Hari masih terlalu pagi, ketika kulihat sebuah sedan hitam mengilap
berhenti di depan pagar rumahku. Tak lama kemudian, seorang pria tinggi
yang kukenal bernama Pak Ian, turun seraya melempar senyum lebarnya
padaku. Dengan sigap, dibukanya pintu belakang dengan kepala tertunduk
hormat.
Seorang wanita cantik turun, berbalut busana kerja
abu-abu tua. Keningku mengernyit. Sesuatu yang amat tidak biasa melihat
Mbak Laras, wanita karier supersibuk yang notabene adalah satu-satunya
kakakku, datang pagi-pagi ke rumah kami yang luasnya kurang lebih sama
dengan luas kolam renang di rumahnya sendiri. Ada urusan apa? Hatiku
bertanya-tanya.
Kulangkahkan kaki menuju pagar, menyambutnya dengan perasaan waswas.
Mbak Laras tidak mungkin datang hanya untuk bersilaturahmi. Apalagi,
pagi-pagi begini semestinya ia tengah berada dalam perjalanan menuju
kantor.
“Pagi, Mbak. Tidak ke kantor?”
Ia tak menjawabku.
Bibirnya tertekuk, menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Langkah
kakinya masuk mendahuluiku tanpa kupersilakan. Ia kemudian duduk di
kursi rotan di teras depan.
”Masuk dulu, Mbak.”
”Sudah, di
sini saja,” sahutnya, dingin. Matanya menyiratkan kegusaran yang amat
sangat. Aku pun diam dan duduk di seberangnya. Sebenarnya ingin
kutawarkan segelas teh, tapi kupikir mungkin bukan ide yang bagus untuk
saat ini.
”Kau harus ke rumah,” katanya kemudian, seperti sebuah perintah.
”Memangnya ada a....”
”Mayang...,”
ia menyelaku dengan cepat. ”Dia...,” matanya melirik kiri- kanan, lalu
volume suaranya turun sekitar delapan puluh persen. ”Dia hamil.”
Deg! Aku tersentak. Hamil? Mayang?
Mbak
Laras mengangguk, seakan menepiskan keraguanku. ”Sudah seminggu ini dia
muntah-muntah. Aku ajak ke dokter dia tidak mau. Kadang-kadang dia
tidak mau makan sama sekali. Beginilah kalau anak gadis terlalu liar.
Aku sudah lelah mengurusi anak itu.”
”Tapi, Mbak...,” aku
ikut-ikutan berbisik. ”Apakah Mbak sudah yakin bahwa Mayang hamil.
Maksudku, kalau tidak mau ke dokter, setidaknya bisa pakai test-pack.”
”Itulah mengapa kau kusuruh ke rumah!” ujarnya, ketus.
Dibetulkannya
letak kacamatanya yang sedikit melorot turun pada hidung bangirnya.
Seandainya ia mau bersikap ramah, aku pasti tak segan-segan memberi
nilai sepuluh untuk kecantikan wanita ini.
”Mungkin besok, Mbak. Hari ini aku harus mengajar. Lagi pula, ada pertemuan guru.”
”Kau
bisa langsung mampir setelah urusan itu, ’kan?” Mbak Laras terdengar
makin tak sabar. ”Persoalan ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Cari
tahu siapa yang menghamilinya, setelah itu aku akan urus pernikahannya.
Jangan sampai orang-orang tahu.”
Aku manggut-manggut, pura-pura
mengerti. Meski beribu pertanyaan mendesak di kepalaku, aku tahu pasti
bahwa tak ada gunanya berpanjang kata dengan wanita yang satu ini.
Percuma. Ia terlahir untuk selalu menang. Dan, aku terlahir untuk
terpaksa mengalah.
Dibukanya tas dan dikeluarkannya lima lembar
uang seratus ribu. Dengan cepat aku menggeleng. Walaupun aku termasuk
pencinta uang, entah mengapa aku benci tiap kali harus menerima uang
darinya. Hal itu membuatku merasa sebagai orang termiskin di dunia.
”Buat ongkos taksi,” lagi-lagi Mbak Laras bersikeras. ”Kalau kau tak mau, buat Hauzan saja. Beli susu.”
Aku
diam. Ia tahu aku tak suka, tapi ia tak pernah mau memahamiku. Uang itu
disimpannya di atas meja, sebelum ia beranjak menuju mobil. Pak Ian
sudah siap membukakan pintu untuk sang permaisuri yang melenggang dengan
angkuh. Bahkan, ia tak pamit padaku, si empunya rumah. Tak ada cium
pipi kiri dan kanan. Tak ada senyum menyungging di bibirnya yang indah.
Tak ada basa-basi.
Aku melambai, tepatnya pada Pak Ian yang terlihat amat ikhlas melempar
senyumnya. Hampir sepuluh tahun pria penyabar itu kukenal, dan
sepertinya lebih banyak keramahan yang ia berikan padaku dibanding Mbak
Laras yang telah kukenal seumur hidupku.
Tapi, itulah hidup.
Terkadang menawarkan kenyataan yang jauh dari harapan. Aku telah
bertahun-tahun belajar untuk hidup dengan mencintai kenyataan, betapapun
pahitnya.
Lahir sebagai anak tengah, tak pernah memberikan
kebahagiaan bagiku. Aku selalu jadi kacung bagi kakakku, pengasuh bagi
adikku satu-satunya, Mayang. Sejak kecil, aku asisten Ibu di dapur,
tangan kanan Bapak di kebun, dan malam hari pun tak jarang aku begadang
mengurusi Mayang yang masih kecil.
Mbak Laras biasanya mendekam
di kamar dengan pelajaran sekolahnya. Ia memang yang paling pintar di
antara kami. Karena kepintarannya, Ibu memperlakukannya bak mutiara.
Wanita pintar, menurut Ibu, tak perlu tahu urusan masak dan cuci piring.
Kalau pintar, pasti akan mudah mendapatkan uang. Kalau sudah punya
banyak uang, tinggal mencari pembantu untuk mengurusi tetek bengek yang
tak perlu.
Dan... terkadang aku menempatkan diriku sebagai
pembantu. Aku sebenarnya tak sebodoh yang Ibu bayangkan. Nilai-nilaiku
selalu unggul dalam pelajaran sosial, tapi memang sering keteteran pada
ilmu-ilmu hitung dan pasti. Tapi, itu karena aku sering tak punya waktu
belajar. Waktuku habis tersita untuk membantu Ibu. Terkadang, beliau tak
mengizinkanku pergi sekolah, jika si kecil Mayang sakit. Aku harus
menungguinya sepanjang hari, mencuci popoknya, menyiapkan susunya,
menggendongnya bila menangis, sementara Ibu ke pasar menjual kue-kue
basah dan pulang menjelang siang.
Ibu memang pandai membuat kue.
Untuk menambah penghasilan keluarga yang hanya bergantung pada
penghasilan Bapak sebagai guru sekolah dasar, Ibu tiap hari membuat
kue-kue yang dititipkan di warung Mak Ida dan pergi berjualan kue di
pasar dua kali seminggu. Sesekali, saat hari pasar bertepatan dengan
hari libur sekolah, aku ikut Ibu sambil menggendong Mayang selama di
perjalanan.
Tapi, tak sekali pun aku pernah melihat Mbak Laras
pergi ke pasar tempat Ibu berjualan atau sekadar membantu Ibu menyiapkan
kue-kue basah yang akan dijual. Padahal, kutahu pasti bahwa Mbak
Laras-lah yang paling banyak menikmati uang hasil jualan Ibu, yang
sering diselipkan ke tas sekolah Mbak Laras secara sembunyi-sembunyi,
karena takut ketahuan Bapak.
Karenanya, walau hidup kami
terbilang cukup prihatin, Mbak Laras selalu punya uang jajan yang cukup
besar untuk ukuran anak guru sekolah dasar. Ia punya jepitan
warna-warni, bando dan ikat rambut bermacam warna, sepasang sepatu
pantofel kulit dan sepasang sepatu olahraga (yang semuanya dibeli dalam
keadaan baru), dua buah tas sekolah hingga bisa dipakai bergantian, dan
barang-barang ’mewah’ lain, yang tak pernah bisa kumiliki, sampai Mbak
Laras memiliki barang baru dan akhirnya membuatnya terpaksa mewariskan
barang lamanya kepadaku.
Sepatuku, bertahan selama dua tahun,
yang depannya sudah menganga mirip buaya kelaparan, tak juga menggugah
hati Ibu untuk membelikanku sepasang sepatu baru yang seharusnya
merupakan hakku sebagai upah dari mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di
rumah setiap harinya. Bapaklah yang berinisiatif membawaku ke kota
membeli sepatu baru dari hasil memecahkan celengan ayam yang
bertahun-tahun beliau simpan di atas lemari pakaian, meski dari
pandangan mata Ibu, aku tahu betul bahwa Ibu sama sekali tak rela.
Di
sadel belakang sepeda Bapak, aku duduk dengan berlinangan air mata
sepanjang jalan menuju ke kota. Kupeluk pinggang Bapak erat-erat,
sementara hatiku perih memikirkan betapa Ibu tak mencintaiku dan terharu
betapa Bapak telah berusaha keras berbuat adil bagi kami, anak-anaknya.
Dalam hati aku bertekad, suatu hari nanti aku takkan pernah miskin lagi
dan akan kubalas segala kebaikan Bapak padaku.
Sumber: http://www.femina.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar