui setiap tetesan hujan yang turun dari langit ke bumi, tetapi aku juga mengetahui secara rinci berapa jumlah tetesan hujan yang jatuh di lautan, di daratan, di bangunan, di perkebunan, di daratan yang bergaram, dan di pekuburan.

Rasulullah SAW bersabda kembali,
"Aku sangat kagum akan kemampuan hafalan dan ingatanmu dalam perhitungan."
Malaikat berkata kembali, "Ya Rasulullah, ketahuilah bahwa ada yang tak sanggup aku hafal dan mengingatnya melalui perhitungan tangan dan jari jemariku ini."

Rasulullah SAW bertanya, "Perhitungan apakah itu?"
Malaikat menjawab, "Aku tidak sanggup menghitung jumlah pahala shalawat yang disampaikan oleh sekelompok umatmu ketika namamu disebut di suatu majelis."

Subhanallah...

Wa'alaikum Salam wr rb.

Sumber: http://kisahislamiah.blogspot.com

Kisah Manusia Penghuni Langit

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ketahuilah bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa ada seseorang yang akan menjadi penghuni langit. Siapakah beliau yang memiliki keistimewaan tersebut.

Karena begitu taat dan rasa sayangnya kepada ibundanya, laki-laki yang satu ini divonis oleh Utusan Allah SWT sebagai penghuni langitu sehingga banyak para sahabat yang meminta didoakan olehnya.
 

Kisahnya

Dialah Uwais Al Qarni.
Beliau adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di Yaman bersama ibunya yang sudah tua renta, lumpuh dan buta. Uwais tinggal dengan ibunya karena beliau tidak mempunyai lagi ahli keluarga. Beliau senantiasa merwat ibunya dengan penuh ketulusan dan kasih sayang serta mematuhi seluruh perintah ibunya.

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, beliau bekerja menggembala kambing dan unta milik orang lain serta mendapatkan upah dari pekerjaan tersebut. Walaupun upah yang diterimanya hanya cukup untuk kebutuhan dirinya dan ibunya, namun ia tetap sabar dan senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas apa yang dianugrahkan kepadanya.

Apabila beliau mendapatkan upah yang berlebih, ia tak lupa untuk berbagi dengan orang-orang yang tidak mampu.

Merawat Ibunya

Uwais juga dikenal sebagai sosok yang ahli ibadah.
Dia selalu berpuasa di siang hari dan pada malam harinya ia selalu bermunajat kepada Allah SWT untuk memohon petunjuk dan beristighfar. Meski demikian, pemuda yang hidup semasa dengan Rasulullah SAW ini memiliki kecintaan yang sangat luar biasa kepada Rasulullah.

Ia selalu merasa bersedih hati jika mendengar orang-orang yang bercerita tentang pertemuan mereka dengan Baginda Rasul, karena memang dia belum pernah berjumpa sekalipun dengan Nabinya tersebut.

Rasa rindu Uwais untuk bertemu dengan Nabi Muhammad SAW semakin lama semakin dalam. Beliau ingin sekali memandang wajah Rasulullah SAW dari dekat serta ingin mendengar suaranya. Namun, kecintaannya kepada ibunya juga sangat luar biasa, ia merasa tidak tega untuk meninggalkan ibunyaq untuk bertemu dengan Nabi.

Di luar dugaan, si Ibu yang sebenarnya mengetahui cintanya kepada Baginda Nabi, tiba-tiba saja angkat bicara.
"Wahai Uwais anak ibu, Pergilah engkau menemui Rasulullah SAW di rumahnya. Setelah berjumpa, segeralah engkau pulang," kata Ibu Uwais.

Mendengar pernyataan ibunya tersebut, Uwais merasa sangat gembira luar biasa dan ia pun segera berkemas, mempersiapkan dirinya untuk pergi ke Madinah menemui Rasulullah SAW. Namun, ia tak lupa menyiapkan segala keperluan ibunya selama ia pergi ke Madinah. Ia selalu berpesan kepada orang-orang terdekatnya agar menjenguk ibunya sepeninggal Uwais ke Madinah.

Menemui Rasulullah SAW

Setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh, Uwais pun akhirnya tiba di Madinah dan ia pun langsung menuju rumah Rasulullah SAW.
Selepas mengucapkan salam, pintu rumah Nabi pun terbuka, namun yang beliau temui hanya Aisyah, sedangkan Rasulullah SAW ketika itu sedang berada di medan perang.

Uwais pun langsung merasa kecewa karena ia ingin segera bertemu Nabi dan segera pulang sebagaiman pesan ibunya.
Akhirnya ia pun memilih untuk segera pulang dan menitipkan pesan untuk Nabi kepada Aisyah.

Setelah perang usai, Rasulullah SAW kembali pulang ke Madinah dan ia langsung bertanya kepada Aisyah mengenai orang yang mencari beliau.
Belum sempat Aisyah menjawab, Nabi pun bersabda,
"Uwais anak yang taat kepada ibunya, dia adalah penghuni langit."
Aisyah pun sangat kaget dengan penuturan Nabi, karena Rasulullah rupanya sudah mengetahui siapa tamu yang ingin bertemu dengannya jauh-jauh hari.

Para sahabat tertegun, kemudian Nabi Muhammad SAW meneruskan keterangannya mengenai Uwais yang menjadi salah satu orang yang menghuni langit kepada orang orang-orang yang hadir di situ.
Baginda Nabi bersabda,
"Jika kamu ingin erjumpa dengan dia, perhatikanlah dia memiliki tanda puith di telapak tangannya."

Nabi juga berpesan kepada para sahabat,
"Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mohonlah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi."

Selepas Rasulullah SAW wafat, Umar dan Ali ra akhirnya bisa berjumpa dengan Uwais. Kemudia mereka berdua memohon doa dan istighfar dari Uwais. Umar juga berjanji untuk menyumbangkan uang dari Baitul Mal kepada Uwais.
Namun dengan bijaksana Uwais berkata,
"Hamba mohon, supaya hari ini saja hamba diketahui oleh orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui oleh orang lagi."

Apakah Uwais adalah seorang Malaikat?
Ataukah beliau adalah Malaikat yang menyamar menjadi manusia untuk merawat seorang Ibu?
Apakah Uwais memang hanya manusia biasa?
Wallahu A'lam.

Karena Sabda Nabi, pasti benar adanya.
Uwais bukan orang bumi, dia penghuni langit. Selain itu, pertemuannya dengan Umar dan Ali juga menjadi tanya tanya besar karena pertemuan mereka disuruh untuk merahasikan dan Uwais tidak ingin dilihat orang setelah itu.
Subahanallah....

Semoga kisah sahabat Uwais ini bisa menjadi cambuk buat kita semua agar senantiasa berbakti kepada ibu, ibu yang melahirkan kita dengan susah payah.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

Sumber: http://kisahislamiah.blogspot.com 

Kisah Sedih di Bulan Ramadhan

“Ibu! Berapa ikat sayur bayam yang kita beli?, tanya Insani, pada ibunya. Ibu dan anaknya termangu memperhatikan sayur bayam yang teronggok. Ibu muda itu hanya dapat memandanginya. “Tak membeli dua ikat sayur bayam ya … Aku juga ingin membeli kolak”, tambah Insani. “Ibu uangnya tak cukup nak”, tambah ibunya.

Ibu muda yang disertai anaknya itu, mengelilingi pasar, di sekitar Jalan Raya Bogor.

Mereka hanya melihat barang-barang kebutuhan pokok. Tapi, ia tak mampu membelinya. Uang yang mereka miliki sangat sedikit. Awal ramadhan buat mereka, hanyalah kesedihan. Keluarga itu tak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka. Kadang mereka berbuka hanya dengan sebungkus mie. Ada lagi keluarga yang saur dan berbuka dengan singkong serta tempe. Selama ramadhan.

Di pasar para pembeli hanya hilir mudik. Mereka bingung akan membeli apa. Seperti orang yang tak tahu mau melakukan apa? Setiap tahun sudah ajek. Saat menjelang ramadhan atau ied fitri, harga kebutuhan pokok melonjak, yang tak terjangkau bagi kalangan lapisan bawah.

Nilai uang masyarakat terus digerogoti inflasi. Uang menjadi tak berarti. Karena harga barang-barang terus naik. Penghasilan rakyat tak bertambah. Dari waktu ke waktu penghasilan mereka, justru cenderung menurun. Kemampuan daya beli rakyat terus berkurang, mereka tak mampu lagi memenuhi kebutuhan pokok mereka. Di tambah setiap hari jumlah orang yang menganggur semakin banyak. Pabrik-pabrik tutup. Karena para pemilik modal memindahkan investasi mereka ke negara lain.

Memang nasib masyarakat lapisan bawah makin tragis. Mereka adalah kuli bangunan, sopir, buruh musiman, tukang ojek, tukang mie, buruh tani, para nelayan, dan para pedagang asongan, nasib mereka semakin terpuruk. Ini akibat berbagai kebijakan yang semakin tak memihak mereka. Minyak langka. Harga gas terus naik. Harga BBM terus dinaikkan. Disesuaikan dengan harga BBM dipasaran internasinal. Agar para pemilik modal asing bisa bermain di pasar lokal. Dengan mengorbankan masyarakat kecil. Tak peduli jeritan rakyat.

Beberapa tahun ini, setidaknya sudah sekian kali harga BBM dinaikkan.  Rakyat kecil langsung terpukul secara ekonomi, mereka tak mampu bangkit lagi.

Ketika rakyat sudah beralih dari minyak tanah ke gas, tapi sekarang harga gas terus naik. Mereka kehilangan kebutuhan pokok, yaitu bahan bakar, yang mereka gunakan kebutuhan sehari-hari. Paradok. Gas dan minyak di eksport keluar negeri. Di dalam negeri kesulitan pasokan bahan bakar.

Kini, tukang ojek tak lagi dapat bergembira, karena penghasilan mereka terus menurun. Tak mungkin lagi mereka dapat membawa pulang uang Rp50.000 rupiah. Bahkan, di antara mereka ada yang tidak berani pulang. Karena, mereka hanya mendapatkan uang Rp20.000 rupiah, sementara ia harus membiayai empat anaknya yang masih sekolah.Apalagi, buruh musiman, tukang mie, buruh tani, para nelayan, para pedagang asongan, usaha mereka semakin tergerus dengan kenaikan harga, sampai ada peristiwa tragis, di Padeglang, seorang pedagang mie yang bunuh diri, karena selalu rugi.

Anak-anak yang mengemis di jalan-jalan, di kereta, di pasar, jumlahnya makin banyak. Pengamen tak terhitung lagi. Mereka semuanya di bulan ramadhan ini tetap harus survive.Harus tetap hidup. Harus tetap mencari nafkah. Seberapa pun dapatnya. Mereka tak pernah menyerah dengan keadaan. Mereka harus menjalani kehidupan. Betapapun sangat berat. Anak-anak kecil yang masih belum waktunya mencari rezeki (nafkah) mereka di perempatan lampu merah, kadang-kadang sampai larut. Mereka tinggal di tempat-tempat yang kotor, yang tak layak. Mereka terus menjalani kehidupan ini dengan segala peristiwa dan penderitaan yang mereka alami..

Ramadhan tahun ini sejuk. Di awali dengan hujan, dan mendung. Tak terasa terik matahari. Seakan Allah tabarakallahu ta’ala menurunkan rahmat Nya bagi seluruh umat manusia. Tapi, belum mengubah nasib mereka, orang-orang yang miskin. Orang-orang ramai melaksanakan shalat di masjid-masjid, di malam hari, yang menandakan datangnya bulan ramadhan.

Tapi, bagaimana nasib mereka? Nasib rakyat yang miskin, yang papa, dan tak memiliki apa-apa?Al-qur’anul Karim di dalam surat al-Hasyr, ayat: 6, Allah memerintahkan agar kekayaan tidak hanya berputar di antara orang-orang yang kaya (para aghniya’). Tapi didistribusikan dengan adil, ke seluruh penduduk. Ini hanya dapat dilakukan oleh seorang pemimpin yang adil, yang zuhud terhadap dunia. Kekuasaan yang dimiliki bukan hanya untuk menumpuk kekayaan, tanpa mempedulikan jeritan dan penderitaan rakyatnya.

Khalifah Abu BakarAs-Shidiq, ketika berkuasa, setiap pagi mengunjungi rumah seorang janda tua renta, miskin, dan tidak lagi memiliki apa-apa. Apa yang dikerjakan Abu Bakar? Dia menyapu rumahnya, memerahkan susu, dan menyiapkan makanan buat wanita tua itu. Padahal, dia seorang khalifah, yang sangat mulia, orang pertama sesudah Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam. Di masa Abu Bakar, orang-orang yang kaya yang tidak membayar zakat diperangi. Orang fakir miskin nasibnya dilindungi.

Sekarang mereka yang menjadi ‘pemimpin’ hanya tipe orang-orang yang tamak, rakus dunia, dan hanya mengumpulkan kekayaan, yang tak terbatas. Sementara itu, kondisi rakyatnya terus menderita. Wallahu Alam. (Ms)

Sumber: http://www.eramuslim.com

Aku bukan sebutir pasir

"DIA seperti malaikat di depan sahabat, teman, dan keluargaku. Kalimatnya menye-nangkan orang-orang yang mendengarnya, tutur bahasanya sopan. Dia selalu melakukan hal-hal yang menyenangkan orang lain, dia memeluk dan menciumku di depan umum. Semua orang menyangka kami adalah pasangan yang berbahagia.

Meskipun demikian, sahabat-sahabat kami  juga maklum dengan gaya flamboyannya, yang tidak pernah ketinggalan kata ‘sayang’, terutama pada perempuan-perempuan yang diajaknya ngobrol. Mereka hanya mengata-kan, “Yang penting, cintanya  untuk kamu, Ta.” Mereka juga maklum jika banyak perempuan yang rela meninggalkan rasa malunya untuk tetap mengajaknya kencan, meskipun dia sudah bukan pria single lagi. Seharusnya, aku berbahagia karena aku lah pilihannya.

Tapi, tidak demikian. Jika kami hanya berdua, kata-katanya sangat sering menusuk hatiku. Dia bisa seenaknya melempar mangkuk sayur  yang kubuat karena kurang garam. Atau melempar kemejanya ke wajahku jika kemejanya masih ada beberapa bagian yang kusut. Atau mengatakan, “Bodoh banget sih kamu!”  Yang paling menyakitkan, “Badan kamu kurus banget kayak papan penggilasan, bikin aku tidak nafsu sama kamu,” lalu dia membalikkan badannya membelakangi aku. Betapa sakitnya hatiku. 

Dia tidak mau mencumbuku tidaklah mengapa, tapi tidak perlu dia tambahkan kata-kata yang sangat tajam bagaikan silet. Bukankah aku sudah kurus ketika dia melamarku untuk menjadi istrinya? Kemana saja dia selama ini? Dan bagaimana aku bisa menambah lemak di tubuhku jika hatiku selalu saja merasa tidak nyaman bersamanya. Bagaimana aku bisa tertawa bahagia mendengar dia ngobrol dengan mesra dengan seorang teman perempuannya di telepon atau memuji cantik banget sih kamu hari ini pada sekretarisnya di kantornya, sementara aku di sampingnya. Aku bukan perempuan berhati dewi. Aku cuma perempuan biasa, yang selalu cemburu dan tidak dapat menerima kenyata-an bahwa dia dan aku bagaikan bumi dan langit.

Lima tahun bersamanya, mungkin hanya tahun pertama saja aku merasakan kebaha-giaan. Selebihnya, hanya hinaan dan cacian, dan kata-kata dia sudah bosan sama aku. Namun…., dia begitu manis jika ada orang lain bersama kami.
Aku tidak tahu, terbuat dari apa hatinya. Kenapa dia sangat kasar dan tak pernah menganggapku ada. Apakah aku terlalu kampungan dan tidak bisa mengikuti gaya hidupnya? Bukankah dia sudah mengenalku dan ekonomi keluargaku ketika dia menikahi-ku? Kemana saja dia selama ini?
Lima tahun cukup buatku untuk mendampinginya. Aku tidak menganggapnya ini sebagai pengorbanan. Seorang istri tidak seharusnya merasa berkorban. Apa yang kulakukan selama ini sangat ikhlas, namun ada saatnya aku harus keluar dari gua tempat aku berlindung untuk menjadi seorang yang istimewa seperti mimpiku. Aku tidak tahu, apakah aku berani menghadapi ini semua. Aku tidak ingin menjadi sebutir pasir…..

*****

DIA seorang teman sefakultas yang sangat terkenal dan digilai gadis-gadis manapun. Jangankan dari fakultasku yang kebanyakan gadis-gadis manis  dan lugu, melainkan juga dari fakultas sebelah, kedokteran gigi, yang penuh gadis menawan dan atraktif.
Bram, namanya. Jago ngeband, main basket, aktivis senat, pandai orasi, dan seabrek kepandaian lainnya, yang membuat para gadis akan antre untuk dapat kencan dengannya. Di kaca mobilnya selalu saja ada tempelan kertas yang bertuliskan, “Hai, ntar malam jadi kan ke rumahku?” Kali yang lain, “Hai Bram, kenalan dong. Aku tunggu ya jam 14.00 di kantin FKG.” Kemudian, ada juga, ”I miss u, Beib. Kapan kita kencan lagi?” Uugh, mau muntah rasanya aku membaca tulisan-tulisan itu. Kenapa sih tidak ada harga diri sama sekali? Menurutku, yang kuper ini, tidak sepantasnya para gadis mengejar laki-laki. Biar sudah mau mampus karena perasaan cinta yang berlebihan, tetap saja tidak boleh berlaku seperti itu.

Teman-teman menertawakan aku, “Denita sayang, sekarang mah sudah biasa perempuan mengekspresikan rasa yang ada di hatinya. Sama aja kayak laki-laki. Kalau tuh cowok senang juga, alhamdulillah, kalau nggak, ya cari lagi yang lain….hehe…”
Tapi, buatku, tabu untuk menyatakan lebih dulu. Mereka akan membuka kacamataku dan mengatakan, ”Tata, kalau kacamatamu dilepas dan rambut ikalmu tidak usah dike-pang terus, kamu tidak kalau lho sama Arfia.“
Arfia adalah gadis paling ngetop di angkatanku, cantik, supel, cerdas, kaya, dan segala kelebihan seorang perempuan ada pada dia. Subhanallah, begitu besar karunia Allah pada Arfia. Dan Arfia jungkir balik mengejar Bram. Bram, seperti biasa, tebar pesona. Kadang mau didekati, kadang cuek bebek. Duh, Arfia, kamu kan bisa mencari orang lain yang juga tidak kalah dengan Bram.
Di tingkat dua, aku satu kelompok dengan Bram. Maaf saja, aku tidak tertarik dengan cowok seperti dia. Biar banyak teman-teman sekelas berusaha mencari perhatiannya, aku tetap saja menjadi si kutu kuper yang selalu cum laude. Entah kenapa hatiku begitu dingin, karena aku merasa bagaikan langit dan bumi antara aku dan dia.
Bram ternyata terpesona dengan kepandaianku! Dia baru menyadari ada seorang gadis bernama Denita di kelasnya, yang tidak pernah silau dengan ketampanannya. Dan dia terus mendekatiku. Berpura-pura tidak mengerti tentang satu pelajaran, dan minta aku menjelaskan.
Saat aku menjelaskan hal-hal yang dia tidak mengerti, dia hanya memandangku dan mengatakan, “Ternyata, kamu punya mata yang sangat indah.” Aku langsung muak dan meninggalkannya. Satu saat, dia akan mengatakan, “Kamu cantik sekali ternyata. Ketika kamu berbicara, burung-burung akan diam dan semut pun berhenti berjalan beriringan untuk mendengarkan suaramu yang indah.” Di saat yang berbeda, dia pura-pura menarik tanganku, “Ya ampun, lembut sekali tanganmu, pasti hangat berada dalam genggamannya.” Setiap saat selama dua tahun, selalu ada saja yang dipujinya. Hampir tiap hari, dan tetap saja aku tidak menghiraukannya.
Tapi, suatu saat Bram kecelakaan. Dia terbaring di RS dalam waktu yang lama. Tiba-tiba, aku merasa kehilangan yang sangat. Dua tahun penuh dengan pujian tiap hari. Tiba-tiba, satu minggu ini terasa sepi.
Tidak ada yang mengejarku saat aku berlari pulang, dan mengatakan, “Denita, kamu gimana, sih? Aku udah nunggu kamu dua jam! Dua jam bukan waktu yang singkat untuk menunggu agar kamu mau aku antar pulang. Tapi, sekarang malah lari mau pulang sendiri. Kamu pikir kamu siapa? Banyak gadis lain yang ingin aku antar pulang,” teriak Bram marah.
Aku menangis mendengarnya dan berkata pelan, “So what? Aku memang bukan siapa-siapa, antar saja gadis-gadismu pulang. Aku tidak butuh antaranmu.“ Dan aku pun berlari menuju bus kota yang sudah menunggu. Aku melihat kekecewaan berpendar dari bola matamu, dari balik kaca bus kota. Aku tidak tahu, apakah ini hanya trik Bram. Sebab, kamu tidak berhasil mendapatkan sesuatu?
Dia terkulai di pembaringan di kelas VIP RS sangat elite di Ibukota. Kakinya masih ditraksi akibat patah tulang femur, karena kecelakaan motor dalam rally yang diikutinya.
Aku membezuknya sendiri, dan terharu melihat keadaannya. Maafkan aku, Bram, jika selama ini tidak bersikap baik padamu, padahal kamu selalu baik. Coklat yang sering kamu berikan, aku bagikan pada teman-teman. Bunga yang pernah kamu sisipkan di rambutku, dengan cepat aku buang karena tidak tahan dengan tawa teman-teman. Bahkan, aku tidak sanggup melihat cahaya mata Arfia yang cemburu melihatmu mendekatiku.
“Denita, tahukah kamu, kenapa aku kecelakaan?” Aku menggeleng di tepi tempat tidur. “Karena aku selalu memikirkanmu setiap saat. Aku tidak bisa menghilangkan bayanganmu dari diriku. Saat rally kemarin, tiba-tiba saja aku teringat padamu. Aku melamun, tiba-tiba motorku sudah terjungkal, dan aku tidak sadarkan diri. Tahu-tahu sudah di sini. Sialan kamu, Tata!”
Aku diam. Aku tidak tahu, apakah aku menyukainya? Tidak ada getaran yang indah. Tidak ada rasa rindu dan menantikan esok segera datang. Tidak ada suatu rasa yang membuatku ingin selalu bersamanya.
Apa yang tidak layak dari Bram? semuanya begitu sempurna di dirinya. Wajah rupawan, pandai bermain musik, aktivis kampus, juga kaya raya. Aku seperti langit dan bumi dengannya.
“ Aku ingin sekali menghabiskan waktu-waktu di hidupku bersamamu. Aku tidak pernah menemukan gadis yang punya karakter  begitu kuat seperti dirimu. Engkau tidak pernah tergoda dengan materi, padahal begitu banyak gadis materialistis di sekelilingku. Engkau tidak pernah membalas rayuan maupun godaanku. Ada apa sih dengan dirimu? Frigid banget, sih! Aku jatuh cinta tau sama kamu!”
Aku kembali diam termangu. Jatuh cinta denganku? Ada apa dengan diriku?
“Denita…,” dia mencoba meraih tanganku.
Aku memandangnya dengan haru, tapi aku tidak tahu apakah aku mempunyai rasa yang sama dengan dirinya? Kehadirannya selalu kubatasi, kupagari seluruh ruang hatiku agar aku tidak tertarik padanya. Aku tidak tahu, apakah demi seorang Arfia? Atau karena aku tidak layak untuknya? Atau karena masa lalu, masa kecilku? Suatu masa yang tidak mengenal arti mencintai dan dicintai?

*****

AKU anak pertama dari 6 bersaudara yang ditinggal pergi ayah sejak aku berusia 14 tahun. Ayah pergi meninggalkan ibu, yang katanya tidak pernah ayah cintai. Setiap bulan ayah selalu mengirimkan uang bulanan untuk kami, tapi kehadirannya tidak pernah ada.
Kehadiran jiwanya memang tidak pernah ada sejak aku kecil, saat aku  mulai bisa mengenali seorang ayah dan seorang ibu. Kehadiran fisik tidak selalu mewakili kehadiran jiwa. Aku selalu melihat kesedihan di mata dan wajah ibu. Padahal, mereka dulu menikah bukan karena paksaan seperti layaknya zaman Siti Nurbaya. Mereka menikah atas kemauan sendiri. Tapi, kata ibu, ayah lama-lama kehilangan cintanya pada ibu yang terlalu sibuk mengurusi 6 anak.
Ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa, yang tidak bisa mengambil keputusan, tidak bekerja, jarang menambah ilmu karena terlalu sibuk dengan kami anak-anaknya, dan pasrah saja ketika ayah pergi meninggalkan kami. Kadang aku mendengar tangisnya di malam sunyi, saat orang-orang terlelap, ketika ibu shalat tahajud dan menangis dalam doa kepada-Nya. Kadang aku ikut menangis di tempat tidur kami, yang aku tempati dengan tiga adikku. Dua adikku yang terkecil tidur dengan ibu.
Waktu aku belum mengerti kenapa orang dewasa menangis, aku selalu heran, kenapa bila malam tiba dan sunyi, ibu selalu menangis. Dan kenapa lama-lama ayah makin jarang pulang? Padahal, ketika dia ada pun, dia hanya asyik mengotak-atik mobil tuanya. Aku seperti tidak memiliki ayah dan hanya memiliki separuh ibu. Aku tidak menyalahkan ibu, yang sibuk mengurus adik-adikku.
Aku tumbuh besar sendiri, menyadari arti perbuatan yang salah dan benar berdasarkan hukuman di sekolah. Kalau aku dihukum, berarti aku salah. Kalau tidak ada yang menghukum aku, berarti aku benar. Tidak ada pujian, meskipun aku sering berbuat baik dan selalu juara kelas. Semuanya berjalan biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Di rumah aku menjaga dan mengajarkan adik-adikku tentang pelajaran yang tidak mereka mengerti sehingga mereka tidak perlu ikut pelajaran tambahan atau les pada guru mereka, yang akan menghabiskan uang ibu.
Kehidupanku sangat sederhana. Aku tinggal di gang kecil yang hanya masuk satu mobil. Rumah kami dan tetangga kami penuh kehangatan. Maksudnya, sangat berjejal dan berdempet-dempetan. Aku bersyukur meski-pun cinta di antara ayah dan ibu hilang, mereka tidak pernah berteriak-teriak dan saling memaki, seperti yang sering aku dengar dari tetangga-tetangga di sekitarku.
Tidak pernah ada anak laki-laki yang menggodaku, seperti mereka menggoda teman-temanku. Aku tidak cantik, semua di diriku sungguh sangat biasa. Mataku bulat, namun jarang bersinar. Tubuhku kecoklatan dan tidak halus. Aku adalah gadis yang tidak pernah percaya diri, kalau tidak mau dibilang sangat rendah diri.
Aku tidak tahu arti mencintai dan dicintai karena aku terlalu sibuk dengan belajar dan belajar. Namun, aku bertekad akan menjadi seorang perempuan yang istimewa, yang kehadiranku selalu dinantikan dan diharap-kan oleh orang-orang di sekitarku, yang selalu dirindukan oleh teman-temanku ketika aku tidak hadir.
Aku tidak mau menjadi sebutir pasir di tepi pantai, yang akan terhembus angin laut lalu hilang entah kemana. Kalaupun masih berserakan di tepi pantai, tidak ada seorang pun yang bisa membedakan sebutir pasir dari butiran pasir lainnya.
Dan aku merasa menjadi perempuan yang istimewa ketika seorang Bram melamarku. Aku merasa inilah saatnya keluar dari kese-dihanku, menemukan orang yang mencintai-ku. Meskipun aku tetap tidak merasakan rasa dan getaran yang indah bersamanya, dia adalah laki-laki pertama yang mengatakan cinta dan melamarku. Aku merasa hidupku seperti di sinetron dan dongeng, Cinderella menemukan pangerannya.
Tapi, ternyata…ini hanya awal dari penderitaan episode kedua…

*****

AKU bertemu kembali dengannya setelah 15 tahun kami berpisah. Aku yang pergi darinya, tidak ada kata cerai maupun surat cerai. Aku tidak mau seperti ibuku yang ditinggalkan ayah. Aku mempunyai harga diri dan berharap orang lain pun bisa menghargai aku.
Aku melihatnya tampak letih dan tua. Aku tidak tahu, masihkah dia mengenali aku?
Setelah pergi darinya, aku melanjutkan spesialisasi kedokteran jiwa, mungkin lebih tepatnya untuk mengobati diriku sendiri yang kadang penuh kecemasan dan paranoid. Dalam waktu 10 tahun terakhir, karierku meningkat dengan cepat. Aku, yang lebih senang mendengar daripada berbicara, rupanya disukai oleh pasien-pasienku dan keluarga pasien-pasienku. Bahkan, yang seharusnya tidak memerlukan terapiku, rela antre di luar kamar praktekku. Ternyata, begitu banyak manusia yang perlu di-support atau sekadar disugesti bahwa dia tidak seperti yang dia pikirkan, atau keluarganya tidak seperti yang dia pikirkan.
Bram terbaring di pembaringan kelas VIP, wajahnya kurus dan pucat.
Aku mendekati pembaringannya. Perjalanan panjang 12 jam melewati darat, laut, dan udara kutempuh setelah berita itu tiba.
Seorang wanita tiba-tiba mengetuk pintu rumahku, di suatu pulau nun jauh di Indone-sia timur.  Aku memilih untuk melanjutkan hidupku di Ternate karena masih ada saudara ibu yang tinggal di sana.
Perjalanan karierku lumayan pesat di sini. Aku tidak saja praktek di beberapa RS, melainkan juga menjadi dosen terbang di beberapa universitas di Indonesia timur.
Aku tidak lagi sekurus papan penggilasan. Tubuhku mulai berisi karena aku sungguh menikmati hidupku. Baru kurasakan, betapa indahnya tidak menjadi sebutir pasir.  Kini, wajahku mulai berseri dan mataku kembali tersenyum hangat. Banyak yang memuji kecantikanku dan mengatakan aku memiliki inner beauty.
Banyak pula yang mencoba melamarku, dari pejabat daerah, teman sejawat dokter, hingga beberapa laki-laki yang mapan. Aku selalu menolaknya secara halus karena aku tidak menemukan cinta itu. Aku hanya mengenang satu tahun pertama dalam pernikahanku yang kurasakan indah, saat aku mulai merasakan benih-benih cinta. Tapi, Bram kembali menghancurkannya.
Wanita yang mengetuk pintu rumahku  adalah seorang wanita cantik dan modis, namun tampak tidak berbahagia. Dia memperkenalkan diri sebagai istri terakhir Bram. Dia menikah baru empat tahun dengan Bram, setelah sebelumnya Bram tiga kali kawin dan cerai, termasuk denganku. Meski begitu, kami tidak pernah bercerai secara hukum, secara agama sudah pasti.
Bram sakit dalam dua tahun terakhir ini. Dia menderita kanker prostat. Sebulan ter-akhir kondisinya semakin parah. Dari sering marah-marah, sekarang hanya menangis dan mengeluh tiap hari.
“Dia sering memanggil namamu, dr  Deni-ta, dan menangis dalam tidurnya, lalu memo-hon maaf padamu. Aku tidak tahu di mana harus mencarimu. Bagaimanapun, dia suami-ku, meskipun kadang sikapnya menyebalkan. Aku tidak mau dia menderita  di akhir hidup-nya. Aku jarang mengurusnya, aku lebih sering bepergian dengan teman-temanku.
Suatu saat, dia menangis dan mengatakan, bahwa dia sadar, dengan petualangan panjangnya, akhirnya hanya ada satu wanita yang pernah membuatnya jatuh bangun mencintai wanita itu, namun dia tidak menjaganya dengan baik. Tidak mengajarinya untuk mencintai…..”
Aku meneteskan air mataku….
Aku teringat suratku di hari ulang tahun-nya, tahun pertama dalam pernikahan kami…

“Detik demi detik yang telah kita lewati
Detik demi detik yang kini kita jalani…
Detik demi  detik yang akan kita hadapi…
Harapku selalu penuh warna indah, merekatkan batin penuh cinta…
Ajari aku untuk mencintaimu, kekasih..”

Kemudian, masa indah itu pun berlalu, membawa luka sehingga sempat terlontar doa, “Aku tidak akan memaafkannya, sampai dia bersujud di kakiku….”
Betapa beratnya kebencian yang kubawa, betapa beratnya beban yang harus kutang-gung seumur hidupku dengan membawa dendam yang tidak selesai….
“Dia berkata, bahwa dia menikahimu bukan akibat kekasihnya selingkuh dengan temannya, tapi karena dia sungguh-sungguh mencintaimu…. Tapi, entah bisikan dari mana yang selalu membuatmu merasakan bahwa dirimu hanya pelampiasan sesaat…,” ujar wanita yang mengaku bernama Norma itu.
Dia melanjutkan, “Kamu tahu, aku mencoba mencari informasi tentang dirimu dan aku merasa mengenalmu lebih dekat. Seseorang yang kosong, menemukan cinta, namun terluka…… Betapa tragisnya hidup kalian… yang satu pergi dengan membawa luka akibat cinta…., sementara yang satunya lagi berkeliaran dari wanita satu ke wanita lain mencoba mencari cinta. Padahal, ada satu cinta yang tidak pernah dijaga dan diberi rasa…. yang terlantar, kering, dan membusuk..” Aku semakin tersedu mendengar-nya…
“Pulanglah…dan maafkanlah dia…”

*****

DAN sekarang aku di sini….
Menatapnya, yang lemah dan tidak berdaya, pucat, kurus…
Kemana wajah tampanmu yang dulu kau banggakan? Kemana tubuh gagahmu yang selalu membuat para wanita berlutut memohon cintamu. Kemana suara indah dan rayuan mautmu, yang membuat gadis-gadis terbang melayang….
Kita hanya manusia biasa, yang mempunyai waktu terbatas di dunia ini, yang hanya mempunyai satu kesempatan untuk menjadi manusia yang baik dan penuh cinta….
Aku memegang tangannya lembut. “Aku sudah memaafkanmu, kekasih…..Aku sudah ikhlas atas semua yang terjadi di antara kita….,” bisikku di telinganya.
Dia membuka matanya perlahan, ada tetesan bening di sana…..
Mata itu mengungkapkan banyak kata yang tidak terucap. Bibirnya pucat, dingin, dan beku saat kusentuh. Kami hanya saling menatap dalam diam….
Bibirnya bergerak, berusaha mengucapkan satu kalimat……, ”Maafkan aku, Denita…”

Sumber: http://botefilia.com