Selasa, 02 Juli 2013

Menggenggam Dunia – (14) Maukah menikah denganku?

Hari demi hari kondisi Rahmat membaik dan suhu tubuhnya menurun. Kondisi Rahmat yang demikian berpeluang untuk mengikuti lomba siswa teladan tingkat Kota.

Dengan kondisi Rahmat yang sedang sakit, hubunganku dengan Ratih semakin dekat. Ratih setiap waktu selalu mengunjungi rumahku, selain menjenguk Rahmat, aku dan Ratih banyak berbincang-bincang.

Sempat iseng kubertanya pada Ratih mengenai tipe pria pendamping hidupnya. Ternyata sebagian besar aku telah memenuhi kriteria yang Ratih inginkan, kecuali satu hal yang tidak sesuai dengan diriku. Dia menginginkan orang yang sederhana dan membenci orang yang bermewah-mewahan.

Terkadang saat bekerja sebagai dokter di kota, aku masih mempunyai sifat bermewah-mewahan. Hidup di desa dengan kesederhanaan hanya sebagai selingan hidup, karena bosan dengan kemewahan. Tetapi hidup di desa ini sesungguhnya mahal, karena banyak sekali pelajaran yang kupetik dari kehidupan yang sederhana ini.

“Kak, besok Mamet sekolah ya?” pinta Rahmat

“Ya Mat, lagipula kondisimu sudah membaik. Di sekolah jangan terlalu memaksakan berpikir dan banyak istirahat ya.”

Terlihat secercah kebahagiaan pada wajah Rahmat. Aku senang melihat ia senang, berkumpul bersama teman sebaya memang membahagiakannya.

Aku teringat Ratih, perilakunya seakan memberi harapan bahwa ia akan menerimaku.

Aku sangat yakin sekali, bahwa bersamanya akan terasa bahagia. Wajahnya menentramkan hati, perilakunya meluluhkan jantungku.

“Kak Arkan?” sapa Rahmat mengagetkanku.

“Ada apa, Kak? Kok melamun?”

“Hem, tidak ada.” Singkatku.

Akhir-akhir ini aku merasa aneh, mungkin tanpa kusadari aku sering melamun. Ratih, dialah yang aku bayangkan.

Bagaimana pendapat Mamet mengenai Ratih? Lebih baik aku tanyakan, mungkin aku semakin yakin setelah mendengar ucapannya.

“Met, menurutmu Ratih bagaimana?” tanyaku.

“Bagaimana apanya?”

“Ya, apa-apanya.”

“Sifatnya?”

“Ya.”

“Baik.”

“Lalu?”

“Ramah sekali.”

“Lalu?”

“Pengertian.”

“Lalu?”

“Sopan.”

“Lalu?”

“Lintas.”

“Lintas?”

“Kak kak. Kak Arkan suka sekali sama Mba Ratih ya?”

Aku merasa malu untuk menjawab pertanyaan Rahmat, lebih baik sembunyikan saja.

“Biasa saja.”
 
“Jujur ya, Kak? Kak Arkan sama Mba Ratih cocok. Mamet setuju kalau..”

“Kalau?”

“Kalau Kak Arkan mau jujur sama Mba Ratih. Hehehe” ledek Rahmat dengan tawanya.

Rahmat sepertinya paham dengan perasaanku pada Ratih. Aku tidak bisa berbohong lagi.

“Kalau Mamet dukung Kakak, oke deh. Apa boleh buat. Sebenarnya Kakak juga suka dari pertamakali bertemu Ratih, tapi apa perasaan dia juga sama seperti Kakak?” ucapku agak malu.

“Nah gitu donk, jujur sama Mamet. Kecil-kecil, Mamet ngerti perasaan orang dewasa. Hahahah. Menurut Mamet, Mba Ratih suka sama Kak Arkan.”

Aku mengelus keras rambut Rahmat, “Wuah, bocah. Pokoknya doakan Kakakmu ini ya? Kakak nanti usahakan jujur sama Ratih.”

“Yo’i, Kak.” Ucap Rahmat dengan mengacungkan jempol untukku.

***

Tekadku sudah bulat, tekad ini harus kuutarakan pada Ratih. Dialah wanita pertama yang telah membuatku jatuh cinta.

Aku mempersiapkan semua, mulai dari baju yang kupakai, parfum, rambut yang rapih, dengan harapan bahwa orangtua Ratih mungkin merasa senang dengan penampilanku.

Baju yang kupakai yaitu kemeja coklat bergaris hingga pergelangan tangan dengan celana panjang berwarna hitam. Saat aku berkaca pada cermin di rumah, tak kusangka alangkah tampannya bayangan di balik cermin itu. Aku semakin pede untuk melamar Ratih dengan kondisiku ini.

“Kakak ganteng deh, semoga sukses ya Kak.” Ucap Rahmat tepat di belakangku.

“Makasih ya adik imut.”

Semua sudah selesai, tinggal keluar dan menuju rumah Ratih. Perasaanku semakin tercampur baur antara bahagia, cemas, dan rasa penasaran akan diterima atau tidaknya.

Aku berjalan menuju depan pintu rumah sendiri, rasanya begitu lama. Perasaan harap-harap cemas terus menjalar pada tubuhku ini.

Langkah demi langkah kuberjalan, tak seperti biasanya suara langkah ini terdengar olehku.

Akhirnya aku sampai depan pintu rumah. Perlahan kubuka pintu tersebut, seakan membuka pintu kebahagiaan atau bisa pula membuka pintu kesedihan. Rasa optimis langsung menyeruak dalam batinku, ketika angin tenang yang lembut menyibak tubuhku.

Semangat Arkan, ini hari bersejarah untukmu.

Rumah Ratih tidak jauh dari tempat aku tinggal, kira-kira sepuluh meter disamping rumahku. Tak peduli dengan suara sekitar bahkan kondisi jalan apapun, perhatian mataku tertuju pada rumah Ratih yang sudah di depan mata.

Sampai di depan rumahnya, terlihat pintu depan yang terbuka. Nyaliku seakan kropos, aku tak berani melangkah ke depan, aku tidak berani mengetuk pintu. Dengan sendiri bibirku bergetar, lidahku kaku. Pertanda apa ini, apa mungkin karena aku belum berpengalaman mengenai jatuh cinta? Apa ini karena aku masih pengecut untuk mengungkapkan cinta yang pertama kali dalam sejarah hidupku.

            Cukup! Apa yang harus kuperbuat?

            “Mas Arkan?” sapa Ratih keluar dari pintu rumah dengan sedikit terkejut.

Tak seperti biasanya ia terlihat sedih seperti menahan tangis. Mungkin hanya perasaanku saja. Ratih. Ratih. Ratih. Ya, hatiku lunak jika ada di hadapannya. Semenjak awal tekadku sudah bulat, aku harus ungkapkan itu.

“Ratih, aku, aku ingin mengatakan isi hatiku.” Ucapku gugup dihadapannya.

“Mas.” Balas ia meneteskan air mata.

“Kamu jangan menangis, aku hanya..”

“Mas, aku juga.” Ratih menangis mengucapkannya.

Apa maksudnya ‘aku juga?’ Apa dia mencintaiku juga? Baiklah ini saatnya kuungkapkan.

“Semenjak pertama kali aku bertemu denganmu, entah apa yang kurasakan. Kau adalah wanita pertama yang telah membuatku jatuh cinta. Semenjak mengenalmu, aku semakin yakin bahwa kau pantas untuk mendampingi hidupku. Aku sangat mencintaimu dan menyayangimu.” Ucapku dengan suara bergetar.

“Mas.”

“Ratih, maukah menikah denganku?”

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar