Sabtu, 25 Mei 2013

Menggenggam Dunia – (6) Bertemu Ratih

Kicauan burung berirama, menghiasi pagi. Suara ayam berkokok mengiringi Mentari mewarnai dunia. Semilir embun pagi yang dingin tetapi sejuk, menyusuk sukma hingga membuatku bersemangat memulai hari ini.

Tubuhku kembali segar, ketika dibasuh oleh air yang cukup dingin. Kehangatan Mentari pagi menyinari dan menghangatkan tubuh ini.

Berbeda dengan Rahmat, ia sangat kedinginan. Rasanya untuk pertama kali ia harus mandi sepagi ini. Memang suhu di pedesaan ini cukup dingin, sehingga setelah mandi pagi membuat ia ingin berselimut.

Pagi hari, aku membuatkan mie instan untuk sarapan pagi dan dua gelas susu untukku dan Rahmat. Rahmat berselera dengan apa yang aku buat. Semoga saja, Rahmat tidak merasakan jenuh dengan yang kuperbuat.

Jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Aku dan Rahmat beranjak menuju sekolah, yang tak jauh dari tempat kita tinggal. Terlihat anak-anak desa dengan pakaian seragam, menuju sekolah mereka. Sedangkan Rahmat masih menggunakan pakaian lusuh untuk menuju sekolah.

Tenang saja Rahmat, setelah diterima masuk sekolah, aku akan membelikan segala keperluan sekolahmu.

Saat tiba di sekolah, kami segera menuju ruang guru. Kami menjelaskan kepada salah satu guru berkumis tipis dan berbadan tinggi, bahwa Rahmat akan mendaftarkan diri di sekolah ini.

Melalui persyaratan ini dan itu dalam proses yang lama, akhirnya Rahmat diperbolehkan untuk bersekolah di Sekolah Dasar di desa ini. Ia mulai dari kelas satu, seharusnya dengan umur delapan tahun ia sudah berada di bangku kelas tiga. Tetapi tak apa, hanya beda dua tahun, tak jadi masalah. Lagipula Rahmat sangat senang bisa bersekolah layaknya anak-anak yang lain, ditambah kegembiraan sebab ia sekolah dengan teman-teman sepermainan termasuk Saiful.

Hari ini kami berdua disibukkan untuk membeli peralatan sekolah, mulai dari seragam, buku pelajaran, alat tulis, sepatu, tas, dan masih banyak untuk keperluan sekolah.

Hari ini Rahmat sudah dapat menerima, untuk kepergian ibundanya. Tak ada raut muka sedih, yang terlihat. Aku senang melihat ia senang.

Setelah selesai membeli perlengkapan sekolah, aku mengajak Rahmat pergi berbelanja untuk bahan makanan. Rahmat setuju dan kami pergi ke pasar terdekat.

Suasana di pasar cukup ramai, kami berdua berdesak-desakan di pasar. Disana aku membeli beras, sayuran, buah-buahan, dan lauk pauk secukupnya. Akupun membelikan beberapa baju dan celana sehari-hari untuk Rahmat. Dia terlihat senang dengan kebaikanku.

“Mamet mau apa lagi? Nanti Kakak belikan.” Tanyaku pada Rahmat.

“Aku ingin dibelikan Al-Quran sama terjemahannya, Kak. Boleh?” pinta Rahmat.

Aku terdiam sejenak. Lagi-lagi ia mengejutkan aku. Anak seumur dia ingin dibelikan Al-Quran, berbeda dengan anak lain yang biasanya ingin membeli mainan atau hiburan lain. Sungguh orang tuanya telah berhasil mendidik Rahmat.

“Ok, kita sekarang ke toko buku yang ada Al Quran ya.” Ajakku.

Ia mengangguk senang dan bersemangat sekali.

Saat perjalanan menuju toko buku, terdengar di depan kami suara wanita yang meminta tolong, dan berteriak kata maling. Tampaknya ada pencuri.

Aku melihat pria berjaket hitam dan bertopi membawa tas berwarna biru berlari menuju arahku, aku menyadari pasti dialah yang wanita itu maksud.

Ketika lewat, aku segera menangkapnya dengan kedua tanganku, tetapi gagal. Alangkah lincahnya ia bagaikan pemain bola yang menghindar saat bola akan direbut. Ketika aku gagal menangkapnya, Rahmat berhasil menendang kaki pencuri itu dengan sliding tackle seperti dalam permainan bola.

Fantastis, pencuri itu terjatuh oleh Rahmat dan dengan cepat aku mengikat kedua tangan pencuri kebelakang oleh tanganku dan menindih tubuhnya, agar tidak mudah bergerak.

Sambutan tepuk tangan yang melihat kejadian ini membahana kepadaku dan Rahmat, layaknya hero yang menyelamatkan nyawa seseorang. Kami hanya tersenyum.

Satpam pasar datang dengan wanita yang menjadi korban pencurian, ternyata wanita yang meminta tolong itu adalah Ratih. Sebuah kebetulan, atau mungkin ini merupakan takdir.

Aku melepaskan pencuri kepada satpam pasar, mengambil tas Ratih yang terjatuh, dan memberikannya.

“Terima kasih, Mas Arkan.” Ucap Ratih penuh ketulusan.

“Sama-sama, lagipula Rahmat juga yang ikut membantuku. Perkenalkan ini Rahmat.” Tunjukku memperkenalkan Rahmat. Mereka bersalaman.

“Saudara Mas Arkan, ya?” tanya Ratih.

“Dia adik angkatku.” Jawabku.

“Sekali lagi terima kasih, ya. Oh iya, kalian mau kemana? Gak biasanya ada di pasar.” Canda Ratih.

“Kami ingin ke toko buku.” balasku

“Toko buku?” tanya Ratih heran.

“Iya, Mbak. Mbak mau ikut?” tanya Rahmat dengan senyum anak-anak, yang dapat membuat orang gemas padanya.
 
“Ya, kalau tidak ada yang keberatan.” Jelas Ratih sembari melirikku.

“Tentu saja, tidak. Iya kan Rahmat?” jawabku gugup karena lirikkan mata yang indah dari Ratih.

“Kenapa tingkah Kak Arkan aneh? Kakak suka sama Mbak ini,  ya?” ledek Rahmat sambil tersenyum.

Aku semakin salah tingkah dan terlihat pipi Ratih yang merona merah.

“Kak Arkan sama Mbak Ratih ini tetangga. Nanti Rahmat, lama-lama kenal.” Jawabku sekenanya.

“Oh begitu ya, Kak. Ayo Kak Arkan, kita ke toko bukunya. Mbak Ratih, ayo.” Ucap Rahmat memegangi tanganku dan tangan Ratih.

Ratih tak berbicara sepatah katapun, apa mungkin ia tersinggung dengan ucapan Rahmat? Semoga saja, tidak.

Kami bertiga berjalan menuju toko buku, layaknya sepasang keluarga.

Waduh? Udah mulai kacau pikiranku. Mana mungkin aku berpasangan sama Bunga Desa, di pedesaan ini? Eh mungkin juga sih. Ah, sudahlah.
“Mas Arkan.” Sahut Ratih.

“Ah sudahlah.” Jawabku masih memikirkan pikiranku.

“Sudahlah? Apa yang sudahlah?” heran Ratih.

Ya ampun, aku mulai salah tingkah. Lebih baik, aku mengalihkan perhatian.

“Sepertinya pasar sepi sekali, ya?” ucapku apa adanya.

“Sepi? Ramai kok, Mas.” Jawab Ratih.

Aku melihat sekitar ternyata tetap ramai.

Salah ucap lagi, aduh kenapa bisa jadi grogi gini.

“Mbak Ratih.” Panggil Rahmat.

Syukurlah Rahmat akhirnya mengajak Ratih mengobrol.

“Kak Arkan, deg deg kan loh. Padahal tadi gak apa-apa.” Jawab jujur Rahmat.

Aku semakin salah tingkah. Setelah Ratih mendengar ucapan Rahmat, dia langsung memalingkan muka.

Bocah kecil, kenapa harus memberitahu itu? Tenang-tenang, lebih baik tenang.


Tak lama kemudian, kami sampai dan memasuki toko buku. Berbagai macam buku dijual di sini, untuk anak-anak, remaja, dewasa, dan umum.

Aku berpesan pada Rahmat, untuk mengambil buku yang ia suka. Ia mengangguk dan meninggalkan aku dan Ratih berdua.

Awalnya kami saling berdiam diri, tapi lama-lama Ratih yang memulai pembicaraan.

“Mas Arkan tadi bilang, kalau Rahmat itu adik angkat? Bagaimana ceritanya, Mas?” tanya Ratih.

“Kemarin sore, ibunya Rahmat meninggal dunia. Aku inisiatif untuk merawat Rahmat, walau kita baru kenal kemarin pagi.” Jelasku.

“Ya tuhan, semoga Rahmat diberi ketabahan ya. Tapi aku lihat, Rahmat tidak terlihat sedih?” tanyanya

“Itulah karunia Tuhan pada Rahmat. Diumur delapan tahun, ia sanggup untuk terima kehilangan orang tuanya. Bahkan sekarang ia tak mempunyai satu orang pun kerabat kandungnya.” Jawabku.

“Ujian dari Tuhan, terkadang menyakitkan.” Keluh Ratih.

Aku hanya mengiyakan ucapan Ratih. Tiba-tiba seorang anak kecil telah berada di belakangku dan Ratih, kami terkejut melihat Rahmat dengan kepala yang menunduk.

“Kata guru pengajian, Allah akan menguji keimanan seseorang agar seseorang tersebut selalu mengingat Allah. Mamet yakin kalau Allah akan memberikan jalan yang terbaik untuk hidup Mamet, setelah ditinggal oleh Ibu. Mamet yakin.” Lirih Rahmat.

Ketika Rahmat berkata tentang keyakinannya, ia menunduk dan menangis. Ia menangis sembari memeluk Al Quran pada genggamannya, Maha Suci Tuhan yang memberikan anak yang soleh seperti Rahmat.

Aku memeluk Rahmat untuk menenangkannya, ia terisak-isak berusaha menutupi tangisannya.

“Sabar ya, Met.” Ucapku menenangkannya.

Ratih tersenyum walau raut wajahnya terlihat sedih, ia berusaha untuk menutupi kesedihannya.

“Sekarang Mamet ingin punya buku apa lagi?” tanyaku.

“Terserah Kak Arkan, nanti uang Kak Arkan malah habis.” Polos Rahmat dan mulai mengurangi rasa sedihnya.

“Ya sudah, Kakak belikan buku tentang olahraga, ya? Mamet suka sepak bola, kan?”

“Iya Kak, Mamet suka sama sepak bola. Mamet juga sebenarnya pingin punya buku pelajaran yang dipelajari di SD” Ucap Rahmat bersemangat.

“Nah gitu, cowok gak boleh bersedih terus. Harus semangat. Ok, bocah?” sahutku sembari mengepalkan tangan.

“Ok, Kak Arkan.” Balasnya dan tertawa.

Ratih melihat kami dengan tersenyum.
***

Aku, Rahmat, dan Ratih pulang setelah selesai dari toko buku. Barang yang dibeli hari ini cukup banyak, tak lepas dari perlengkapan sekolah dan kebutuhan sehari-hari.

Diperjalanan aku dan Ratih saling mengobrol, terkadang Rahmat ikut menimpali perbincangan tersebut. Ratih menanyakan banyak tentang diriku, dan aku mengungkapkan semuanya bahwa diriku ini adalah mantan asisten dokter yang dikeluarkan karena telah melakukan praktek yang membahayakan pasien.

Ratih semakin penasaran, mengenai hal berbahaya yang aku lakukan hingga dikeluarkan dari rumah sakit. Sebenarnya aku enggan untuk mengungkapakan kejadian yang sangat menyebalkan itu.

“Sebenarnya aku sebagai asisten dokter beradu pendapat dengan dokter dalam menangani pasien, penyakit yang pasien derita cukup bahaya dan harus ditangani dengan cepat untuk jalan operasi. Tetapi dokter berpendapat lain, bahwa pasien harus mengalami karantina atau perawatan khusus dahulu, sebab kondisi pasien sangat lemah untuk menjalani operasi. Pendapat dokter disetujui oleh para dokter yang lain.” Jelasku.

“Lalu pemecatan itu?” tanya ragu oleh Ratih.

“Sebenarnya aku telah mengundurkan diri sebelum surat pemecatan dari rumah sakit. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa aku masih terlalu muda dalam menangani pasien. Aku memiliki inisiatif untuk menyuruh dokter bedah melakukan operasi kepada pasien itu, tetapi hal tersebut diketahui oleh dokter dan dengan semena-mena ia akan memberhentikanku dari jabatan asisten dokter. Dengan senang hati aku mengundurkan diri, percuma aku berkerja di rumah sakit tetapi pendapatku tidak diterima.”

“Lalu kondisi pasien itu gimana.” Tanya ia menggali lebih rinci permasalahan yang aku hadapi.

“Kabar yang aku dengar dari temanku di rumah sakit, bahwa pasien itu meninggal dunia oleh kanker yang ia derita.” Jawabku.

“Kanker?” tanya Ratih terkejut.

“Iya, kanker pada paru-paru. Pasien itu meninggal saat menjalani perawatan intensif.” Paparku.

“Iya Kak, itu sudah takdir Tuhan, bukan salah dokternya. Kakak kan pernah ngomong itu, saat kematian Ibu?” timpal Rahmat.

Aku tersenyum pada Rahmat.

“Memang benar, tapi sebagai manusia kita harus berusaha sebisa mungkin untuk mencarikan jalan yang terbaik. Untuk hasil kita serahkan pada yang Maha Kuasa.” Balasku.

Tak lama kemudian, akhirnya sampai juga di depan rumah. Aku langsung duduk di bangku yang berada di teras sedangkan Rahmat rebahan. Ratih pamit pulang dan mengucapkan terima kasih padaku karena telah menolongnya. Aku hanya membalas dengan senyum ramah padanya. Dan ia pun pulang menuju rumahnya.

“Kak Arkan suka sama Mbak Ratih ya?” ledek Rahmat tiba-tiba sembari tertawa.

“Hus, dasar anak kecil. Kakak hukum ya.” Candaku.

Bocah ini, masih kecil tapi mengerti masalah suka-sukaan. Aku tertawa pelan melihat perilaku Rahmat, sedangkan Rahmat tertawa keras melihat sikapku.

Dasar bocah.

Aku tersenyum geli.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com









Tidak ada komentar:

Posting Komentar