Minggu, 19 Mei 2013

Ikhlas [2]

Sayang, harapanku untuk membalas kebaikan Bapak tak pernah bisa terwujud. Beliau meninggal dalam kecelakaan bus, saat hendak pulang kampung menengok Nenek yang sakit keras. Umurku baru lima belas tahun saat itu. Aku betul-betul kehilangan sosok yang selama ini menguatkanku.

Ya, Bapaklah pelipur laraku. Saat aku lelah dengan beban pekerjaan yang diberikan Ibu. Tak jarang Bapak ikut membantuku. Baik itu memasak di dapur, mencuci piring, sampai membantu mengerjakan tugas-tugas sekolahku, yang terkadang baru sempat kukerjakan setelah salat subuh, sesaat sebelum aku berangkat ke sekolah. Bapak sering memprotes Ibu yang menyuruhku menimba air sumur setiap kali Tuan Putri Laras akan mandi.

Tapi, seperti aku, Bapak pun terlahir untuk terpaksa mengalah. Omelan Ibu tak pernah bisa tuntas dilawan. Makin kami diam, makin baik pula jadinya. Walaupun miskin, kami risi jika melihat tetangga berkumpul di depan rumah gara-gara mendengar omelan Ibu yang panjang lebar, pedas, dan terkadang ngawur.

Kepergian Bapak membuatku makin pasrah menghadapi hidup. Beban Ibu yang makin berat karena ketiadaan Bapak, tak ingin kutambah hanya karena aku merasa tak diperlakukan sama dengan kedua saudaraku yang lain. Biarlah Ibu tak mencintaiku. Yang selalu kuingat dari nasihat guru agamaku di sekolah dasar adalah setelah Allah, orang tua adalah makhluk yang paling harus dihormati dan dihargai. Aku yakin, berbuat baik pada Ibu kurang lebih sama dengan menyenangkan hati Bapak di surga sana.

Aku lalu hampir berhenti sekolah sewaktu di sekolah menengah atas. Ibu menegaskan, beliau tak mampu lagi membiayai kami bertiga. Karenanya, harus ada yang mengalah. Menurut pertimbangan, akulah yang paling berpengalaman meneruskan usaha kue Ibu, sementara Mbak Laras meneruskan kuliah karena ia yang paling pintar di antara kami. Si kecil Mayang terlalu muda untuk putus sekolah. Aku pasrah. Sepertinya, atas hidupku memang hanya Ibulah yang berhak memutuskan.

Sampai akhirnya datang pertolongan Tuhan, yang sebenarnya tak pernah berani kuminta, bahkan dalam doa sekalipun. Pak Lik Aji, satu-satunya adik almarhum Bapak, datang dari kota dan membiayai sekolah kami bertiga hingga tamat kuliah. Wajah Ibu bukan main berseri-seri, apalagi aku. Tapi, kemudian beliau berkata dengan sungguh-sungguh, bahwa aku tak pantas jadi sarjana. Otakku pas-pasan dan aku hanya pandai membuat kue. Aku pantasnya hanya tamat SMA dan menikah saja setelahnya, jika ingin hidupku bahagia.

Sejak itu, aku mulai meyakini bahwa sebenarnya mungkin aku bukanlah anak kandung Ibu. Selain dari perlakuan Ibu yang amat berbeda padaku, aku juga tak mirip Mbak Laras ataupun Mayang. Mereka terlahir jelita bak bidadari, sedangkan aku, meskipun tak jelek-jelek amat, nilai yang pantas untuk tampangku menurutku hanya tujuh lebih sedikit. Aku tak luwes layaknya seorang wanita tulen. Jari tanganku kasar karena terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah dan aku tak pandai berdandan. Satu-satunya orang yang pernah memujiku hanya Bapak.

Tapi, pikiran itu segera kuenyahkan jauh-jauh. Di tengah kepiluanku sebagai anak yang tak dicintai, aku yakin aku akan menemukan orang-orang yang mencintaiku kelak di luar sana, seperti almarhum Bapak. Kuselesaikan SMA dengan belajar tekun hingga lulus dengan nilai mencengangkan, yang lagi-lagi, menurut ibuku, adalah suatu kebetulan semata. Aku melanjutkan kuliah di jurusan bahasa sembari bekerja, agar tak terlalu jadi beban bagi Pak Lik Aji. Kini aku berhasil menjadi guru bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah swasta ternama dan aku amat yakin Bapak tengah tersenyum bangga melihatku dari atas sana.

Mbak Laras sendiri berhasil memperoleh beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Bukan main bangganya Ibu saat itu. Tak putus-putusnya kabar tersebut diulang-ulang setiap kali ada keluarga atau tetangga yang ditemuinya di mana saja. Ibu pun makin bangga, karena setelahnya, Mbak Laras dilamar oleh seorang pria tampan dan kaya. Berakhirlah kisah sedih seorang janda penjual kue basah saat itu juga. Ibu dan Mayang ikut diboyong ke rumah besar hadiah mertua Mbak Laras di sebuah permukiman elite.

Bukan cuma mereka yang bahagia, aku pun mulai kenal dengan Mas Endi, seniorku di kampus. Tetapi, keseriusanku dalam studi menghalangiku untuk menerima tawarannya untuk jadi kekasih. Tiga tahun lebih, aku membiarkannya menunggu. Aku sendiri tak yakin, aku wanita yang memiliki tampang pas-pasan dan rasa percaya diri yang amat kurang, pantas untuk mendampinginya. Ia cukup tampan dan populer di kalangan gadis kampus. Pernyataannya tentang perasaan cintanya padaku, terdengar seperti sebuah ejekan yang biasa dilemparkan Ibu kepadaku. Aku si itik buruk rupa tak sanggup bermimpi punya kekasih setampan dan sebaik Mas Endi. Walau, jauh di lubuk hatiku, aku sadar aku telah jatuh cinta pada pria itu, pada pandangan pertama.

Ternyata, aku itik buruk rupa yang beruntung. Tiga tahun lebih Mas Endi setia menungguku. Kami tak pernah berpacaran. Kami hanya pernah pergi nonton sekali, itu pun saat ulang tahunku dan aku tak bisa menolak ajakannya. Ia tak pernah menyentuh tanganku sekali pun, sampai akhirnya tanpa kuketahui sama sekali, di hari aku merayakan kelulusanku, ia dan orang tuanya datang melamarku di hadapan Pak Lik dan Ibu.

Seperti biasa, Ibu meragukan setiap hal baik yang datang dalam hidupku. Beliau bahkan mencurigai ada sesuatu yang telah terjadi di balik hubungan kami. Beliau menuduhku hamil. Aku menangis berhari-hari. Orang tua Mas Endi telah pulang dengan tersinggung. Mas Endi masih setia menemuiku, tapi ia mengatakan dengan amat berat bahwa akan butuh waktu untuk bisa memperbaiki kesalahpahaman orang tuanya.

Sekali lagi aku kecewa pernah memiliki ibu seperti ibuku. Aku akhirnya menenggelamkan diri dengan kegiatanku mengajar, hingga setahun berlalu dan tuduhan Ibu tak terbukti benar.

Pak Liklah penolongku pada akhirnya. Hampir seperti mendiang Bapak, ia amat memahami diriku, meskipun kami jarang sekali bercakap dari hati ke hati. Setiap kali aku menerima gaji, kukirim gajiku ke rekening Pak Lik. Kuserahkan semuanya, utuh, sebagai tanda terima kasihku atas semua kebaikan beliau, meski kutahu harga yang harus kubayar masih jauh dari itu. Yang kuingat, keesokan paginya, uang itu dikirim kembali ke rekeningku.

Tanpa kuduga sama sekali, Pak Lik bersama istrinya kemudian diam-diam pergi bertemu orang tua Mas Endi dan meminta maaf atas kejadian setahun yang lalu yang disebabkan oleh Ibu. Akhirnya mereka mengerti dan amat terharu melihat Mas Endi yang sabar menunggu restu dari mereka untuk akhirnya bisa menikahiku.

Kami pun menikah, masih dalam cibiran Ibu, bahwa aku takkan bisa hidup sebahagia Mbak Laras yang bersuamikan anak konglomerat dan kini telah punya perusahaan sendiri. Tapi, aku tak peduli lagi. Aku telah menemukan tambatan hatiku. Aku pun telah memiliki Pak Lik sebagai pengganti sosok orang tua yang kuimpikan, dan sepasang mertua yang amat sangat menyayangiku.

Sumber:  http://www.femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar