Sayang, harapanku untuk membalas kebaikan Bapak tak pernah bisa
terwujud. Beliau meninggal dalam kecelakaan bus, saat hendak pulang
kampung menengok Nenek yang sakit keras. Umurku baru lima belas tahun
saat itu. Aku betul-betul kehilangan sosok yang selama ini menguatkanku.
Ya, Bapaklah pelipur laraku. Saat aku lelah dengan beban pekerjaan yang
diberikan Ibu. Tak jarang Bapak ikut membantuku. Baik itu memasak di
dapur, mencuci piring, sampai membantu mengerjakan tugas-tugas
sekolahku, yang terkadang baru sempat kukerjakan setelah salat subuh,
sesaat sebelum aku berangkat ke sekolah. Bapak sering memprotes Ibu yang
menyuruhku menimba air sumur setiap kali Tuan Putri Laras akan mandi.
Tapi, seperti aku, Bapak pun terlahir untuk terpaksa mengalah. Omelan
Ibu tak pernah bisa tuntas dilawan. Makin kami diam, makin baik pula
jadinya. Walaupun miskin, kami risi jika melihat tetangga berkumpul di
depan rumah gara-gara mendengar omelan Ibu yang panjang lebar, pedas,
dan terkadang ngawur.
Kepergian Bapak membuatku makin pasrah menghadapi hidup. Beban Ibu yang
makin berat karena ketiadaan Bapak, tak ingin kutambah hanya karena aku
merasa tak diperlakukan sama dengan kedua saudaraku yang lain. Biarlah
Ibu tak mencintaiku. Yang selalu kuingat dari nasihat guru agamaku di
sekolah dasar adalah setelah Allah, orang tua adalah makhluk yang paling
harus dihormati dan dihargai. Aku yakin, berbuat baik pada Ibu kurang
lebih sama dengan menyenangkan hati Bapak di surga sana.
Aku
lalu hampir berhenti sekolah sewaktu di sekolah menengah atas. Ibu
menegaskan, beliau tak mampu lagi membiayai kami bertiga. Karenanya,
harus ada yang mengalah. Menurut pertimbangan, akulah yang paling
berpengalaman meneruskan usaha kue Ibu, sementara Mbak Laras meneruskan
kuliah karena ia yang paling pintar di antara kami. Si kecil Mayang
terlalu muda untuk putus sekolah. Aku pasrah. Sepertinya, atas hidupku
memang hanya Ibulah yang berhak memutuskan.
Sampai akhirnya datang pertolongan Tuhan, yang sebenarnya tak pernah
berani kuminta, bahkan dalam doa sekalipun. Pak Lik Aji, satu-satunya
adik almarhum Bapak, datang dari kota dan membiayai sekolah kami bertiga
hingga tamat kuliah. Wajah Ibu bukan main berseri-seri, apalagi aku.
Tapi, kemudian beliau berkata dengan sungguh-sungguh, bahwa aku tak
pantas jadi sarjana. Otakku pas-pasan dan aku hanya pandai membuat kue.
Aku pantasnya hanya tamat SMA dan menikah saja setelahnya, jika ingin
hidupku bahagia.
Sejak itu, aku mulai meyakini bahwa sebenarnya
mungkin aku bukanlah anak kandung Ibu. Selain dari perlakuan Ibu yang
amat berbeda padaku, aku juga tak mirip Mbak Laras ataupun Mayang.
Mereka terlahir jelita bak bidadari, sedangkan aku, meskipun tak
jelek-jelek amat, nilai yang pantas untuk tampangku menurutku hanya
tujuh lebih sedikit. Aku tak luwes layaknya seorang wanita tulen. Jari
tanganku kasar karena terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah dan aku tak
pandai berdandan. Satu-satunya orang yang pernah memujiku hanya Bapak.
Tapi,
pikiran itu segera kuenyahkan jauh-jauh. Di tengah kepiluanku sebagai
anak yang tak dicintai, aku yakin aku akan menemukan orang-orang yang
mencintaiku kelak di luar sana, seperti almarhum Bapak. Kuselesaikan SMA
dengan belajar tekun hingga lulus dengan nilai mencengangkan, yang
lagi-lagi, menurut ibuku, adalah suatu kebetulan semata. Aku melanjutkan
kuliah di jurusan bahasa sembari bekerja, agar tak terlalu jadi beban
bagi Pak Lik Aji. Kini aku berhasil menjadi guru bahasa Inggris di
sebuah sekolah menengah swasta ternama dan aku amat yakin Bapak tengah
tersenyum bangga melihatku dari atas sana.
Mbak Laras sendiri
berhasil memperoleh beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Bukan main
bangganya Ibu saat itu. Tak putus-putusnya kabar tersebut diulang-ulang
setiap kali ada keluarga atau tetangga yang ditemuinya di mana saja. Ibu
pun makin bangga, karena setelahnya, Mbak Laras dilamar oleh seorang
pria tampan dan kaya. Berakhirlah kisah sedih seorang janda penjual kue
basah saat itu juga. Ibu dan Mayang ikut diboyong ke rumah besar hadiah
mertua Mbak Laras di sebuah permukiman elite.
Bukan cuma mereka
yang bahagia, aku pun mulai kenal dengan Mas Endi, seniorku di kampus.
Tetapi, keseriusanku dalam studi menghalangiku untuk menerima tawarannya
untuk jadi kekasih. Tiga tahun lebih, aku membiarkannya menunggu. Aku
sendiri tak yakin, aku wanita yang memiliki tampang pas-pasan dan rasa
percaya diri yang amat kurang, pantas untuk mendampinginya. Ia cukup
tampan dan populer di kalangan gadis kampus. Pernyataannya tentang
perasaan cintanya padaku, terdengar seperti sebuah ejekan yang biasa
dilemparkan Ibu kepadaku. Aku si itik buruk rupa tak sanggup bermimpi
punya kekasih setampan dan sebaik Mas Endi. Walau, jauh di lubuk hatiku,
aku sadar aku telah jatuh cinta pada pria itu, pada pandangan pertama.
Ternyata,
aku itik buruk rupa yang beruntung. Tiga tahun lebih Mas Endi setia
menungguku. Kami tak pernah berpacaran. Kami hanya pernah pergi nonton
sekali, itu pun saat ulang tahunku dan aku tak bisa menolak ajakannya.
Ia tak pernah menyentuh tanganku sekali pun, sampai akhirnya tanpa
kuketahui sama sekali, di hari aku merayakan kelulusanku, ia dan orang
tuanya datang melamarku di hadapan Pak Lik dan Ibu.
Seperti
biasa, Ibu meragukan setiap hal baik yang datang dalam hidupku. Beliau
bahkan mencurigai ada sesuatu yang telah terjadi di balik hubungan kami.
Beliau menuduhku hamil. Aku menangis berhari-hari. Orang tua Mas Endi
telah pulang dengan tersinggung. Mas Endi masih setia menemuiku, tapi ia
mengatakan dengan amat berat bahwa akan butuh waktu untuk bisa
memperbaiki kesalahpahaman orang tuanya.
Sekali lagi aku kecewa
pernah memiliki ibu seperti ibuku. Aku akhirnya menenggelamkan diri
dengan kegiatanku mengajar, hingga setahun berlalu dan tuduhan Ibu tak
terbukti benar.
Pak Liklah penolongku pada akhirnya. Hampir
seperti mendiang Bapak, ia amat memahami diriku, meskipun kami jarang
sekali bercakap dari hati ke hati. Setiap kali aku menerima gaji,
kukirim gajiku ke rekening Pak Lik. Kuserahkan semuanya, utuh, sebagai
tanda terima kasihku atas semua kebaikan beliau, meski kutahu harga yang
harus kubayar masih jauh dari itu. Yang kuingat, keesokan paginya, uang
itu dikirim kembali ke rekeningku.
Tanpa kuduga sama sekali,
Pak Lik bersama istrinya kemudian diam-diam pergi bertemu orang tua Mas
Endi dan meminta maaf atas kejadian setahun yang lalu yang disebabkan
oleh Ibu. Akhirnya mereka mengerti dan amat terharu melihat Mas Endi
yang sabar menunggu restu dari mereka untuk akhirnya bisa menikahiku.
Kami
pun menikah, masih dalam cibiran Ibu, bahwa aku takkan bisa hidup
sebahagia Mbak Laras yang bersuamikan anak konglomerat dan kini telah
punya perusahaan sendiri. Tapi, aku tak peduli lagi. Aku telah menemukan
tambatan hatiku. Aku pun telah memiliki Pak Lik sebagai pengganti sosok
orang tua yang kuimpikan, dan sepasang mertua yang amat sangat
menyayangiku.
Sumber: http://www.femina.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar