Jumat, 24 Mei 2013

Menggenggam Dunia – (1) Bocah Berkulit Putih

Alangkah sejuknya pagi ini dibandingkan pagi sebelumnya. Kicauan burung mengiringi langkah demi langkah para petani menuju sawah mereka. Kehidupan di desa adalah hidup yang benar-benar hidup. Setiap orang yang mengunjungi desa pasti akan selalu teringat dengan kampung halamannya.

Pagi yang cerah dengan semangat yang membara. Setiap hari aku melihat rakyat yang hidup di desa terlihat harmonis, saling bertegur sapa, tolong menolong, kerja bakti, dan senyum yang merekah pada setiap wajah mereka. Indah dan mempesona melihat wajah mereka, alangkah nyamannya hidup di desa ini.

Aku adalah aku. Hidupku adalah hidupku. Walaupun aku lahir di kota, besar di kota, menggunakan fasilitas kota, dan mempunyai rumah di kota, tetapi entah mengapa hatiku tergerak untuk tinggal di desa.

Lupakanlah kota, sekarang aku telah mempunyai kehidupan baru di desa, tempat yang sangat sederhana, agak sempit, dan bisa dibilang banyak tikus berkeliaran di rumah yang ku sewa ini. Tak apa, sekarang aku sudah bersahabat dengan para tikus walaupun terkadang aku kesal dengan tikus yang suka mengambil tanpa izin makanan yang kusimpan di teras rumah.

Mungkin wajar bila dimakan oleh tikus yang mengatas namakan hewan yang tanpa perlu izin untuk mengambil makanan, tetapi tikus yang selalu  mengambil makananku adalah para bocah tetangga. Baru saja meninggalkan makanan di teras rumah dalam waktu beberapa detik, dan sekejap hanya tinggal alas makanan beserta sendok yang tersisa.

Biarlah namanya juga anak-anak, mereka masih kurang beruntung dibandingkan aku yang mempunyai segalanya. Bagaimanapun inilah warna kehidupan, saat aku senang menjalaninya semua ini, pasti akan terasa indah.

Semangat yang cerah dari penduduk desa, menggugahku untuk berjalan mengelilingi desa. Perumahan di desa berbeda dengan perumahan di kota. Di desa aku temukan aktivitas penduduk yang sebagian besar petani, ada pula ibu rumah tangga yang berdagang, dan tak jarang para ibu yang hilir mudik membawa sayuran menuju pasar terdekat yang berada di utara desa ini.

Sesekali aku menyapa ibu-ibu yang sedang berjualan sayur mayur menggunakan sepeda menuju pasar, dan mereka membalas dengan senyuman bahkan obrolan singkat dan akrab. Suasana seperti ini jelas berbanding terbalik dengan kondisi kota, kebanyakan dari mereka sibuk dengan tugas kantor, dari pagi hingga malam. Tak ada sosialisasi sedikitpun terhadap masyarakat sekitar.

Saat di perjalanan, aku melihat anak-anak desa yang sedang asyik bermain bola di tengah beceknya tanah. Mereka bermain dengan riang tawa dan penuh keharmonisan dalam pertemanan. Aku melihat seorang bocah lelaki berkulit putih, berhidung mancung, dan berambut indah layaknya pemeran iklan sampo, menggiring bola dari depan gawang hingga gawang lawan. Emosiku sudah mulai masuk dalam ritme permainan mereka.

Sesekali hatiku bersorak kegirangan melihat gerak-gerik bocah berkulit putih itu, sembari menggiring bola dengan lincah. Satu per satu lawan ia hadapi dan terus melaju hingga ke gawang lawan. Luar biasa. Aku tergerak untuk memberi teriakan dukungan untuk bocah tersebut, ketika sampai di depan gawang lawan, bocah itu memberi ancang-ancang untuk menendang bola. Aku semakin bersemangat melihatnya. BRUKK. Bocah itu terpeleset dan jatuh di genangan tanah becek tersebut, seketika aku mengendus kesal.

Saat melihat bocah tersebut menggiring bola, aku teringat dengan persepakbolaan Indonesia. Aku berpikir, tampaknya bocah itu layak untuk menjadi pemain kelas dunia melebihi pemain Timnas Indonesia saat ini, itupun bila kemampuan dia terus diasah.

Aku tersenyum kecut, sangat ironis. Sebenarnya ratusan juta penduduk negeri ini, masih tersimpan banyak anak-anak yang berprestasi dalam segala bidang. Apabila dikumpulkan anak-anak yang berkemampuan tinggi, mungkin Indonesia menjadi negara terbaik dan terpintar bahkan mungkin bisa mengalahkan teknologi negara adidaya.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari anak-anak di lapangan bola, ternyata mereka menjerit untuk meminta tolong penduduk sekitar. Aku dan beberapa warga mendekati anak-anak tersebut dan alangkah terkejutnya diriku, bocah berkulit putih itu menjerit kesakitan sembari memegangi kakinya.

Terlihat beberapa warga desa yang menanyakan kepada anak-anak tentang kondisi bocah tersebut. Ia dirangkul oleh Pak RT. Dilihat dari kondisi wajah yang kesakitan dan tangan sang bocah yang memegangi kaki, aku langsung mengetahui bahwa kakinya terkilir.

“Maaf Pak, izinkan saya untuk memeriksa anak tersebut.” Pintaku tanpa ragu.

“Oh Mas Arkan, silahkan. Tampaknya Mas Arkan yang lebih berpengalaman.” Jawab Pak RT.

“Terima kasih, Pak.” Balasku dengan senyum.


Aku adalah seorang mantan asisten dokter, yang dikeluarkan, karena dinilai salah menangani pasien. Asisten dokter juga manusia, pasti pernah melakukan kesalahan, tetapi mengingat kesalahanku memang tak bisa diterima dan membahayakan pasien, aku dengan senang hati mengundurkan diri sebelum dikeluarkan surat pemberhentian kerja dari rumah sakit. Toh, masih banyak lowongan kerja yang membutuhkan lulusan kedokteran.

Kejadian yang dialami bocah tersebut, sangat fatal apabila tidak ditangani dalam segera. Dengan tangan sendiri, aku mencoba menekan dengan perlahan rasa sakit dari kaki bocah tersebut. Ternyata benar feeling awalku, bahwa dia hanya keseleo.

“Maaf, ada yang tahu rumah anak ini?” tanyaku pada anak-anak yang tadi bermain bola.

“Di dekat sawah, Kak.” Jawab teman bocah berkulit putih ini.

Akupun tersenyum geli mendengar panggilan Kakak dari bocah sekitar umur delapan tahunan, padahal umurku tahun ini genap tiga puluh tahun. Biarlah, memang mukaku masih terlihat muda.

“Adek bisa antarkan Kakak ke rumahnya?”

“Iya, Kak.” Jawab salah satu temannya.

“Pak RT, saya antarkan ke rumah anak ini dulu. Permisi Pak.” Pamitku kepada Pak RT.

“Terima kasih Mas Arkan, atas bantuannya.” Ramah Pak RT

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar