Alangkah sejuknya pagi ini dibandingkan pagi sebelumnya. Kicauan burung
mengiringi langkah demi langkah para petani menuju sawah mereka.
Kehidupan di desa adalah hidup yang benar-benar hidup. Setiap orang yang
mengunjungi desa pasti akan selalu teringat dengan kampung halamannya.
Pagi yang cerah dengan semangat yang membara. Setiap hari aku melihat
rakyat yang hidup di desa terlihat harmonis, saling bertegur sapa,
tolong menolong, kerja bakti, dan senyum yang merekah pada setiap wajah
mereka. Indah dan mempesona melihat wajah mereka, alangkah nyamannya
hidup di desa ini.
Aku adalah aku. Hidupku adalah hidupku. Walaupun aku lahir di kota,
besar di kota, menggunakan fasilitas kota, dan mempunyai rumah di kota,
tetapi entah mengapa hatiku tergerak untuk tinggal di desa.
Lupakanlah kota, sekarang aku telah mempunyai kehidupan baru di desa,
tempat yang sangat sederhana, agak sempit, dan bisa dibilang banyak
tikus berkeliaran di rumah yang ku sewa ini. Tak apa, sekarang aku sudah
bersahabat dengan para tikus walaupun terkadang aku kesal dengan tikus
yang suka mengambil tanpa izin makanan yang kusimpan di teras rumah.
Mungkin wajar bila dimakan oleh tikus yang mengatas namakan hewan
yang tanpa perlu izin untuk mengambil makanan, tetapi tikus yang selalu
mengambil makananku adalah para bocah tetangga. Baru saja meninggalkan
makanan di teras rumah dalam waktu beberapa detik, dan sekejap hanya
tinggal alas makanan beserta sendok yang tersisa.
Biarlah namanya juga anak-anak, mereka masih kurang beruntung
dibandingkan aku yang mempunyai segalanya. Bagaimanapun inilah warna
kehidupan, saat aku senang menjalaninya semua ini, pasti akan terasa
indah.
Semangat yang cerah dari penduduk desa, menggugahku untuk berjalan
mengelilingi desa. Perumahan di desa berbeda dengan perumahan di kota.
Di desa aku temukan aktivitas penduduk yang sebagian besar petani, ada
pula ibu rumah tangga yang berdagang, dan tak jarang para ibu yang hilir
mudik membawa sayuran menuju pasar terdekat yang berada di utara desa
ini.
Sesekali aku menyapa ibu-ibu yang sedang berjualan sayur mayur
menggunakan sepeda menuju pasar, dan mereka membalas dengan senyuman
bahkan obrolan singkat dan akrab. Suasana seperti ini jelas berbanding
terbalik dengan kondisi kota, kebanyakan dari mereka sibuk dengan tugas
kantor, dari pagi hingga malam. Tak ada sosialisasi sedikitpun terhadap
masyarakat sekitar.
Saat di perjalanan, aku melihat anak-anak desa yang sedang asyik
bermain bola di tengah beceknya tanah. Mereka bermain dengan riang tawa
dan penuh keharmonisan dalam pertemanan. Aku melihat seorang bocah
lelaki berkulit putih, berhidung mancung, dan berambut indah layaknya
pemeran iklan sampo, menggiring bola dari depan gawang hingga gawang
lawan. Emosiku sudah mulai masuk dalam ritme permainan mereka.
Sesekali hatiku bersorak kegirangan melihat gerak-gerik bocah
berkulit putih itu, sembari menggiring bola dengan lincah. Satu per satu
lawan ia hadapi dan terus melaju hingga ke gawang lawan. Luar biasa.
Aku tergerak untuk memberi teriakan dukungan untuk bocah tersebut,
ketika sampai di depan gawang lawan, bocah itu memberi ancang-ancang
untuk menendang bola. Aku semakin bersemangat melihatnya. BRUKK. Bocah
itu terpeleset dan jatuh di genangan tanah becek tersebut, seketika aku
mengendus kesal.
Saat melihat bocah tersebut menggiring bola, aku teringat dengan
persepakbolaan Indonesia. Aku berpikir, tampaknya bocah itu layak untuk
menjadi pemain kelas dunia melebihi pemain Timnas Indonesia saat ini,
itupun bila kemampuan dia terus diasah.
Aku tersenyum kecut, sangat ironis. Sebenarnya ratusan juta penduduk
negeri ini, masih tersimpan banyak anak-anak yang berprestasi dalam
segala bidang. Apabila dikumpulkan anak-anak yang berkemampuan tinggi,
mungkin Indonesia menjadi negara terbaik dan terpintar bahkan mungkin
bisa mengalahkan teknologi negara adidaya.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari anak-anak di lapangan bola,
ternyata mereka menjerit untuk meminta tolong penduduk sekitar. Aku dan
beberapa warga mendekati anak-anak tersebut dan alangkah terkejutnya
diriku, bocah berkulit putih itu menjerit kesakitan sembari memegangi
kakinya.
Terlihat beberapa warga desa yang menanyakan kepada anak-anak tentang
kondisi bocah tersebut. Ia dirangkul oleh Pak RT. Dilihat dari kondisi
wajah yang kesakitan dan tangan sang bocah yang memegangi kaki, aku
langsung mengetahui bahwa kakinya terkilir.
“Maaf Pak, izinkan saya untuk memeriksa anak tersebut.” Pintaku tanpa ragu.
“Oh Mas Arkan, silahkan. Tampaknya Mas Arkan yang lebih berpengalaman.” Jawab Pak RT.
“Terima kasih, Pak.” Balasku dengan senyum.
Aku adalah seorang mantan asisten dokter, yang dikeluarkan, karena
dinilai salah menangani pasien. Asisten dokter juga manusia, pasti
pernah melakukan kesalahan, tetapi mengingat kesalahanku memang tak bisa
diterima dan membahayakan pasien, aku dengan senang hati mengundurkan
diri sebelum dikeluarkan surat pemberhentian kerja dari rumah sakit.
Toh, masih banyak lowongan kerja yang membutuhkan lulusan kedokteran.
Kejadian yang dialami bocah tersebut, sangat fatal apabila tidak
ditangani dalam segera. Dengan tangan sendiri, aku mencoba menekan
dengan perlahan rasa sakit dari kaki bocah tersebut. Ternyata benar feeling awalku, bahwa dia hanya keseleo.
“Maaf, ada yang tahu rumah anak ini?” tanyaku pada anak-anak yang tadi bermain bola.
“Di dekat sawah, Kak.” Jawab teman bocah berkulit putih ini.
Akupun tersenyum geli mendengar panggilan Kakak dari bocah sekitar
umur delapan tahunan, padahal umurku tahun ini genap tiga puluh tahun.
Biarlah, memang mukaku masih terlihat muda.
“Adek bisa antarkan Kakak ke rumahnya?”
“Iya, Kak.” Jawab salah satu temannya.
“Pak RT, saya antarkan ke rumah anak ini dulu. Permisi Pak.” Pamitku kepada Pak RT.
“Terima kasih Mas Arkan, atas bantuannya.” Ramah Pak RT
Sumber: http://aliwasi.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar