Rabu, 09 Oktober 2013

Aku bukan sebutir pasir

"DIA seperti malaikat di depan sahabat, teman, dan keluargaku. Kalimatnya menye-nangkan orang-orang yang mendengarnya, tutur bahasanya sopan. Dia selalu melakukan hal-hal yang menyenangkan orang lain, dia memeluk dan menciumku di depan umum. Semua orang menyangka kami adalah pasangan yang berbahagia.

Meskipun demikian, sahabat-sahabat kami  juga maklum dengan gaya flamboyannya, yang tidak pernah ketinggalan kata ‘sayang’, terutama pada perempuan-perempuan yang diajaknya ngobrol. Mereka hanya mengata-kan, “Yang penting, cintanya  untuk kamu, Ta.” Mereka juga maklum jika banyak perempuan yang rela meninggalkan rasa malunya untuk tetap mengajaknya kencan, meskipun dia sudah bukan pria single lagi. Seharusnya, aku berbahagia karena aku lah pilihannya.

Tapi, tidak demikian. Jika kami hanya berdua, kata-katanya sangat sering menusuk hatiku. Dia bisa seenaknya melempar mangkuk sayur  yang kubuat karena kurang garam. Atau melempar kemejanya ke wajahku jika kemejanya masih ada beberapa bagian yang kusut. Atau mengatakan, “Bodoh banget sih kamu!”  Yang paling menyakitkan, “Badan kamu kurus banget kayak papan penggilasan, bikin aku tidak nafsu sama kamu,” lalu dia membalikkan badannya membelakangi aku. Betapa sakitnya hatiku. 

Dia tidak mau mencumbuku tidaklah mengapa, tapi tidak perlu dia tambahkan kata-kata yang sangat tajam bagaikan silet. Bukankah aku sudah kurus ketika dia melamarku untuk menjadi istrinya? Kemana saja dia selama ini? Dan bagaimana aku bisa menambah lemak di tubuhku jika hatiku selalu saja merasa tidak nyaman bersamanya. Bagaimana aku bisa tertawa bahagia mendengar dia ngobrol dengan mesra dengan seorang teman perempuannya di telepon atau memuji cantik banget sih kamu hari ini pada sekretarisnya di kantornya, sementara aku di sampingnya. Aku bukan perempuan berhati dewi. Aku cuma perempuan biasa, yang selalu cemburu dan tidak dapat menerima kenyata-an bahwa dia dan aku bagaikan bumi dan langit.

Lima tahun bersamanya, mungkin hanya tahun pertama saja aku merasakan kebaha-giaan. Selebihnya, hanya hinaan dan cacian, dan kata-kata dia sudah bosan sama aku. Namun…., dia begitu manis jika ada orang lain bersama kami.
Aku tidak tahu, terbuat dari apa hatinya. Kenapa dia sangat kasar dan tak pernah menganggapku ada. Apakah aku terlalu kampungan dan tidak bisa mengikuti gaya hidupnya? Bukankah dia sudah mengenalku dan ekonomi keluargaku ketika dia menikahi-ku? Kemana saja dia selama ini?
Lima tahun cukup buatku untuk mendampinginya. Aku tidak menganggapnya ini sebagai pengorbanan. Seorang istri tidak seharusnya merasa berkorban. Apa yang kulakukan selama ini sangat ikhlas, namun ada saatnya aku harus keluar dari gua tempat aku berlindung untuk menjadi seorang yang istimewa seperti mimpiku. Aku tidak tahu, apakah aku berani menghadapi ini semua. Aku tidak ingin menjadi sebutir pasir…..

*****

DIA seorang teman sefakultas yang sangat terkenal dan digilai gadis-gadis manapun. Jangankan dari fakultasku yang kebanyakan gadis-gadis manis  dan lugu, melainkan juga dari fakultas sebelah, kedokteran gigi, yang penuh gadis menawan dan atraktif.
Bram, namanya. Jago ngeband, main basket, aktivis senat, pandai orasi, dan seabrek kepandaian lainnya, yang membuat para gadis akan antre untuk dapat kencan dengannya. Di kaca mobilnya selalu saja ada tempelan kertas yang bertuliskan, “Hai, ntar malam jadi kan ke rumahku?” Kali yang lain, “Hai Bram, kenalan dong. Aku tunggu ya jam 14.00 di kantin FKG.” Kemudian, ada juga, ”I miss u, Beib. Kapan kita kencan lagi?” Uugh, mau muntah rasanya aku membaca tulisan-tulisan itu. Kenapa sih tidak ada harga diri sama sekali? Menurutku, yang kuper ini, tidak sepantasnya para gadis mengejar laki-laki. Biar sudah mau mampus karena perasaan cinta yang berlebihan, tetap saja tidak boleh berlaku seperti itu.

Teman-teman menertawakan aku, “Denita sayang, sekarang mah sudah biasa perempuan mengekspresikan rasa yang ada di hatinya. Sama aja kayak laki-laki. Kalau tuh cowok senang juga, alhamdulillah, kalau nggak, ya cari lagi yang lain….hehe…”
Tapi, buatku, tabu untuk menyatakan lebih dulu. Mereka akan membuka kacamataku dan mengatakan, ”Tata, kalau kacamatamu dilepas dan rambut ikalmu tidak usah dike-pang terus, kamu tidak kalau lho sama Arfia.“
Arfia adalah gadis paling ngetop di angkatanku, cantik, supel, cerdas, kaya, dan segala kelebihan seorang perempuan ada pada dia. Subhanallah, begitu besar karunia Allah pada Arfia. Dan Arfia jungkir balik mengejar Bram. Bram, seperti biasa, tebar pesona. Kadang mau didekati, kadang cuek bebek. Duh, Arfia, kamu kan bisa mencari orang lain yang juga tidak kalah dengan Bram.
Di tingkat dua, aku satu kelompok dengan Bram. Maaf saja, aku tidak tertarik dengan cowok seperti dia. Biar banyak teman-teman sekelas berusaha mencari perhatiannya, aku tetap saja menjadi si kutu kuper yang selalu cum laude. Entah kenapa hatiku begitu dingin, karena aku merasa bagaikan langit dan bumi antara aku dan dia.
Bram ternyata terpesona dengan kepandaianku! Dia baru menyadari ada seorang gadis bernama Denita di kelasnya, yang tidak pernah silau dengan ketampanannya. Dan dia terus mendekatiku. Berpura-pura tidak mengerti tentang satu pelajaran, dan minta aku menjelaskan.
Saat aku menjelaskan hal-hal yang dia tidak mengerti, dia hanya memandangku dan mengatakan, “Ternyata, kamu punya mata yang sangat indah.” Aku langsung muak dan meninggalkannya. Satu saat, dia akan mengatakan, “Kamu cantik sekali ternyata. Ketika kamu berbicara, burung-burung akan diam dan semut pun berhenti berjalan beriringan untuk mendengarkan suaramu yang indah.” Di saat yang berbeda, dia pura-pura menarik tanganku, “Ya ampun, lembut sekali tanganmu, pasti hangat berada dalam genggamannya.” Setiap saat selama dua tahun, selalu ada saja yang dipujinya. Hampir tiap hari, dan tetap saja aku tidak menghiraukannya.
Tapi, suatu saat Bram kecelakaan. Dia terbaring di RS dalam waktu yang lama. Tiba-tiba, aku merasa kehilangan yang sangat. Dua tahun penuh dengan pujian tiap hari. Tiba-tiba, satu minggu ini terasa sepi.
Tidak ada yang mengejarku saat aku berlari pulang, dan mengatakan, “Denita, kamu gimana, sih? Aku udah nunggu kamu dua jam! Dua jam bukan waktu yang singkat untuk menunggu agar kamu mau aku antar pulang. Tapi, sekarang malah lari mau pulang sendiri. Kamu pikir kamu siapa? Banyak gadis lain yang ingin aku antar pulang,” teriak Bram marah.
Aku menangis mendengarnya dan berkata pelan, “So what? Aku memang bukan siapa-siapa, antar saja gadis-gadismu pulang. Aku tidak butuh antaranmu.“ Dan aku pun berlari menuju bus kota yang sudah menunggu. Aku melihat kekecewaan berpendar dari bola matamu, dari balik kaca bus kota. Aku tidak tahu, apakah ini hanya trik Bram. Sebab, kamu tidak berhasil mendapatkan sesuatu?
Dia terkulai di pembaringan di kelas VIP RS sangat elite di Ibukota. Kakinya masih ditraksi akibat patah tulang femur, karena kecelakaan motor dalam rally yang diikutinya.
Aku membezuknya sendiri, dan terharu melihat keadaannya. Maafkan aku, Bram, jika selama ini tidak bersikap baik padamu, padahal kamu selalu baik. Coklat yang sering kamu berikan, aku bagikan pada teman-teman. Bunga yang pernah kamu sisipkan di rambutku, dengan cepat aku buang karena tidak tahan dengan tawa teman-teman. Bahkan, aku tidak sanggup melihat cahaya mata Arfia yang cemburu melihatmu mendekatiku.
“Denita, tahukah kamu, kenapa aku kecelakaan?” Aku menggeleng di tepi tempat tidur. “Karena aku selalu memikirkanmu setiap saat. Aku tidak bisa menghilangkan bayanganmu dari diriku. Saat rally kemarin, tiba-tiba saja aku teringat padamu. Aku melamun, tiba-tiba motorku sudah terjungkal, dan aku tidak sadarkan diri. Tahu-tahu sudah di sini. Sialan kamu, Tata!”
Aku diam. Aku tidak tahu, apakah aku menyukainya? Tidak ada getaran yang indah. Tidak ada rasa rindu dan menantikan esok segera datang. Tidak ada suatu rasa yang membuatku ingin selalu bersamanya.
Apa yang tidak layak dari Bram? semuanya begitu sempurna di dirinya. Wajah rupawan, pandai bermain musik, aktivis kampus, juga kaya raya. Aku seperti langit dan bumi dengannya.
“ Aku ingin sekali menghabiskan waktu-waktu di hidupku bersamamu. Aku tidak pernah menemukan gadis yang punya karakter  begitu kuat seperti dirimu. Engkau tidak pernah tergoda dengan materi, padahal begitu banyak gadis materialistis di sekelilingku. Engkau tidak pernah membalas rayuan maupun godaanku. Ada apa sih dengan dirimu? Frigid banget, sih! Aku jatuh cinta tau sama kamu!”
Aku kembali diam termangu. Jatuh cinta denganku? Ada apa dengan diriku?
“Denita…,” dia mencoba meraih tanganku.
Aku memandangnya dengan haru, tapi aku tidak tahu apakah aku mempunyai rasa yang sama dengan dirinya? Kehadirannya selalu kubatasi, kupagari seluruh ruang hatiku agar aku tidak tertarik padanya. Aku tidak tahu, apakah demi seorang Arfia? Atau karena aku tidak layak untuknya? Atau karena masa lalu, masa kecilku? Suatu masa yang tidak mengenal arti mencintai dan dicintai?

*****

AKU anak pertama dari 6 bersaudara yang ditinggal pergi ayah sejak aku berusia 14 tahun. Ayah pergi meninggalkan ibu, yang katanya tidak pernah ayah cintai. Setiap bulan ayah selalu mengirimkan uang bulanan untuk kami, tapi kehadirannya tidak pernah ada.
Kehadiran jiwanya memang tidak pernah ada sejak aku kecil, saat aku  mulai bisa mengenali seorang ayah dan seorang ibu. Kehadiran fisik tidak selalu mewakili kehadiran jiwa. Aku selalu melihat kesedihan di mata dan wajah ibu. Padahal, mereka dulu menikah bukan karena paksaan seperti layaknya zaman Siti Nurbaya. Mereka menikah atas kemauan sendiri. Tapi, kata ibu, ayah lama-lama kehilangan cintanya pada ibu yang terlalu sibuk mengurusi 6 anak.
Ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa, yang tidak bisa mengambil keputusan, tidak bekerja, jarang menambah ilmu karena terlalu sibuk dengan kami anak-anaknya, dan pasrah saja ketika ayah pergi meninggalkan kami. Kadang aku mendengar tangisnya di malam sunyi, saat orang-orang terlelap, ketika ibu shalat tahajud dan menangis dalam doa kepada-Nya. Kadang aku ikut menangis di tempat tidur kami, yang aku tempati dengan tiga adikku. Dua adikku yang terkecil tidur dengan ibu.
Waktu aku belum mengerti kenapa orang dewasa menangis, aku selalu heran, kenapa bila malam tiba dan sunyi, ibu selalu menangis. Dan kenapa lama-lama ayah makin jarang pulang? Padahal, ketika dia ada pun, dia hanya asyik mengotak-atik mobil tuanya. Aku seperti tidak memiliki ayah dan hanya memiliki separuh ibu. Aku tidak menyalahkan ibu, yang sibuk mengurus adik-adikku.
Aku tumbuh besar sendiri, menyadari arti perbuatan yang salah dan benar berdasarkan hukuman di sekolah. Kalau aku dihukum, berarti aku salah. Kalau tidak ada yang menghukum aku, berarti aku benar. Tidak ada pujian, meskipun aku sering berbuat baik dan selalu juara kelas. Semuanya berjalan biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Di rumah aku menjaga dan mengajarkan adik-adikku tentang pelajaran yang tidak mereka mengerti sehingga mereka tidak perlu ikut pelajaran tambahan atau les pada guru mereka, yang akan menghabiskan uang ibu.
Kehidupanku sangat sederhana. Aku tinggal di gang kecil yang hanya masuk satu mobil. Rumah kami dan tetangga kami penuh kehangatan. Maksudnya, sangat berjejal dan berdempet-dempetan. Aku bersyukur meski-pun cinta di antara ayah dan ibu hilang, mereka tidak pernah berteriak-teriak dan saling memaki, seperti yang sering aku dengar dari tetangga-tetangga di sekitarku.
Tidak pernah ada anak laki-laki yang menggodaku, seperti mereka menggoda teman-temanku. Aku tidak cantik, semua di diriku sungguh sangat biasa. Mataku bulat, namun jarang bersinar. Tubuhku kecoklatan dan tidak halus. Aku adalah gadis yang tidak pernah percaya diri, kalau tidak mau dibilang sangat rendah diri.
Aku tidak tahu arti mencintai dan dicintai karena aku terlalu sibuk dengan belajar dan belajar. Namun, aku bertekad akan menjadi seorang perempuan yang istimewa, yang kehadiranku selalu dinantikan dan diharap-kan oleh orang-orang di sekitarku, yang selalu dirindukan oleh teman-temanku ketika aku tidak hadir.
Aku tidak mau menjadi sebutir pasir di tepi pantai, yang akan terhembus angin laut lalu hilang entah kemana. Kalaupun masih berserakan di tepi pantai, tidak ada seorang pun yang bisa membedakan sebutir pasir dari butiran pasir lainnya.
Dan aku merasa menjadi perempuan yang istimewa ketika seorang Bram melamarku. Aku merasa inilah saatnya keluar dari kese-dihanku, menemukan orang yang mencintai-ku. Meskipun aku tetap tidak merasakan rasa dan getaran yang indah bersamanya, dia adalah laki-laki pertama yang mengatakan cinta dan melamarku. Aku merasa hidupku seperti di sinetron dan dongeng, Cinderella menemukan pangerannya.
Tapi, ternyata…ini hanya awal dari penderitaan episode kedua…

*****

AKU bertemu kembali dengannya setelah 15 tahun kami berpisah. Aku yang pergi darinya, tidak ada kata cerai maupun surat cerai. Aku tidak mau seperti ibuku yang ditinggalkan ayah. Aku mempunyai harga diri dan berharap orang lain pun bisa menghargai aku.
Aku melihatnya tampak letih dan tua. Aku tidak tahu, masihkah dia mengenali aku?
Setelah pergi darinya, aku melanjutkan spesialisasi kedokteran jiwa, mungkin lebih tepatnya untuk mengobati diriku sendiri yang kadang penuh kecemasan dan paranoid. Dalam waktu 10 tahun terakhir, karierku meningkat dengan cepat. Aku, yang lebih senang mendengar daripada berbicara, rupanya disukai oleh pasien-pasienku dan keluarga pasien-pasienku. Bahkan, yang seharusnya tidak memerlukan terapiku, rela antre di luar kamar praktekku. Ternyata, begitu banyak manusia yang perlu di-support atau sekadar disugesti bahwa dia tidak seperti yang dia pikirkan, atau keluarganya tidak seperti yang dia pikirkan.
Bram terbaring di pembaringan kelas VIP, wajahnya kurus dan pucat.
Aku mendekati pembaringannya. Perjalanan panjang 12 jam melewati darat, laut, dan udara kutempuh setelah berita itu tiba.
Seorang wanita tiba-tiba mengetuk pintu rumahku, di suatu pulau nun jauh di Indone-sia timur.  Aku memilih untuk melanjutkan hidupku di Ternate karena masih ada saudara ibu yang tinggal di sana.
Perjalanan karierku lumayan pesat di sini. Aku tidak saja praktek di beberapa RS, melainkan juga menjadi dosen terbang di beberapa universitas di Indonesia timur.
Aku tidak lagi sekurus papan penggilasan. Tubuhku mulai berisi karena aku sungguh menikmati hidupku. Baru kurasakan, betapa indahnya tidak menjadi sebutir pasir.  Kini, wajahku mulai berseri dan mataku kembali tersenyum hangat. Banyak yang memuji kecantikanku dan mengatakan aku memiliki inner beauty.
Banyak pula yang mencoba melamarku, dari pejabat daerah, teman sejawat dokter, hingga beberapa laki-laki yang mapan. Aku selalu menolaknya secara halus karena aku tidak menemukan cinta itu. Aku hanya mengenang satu tahun pertama dalam pernikahanku yang kurasakan indah, saat aku mulai merasakan benih-benih cinta. Tapi, Bram kembali menghancurkannya.
Wanita yang mengetuk pintu rumahku  adalah seorang wanita cantik dan modis, namun tampak tidak berbahagia. Dia memperkenalkan diri sebagai istri terakhir Bram. Dia menikah baru empat tahun dengan Bram, setelah sebelumnya Bram tiga kali kawin dan cerai, termasuk denganku. Meski begitu, kami tidak pernah bercerai secara hukum, secara agama sudah pasti.
Bram sakit dalam dua tahun terakhir ini. Dia menderita kanker prostat. Sebulan ter-akhir kondisinya semakin parah. Dari sering marah-marah, sekarang hanya menangis dan mengeluh tiap hari.
“Dia sering memanggil namamu, dr  Deni-ta, dan menangis dalam tidurnya, lalu memo-hon maaf padamu. Aku tidak tahu di mana harus mencarimu. Bagaimanapun, dia suami-ku, meskipun kadang sikapnya menyebalkan. Aku tidak mau dia menderita  di akhir hidup-nya. Aku jarang mengurusnya, aku lebih sering bepergian dengan teman-temanku.
Suatu saat, dia menangis dan mengatakan, bahwa dia sadar, dengan petualangan panjangnya, akhirnya hanya ada satu wanita yang pernah membuatnya jatuh bangun mencintai wanita itu, namun dia tidak menjaganya dengan baik. Tidak mengajarinya untuk mencintai…..”
Aku meneteskan air mataku….
Aku teringat suratku di hari ulang tahun-nya, tahun pertama dalam pernikahan kami…

“Detik demi detik yang telah kita lewati
Detik demi detik yang kini kita jalani…
Detik demi  detik yang akan kita hadapi…
Harapku selalu penuh warna indah, merekatkan batin penuh cinta…
Ajari aku untuk mencintaimu, kekasih..”

Kemudian, masa indah itu pun berlalu, membawa luka sehingga sempat terlontar doa, “Aku tidak akan memaafkannya, sampai dia bersujud di kakiku….”
Betapa beratnya kebencian yang kubawa, betapa beratnya beban yang harus kutang-gung seumur hidupku dengan membawa dendam yang tidak selesai….
“Dia berkata, bahwa dia menikahimu bukan akibat kekasihnya selingkuh dengan temannya, tapi karena dia sungguh-sungguh mencintaimu…. Tapi, entah bisikan dari mana yang selalu membuatmu merasakan bahwa dirimu hanya pelampiasan sesaat…,” ujar wanita yang mengaku bernama Norma itu.
Dia melanjutkan, “Kamu tahu, aku mencoba mencari informasi tentang dirimu dan aku merasa mengenalmu lebih dekat. Seseorang yang kosong, menemukan cinta, namun terluka…… Betapa tragisnya hidup kalian… yang satu pergi dengan membawa luka akibat cinta…., sementara yang satunya lagi berkeliaran dari wanita satu ke wanita lain mencoba mencari cinta. Padahal, ada satu cinta yang tidak pernah dijaga dan diberi rasa…. yang terlantar, kering, dan membusuk..” Aku semakin tersedu mendengar-nya…
“Pulanglah…dan maafkanlah dia…”

*****

DAN sekarang aku di sini….
Menatapnya, yang lemah dan tidak berdaya, pucat, kurus…
Kemana wajah tampanmu yang dulu kau banggakan? Kemana tubuh gagahmu yang selalu membuat para wanita berlutut memohon cintamu. Kemana suara indah dan rayuan mautmu, yang membuat gadis-gadis terbang melayang….
Kita hanya manusia biasa, yang mempunyai waktu terbatas di dunia ini, yang hanya mempunyai satu kesempatan untuk menjadi manusia yang baik dan penuh cinta….
Aku memegang tangannya lembut. “Aku sudah memaafkanmu, kekasih…..Aku sudah ikhlas atas semua yang terjadi di antara kita….,” bisikku di telinganya.
Dia membuka matanya perlahan, ada tetesan bening di sana…..
Mata itu mengungkapkan banyak kata yang tidak terucap. Bibirnya pucat, dingin, dan beku saat kusentuh. Kami hanya saling menatap dalam diam….
Bibirnya bergerak, berusaha mengucapkan satu kalimat……, ”Maafkan aku, Denita…”

Sumber: http://botefilia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar