Senin, 08 Juli 2013

Kesoholehan Menaklukkan Sayembara Cinta

Pada suatu masa, Ada Seorang bapak yang memiliki seorang Anak perempuan yang sangat cantik dan sholehah (dan kebetulan sudah siap untuk menikah) yang rencananya ingin segera dinikahkan olehnya, namun hanya dengan pemuda Baik, Sukses yang tentunya Kaya Raya..

Sebenarnya si bapak bukanlah orang tua yang bersikap materialistis, Ia melakukan semua itu hanya untuk kebaikan Putrinya kelak.. Supaya ia tidak khawatir lagi jika Anaknya ia lepas ke tangan menantunya nanti..
Dan seolah bagaikan sebuah sayembara yang sulit ditaklukan/dimenangi, setelah sekian lama, belum ada pemuda yang berhasil membawa persyaratan yang sesuai keinginan beliau, ketika datang melamar putri satu-satunya tersebut..

Pada suatu malam (ya, bisa juga di bilang masih cukup sore hari lah.. karena jarum jam baru menunjukkan pukul 19:40, kira kira Ba’da ‘Isya’ waktu setempat) datanglah seorang pemuda sederhana dengan mengusung niat yang sama dengan pemuda lainnya yang telah mendatangi rumah itu, yakni melamar putri si tuan rumah..
“Assalamu’alaikum…?”. Ucap si pemuda sembari mengetuk pintu, sebagaimana layaknya adab (toto kromo) seorang muslim dalam bertamu.
“Wa’alaikum salam..!”, Jawab si Bapak bersamaan dengan terbukanya pintu, dan seperti sudah terbiasa.. setelah mempersilahkan si pemuda masuk dan mempersilahkannya duduk, si bapak tersebut langsung membuka pembicaraan dengan tegas dan sedikit menyudutkan tamunya..
“Ada keperluan apa kamu datang kemari anak muda..? Apa kamu juga ingin melamar anakku..?” Tanya bapak itu dengan ucapan sedikit keras, dan tanpa menanyakan dulu siapa nama tamunya tersebut.
“Maaf Tuan, nama saya Fulan.. pemuda dari desa seberang sana, dan memang benar kedatangan saya kemari ingin melamar putri Tuan”, Jawab pemuda itu secara pelan pelan namun terlihat cukup tenang bagi orang yang belum terlalu kenal dengan lawan bicaranya.
“Oo.. jadi namamu Fulan, baiklah.. tentu kamu tahu bukan..? seperti apa kriteria menantu yang aku inginkan untuk Anakku..?” jawab si Bapak sembari kembali mengajukan pertanyaan.
“Iya Tuan…” Jawab pemuda itu sangat singkat.
“Lantas, apa yang telah kamu raih dimasa mudamu ini..? atau paling tidak ya.. apa yang kamu dapat dari keluargamu? dan apa pekerjaanmu..?” Timpal si Bapak, yang mulai terdengar penasaran atau mungkin sudah tidak sabar untuk segera memutuskan..
“Sebelumnya maaf Tuan, Aku belum memiliki apa apa dan semua yang ada padaku adalah milik Alloh.. dan Alhamdulillah Orang tua saya telah memberikan yang terbaik bagi anaknya ini.. yakni perngajaran perihal agama yang terbaik.. juga cara menjalani kehidupan Dunia ini sesuai dengan aqidah dalam agama Islam yang mulia ini. sedangkan pekerjaanku hanyalah sebagai seorang kuli bangunan di sebuah proyek pembangunan milik pemerintah di desa yang jaraknya tidak terlalu jauh dari desa tempat tinggal saya, dan Alhamdulillah rejeki pemberian Alloh lewat pekerjaan tersebut, cukup untuk biaya kehidupan saya, Alhamdulilah..” Jawaban si Fulan dengan tenang, lagi-lagi cukup untuk menambah penasaran sang tuan rumah.
“Maaf anak muda..! sebelum kedatanganmu ini.. telah banyak yang pulang dengan tangan hampa, padahal mereka semua mempunya setatus ekonomi yang jauh lebih menjanjikan dari apa yang kau tawarkan ini, lalu dengan apa (jaminan) kamu akan menafkahi Anakku kelak, apabila pekerjaanmu hanya kuli bangunan..!?”. kata-kata dan pertanyaan bapak itu terdengar seolah menghakimi/menghardik keadaan dunia si Fulan.
“Maaf Tuan, saya berniat menikahi/meminang putri Tuan bukan karena saya mampu apalagi menjamin tentang nafakah putri tuan.. lagi pula kalaulah pekerjaan saya hanya kuli bangunan hingga nanti, Insya Alloh tetap mampu mencukupinya.. jika diperbolehkan, saya ingin mengingatkan tuan bahwasanya siapapun saya kelak, tetap saja saya tidak akan bisa untuk menjamin kehidupan putri Tuan, apalagi menjamin nafkah bagi putri Tuan.. sesungguhnya Alloh SWT lah yang menjamin rejeki tiap tiap makhlukNya. karenanya, mari kita serahkan urusan rejeki kepada yang Maha memiliki dan Maha memberi.. yaitu Alloh SWT Tuan.. dan ingatlah bahwa menikah juga termasuk pintu rejeki,Tuan.” Jawab pemuda itu lagi lagi dengan sebuah ketenangan yang luar biasa.
“Astaghfirulloh…!” ucap si bapak sembari menundukkan kepala, sekilas terlihat seperti seorang yang sedang dimaki oleh atasanya.
“Maafkan saya tuan, maaf jika ucapan saya telah menyinggung perasaan Anda. Saya hanya ingin berusaha untuk berbagi pandangan tentang kehidupan Dunia ini saja.. toh sejatinya, kebenaran hanya milik Alloh SWT,” ucap si Fulan mencoba meredakan situasi, karena ia mulai khawatir jika orang tua yang ada dihadapannya tidak bisa menerima jalan pikirannya.
“Apa maksudmu..!? lantas bagaimana pandanganmu tentang harta dan dunia ini..? jangan sok mengguruiku anak muda…!”. Balas sang tuan rumah keras, dan memang terlihat belum bisa menerima kebenaran yang di dengarnya.
“Begini tuan, seperti yang kita lihat bersama, Alloh menciptakan kita (manusia) semua di dunia ini dalam bentuk yang hampir sama.. terlahir dengan tanpa memiliki apa apa, bahkan juga tidak mampu berbuat apa apa selain menangis ketika itu, namun apa yang terjadi di waktu dewasanya kita yang sama-sama telah berusaha kerja untuk mencari harta Dunia? apakah kita punya harta yang sama dengan orang-orang yang terlahir bersamaan dengan kita..? tentu tidak Tuan, perbedaan rizqi yang ada pada kita itu hanyalah salah satu bukti bahwa memang Alloh lah yang mengatur Rizqi dalam hidup kita semua, sunguh masih banyak bukti yang lainnya.” Jawab si Fulan mencoba menjelaskan.
Suasana menjadi sunyi seketika saat si Fulan selesai menjelaskan, dan si tuan rumah terlihat berpikir begitu dalam.
“Baiklah Fulan, rasanya Aku mulai mengerti jalan pikiranmu.. namun bagaimana dengan Anakku..?, apa dia juga dapat kamu yakinkan dengan penjelasanmu..?, Apa ia akan merasa bahagia jika hidup dengan keterbatasan Dunia jika menikah denganmu..?” Tanya bapak itu, meski Ia mulai yakin terhadap si Fulan.. namun kini ia mulai memikirkan tentang putrinya, lebih tepatnya ia menghawatirkan akan keyakinan putrinya, ya.. meskipun ia tahu bahwa putrinya itu akan menerima apapun keputusannya.
“Tenanglah tuan, siapa pemuda di wilayah ini yang tidak tau tentang sholihahnya putri tuan? sungguh tidak ada yang lebih mudah dari pada meyakinkan perihal keyakinan dan Agama kepada orang yang taat dan mengerti dalam uruasan beragama seperti putri tuan ini..? Sedangkan untuk masalah kebahagiaan setelah pernikahan, kita bisa serahkan semua itu kepada Alloh, dan tidak mungkin saya berani menjaminnya.. namun jika memang kehidupan kami berdua kelak ditakdirkan untuk berhadapan dengan pahitnya kekurangan harta Dunia, InsyaAlloh kami akan berusaha menyelimuti kehidupan kami dengan manisnya madu keimanan dan ketaqwaan kami kepada Alloh SWT..” jawab si Fulan dengan senyum ketenangan.
Di lain pihak, calon bapak mertuanya sudah mulai terlihat semakin yakin terhadap si Fulan, yakin akan keputusannya untuk menerima lamaran yang datang kali ini.
“Baiklah nak, dengan melihat ketenanganmu dan perjuanganmu meyakinkanku seperti ini.. ada kesimpulan bahwa kamu jauh lebih layak menerima putriku daripada mereka yang kemarin-kemarin datang kesini.. jika bukan kau, mungkin yang datang dengan membawa status sebagai kuli bangunan sepertimu, bisa jadi ia akan pulang setelah pertanyaan pertama dariku.” ucap calon mertuanya itu terdengar sedikit memuji perjuangan si Fulan.
“Sungguh segala puji hanya bagi Alloh SWT. tuan.. jika tanpa pertolonganNya, niscaya kedatanganku akan bernasib sama dengan pemuda lainnya dan akan mendapat penolakan dari tuan..” sahut si Fulan terdengar menolak mentah metah pujian dari calon mertuanya itu.
“Ahahaa.. sungguh aku tidak berbohong Fulan, kau adalah orang kedua setelah putriku yang menolak pujian dariku, yaa.. meskipun pujian itu datang dariku sendiri, putriku selalu menolaknya.” Jawab si calon mertua dengan sedikit tertawa, dan sontak membuat si Fulan merasa heran.
Setelah tertawa beberapa saat, si bapak terlihat diam dan terlihat berpikir sangat dalam.. Keadaan pun menjadi hening seketika.
“Bismillah… Ini memang taqdir Alloh, Fulan…!, Dengan ini aku Abdul Lathif, memutuskan untuk menerima niat baikmu.. yakni niatmu untuk melamar putriku satu-satunya Aisyah..”. Ucap tuan rumah dengan tegas berwibawa sambil mengangkat tangan kanannya, seakan sedang mengucapkan sumpah.
“Alhamdulillah…! La haula wala quwwata illa billah…! Terima kasih tuan..” Ucap Fulan yag terlihat sangat senang kala itu.
“Tidak usah sungkan Fulan.. dengan restu dariku untukmu, maka kau boleh memanggilku Ayah mulai sekarang.” Ucap Abdul Lathif disertai sebuah senyuman keIkhlasan.
“Baik.. Ayah..!”. sambut si Fulan sembari latihan.
“Sebelumnya maaf Fulan, Aku tidak bermaksud mengusirmu… Berhubung waktu telah larut malam dan untuk menghindari fitnah, alangkah baiknya jika pertemuan kita disudah dulu sampai disini.”. Ucap tuan rumah mencoba menutup pembicaraan.
“Baiklah Ayah, sungguh aku mengerti maksud Ayah… kalau begitu aku mau pamit undur diri..”. ucap Fulan sambil menyalami tuan rumah untuk berpamitan.
“Berhati-hatilah di jalan nak.. Oiya..! jangan lupa besok bawa orang tuamu untuk datang kemari Fulan, ya.. aku memerlukannya untuk memilih hari yang tepat untuk pernikahanmu”. pinta Abdul Lathif pada calon mantunya itu.
“Baik Ayah…! InsyaAlloh besok akan aku ajak Beliau datang menemui Anda, wassalamu’alaikum.!”. Ucap Fulan sebelum meninggalkan rumah itu.
“Wa’alaikum salam waroh matulloh…!” jawab Abdul Lathif.
“Ah… sungguh sangat beruntung aku bisa memiliki mantu seperti Fulan, Dia memang bukan yang aku inginkan selama ini, ya… malahan dia jauh lebih baik..” gumam dalam hati Abdul Lathif sambil mendatangi anaknya guna memberi tahu kabar gembira tersebut.

Setelah tiba di ruangan belakang, dan bertemu putrinya, Abdul Lathif menceritakan bahwa ia telah menemukan calon terbaik untuk putrinya tersebut.
“Putriku Aisyah…!” Sapa Abdul Lathif sambil memeluk putri satu-satunya tersebut, dengan raut wajah yang amat gembira terpancar diwajahnya.
“Subhanalloh…! Apakah gerangan, yang membuat Anda terlihat begitu bahagia wahai Ayahku…?” Sambut Aisyah yang terkekejut juga sedikit heran.
“Begini putriku tercinta.. Ayah tuamu ini berhasil mendapatkan calon Imammu kelak…!”. Jawab Abdul Lathif, masih sama.. lagi lagi dengan gembira Ia menyampaikannya.
“Sungguh Ayah..? lelaki kaya raya yang manakah yang sanggup menaklukkan sayembara Tuan Abdul Lathif berserta hatinya wahai Ayahku..?”. Tanya Aisyah, yang semakin terlihat penasaran.
“Ia adalah pemuda dari Desa seberang sana Putriku.. dan Ayah yakin kamu tidak akan kecewa dengan pilihan Ayahmu ini”. Jawab Abdul Lathif, kali ini dengan raut wajah yang terlihat serius.
“Sesungguhnya Ayah… siapa pun yang Engkau pilihkan untukku, Putrimu ini akan menerimanya dengan senang hati Ayah..!, Apa lagi dengan lelaki yang Baik, Sukses dan kaya raya seperti yang Ayah Janjikan”. Ucap Aisyah, kini juga mulai terlihat serius.
“Sebelumnya.. maafkan Ayah nak.. Pemuda ini bukan dari kalangan yang ayah inginkan, tapi kemuliaan hati dan pemikirannya, mampu menaklukan dan meluluhkan kerasnya pendirian Ayahmu ini.” Jawab Abdul Lathif mencoba meyakinkan anaknya.
“Alhamdulillah…!, ternyata benar dugaanku.. Ayahku pasti tidak akan menjodohkanku dengan lelaki yang kaya Harta dunianya saja.. dan aku yakin Ayahku pasti tau mana yang terbaik untuk putrinya ini, Subhanalloh… Allohu Akbar..!”. Ucap Aisyah terdengar sangat bersyukur.
“Wah wah wah.. Ternyata benar sekali kata Fulan.. tidak ada yang lebih mudah dari pada meyakinkanmu putriku. Aisyah, Kau benar benar putri yang Sholehah..!”. Ucap Abdul Lathif teringat ucapan calon menantunya si Fulan.
“Sungguh Ayah.. Segala puji hanya bagi Alloh..!”. Sahut putrinya itu singkat, namun jelas terdengar menolak pujiannya.
“Ahahaa…!”. Abdul Lathif langsung tertawa keras, ketika mendengar ucapan putrinya tersebut.
“Kenapa Ayah malah tertawa…? Bukankah benar jika tiada yang pantas dipuji selain Alloh SWT..?” siapalah Aisyah ini Ayah..?” tanya Aisyah merasa heran.
“Maaf Putriku… maaf bila Ayah tidak sopan terhadapmu, Ayah tertawa bukan bermasksud untuk menertawaimu anakku… Ayah teringat perkataan Fulan yang sama persis dengan ucapanmu tadi. ia juga menolak pujian dariku.. dan bagiku kalian sungguh sangat cocok.” Jawab Abdul Lathif menjelaskan, namun masih terlihat sekali bahwa ia masih menahan tawa.
“Subhanalloh..! ternyata masih ada pemuda di zaman sekarang ini yang menolak pujian untuknya Ya Alloh..!, Sungguh aku sangat ingin menemuinya ya Robb.. namun dinding pembatas/pelindung antara kami masih terlihat jelas dengan belum terlaksananya pernikahan kami.”. Ucap Aisyah didalam hati.
Melihat putrinya tersenyum bahagia, Abdul Lathif pun sadar bahwa anaknya merasa senang sebagaimana dirinya yang juga senang dengan terpilihnya si Fulan.
“Sudahlah putriku.. Ayah dapat mengerti senyumanmu itu menandakan betapa bahagianya dirimu. tidurlah nak.. waktu kini telah larut malam..” pinta Abdul Lathif kepada putrinya agar cepat tidur.
“Terima kasih Ayah.. Wassalamu’alaikum..?” jawab Aisyah singkat sambil mencium tangan ayahnya. Sembari pamit menuju kamarnya.
“Baiklah, Ayah juga sudah mengantuk.. Wa’alaikum salam…!” ucap Abdul Lathif sambil melangkah menuju kamarnya.

Singkat cerita.. Hari yang dinanti pun telah tiba, Yakni hari pernikahan Fulan dengan Aisyah. Pernikahan dua insan yang Sholeh dan Sholehah itu berjalan lancar, meskipun tidak semeriah yang dulunya diinginkan Abdul Lathif.. Ya.. memang menantu yang ia dapat bukanlah dari keluarga yang mampu menyajikan pernikahan mewah.. namun Abdul Lathif sepenuhnya sadar, bahwa Fulanlah yang akan menyajikan kehidupan yang terbaik untuk putrinya. Menapaki kehidupan di dunia ini untuk menuju kebahagiaan kekal di Akhirat kelak..

Setelah semua proses pernikahan telah selesai, Fulan dan Aisyah menjalani hari-hari barunya dengan bahagia, meskipun kehidupan mereka tidak berada di dalam kehidupan yang bergelimang harta dunia, namun mereka hidup bergelimang keimanan dan ketaqwaan kepada Alloh SWT.

Sumber:  http://cerpenmu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar