Sabtu, 25 Mei 2013

Jati Diri Sesungguhnya

Karya : Muhammad Arif Ali Wasi

Masa remaja adalah masa yang menyenangkan untuk semua manusia yang mengalami pubertas. Rasa rindu, sayang-sayangan, hingga berpacaran sudah tidak dianggap tabu dan menurut sebagian besar orang merupakan hal yang lazim dalam kehidupan kita. Baiklah jika itu hal yang wajar, tapi mari kita intip dunia remaja ketika bermalam mingguan. Banyak sekali pasangan pemuda-pemudi bangsa yang bergandengan tangan, berpelukan, saling meraba di tempat umum, bahkan tak tanggung-tanggung dalam hal berciuman juga sudah melukiskan suasana kota di malam minggu. Tempat penginapan dan hotelpun tak sepi dari pengunjung yang katanya akan menjadi pengurus bangsa di masa depan.

Namaku adalah Arkan Saputra, seorang remaja yang sedang kebingungan mencari jati diri yang sesungguhnya. Saat iman diri ini kuat, aku semakin mantap untuk terus menjadi orang yang baik dan selalu beribadah kepada Tuhan. Lain halnya jika diri ini semakin lemah dan jinak kepada penghasut terbesar yaitu sang Setan terkutuk, pastinya ingin sekali berbuat hal yang menyenangkan nafsu, karena nanti juga akan taubat sendiri.

Itulah kendala terbesar yang aku hadapi saat ini. Di satu sisi, aku mempunyai sahabat dan teman-teman yang dikategorikan baik, sedangkan di sisi lain betapa liarnya teman-teman kategori nakal yang menghasut dan menggodaku agar terjerumus dengan perilaku menyimpang atau sekedar kenikmatan sesaat, salah satunya adalah mengenai hotel.

Namanya Roni, dialah yang selalu menggodaku untuk menyewa seorang wanita untuk mengajaknya ke ranjang hotel. Memang keterlaluan temanku yang satu ini, walau terkadang aku amat tergoda dengan ajakannya, tetapi ajakannya selalu kutolak dengan muka yang menyesal saat ia tidak dihadapanku. Banyak dari teman-temanku yang memanfaatkan kesempatan itu dengan alasan yang beraneka ragam, misalnya karena murah, cantik, kalem, perawan, janda, dan berbagai macam alasan yang membuatku muak tapi mau. Banyak yang beralasan bahwa wanita sewaan itu murah, terpenting bagi mereka hanya untuk menyalurkan hasrat impiannya.

Bebeda dengan Roni, temanku yang bernama Galih selalu mengingatkanku jika telah melakukan perbuatan yang salah. Dia adalah teman sepermainanku semenjak taman kanak-kanak hingga saat ini, jadi aku tak perlu merasa tak nyaman jika ditegur olehnya karena ia telah mengenal sifat dan sikapku seutuhnya begitupun denganku. Saat imanku lemah dialah yang menguatkanku menjadi lebih baik, tetapi keimananku semakin lemah jika sudah bertemu dengan Roni. Menjadi baik dan menjadi nakal memang sama-sama menyenangkan, hal itu menyadarkanku bahwa jati diriku masih rapuh dan belum terbentuk.

***

Mata pelajaran di bangku SMA memang sangat menyebalkan terutama Matematika. Bukan hanya karena mata pelajaran melainkan dengan guru matematika yang hanya memberikan tugas dan jarang menjelaskan teori yang ditugaskan. Alasannya karena SMA telah berubah status, dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional menjadi Sekolah Bertaraf Internasional, dengan alasan tersebut siswa wajib mandiri dan mencari sumber-sumber yang ditugaskan. Lalu, apa tugas dari guru?

Sebenarnya bukan hanya status yang berubah melainkan dengan tarif biaya sekolahpun turut berubah. Tak heran banyak sekali teman yang tidak bersekolah di tempat sekolahku yang menjuluki Sekolah Bertarif Internasional, walau memang fasilitas di sekolahku sangatlah memadai dan termasuk lengkap. Dari semua itu, sayangnya guru hanya lebih menonjolkan materi pelajaran semata, sedangkan akhlak dan moral siswa dibiarkan hancur.

Di Aula Sekolah, Galih terlihat sibuk seperti biasanya berkumpul dengan rekan-rekan OSIS. Ia merupakan Ketua OSIS di sekolahku. Figurnya yang baik, sopan, dan tampan kata sebagian perempuan, membuatnya menjadi sosok teladan yang akhirnya membawa ia menjadi Ketua OSIS.

“Galih, mana laporan pertanggungjawaban acara ulang tahun sekolah? Kok belum selesai dari seminggu yang lalu? Aku yang kena omelan Bu Rosmala,” cetus Lisa yang sedang bersama Galih dan rekan-rekan anggota OSIS.

“Aduh, gimana ya?” jawab Galih dengan cemas.

“Lisa, bilang ke Bu Ros kalau Laporan yang kita buat kemarin kehapus. Salahnya Romlan, soalnya dia ngetik laporan di komputer virusan, file laporan kena virus, flash dia kena virus, flash disk dia masuk laptopku, laptopku ada antivirus, dan akhirnya ludes kehapus antivirus di laptopku. Selesai,” jawab Farida ketus terhadap Romlan.

“Yey, kamu juga kena salah donk. Laptopmu itu kan yang ngehapus, yang penting kerjaanku sebagai sekretaris selesai,” jawab tak kalah ketus dari Romlan.

“Seharusnya setiap file ada duplikat, itukan peraturan dari zaman nenek moyang. Lah kamu, file cuma satu.”

“Intinya, kenapa kamu gak bilang kalo laptop kamu ada antivirus?”

“Kenapa juga kamu seenaknya masukin flash disk ke laptopku?” emosi Farida, kali ini dengan muka memerah.

“Ssstttt, sudah cukup, ini semua tanggung jawabku. Biar aku aja yang ngomong ke Bu Rosmala,” ucap Galih menengahi Farida dan Romlan yang bertengkar.

“Kamu yakin? Dengan tampang polos menemui Bu Rosmala tanpa tugas yang disuruh?” tanya Lisa.

“Jika Bu Rosmala, guru yang baik dia pasti mengerti dengan problem yang kita hadapi.” Galih meyakinkan Lisa.

“Itu sih bukan problem, tapi musibah!” ucap Farida ketus pada Romlan.

“Ihhh, nyebelin!” Romlan mendekati Farida tapi ditahan dengan tangan Galih.

Terlihat rekan-rekan OSIS yang lain memisahkan Farida dan Romlan pada dua arah. Aku menyaksikan kejadian itu tak jauh dari mereka berkumpul, memang lucu tingkah mereka layaknya masih duduk di bangku TK yang saling tuduh dan mengamuk atau mungkin juga meniru dari para anggota dewan dengan menuduh agar dirinya aman.

Niat untuk mengobrol dengan Galih sebaiknya aku tunda. Ia bergegas menuju ruang guru untuk menemui Ibu Rosmala sang Pembina Kesiswaan. Ibu Rosmala adalah guru Matematika, sebagian besar siswa menilai bahwa ia adalah guru yang sangat egois karena sesuatu yang murid perbuat harus sesuai dengan keinginannya, layaknya memperlakukan sebuah robot.

“Hei, Bro! Walah ngintipin ruang guru, seleramu rendahan, Coy!” serang Roni mengagetkan dengan mendorong pundakku.

“Hahaha, lucu,” jawabku meledek Roni.

“Maksa banget, betewe malem ni kita-kita pada kumpul yuk. Tempat biasa.”

“Daku mau tobat. Gak mau mampir kesana.”

“Tobat?” jawab Roni menahan ketawa mendengar ucapanku. Ia berusaha untuk merayuku, “Gak nyesel? Cuma buat happy-happy doang kok, ayolah.”

“Huft, oke deh. Nanti kamu yang jemput ke rumahku, malam ini motorku dipakai Kakak?” tanyaku pasrah dan akhirnya aku tergoda untuk kesekian kali dengan ajakan Roni

“Sip, gitu donk! Itu baru best friend gua. Udah ah, gua mau kasih tau yang lain dulu,” jawabnya berlalu dengan tawa.

Setidaknya ajakan Roni untuk mengunjungi Surga Dunia akan melepas beban dari tugas sekolah. Aku menyadari bahwa yang kuperbuat memang salah, tetapi niatku pasti akan tobat jika umur semakin tua dan kematian akan menghampiriku.

Terlihat dengan tampang yang lemas, Galih keluar dari ruang guru. Dengan muka demikian, aku sudah bisa menebaknya bahwa ia telah dimarahi oleh Ibu Rosmala. Sungguh iba melihat Galih, hanya karena ia seorang pemimpin sampai rela pasang badan untuk menutupi kesalahan anggotanya. Aku semakin salut dengan kepemimpinannya dan semakin kasihan dengan pengorbanannya. Semoga kepemimpinannya dapat dilanjutkan sebagai pemimpin bangsa suatu saat nanti.

“Galih,” sapaku memanggil Galih dengan isyarat tangan.

“Arkan, ada apa?” jawabnya.

“Sini, nyante dulu aja.”

Galih mendekatiku dengan menundukan kepala, tampaknya amarah Bu Rosmala memang luar biasa berpengaruh pada kondisi kejiwaan Galih.

“Dimarahin lagi?” ucapku santai untuk menenangkan Galih.

“Ah, biasa.”

“Kalau biasa, santai aja, Bro. Jika ada yang mengkritikmu, kamu harus buktikan dengan praktik jangan teori.”

“Alah, itu semboyan Bu Rosmala,” jawab Galih sembari meledekku, tanda ia sudah mulai membaik dari tekanan. “Tadi ketemu Roni?”

“Loh?” aku heran Galih bisa mengetahui.

“Jeritan Roni terdengar sampai ke ruang guru. Ngapain lagi, dia?” selidik Galih.

Setiap Galih melihatku bertemu dengan Roni, pasti dia mengira bahwa Roni akan menjerumuskanku lagi. Memang tidak salah dugaannya, topik pembicaraan setiap bertemu Roni selalu mengenai tampat lokalisasi. Jika aku memberitahu kepada Galih, pasti dia akan melakukan sesuatu supaya aku batal untuk mengikuti ajakan Roni. Lebih baik aku berbohong dan mencoba ajakan Roni untuk pertama kalinya.

“Oalah, bengong. Aku dah ngerti, malam ini pasti diajak Roni ke tempat maksiat lagi. Kalau ingin tobat, yang konsisten donk. Arkan ingat ya, itu hanya kesenangan sesaat. Sekali kamu kesana, nanti akan selalu tergoda untuk kesana. Please kasihan orangtua kamu, dia didik kamu supaya jadi orang baik-baik, bukan berakhlak kotor seperti Roni. Saranku, kamu jangan bergaul dengan Roni lagi. Tolong dengarkan ucapanku, jika aku masih dianggap sahabat,” jelas Galih dengan tegas.

Maksud untuk menutupi ajakan Roni memang tidak mempan pada Galih. Ucapan Galih, untuk kesekian kalinya menyadarkan bahwa jati diri ini amat lemah pada godaaan. Saran dia untuk menjauhi Roni memang benar tetapi berat untukku, padahal tidak ada keistimewaan dalam pribadi Roni. Rasanya seperti disantet.

***

Malam ini Galih berada di rumahku, niatku untuk ikut bersama Roni akhirnya terbongkar. Aku dan Galih bermaksud belajar bersama sebagai cara penolakan untuk ajakan Roni, itulah pilihan yang aku ambil. Sebelumnya Galih memberi dua pilihan agar Roni tidak jadi mengajakku, pilihan yang lain yaitu dengan bertindak tegas dan menjauhi Roni tetapi aku tidak mengambil pilihan tersebut.

Aku mengerti dengan sikap Galih yang sangat peduli denganku. Walau bukan hak dia untuk melarangku, tapi dia tidak ingin memiliki teman pecandu wanita murahan ataupun hal negatif lain. Entah harus syukuri atau tidak mempunyai sahabat sepertinya, tetapi aku mengakui bahwa ia adalah teman yang luar biasa untukku.

“Den Arkan, ada tamu,” sahut pembantu bernama Bi Inah, sembari menghampiriku.

“Roni?” tebakku.

“Iya Den, ada Mas Roni.”

“Ya sudah suruh masuk, Bi.”

“Baik Den Arkan,” ucap Bi Inah dan menuruti perintahku.

Aku melirik Galih, dia memberikan gerakan isyarat tubuh agar tidak jadi mengikuti ajakan Roni dan sedang sibuk belajar bersamanya. Akupun hanya mengangguk mengikuti perintah Galih, karena sikap yang ia tunjukan hanya untuk kebaikanku.

“Arkan,” sapa Roni dari pintu masuk, ia mendekatiku dengan gayanya yang santai. Dia hanya tersenyum kecut pada Galih, sedangkan Galih hanya diam tanpa mersepon.

“Yuk, tepati janjimu,” tidak seperti biasanya, Roni mengajakku secara paksa dengan menarik lengan tanganku.

“Kita lagi belajar bersama, please jangan ganggu,” tahan Galih dengan menarik lengan kiriku dan mendorong bahu Roni.

“Jangan kurang ajar, Bro! Mentang-mentang Lu Ketua OSIS bukan berarti gua takut sama lu,” semprot Roni dengan meludah ke wajah galih.

Dengan cepat, Galih memukuli wajah Roni hingga terjatuh. Roni tak ingin mengalah, ia membalas dengan balik memukuli hidung Galih hingga berdarah. Kejadian itu sontak membuat orang tuaku terkejut dan langsung meleraikan Galih dan Roni, terutama Ayahku yang terlihat sangat marah dengan kejadian itu.

“Ada apa ini? Main rebut di rumah orang. Arkan, kenapa mereka? Sekali lagi kalian main tonjok-tonjokan, Bapak tidak segan-segan membawa kalian ke Pos Polisi untuk menyelesaikan ini,” tegas Bapakku sangat marah.

“Coba dibicarakan baik-baik dulu, jangan dibiasakan berantem. Ada apa toh, Nak?” tanya Ibu cemas.

“Dia, Tante,” Roni menunjuk ke wajah Galih, “Dia yang mukul saya diluan, saya tidak terima. Apa salah saya?”

“Arkan, benar yang diucapkan dia?” tanya Ibu melanjutkan perkataan Roni.

“Benar, Ma.”

“Nak Galih, ada apa toh? Kamu itu kan siswa teladan di sekolah dan Ibu juga mengenal kamu sudah cukup lama, kenapa kamu bisa berbuat seperti ini? Ibu benar-benar tidak menyangka,” ucap Ibu memojokkan Galih.

Galih tidak berkata sepatah katapun, ia hanya menunduk seperti menahan amarahnya. Aku bingung melihat ini terjadi, dua orang teman dekat berantem karena diriku. Padahal sebelumnya berjalan lancar, ketika menolak ajakan Roni dengan berpura-pura belajar.

“Galih, sekarang kamu pulang. Bapak akan laporkan kejadian ini pada orangtuamu,” ucap Bapak menarik tangan Galih secara paksa dan membawa keluar rumah.

Galih sempat melirikku tanda ia meminta pembelaan dariku. Aku sangat merasa bersalah pada Galih, tetapi aku tidak bisa membelanya. Saat aku memojokkan Roni, pasti rahasia nakalku yang telah dikenal Roni akan dibongkarnya. Aku mengetahui sikap Roni yang demikian, karena pernah terjadi pada temannya sehingga dikucilkan oleh semua orang. Aku tidak mau mengalami kejadian tragis seperti itu.

Maafkan aku, Galih.

***

Malam semakin larut dan waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Roni akhirnya membawaku ke tempat tujuannya. Seperti yang kuduga, banyak sekali wanita berkeliaran dengan menggunakan busana yang membuat hati para pria bergetar. Nafasku memompa semakin cepat, darahpun rasanya seperti meluap. Inilah untuk pertama kalinya, aku diajak ke tempat berjuluk Surga Dunia bagi para lelaki hidung belang.

Melihat sikapku, Roni hanya bisa tertawa dan selalu mengarahkan wajahku pada wanita yang menurutnya sangat menarik.

“Bro, teman-teman yang lain pada dimana?” tanyaku pada Roni.

“Biasalah, tempat tertutup,” jawab Roni dengan santai.

Roni memang terlihat santai jika dibandingkan olehku. Cukup wajar, karena ia seringkali datang ke tempat ini hanya untuk memuaskan hasrat cintanya. Lokalisasi ini memang tidak membuatku bosan, banyak kejutan ketika aku berjalan melewati para kupu-kupu malam.

Aku terkejut, tiba-tiba ada yang meraba dan memelukku dari belakangku. Sontak aku mendorong orang yang memelukku dengan keras hingga wanita itu terjatuh dan lecet pada bagian kaki.

What’s happen, bro? Santai aja,” ucap Roni menenangkanku yang dari awal memang terlihat sangat tegang dengan tempat ini.

Sorry, aku tidak sengaja. Maaf ya,” ungkapku dengan malu tertunduk.

Wanita berwajah mungil itu bangun dan mengajakku berjabat tangan, tampaknya ia akan memaafkanku. Ketika aku menjabat tangannya, dengan lekas ia menarikku menjauhi Roni.

“Eit, tunggu. Ron, sebentar,” perintahku pada Roni.

“Yang lama. Ntar Gua telpon Lu,” ucap Roni menertawakanku.

Roni memang keterlaluan, ia belum menyadari bahwa aku masih belum siap untuk menghadapi ini. Sikapku semakin tidak bisa ditahan, mukaku semakin pucat memanas dan mungkin terlihat memerah.

Wanita itu terus berjalan dengan menggenggam erat tanganku tanpa sepatah kata apapun. Setiap langkah menuju tujuannya membuatku semakin canggung, hingga ia berhenti dibawah pohon di dekat lampu taman. Ia mengajakku perlahan untuk duduk di bangku taman.

Aku hanya tertunduk diam, nyaliku tidak berani untuk membuka pembicaraan. Wajahnya semakin mendekati wajahku, ia memperhatikan wajahku dengan seksama. Detak jantungku berdetak semakin keras.

“Santai aja, Mas,” ucap wanita itu tersenyum padaku. “Aku mengerti bahwa Mas, baru datang disini. Benar kan?”

“I, iya,” jawabku gugup.

“Kenapa mau datang ke tempat ini, Mas?”

“Aku diajak oleh temanku, yang tadi.”

“Oh, Mas Roni ya,” ucap wanita itu. Dia terdiam sesaat, entah ia sedang berpikir atau sedang gugup seperti yang aku alami.

“Kita ada dimana?” tanyaku.

“Kita keluar dari wilayah prostitusi itu,” jawabnya.

Pantas, aku memang tidak mengenal tempat ini, dan kami berdua telah berjalan jauh dari tempat semula. Lagipula, ia membawaku ke tempat umum dan hanya ada beberapa orang di tempat itu dan penjual sate ayam.

Oke, to the point aja. Aku suruhan Galih, dia menyuhku untuk membawamu kesini,” ucap wanita itu.

“Galih?” aku sangat terkejut mendengar ucapannya.

“Kenapa? Heran? Aku juga heran dengan sikap Galih seperti itu.”

“Lalu kenapa kamu menuruti perintah dia?”

“Karena dia ada disini.”

Tiba-tiba Galih muncul dari balik pohon dekatku dan wanita tersebut duduk. Ia muncul dengan wajah yang terlihat menahan amarah. Aku mengerti dengan sikapnya, kejadian di rumahku dengan menyudutkan posisi Galih mungkin tak akan termaafkan olehnya.

“Sinta, thanks udah bawa Arkan ke sini,” ucap Galih dengan wanita yang bersamaku.

“Iya, pokoknya cepat antarin pulang. Aku tunggu di motor,” ucap Sinta pamit dari hadapan kami berdua.

“Aku salut sama kamu, Lih. Kamu rela-rela datang kesini buat cegah perbuatanku? Apa hak kamu?” tanyaku dengan keras.

Sikap Galih yang satu ini memang membuatku kesal dari semenjak kecil, ia selalu menghalangiku berbuat sesuatu yang kumau hanya karena tidak baik menurutnya. Rasa kesal ini memang pernah terjadi pada saat kelas dua SMP, ketika itu ia melarangku untuk ikut dalam konvoi dan aksi coret baju dengan pilok tetapi aku menurutinya walau hati ingin sekali melakukan. Kali ini, kesabaranku terasa habis. Ia bukan orang tuaku, ia hanya seorang teman dan kurasa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup dan memilih jati diri bukan karena perintah dari orang lain.

“Aku salah?” tanya Galih.

“Bukan begitu, tapi kamu terlalu mengatur. Kamu gak sadar, hah?”

“Oke, tampaknya kamu sudah lupa dengan prinsip kita yang harus dijaga.”

“Prinsip?”

“Lupakan saja,” ucap Galih dengan senyum yang dipaksakan dan pergi dari hadapanku.

“Galih, tunggu sebentar,” ucapku hingga Galih berhenti melangkah. “Jujur, aku mengakui perbuatanku salah. Maafkan, Lih.”

Galih tetap membelakangiku, “Aku melakukan ini semata karena aku sahabatmu dari semenjak kecil. Ingat saat kita berumur sepuluh tahun? Ketika aku jatuh kedalam sumur, aku hampir tenggelam dan susah bernafas dalam sumur itu. Tidak ada orang di sekitar sumur itu, dan beruntung kamu lewat dan datang menolongku. Kejadian yang memalukan sekaligus membuka mataku bahwa kamu bukan teman yang selalu iseng terhadapku, tetapi juga amat berharga yang harus aku jaga.”

Galih berhenti sejenak, dan ia berputar menghadapku. Wajahnya terlihat lesu dan sangat pucat.

“Saat kita beranjak remaja, aku semakin kenal dengan watakmu, pemikiranmu, obsesimu, bahkan yang mungkin kamu tidak sadar, aku menyadari perbuatan nakalmu dengan Roni. Kamu pernah meminum minuman keras, mencicipi ganja walau tidak seberapa tapi itu berpengaruh pada jati dirimu saat ini. Tidak sadarkah?”

Ucapan Galih bagaikan halilintar yang menyambarku. Jika ia mengetahui bahwa aku pernah mencicipi ganja, meminum minuman keras, seharusnya ia melaporkanku pada keluargaku seperti ia pernah melaporkanku ketika aku pernah melukai orang hingga celaka pada saat masa kanak-kanak. Tetapi pada kenyataannya dia tetap merahasiakan ini dari siapapun.

“Aku hanya berusaha sendiri untuk mengubahmu, tapi tampaknya sulit dikalahkan dengan nafsumu. Jati dirimu begitu rapuh, sehingga susah sekali mempertahankan ego yang kamu inginkan. Tapi aku yakin, suatu saat kamu akan sadar bahwa yang kamu lakukan adalah kesalahan besar yang haram untuk diulangi,” jelas Galih.

“Aku memang salah, Lih,” jawabku lirih sembari menunduk.

“Bukan. Ini semua bukan kesalahanmu,” ucap Galih berhenti sejenak. “Hahaha, santai saja Arkan. Ubahlah dirimu dari sekarang, itulah yang membuatku tenang.”

Thanks ya, Lih. Kamu memang sahabatku yang terbaik,” ucapku tersenyum haru pada Galih.

“Ya, sama-sama. Semoga prinsip kita masih bisa dipertahankan.”

Prinsip ketika kelulusan SMP, aku dan Galih pernah mengucapkan sepatah janji bahwa kita akan saling menjaga, menasehati, memotivasi dan terus mendukung untuk kebaikan. Jika aku berbuat salah, harus dengan tegas ditegur demikian pula sama dengan Galih jika berbuat salah.

Ya, inilah jati diriku yang masih rapuh, dan inilah sebuah gambaran kehidupan yang pahit untuk dikenang nanti. Penuh dengan jati diri yang busuk dan pantas disebut sampah masyarakat. Keyakinanku untuk menemukan jati diri yang kokoh semakin kuat. Bersama dengan Galih semoga langkah kehidupan yang mendatang, akan menjadikan diri ini semakin baik. Itulah jati diri yang ingin kuraih sesungguhnya. Terima kasih telah menjadi sebuah bagian penting dalam dalam hidupku, Sobat.

~~Selesai~~

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar