Keunggulan poin untuk Arif pada sesi pertama dengan poin lima ratus,
disusul oleh Rahmat dan Aldita dengan empat ratus poin. Hanya selisih
seratus poin dari Arif, dilanjutkan dengan sesi kedua yang kemungkinan
besar akan terjadi perbedaan poin yang sangat besar. Karena selanjutnya
adalah sesi pertanyaan rebutan.
Terlihat Pak Rudi beserta teman-teman Rahmat, merasakan perasaan
harap-harap cemas selama berlangsungnya perlombaan cerdas cermat ini.
Tak dipungkiri dengan para penonton yang lain, mungkin merasakan hal
yang sama seperti yang kami rasakan terhadap jagoan mereka.
“Mas Arkan, kita berdoa saja semoga Rahmat berpeluang mendapatkan poin lebih dari yang lain.” Ujar Pak Rudi terhadapku.
“Iya, Pak. Saya harap juga seperti itu.” Jawabku. “Tapi, dari cara
menjawab pada sesi pertama, Arif memang sangat berpotensi untuk lolos ke
babak final. Kemampuan menjawab dia, tanpa memerlukan waktu yang lama.
Saya salut dengan dia, Pak.”
“Waduh, yang penting kita doakan untuk Rahmat, Mas Akan.” Seloroh Pak Rudi dengan tampang cermasnya.
“Hehe, iya Pak.” Jawabku dengan guyon berharap menenangkan hati Pak Rudi.
“Ya, sesi pertanyaan rebutan ini terdiri dari sepuluh pertanyaan.
Jika pertanyaan dijawab benar, akan mendapatkan poin seratus, sedangkan
jika pertanyaan dijawab salah maka akan terjadi pengurangan poin
seratus.” Ungkap juri perlombaan.
“Baik, pertanyaan masih di dalam amplop yang tersegel.” Ucap sang
juri sembari membuka segel yang membuat nuansa hening, karena ketegangan
yang berada di ruangan.
“Siap? Soal pertama. Indiche Partij adalah partai politik pertama di
Hindia Belanda. Didirikan oleh tiga serangkai. Siapa saja anggota tiga
serangkai?”
TETT. Bunyi bel dari meja Arif.
“Arif, silahkan jawab.” Ucap dewan juri.
“Douwes Deker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat.” Jawab Arif.
“Betul! Seratus poin untuk Arif.” Sahut dewan juri diikuti tepuk
tangan yang meriah dari penonton terutama pendukung dari sekolahnya.
Jawaban yang dikeluarkannya cukup meyakinkan. Aku melihat Rahmat
sedikit agak tertekan diatas panggung. Terlihat tangannya sedikit
gemetar, tanda ia memang tidak tenang.
Aku berusaha melambaikan tangan, ia melihat sekilas dengan wajah
tanpa senyum. Aku hanya bisa membalas dengan kepalan tangan dan tesenyum
untuk menyemangati dia. Dengan harap membuat dia sedikit tenang, diapun
membalasnya dengan tersenyum.
“Pertanyaan kedua. Apakah ibu kota dari Negara Turki?”
TETT. Tiga meja bunyi hampir terlihat secara bersamaan, tetapi juri memutuskan bunyi bel pertama kali berasal dari meja Aldita.
“Aldita, silahkan jawab.”
“Istanbul.” Jawab ragu oleh Aldita
“Salah, pertanyaan dilempar.”
TETT. Kali ini bel dari meja Rahmat.
“Ankara.” Jawab Rahmat.
“Tepat! Ibu kota negara Turki adalah Ankara, sedangkan Istanbul
merupakan kota terbesarnya. Seratus poin untuk Rahmat, dan kurangi
seratus poin untuk Aldita.” Ucap dari dewan juri.
“Ayo, Met! Kamu pasti bisa juara Met!” sahut dari Ipul disertai tepuk tangan rekan-rekannya beserta Pak Rudi.
Jawaban benar dari Rahmat disertai semangat dari Saiful dan
rekan-rekannya, membuatnya terlihat sedikit tenang dibandingkan
sebelumnya. Memang terlihat sekali, ia berusaha untuk masuk ke dalam
suasana lomba yang belum pernah ia hadapi sebelumnya. Aku yakin dia
dengan mudah cepat untuk beradaptasi.
“Baik, pertanyaan ketiga. Tari Kipas, Tari Bosara, dan Tari Pakarena, berasal dari provinsi manakah tarian tersebut?”
TETT. Bunyi bel hanya berasal dari meja Arif dan Aldita.
“Iya, Arif terlebih dahulu.”
“Provinsi Sulawesi Selatan.”
“Seratus, untuk Arif.”
Tepuk tangan kembali terdengar dari pihak pendukung Arif. Rekannya
dari SD Gentra, nampak tidak setegang dengan apa yang kami rasakan untuk
mendukung Rahmat. Mereka terlihat sangat yakin, bahwa Arif akan lolos
ke tahap berikutnya. Dan perwakilan gurunya, hanya terduduk manis tanpa
rasa excited melihat perlombaan berlangsung.
“Pertanyaan keempat. Bagian pada mata yang berfungsi untuk mengatur banyak sedikitnya cahaya yang masuk adalah?”
TETT. Bel berbunyi secara serempak oleh tiga peserta.
“Ya, Rahmat. Silahkan jawab.”
“Pupil.” Rahmat menjawab yakin.
“Jawabannya, tepat! Seratus untuk Rahmat.”
Suara tepuk tangan kembali terdengar keras dari kami yang mendukung
Rahmat. Perlahan tapi pasti, Rahmat tidak tertinggal jauh dari poin Arif
yang hanya selisih seratus poin. Suasana lombapun semakin diliputi
ketegangan, terutama dari pihak SD Gentra yang terlihat sudah mewaspadai
Rahmat sebagai pesaing terberat perwakilan mereka. Akupun melihat guru
yang cuek tadi, sudah menaruh perhatian dengan mengubah posisi duduknya yang terlihat tegang.
“Baik, pertanyaan kelima. Apakah yang dimaksud dengan majas ironi?”
TETT. Hanya Arif dan Aldita yang menekan bel.
“Ya, Aldita yang menekan terlebih dahulu. Silahkan menjawab.”
“Sindiran.” Singkat Aldita.
“Bisa lebih diperjelas lagi?” Pinta dewan juri.
“Oh ya, gaya bahasa yang bersifat menyindir tetapi dengan halus.” Ungkap Aldita.
“Tepat, poin seratus untuk Aldita.” Sahut dewan juri diiringi tepuk tangan dari pendukung Aldita.
“Ya, lima dari sepuluh pertanyaan telah terjawab. Kami akan
menyampaikan poin sementara yang diraih dari masing-masing peserta. Saat
ini, Arif dari SD Gentra masih unggul dengan tujuh ratus poin, disusul
tipis oleh Rahmat dari SD Harapan dengan enam ratus poin, dan Aldita
dari SD Dewi Sartika dengan empat ratus poin. Ya, beri tepuk tangan yang
meriah untuk peserta kita!” ucap dewan juri.
Dilihat dari jalannya pertandingan, masing-masing peserta masih
mempunyai peluang untuk menang dalam babak ini. Dari secara mental
mereka semua sudah masuk dalam ritme pertandingan ini, yang dibutuhkan
kali ini memang dari segi wawasan dan kecepatan dalam hal menjawab.
“Pertanyaan selanjutnya, yang keenam. Harap simak dengan baik. Mr. Michael goes to the bla bla bla. He wants to swimming with his friend. Lengkapi kalimat tersebut.”
TETT. Rahmat tak berkutik untuk menekan bel, hanya Aldita dan Arif yang menekan bel.
“Terlihat Aldita terlebih dahulu menekan, silahkan menjawab.”
“Swimming pool.” Jawab Aldita.
“Silahkan untuk dieja kata tersebut.” Pinta dewan juri.
“Es-doubel you-ai-em-em-ai-en-ji. Pi-o-o-el.”
“Tepat, poin seratus untuk Aldita.” Ucap dewan juri diiringi tepuk tangan penonton yang mendukung masing-masing jagoannya.
“Baik, tersisa empat pertanyaan lagi. Ingat, masing-masing peserta
masih memiliki kesempatan yang sama untuk lolos ke babak berikutnya.
Diharapkan jangan sampai lengah. Selanjutnya, pertanyaan ke tujuh soal
matematika, sediakan selembar kertas.”
Suasana ruangan kembali senyap diikuti ketegangan serta kecemasan
yang tersirat pada wajah masing-masing pendukung. Tak kalah tegangnya
dengan muka para peserta terlihat gregetan, sembari tangan kanan yang memegang alat tulis serta tangan kiri sudah siap diatas papan bel.
“Tiga jam ditambah dua ratus empat puluh detik sama dengan, berapa menitkah?”
TETT. Hanya Rahmat yang menekan bel dengan sangat cepat setelah juri selesai membacakan soal.
“Luar biasa, silahkan Rahmat.”
“Hem, tunggu.” Ucap Rahmat.
Ternyata yang dipikirkan Rahmat adalah dengan menekan bel terlebih
dahulu baru menjawabnya. Ide bagus, tapi cukup rawan bila salah
menjawab.
“Baik, kami hitung mundur. Lima… Empat… Tiga..,”
“Seratus delapan puluh empat menit.” Jawab Rahmat sedikit tergesa-gesa.
“Dan jawabannya, BENAR! Tambahan seratus poin untuk Rahmat.”
Yes! Sontak, suara tepuk tangan terdengar dari seluruh penonton, tak
terkecuali Pak Rudi serta rekan-rekan yang terlihat berdecak kagum
melihat aksi Rahmat.
“Baik, poin sementara Arif perwakilan dari SD Gentra dan Rahmat
perwakilan dari SD Harapan memiliki poin yang sama yaitu tujuh ratus
poin, lalu Aldita perwakilan dari SD Dewi Sartika dengan poin lima
ratus.” Ucap dewan juri yang membuat suasana lomba semakin ramai dengan
dukungan kepada masing-masing peserta.
“Tersisa tiga pertanyaan, penonton diharap tenang. Pertanyaan
kedelapan, apakah organisasi di Indonesia yang didirikan pada 20 Mei
1908?”
TETT. Hanya Arif yang menekan bel, dengan kencang dan berulang-ulang.
Mungkin dia takut didahului oleh peserta lain, walau kenyataannya hanya
ia yang menekan bel.
“Budi Utomo.” Jawab Arif.
“Tepat! Organisasi Budi Utomo merupakan organisasi yang pertama di
Indonesia yang dibentuk pada 20 Mei 1908. Seratus poin untuk Arif.”
Lagi-lagi, selisih seratus poin berhasil Arif raih untuk memimpin
keunggulan poin sementara. Terlihat pendukung dari SD Gentra sedikit
bernafas lega karena keunggulan itu, tetapi berbeda dengan yang terjadi
pada kami untuk mendukung Rahmat.
Tersisa dua pertanyaan lagi. Secara persaingan untuk menuju babak
final, hanya Arif dan Rahmat yang berpeluang lolos. Aldita sudah
dipastikan gagal melaju di babak ini.
“Pertanyaan sembilan. Cystic fibrosis adalah sejenis penyakit karena kekurangan vitamin apa?”
TETT. Bel berbunyi dari meja Arif dan Rahmat. Jika kesempatan
diberikan pada Rahmat, aku yakin dia bisa menjawabnya karena ia telah
cukup belajar banyak dari buku kedokteran punyaku.
“Terlihat hampir secara bersamaan. Tapi juri memutuskan, Rahmat! Silahkan menjawabnya.”
“Vitamin E.” Jawab Rahmat.
“Tepat! Poin seratus untuk Rahmat. Sehingga perolehan poin untuk
sementara Rahmat dan Arif dengan poin delapan ratus, dan Aldita dengan
poin lima ratus.”
Tepuk tangan membahana dari seisi penonton yang melihat pertandingan
ini. Nampak, jumlah kehadiran penonton semakin bertambah. Mungkin karena
tiga pertadingan lain telah selesai, hingga mereka berkunjung ke tempat
pertandingan yang masih berlangsung. Terlihat Fauzi, rekan Arif dari SD
Gentra telah hadir bergabung untuk mendukung Arif.
“Baik, Aldita telah dipastikan tidak lolos untuk babak final dan
untuk pertanyaan terakhir hanya ditujukan kepada Rahmat perwakilan dari
SD Harapan dan Arif perwakilan dari SD Gentra untuk menjawab soal
pamungkas. Soal matematika, diharap untuk mempersiapkannya. Penonton
diharap tenang.” Ucap dewan juri yang memberikan nuansa tegang kepada
para penonton.
“Soal terakhir, Budi pergi ke Lumajang mengendarai sepeda motor
dengan kecepatan dua puluh kilometer per jam. Jarak Lumajang ke rumah
Budi empat puluh kilometer. Jika Budi berangkat pukul delapan lebih
sepuluh menit, maka pukul berapa Budi sampai di Lumajang?”
Arif dan Rahmat berkutik dengan lembar kertas dihadapannya, terlihat
Rahmat mengerjakan soal lebih tenang dibandingkan Arif. Mungkin, aku
merasa Arif akan lebih terbeban karena ia membawa nama baik sekolahnya
yang terbilang kualitasnya lebih baik dari sekolah Rahmat.
TETT. Arif menekan bel terlebih dahulu. Sekejap, hal itu membuatku
dan Pak Rudi terkulai lemas serta ekspresi pasrah yang beraneka ragam
dari rekan-rekan Rahmat.
“Ya, Arif. Silahkan menjawabnya.”
“Pukul sepuluh tepat.”
“Baik, jawaban telah diterima. Dan, jawabannya adalah…” potong juri
yang seakan membuat penonton ikut berdebar-debar. Rahmat telah selesai
menghitung, terihat ia ragu dengan jawaban yang ada pada kertasnya.
“SALAH! Otomatis, Rahmat perwakilan dari SD Harapan yang melaju ke babak final. Selamat!!”
Pak Rudi yang semula lemas menjadi semangat dan gembira, seakan tak
percaya dengan kelolosan bocah wakil dari SD Harapan tembus ke babak
final yang belum pernah terjadi sebelumnya. Rekan-rekan Rahmat bersorak
gembira, melihat keberhasilan Rahmat dan aku hanya tersenyum salut
padanya.
“Baik, untuk Rahmat. Anda sudah dipastikan lolos ke babak final.
Tetapi apakah Rahmat mempunyai koreksi atas jawaban dari Arif?” tanya
dewan juri.
“Ya, hasilnya pukul sepuluh lebih sepuluh menit.” Jawab Rahmat dengan polosnya.
“Ya, jawabanmu tepat.” Balas dewan juri yang tak kalah bangga dengan Rahmat.
Memang luar biasa, bocah bernama Rahmat ini. Genius.
Sumber: http://aliwasi.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar