Suatu hari, di medan perang Yarmuk, dengan membawa sedikit air
Khudzaifah bin Adi ra menemui saudaranya (anak pamannya) yang
tergeletak penuh luka. Ketika menjumpainya, ia berkata kepadanya, ”Aku
tuangkan air ini kepadamu!” Saudaranya pun memberi isyarat mengiyakan.
Ketika hendak menuangkan ke dalam mulutnya, terdengar suara, ”Ah, ah,
ah.” Saudaranya itu memberi isyarat kepada Khudzaifah agar ia memberikan
air itu kepada orang yang berteriak, merintih kesakitan itu.
Khudzaifah pun menghampiri orang itu. Dan ternyata ia adalah Hisyam bin Ash ra. ”Aku akan tuangkan air ini
kepadamu,” ucap Khuzaifah dengan rasa iba. Hisyam pun memberi isyarat
mempersilahkannya. Ketika hendak dituangkan ke dalam mulutnya terdengar
kembali suara, ”Ah, ah, ah,” dari sampingnya. Hisyam memberi isyarat
kepadanya agar memberikan air itu kepada orang yang berteriak sekarat
itu.
Sesampainya di sana, Khudzaifah mendapati orang yang ditunjuk Hisyam
telah menemui ajalnya, mati syahid. Lalu ia kembali berjalan pada
Hisyam, namun Hisyam juga telah bertemu Allah SWT, wafat. Ia sedih.
Setelah itu ia bergegas menemui kembali saudaranya. Namun sama, pamannya
juga telah menemui syahidnya. Kisah ini dituturkan Imam Syanqithi dalam kitab Adhwaa al-Bayaan.
Fragmen ini menjelaskan bahwa setiap Muslim
merasakan saudara Muslim lain adalah bagian dari dirinya. Mereka pun
tidak memandang siapa yang diberi pertolongan olehnya. Tidak pula
menolong karena tendensi demi kepentingan. Juga sampai tidak memandang
bahwa saat itu dirinya pun sangat membutuhkan pertolongan. Bahkan
meskipun kebutuhan itu berkait erat dengan hidupnya.
Ini adalah potret ukhuwah Islamiyah yang sebenarnya. Satu bentuk
persaudaraan yang mengalahkan segalanya, sampai kepentingan untuk
dirinya sendiri sekalipun, atau yang disebut dengan itsaar (mendahulukan
orang lain meskipun dirinya membutuhkannya). Persaudaraan ini
mengalahkan persaudaraan nasab, kedaerahan, suku, partai, kebangsaan,
lintas identitas-identitas primordial dan lintas kepentingan.
Tepat kata Nabi SAW, ”Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling
mencintai, saling mengasihi dan saling simpati mereka bagaikan satu
tubuh; jika salah satu anggota tubuh merasakan sakit maka seluruh tubuh
yang lain merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR Muslim).
Nabi SAW mengibaratkan persaudaraan sesama Muslim dengan logika satu
tubuh. Logika satu tubuh adalah logika saling terkait, saling merasakan,
saling membantu dalam satu kesatuan. Dalam artian, ketika kita melihat
saudara seiman kita kelaparan, dilanda sakit kita juga harus ikut
merasakan dan membantunya. Begitu pula ketika kita senang, kita tak
boleh lupa membagikan kesenangan kita pada saudara kita. Adakah itu ada
di sekitar kita saat ini?
***
Sumber: ervakurniawan.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar