Minggu, 19 Mei 2013

Ikhlas [1]

Hari masih terlalu pagi, ketika kulihat sebuah sedan hitam mengilap berhenti di depan pagar rumahku. Tak lama kemudian, seorang pria tinggi yang kukenal bernama Pak Ian, turun seraya melempar senyum lebarnya padaku. Dengan sigap, dibukanya pintu belakang dengan kepala tertunduk hormat.

Seorang wanita cantik turun, berbalut busana kerja abu-abu tua. Keningku mengernyit. Sesuatu yang amat tidak biasa melihat Mbak Laras, wanita karier supersibuk yang notabene adalah satu-satunya kakakku, datang pagi-pagi ke rumah kami yang luasnya kurang lebih sama dengan luas kolam renang di rumahnya sendiri. Ada urusan apa? Hatiku bertanya-tanya.

Kulangkahkan kaki menuju pagar, menyambutnya dengan perasaan waswas. Mbak Laras tidak mungkin datang hanya untuk bersilaturahmi. Apalagi, pagi-pagi begini semestinya ia tengah berada dalam perjalanan menuju kantor.

“Pagi, Mbak. Tidak ke kantor?”

Ia tak menjawabku. Bibirnya tertekuk, menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Langkah kakinya masuk mendahuluiku tanpa kupersilakan. Ia kemudian duduk di kursi rotan di teras depan.

”Masuk dulu, Mbak.”

”Sudah, di sini saja,” sahutnya, dingin. Matanya menyiratkan kegusaran yang amat sangat. Aku pun diam dan duduk di seberangnya. Sebenarnya ingin kutawarkan segelas teh, tapi kupikir mungkin bukan ide yang bagus untuk saat ini.

”Kau harus ke rumah,” katanya kemudian, seperti sebuah perintah.

”Memangnya ada a....”

”Mayang...,” ia menyelaku dengan cepat. ”Dia...,” matanya melirik kiri- kanan, lalu volume suaranya turun sekitar delapan puluh persen. ”Dia hamil.”

Deg! Aku tersentak. Hamil? Mayang?

Mbak Laras mengangguk, seakan menepiskan keraguanku. ”Sudah seminggu ini dia muntah-muntah. Aku ajak ke dokter dia tidak mau. Kadang-kadang dia tidak mau makan sama sekali. Beginilah kalau anak gadis terlalu liar. Aku sudah lelah mengurusi anak itu.”

”Tapi, Mbak...,” aku ikut-ikutan berbisik. ”Apakah Mbak sudah yakin bahwa Mayang hamil. Maksudku, kalau tidak mau ke dokter, setidaknya bisa pakai test-pack.”

”Itulah mengapa kau kusuruh ke rumah!” ujarnya, ketus.

Dibetulkannya letak kacamatanya yang sedikit melorot turun pada hidung bangirnya. Seandainya ia mau bersikap ramah, aku pasti tak segan-segan memberi nilai sepuluh untuk kecantikan wanita ini.

”Mungkin besok, Mbak. Hari ini aku harus mengajar. Lagi pula, ada pertemuan guru.”

”Kau bisa langsung mampir setelah urusan itu, ’kan?” Mbak Laras terdengar makin tak sabar. ”Persoalan ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Cari tahu siapa yang menghamilinya, setelah itu aku akan urus pernikahannya. Jangan sampai orang-orang tahu.”

Aku manggut-manggut, pura-pura mengerti. Meski beribu pertanyaan mendesak di kepalaku, aku tahu pasti bahwa tak ada gunanya berpanjang kata dengan wanita yang satu ini. Percuma. Ia terlahir untuk selalu menang. Dan, aku terlahir untuk terpaksa mengalah.

Dibukanya tas dan dikeluarkannya lima lembar uang seratus ribu. Dengan cepat aku menggeleng. Walaupun aku termasuk pencinta uang, entah mengapa aku benci tiap kali harus menerima uang darinya. Hal itu membuatku merasa sebagai orang termiskin di dunia.

”Buat ongkos taksi,” lagi-lagi Mbak Laras bersikeras. ”Kalau kau tak mau, buat Hauzan saja. Beli susu.”

Aku diam. Ia tahu aku tak suka, tapi ia tak pernah mau memahamiku. Uang itu disimpannya di atas meja, sebelum ia beranjak menuju mobil. Pak Ian sudah siap membukakan pintu untuk sang permaisuri yang melenggang dengan angkuh. Bahkan, ia tak pamit padaku, si empunya rumah. Tak ada cium pipi kiri dan kanan. Tak ada senyum menyungging di bibirnya yang indah. Tak ada basa-basi.

Aku melambai, tepatnya pada Pak Ian yang terlihat amat ikhlas melempar senyumnya. Hampir sepuluh tahun pria penyabar itu kukenal, dan sepertinya lebih banyak keramahan yang ia berikan padaku dibanding Mbak Laras yang telah kukenal seumur hidupku.

Tapi, itulah hidup. Terkadang menawarkan kenyataan yang jauh dari harapan. Aku telah bertahun-tahun belajar untuk hidup dengan mencintai kenyataan, betapapun pahitnya.

Lahir sebagai anak tengah, tak pernah memberikan kebahagiaan bagiku. Aku selalu jadi kacung bagi kakakku, pengasuh bagi adikku satu-satunya, Mayang. Sejak kecil, aku asisten Ibu di dapur, tangan kanan Bapak di kebun, dan malam hari pun tak jarang aku begadang mengurusi Mayang yang masih kecil.

Mbak Laras biasanya mendekam di kamar dengan pelajaran sekolahnya. Ia memang yang paling pintar di antara kami. Karena kepintarannya, Ibu memperlakukannya bak mutiara. Wanita pintar, menurut Ibu, tak perlu tahu urusan masak dan cuci piring. Kalau pintar, pasti akan mudah mendapatkan uang. Kalau sudah punya banyak uang, tinggal mencari pembantu untuk mengurusi tetek bengek yang tak perlu.

Dan... terkadang aku menempatkan diriku sebagai pembantu. Aku sebenarnya tak sebodoh yang Ibu bayangkan. Nilai-nilaiku selalu unggul dalam pelajaran sosial, tapi memang sering keteteran pada ilmu-ilmu hitung dan pasti. Tapi, itu karena aku sering tak punya waktu belajar. Waktuku habis tersita untuk membantu Ibu. Terkadang, beliau tak mengizinkanku pergi sekolah, jika si kecil Mayang sakit. Aku harus menungguinya sepanjang hari, mencuci popoknya, menyiapkan susunya, menggendongnya bila menangis, sementara Ibu ke pasar menjual kue-kue basah dan pulang menjelang siang.

Ibu memang pandai membuat kue. Untuk menambah penghasilan keluarga yang hanya bergantung pada penghasilan Bapak sebagai guru sekolah dasar, Ibu tiap hari membuat kue-kue yang dititipkan di warung Mak Ida dan pergi berjualan kue di pasar dua kali seminggu. Sesekali, saat hari pasar bertepatan dengan hari libur sekolah, aku ikut Ibu sambil menggendong Mayang selama di perjalanan.

Tapi, tak sekali pun aku pernah melihat Mbak Laras pergi ke pasar tempat Ibu berjualan atau sekadar membantu Ibu menyiapkan kue-kue basah yang akan dijual. Padahal, kutahu pasti bahwa Mbak Laras-lah yang paling banyak menikmati uang hasil jualan Ibu, yang sering diselipkan ke tas sekolah Mbak Laras secara sembunyi-sembunyi, karena takut ketahuan Bapak.

Karenanya, walau hidup kami terbilang cukup prihatin, Mbak Laras selalu punya uang jajan yang cukup besar untuk ukuran anak guru sekolah dasar. Ia punya jepitan warna-warni, bando dan ikat rambut bermacam warna, sepasang sepatu pantofel kulit dan sepasang sepatu olahraga (yang semuanya dibeli dalam keadaan baru), dua buah tas sekolah hingga bisa dipakai bergantian, dan barang-barang ’mewah’ lain, yang tak pernah bisa kumiliki, sampai Mbak Laras memiliki barang baru dan akhirnya membuatnya terpaksa mewariskan barang lamanya kepadaku.

Sepatuku, bertahan selama dua tahun, yang depannya sudah menganga mirip buaya kelaparan, tak juga menggugah hati Ibu untuk membelikanku sepasang sepatu baru yang seharusnya merupakan hakku sebagai upah dari mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah setiap harinya. Bapaklah yang berinisiatif membawaku ke kota membeli sepatu baru dari hasil memecahkan celengan ayam yang bertahun-tahun beliau simpan di atas lemari pakaian, meski dari pandangan mata Ibu, aku tahu betul bahwa Ibu sama sekali tak rela.

Di sadel belakang sepeda Bapak, aku duduk dengan berlinangan air mata sepanjang jalan menuju ke kota. Kupeluk pinggang Bapak erat-erat, sementara hatiku perih memikirkan betapa Ibu tak mencintaiku dan terharu betapa Bapak telah berusaha keras berbuat adil bagi kami, anak-anaknya. Dalam hati aku bertekad, suatu hari nanti aku takkan pernah miskin lagi dan akan kubalas segala kebaikan Bapak padaku.


Sumber: http://www.femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar