Rasanya seperti tertohok tepat di ulu hati. Kaget sekaligus sakit.
Benarkah yang baru saja diucapkan Raka? Separah itukah? Bukankah selama
ini Mas Dewo dan Mbak Laras pasangan yang amat rukun? Atau anak muda ini
yang sedang ngelantur, seperti ketika ia menjawab soal-soal bahasa
Inggris yang aku berikan dalam ujian?
”Tidak lama lagi aku akan punya adik.” Raka berdiri. Matanya menatapku penuh arti.
Sore
ini akan jadi sore tak terlupakan seumur hi¬dupku. Sebuah undangan
merah jingga sampai ke tanganku lewat pos. Undangan pernikahan Mayang
dengan pria bernama Indra. Undangan per¬nikahan adik kandungku sendiri
yang kuterima dari pak pos. Aku duduk di teras dan termenung untuk
beberapa saat. Begitu besarkah kebencian Ibu dan Mbak Laras sehingga
mereka tega memperlakukanku seperti ini?
Hingga satu hari sebelum
tanggal pernikahan Mayang, aku belum memutuskan apakah aku ingin
menghadiri pernikahan tersebut atau tidak. Mas Endi tidak membujukku
sama sekali. Agaknya kesabarannya pun nyaris habis. Tapi, lagi-lagi hati
kecilku menentang. Ibu tetaplah Ibu. Orang tua yang sudah mengandung
dan melahirkanku.
Sampai hari yang ditentukan tiba, pagi-pagi
sekali aku mendengar dering telepon dari ruang tengah. Kuangkat gagang
telepon dengan tak bersemangat.
”Kau tidak datang?”
Aku terkesiap. Mbak Laras!
”Tidak tahu, Mbak. Apa penting aku ada di sana?”
Lama
tak terdengar suara di seberang. Cuma desahan berat, kemudian disusul
suara yang agak parau. ”Itu ide Ibu. Aku sebenarnya mau mengantarkan
undangan itu sendiri ke sana, tetapi kata Ibu....”
”Aku tak perlu
undangan, Mbak!” Mendadak aku ingin menangis. ”Sebenarnya aku ini
siapa, Mbak? Saudaramu atau bukan? Anak Ibu atau bukan? Kakak Mayang
atau bukan?!”
Lama tak terdengar suara. Entah bagaimana ekspresi Mbak Laras saat ini. Entah bagaimana perasaannya.
”Tak usah dibesar-besarkan. Kau adikku, anak Ibu sekaligus kakak Mayang. Aku minta maaf soal itu. Kau bisa datang, ’kan?”
Maaf?
Semudah itu? Aku hanya seorang lemah tak berdaya! Kututup telepon
dengan pelan. Mas Endi mematung di sisiku. Aku tahu, ia telah kehabisan
nasihat untukku. Harga dirinya pun mulai tersakiti.
”Kau boleh
tidak pergi, jika tidak ingin,” ucap Mas Endi kemudian, seraya tangannya
membelai halus rambutku. ”Sudah saatnya mereka sadar akan sikapmu.
Mereka pun harus belajar mengerti dirimu.”
Aku tak tahu kegilaan
apa yang telah merasuki diriku. Cinta adalah anugerah, tetapi cinta
yang kurasakan kali ini adalah malapetaka. Cinta yang takkan mungkin
menjelma menjadi kenyataan manis. Cinta yang berbalas, tetapi tak
mungkin bersanding. Tuhan, kalau boleh aku ingin jatuh cinta pada orang
lain, selain dia....
Aku membaca dengan seksama kata demi kata,
tulisan tangan Mayang dalam buku harian yang dititipkannya pada Adi.
Tadi sore, sahabat Mayang itu datang dan memberikan buku itu tanpa
berucap sepatah kata pun. Malam ini, di malam pernikahan Mayang, aku
menyendiri di teras depan.
Mencintai tidak harus memiliki, itu
yang diucapkannya berulang-ulang. Ia amat bahagia bisa mencintaiku dan
sebaliknya. Ia ingin aku merasakan kehadirannya kini dan tak risau akan
hari esok yang jelas-jelas bukan milik kami. Oh, sungguh malangnya
aku.... Setiap detik bersamanya begitu membahagiakan sekaligus
mencemaskanku. Jika esok semuanya harus berakhir, apa yang akan terjadi
padaku? Bagaimana aku bisa melupakannya? Sementara hatiku telah
kuberikan utuh padanya.
Aku menahan napas. Tiap goresan tangan Mayang menyiratkan kepedihan.
Terlalu
bodoh mungkin, semua yang telah aku lakukan. Demi membuktikan cintaku,
aku akhirnya takluk pada dosa. Aku tak sanggup kehilangannya. Aku tak
sanggup setiap kali melihatnya bersama wanita itu. Wanita yang
sebenarnya dengan diam-diam telah kukhianati. Hatiku sakit. Sampai kapan
pun aku takkan bisa menyamai wanita itu, ia terlalu sempurna untukku.
Aku
teringat percakapan dengan Mbak Laras beberapa minggu yang lalu di
kamar Mayang. Benar, Mayang terjebak dalam cinta pria yang telah
menikah.
Aku harus menghentikan semua ini. Sia-sia dan begitu
melelahkan. Aku takkan pernah memenangkan hatinya. Dan... wanita itu
telah menemukanku bersamanya. Apa yang harus kulakukan kini? Hidupku ada
di tangannya....
Aku makin penasaran. Segera kubalik halaman berikutnya.
Aku
sudah jauh berlari, tetapi entah mengapa aku ingin sekali kembali.
Merasakan pelukannya, mendengar suaranya yang menenteramkan. Tuhan,
tolong aku.... Kalau saja aku bisa menjadi miliknya.... Kalau saja
makhluk kecil dalam diriku ini bisa membuatnya kembali padaku....
Tetapi, wanita itu akan membunuhku, jika itu sampai terjadi.
Aku menahan napas.
Kubalik
lembar berikutnya. Kosong. Halaman berikutnya, kosong lagi. Seterusnya,
tak ada lagi tulisan tangan Mayang. Kuperiksa lembar per lembar dan di
akhir buku itu kutemukan foto seorang pria yang nyaris membuat jantungku
copot.
Gusti Allah! Ini tidak mungkin....
Tengah malam
lewat aku dibangunkan Mas Endi. Mbak Laras menelepon, mengabarkan
tentang Mayang yang nekat melompat dari lantai empat di hotel tempat ia
dan suaminya menginap. Saat ini kondisinya kritis.
Aku tak bisa
menahan detak jantungku yang berdegup kencang sepanjang perjalanan ke
rumah sakit dini hari itu. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya
kupanjatkan doa memohon keselamatan Mayang.
Di pintu rumah sakit,
kami disambut oleh Mas Dewo. Perasaan asing tiba-tiba menyergapku,
ketika ia menyapaku. Mbak Laras terduduk lemas di kursi tunggu di depan
ruangan gawat darurat bersama seorang pria muda yang kuduga adalah suami
Mayang. Kucari sosok Ibu, tetapi tak kutemukan. Di ruangan itu hanya
ada kami berlima, dan dua orang suster jaga.
”Mbak....”
Aku
terkejut. Mbak Laras bangkit dan menyongsongku, memelukku, dan
terisak-isak, seperti anak kecil yang kehilangan ibu. Aku canggung.
Bingung harus berbuat apa. Seumur-umur, ia tak pernah memelukku seerat
ini. Pun pada saat kematian Bapak.
”Bagaimana keadaan Mayang?” tanyaku.
Tangis
Mbak Laras makin menjadi-jadi. Aku terpaksa membiarkan badanku sakit,
karena pelukannya yang terlalu erat. Perasaanku campur aduk dibuatnya.
Tak pernah sekali pun kulihat ia selemah ini. Mbak Laras adalah wanita
paling angkuh yang pernah kukenal dalam hidupku. Ia pantang menangis
untuk hal apa pun.
Seorang pria berseragam putih keluar dari
ruangan gawat darurat diiringi dua perawat. Mas Dewo segera menyongsong
pria itu dan berbicara padanya sebentar.
Dan, Mas Dewo tertunduk
dalam. Suami Mayang terlihat membelalak di sampingnya. Apa yang
terjadi? Kulihat Mas Endi pun berubah air wajahnya.
Dokter
berikut dua orang perawat tersebut kembali masuk ke dalam ruangan.
Indra, pria malang yang belum 24 jam menjadi suami Mayang, mengikuti
langkah Mas Dewo dengan tidak sabar.
”Mas! Apa maksud dokter tadi? Kandungannya tidak bisa diselamatkan? Mayang hamil??”
Mas Dewo tak menjawab. Mbak Laras yang telah berhasil tenang, segera kuajak duduk.
”Mas,
jawab aku! Jangan bilang Mas tidak tahu masalah ini!” Indra mencecar
Mas Dewo. Dari Mas Endi kuketahui bahwa Mayang dalam kondisi koma,
tulang kepalanya retak dan kandungannya tak terselamatkan. Ia mengalami
perdarahan hebat.
”Mas?! Bagaimana ini? Aku minta penjelasan
kalian berdua. Pantas aku dipaksa melaksanakan pernikahan secepatnya.
Kalian pasti sudah tahu tentang kondisi Mayang. Betul, ’kan?”
Mas
Endi berdiri menenangkan Indra. Mbak Laras menunduk tak berani memasang
wajahnya. Suara bisik-bisik suster jaga yang kini bertambah menjadi
lima orang, terdengar mengganggu.
Sumber: http://www.femina.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar