”Tidak bisa. Aku ini ditipu! Semuanya sudah diatur dan aku ditipu oleh
mereka. Mayang itu sudah hamil duluan!” seru Indra, tak terima. Ia lalu
berbalik pada Mbak Laras yang masih tertunduk dalam. ”Bagaimana ini,
Mbak Laras? Anak siapa yang dikandung Mayang? Aku belum pernah
menyentuhnya sampai detik ini!”
Aku mengatur ritme napasku. Aku
mencoba menjernihkan otakku. Perlahan-lahan tetapi pasti, kuarahkan
pandangan mataku ke satu arah. Ya, saat ini pun mata itu tengah menatap
lurus padaku. Dengan sebuah tatapan yang sarat penyesalan.
Ayahku tidur dengan perempuan... perempuan yang sama sekali tak pantas untuknya.
”Hanya Mayang yang tahu siapa yang menghamilinya,” ucapku pelan, tanpa melepaskan tatapan itu.
Tidak lama lagi aku akan punya adik....
”Maafkan keteledoran kami. Seharusnya pernikahan ini tidak terjadi.”
”Maaf?!”
Indra bertambah berang. Ia menatapku tajam. Sepertinya ia sangat marah
mendapati dirinya telah dibohongi. ”Sudah seperti ini, Mbak hanya bisa
bilang maaf? Mbak juga kakak Mayang, ’kan? Mengapa Mbak tidak hadir di
pernikahan kami? Mbak tahu persekongkolan ini? Iya, ’kan?”
”Lalu
apa yang kau mau?” aku berbalik menatap Indra. Pria muda, berpostur
atletis dengan wajah segar khas pria metropolis. Muda dan membuat
penasaran. Itukah yang dicari Mbak Laras dari dirinya?
”Tanggung jawab,” sahutnya, mantap. ”Apa yang harus kujelaskan pada keluarga besarku tentang semua ini?”
”Aku
kira Mbak Laras mampu menangani masalah itu sampai selesai,” aku
melirik Mbak Laras yang masih juga menunduk seperti telah kehilangan
muka. ”Aku berharap, mudah-mudahan kita semua belajar dari peristiwa
ini.”
”Semudah itu?” Indra memelototiku. Tampaknya kesabarannya habis sudah..
”Ya,”
aku bangkit berdiri, menantangnya. Lalu, dengan setengah berbisik
kukatakan dengan tegas, ”Semudah permainanmu selama ini dengan wanita
ini!”
Ibuku juga punya simpanan. Seorang lelaki muda... lelaki yang masih sepupu ayahku, tetapi ia sama sekali tak tahu.
Aku
menunjuk Mbak Laras. Ya, akhirnya teka-teki ini mampu kupecahkan.
Indra, kekasih gelap Mbak Laras, adalah tumbal yang paling tepat untuk
menutupi aib ini. Seperti istilah dalam ilmu sains: simbiosis
mutualisme.
Sama-sama saling menguntungkan. Indra, pria muda yang
hidupnya penuh hura-hura, butuh kucuran dana segar dari wanita cantik
yang notabene pengusaha terkenal, kaya raya, tetapi hidup kesepian dan
kecewa, karena suaminya telah bermain api dengan adik kandungnya
sendiri.
Benar seperti ungkapan Mayang, cinta yang seharusnya
adalah anugerah, kali ini adalah malapetaka baginya. Saat ini aku tak
tahu siapa yang harus disalahkan dan siapa yang harus dikasihani.
Seperti
kisah cinta yang terlarang antara Mas Dewo dan Mayang. Cinta telah
membutakan keduanya ataukah mungkin ini karma bagi Mbak Laras yang
seumur hidupnya telah mengecap manisnya kehidupan, meski terkadang harus
tertawa di atas penderitaan orang lain, contohnya aku?
Sesaat
sebelum meninggalkan rumah sakit, aku tertegun menyaksikan Mas Dewo
duduk di sisi Mayang yang terbaring koma, menggenggam jemarinya erat,
sementara Mbak Laras berdiri mematung di belakangnya. Aku merasa perih.
Seandainya aku berada di tempatnya, aku takkan setegar itu.
Malam
ini malam ketiga sejak kejadian menggemparkan di hari pernikahan
Mayang. Indra tak pernah lagi terlihat batang hidungnya. Malam ini aku
datang sendiri. Saat ini, hanya ada aku dan Mbak Laras menunggui Mayang
yang masih koma.
”Ini semua karena aku,” suara Mbak Laras memecah
keheningan. Di sebelah kami, seorang ibu tengah membaca surat Yasin
tanpa suara demi kesembuhan putrinya yang tengah mengalami kelainan
ginjal yang akut.
”Kau mau memaafkanku?”
”Untuk apa?”
”Semuanya. Aku tak pernah jadi kakak yang baik.”
Hatiku bagaikan dialiri air sungai yang jernih. Sejuk. Tenteram. Bahagia, mungkin.
”Tak ada manusia yang sempurna, Mbak,” aku berbisik lirih.
”Kau,” Mbak Laras menatapku sungguh-sungguh. ”Kau hampir sempurna untukku.”
Aku tersipu. Tetapi, berikutnya yang terpikir olehku, mungkinkah ia sedang mengejekku?
Mbak Laras menggeleng. ”Kau tak pernah sekali pun membenciku atau Ibu. Mengapa kau begitu baik?”
Aku tak menjawab. Mungkin karena aku ikhlas menyayangimu, Mbak.
Mbak
Laras memandangi Mayang dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Matanya
berkaca-kaca. Aku rasanya ingin bersimpati atas apa yang tengah terjadi
dalam rumah tangganya, tetapi tak kutemukan satu pun kalimat yang tepat
untuk menghiburnya. Bagaimana rasanya dikhianati suami sekaligus adik
sendiri?
”Aku tak pernah menyangka semua akan jadi begini,” ucap
Mbak Laras, menyeka pipinya yang basah. ”Aku bisa merasakan perubahan
sikap Mas Dewo, karena ia berhubungan dengan wanita lain. Tetapi, aku
tak pernah membayangkan bahwa wanita itu adalah....”
Lagi dan lagi, hujan air mata di pipi Mbak Laras. Kubiarkan ia menenangkan diri.
”Atau, mungkin ini karma bagiku dan Ibu,” ucapnya kemudian.
”Sepertinya karma yang telah menyia-nyiakanmu, Wi, anak kesayangan Bapak.”
”Kita semua anak Bapak, Mbak. Bapak tidak pernah membeda-bedakan kita.”
Mbak Laras menatapku gamang.
Matanya menyiratkan kegundahan.
”Kau sungguh tak tahu.”
”Tak tahu apa, Mbak?”
Mbak Laras tersenyum. ”Sudahlah, lebih baik begitu.”
”Bahwa aku bukan anak Ibu?” aku menebak.
Tebakanku terdengar ngawur, tetapi anggukan kepala Mbak Laras nyaris membuatku limbung. Kakiku gemetar.
”Kau
bukan anak Ibu. Tetapi, kau anak Bapak. Anak dari wanita miskin yang
dinikahinya di kampungnya diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu.”
Aku? Aku bukan anak Ibu? Aku anak Bapak dari wanita miskin yang dinikahinya di kampungnya diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu?
”Ibuku....”
”Ibumu meninggal ketika melahirkanmu. Kau akhirnya dibawa Bapak untuk tinggal bersama Ibu.”
”Karenanya,
Ibu bersikap seperti itu padaku?” Aku seperti menemukan sebuah kunci
jawaban atas pertanyaan yang mengikutiku sepanjang hidupku.
”Tetapi, mengapa Ibu tidak pernah bilang padaku?”
Wanita yang sudah berpuluh tahun kupercayai sebagai saudara kandungku itu memelukku erat.
”Mungkin Ibu sebenarnya menyayangimu, Wi. Seperti aku. Kami hanya terlalu angkuh untuk mengakuinya. Maafkan kami, Dewi.”
Aku
membalas pelukannya. Anehnya, hatiku tak sakit mendengar kenyataan yang
sebenarnya. Kuakui aku terkejut. Tetapi, mengapa aku tak marah?
Suatu sore di bulan Maret.
Ini
mungkin adalah sore yang paling kelam dalam hidupku. Mayang
mengembuskan napasnya yang terakhir. Tak ada kata perpisahan, tak ada
pesan untuk disampaikan. Ia pergi begitu saja.
Aku menyaksikan
Ibu pingsan menerima kenyataan ini, meski sebenarnya aku yakin bahwa
beliau akan pingsan lagi berkali-kali, bila tahu kejadian yang
sebenarnya. Sementara Mas Dewo tak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya
wajahnya yang sendu, yang bisa menjelaskan betapa ia kehilangan Mayang.
Dan, Mbak Laras, kini harus ikhlas di antara kekecewaan pada suaminya
dan adiknya.
Mungkin tak berperikemanusiaan jika pada akhirnya
harus kuakui bahwa kematian Mayang adalah penyelesaian terbaik bagi
masalah sepelik ini. Adik yang besar dalam pelukanku, kini pergi bersama
cintanya yang telah memberinya bahagia sekaligus perih. Aku yakin,
sebelum ia pergi, ia telah belajar untuk bisa seikhlas diriku menerima
semua kenyataan hidup.
Cinta yang berbalas, tetapi takkan pernah mungkin bersanding. (tamat)
Sumber: http://www.femina.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar