Sabtu, 25 Mei 2013

Menggenggam Dunia – (5) Tegar

Raja siang akan pergi ke peraduannya, suasana sekitar pemakaman sangat tenang dan hangat. Sesekali kicauan burung dengan merdu mengiringi proses pemakaman.

Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu, daerah sekitar pemakaman menggambarkan bahwa alam menerima Ibu Sri, indah sekali dan penuh hikmat menghapuskan kesedihan semua orang.

Ini adalah sebuah pelajaran lagi buatku, semenjak tinggal di sebuah pedesaan. Apabila seseorang yang disayangi meninggalkan kita, lebih baik kita ikhlaskan dan serahkan semua kepada Tuhan Yang Maha pengatur kehidupan, karena ini semua merupakan takdir-Nya.

Aku melihat Rahmat sudah menerima kematian ibunya, dia tegar dan berusaha tersenyum kepada tetangga yang mengucapkan belasungkawa kepadanya.

Sungguh hebat bocah berkulit putih berumur delapan tahun, dalam waktu beberapa jam telah mengikhlaskan kepergian sang Ibu, yang tiada lain adalah satu-satunya keluarga yang Rahmat miliki.

Berbeda dengan diriku, baru menerima dan mengikhlaskan kepergian ibu dalam waktu dua bulan. Padahal aku masih memiliki ayah, dua kakak, dan sanak saudara yang lain.

Aku teringat akan tujuanku datang ke rumah Rahmat, bahwa aku ingin membiayai Rahmat untuk bersekolah. Lalu aku harus minta izin pada siapa? Dan tinggal dengan siapa Rahmat, sepeninggalan ibunya? Lebih baik setelah pemakaman ini, aku diskusikan pada Rahmat.

Kali ini, aku melihat Rahmat memandang jenazah ibunya tanpa kedip, saat Ibu Sri menuju liang lahat. Kedua mata Rahmat terlihat merah menahan air mata. Betapa pedih bila aku berada pada posisinya. Kematian datang kapan saja tanpa pamit, baru saja tadi pagi aku melihat Rahmat dalam dekapan Ibu Sri, tetapi pada sore ini beliau telah meninggalkan Rahmat.

Proses pemakaman telah usai, beberapa yang hadir, satu per satu meninggalkan komplek kuburan. Aku mendekati Rahmat yang sedang berada di samping Pak Ustad dan keluarga Ibu Nina
.
“Maaf, bisa saya bicara dengan Rahmat.” Izinku pada Pak Ustad dan keluarga Ibu Nina.

“Oh, silahkan.”

Aku mengajak Rahmat mengobrol dan duduk di bawah pohon yang tak jauh dari tempat pemakaman. Ia menurutiku.


“Mamet, Kakak turut berduka cita atas kepergian ibumu.” Ucapku pelan.

“Makasih, Kak.” Jawabnya.

“Sebenarnya Kakak punya keinginan untuk kamu.”

“Keinginan apa, Kak?”

“Kamu ingin sekolah?”

“Mamet gak punya uang, Kak. Lagipula rumah tidak ada yang jaga.” Jelas ia dengan pasrah.

“Kakak, ingin membiayai kamu sekolah dan kalau mau Mamet bisa tinggal dengan Kakak di kota.” Jelasku.

“Makasih Kak kalau Kakak mau membiayai Mamet sekolah, tapi Mamet gak bisa meninggalkan desa ini.
 Mamet tidak punya siapa-siapa lagi selain teman Mamet.”

Aku menyadari bahwa Rahmat sekarang sedang kesepian. Aku harus memahami bahwa ia perlu teman sebaya.

“Ok, Kakak menyekolahkanmu di desa ini saja dan kamu mau tinggal dengan Kakak?” tawarku penuh harap.

“Lalu rumah Ibu?”

“Nanti kapan-kapan kalau Mamet kangen sama Ibu, kita akan jenguk rumah itu. Yang pasti, rumah Kakak lebih dekat dengan pengajian kamu dan dekat juga dengan teman-temanmu. Bagaimana?” pintaku.

“Makasih, Kak Arkan.” Balas ia dengan tersenyum.

“Sama-sama, bocah.” Jawab akrabku mengelus rambut Rahmat.

***

Aku sangat senang bahwa Rahmat setuju untuk melanjutkan pendidikannya dan menginap denganku. Rasanya akan ada secercah kesuksesan pada diri Rahmat, tetapi bukan berarti Rahmat dilepaskan begitu saja untuk kurawat. Ibu Nina tetangga almarhumah Ibu Sri, kurang setuju bila Rahmat tinggal di tempat orang yang baru saja ia kenal.

Aku paham maksud Ibu Nina demikian. Sebelum melepaskan Rahmat untuk dirawat olehku, beliau terus bertanya semua hal yang berkaitan denganku, termasuk identitasku secara rinci.

Akhirnya melalui obrolan panjang hingga malam tiba, Ibu Nina sebagai yang bertanggung jawab atas Rahmat sepeninggalan Ibu Sri, mengizinkanku untuk membawa Rahmat. Lagipula Rahmat setuju untuk tinggal bersamaku. Dengan sebuah amanah untuk menjaga Rahmat, hal itu pasti akan aku lakukan sebaik mungkin.

Rahmat menyusun barang-barang yang akan dibawa, baju, buku pengajian, dan beberapa pemainannya. Aku melihat dan menganggapnya seakan adikku sendiri.

Setelah selesai berkemas, aku dan Rahmat berjalan menuju rumah yang kusewa di perbatasan desa.

Malam di pedesaan sangat sunyi dan sepi, lampu pijar bertebaran di sepanjang jalan pulang. Malam ini langit penuh dengan bintang yang bertaburan di angkasa, tak ada bulan yang mendampingi malam.

“Kak, kondisi langit seperti yang Mamet rasakan.” Ucap Rahmat.

“Maksud kamu?” tanyaku.

“Langit malam, bertaburan bintang yang bercahaya tapi tidak ada bulan.”

“Kita dapat mengartikan itu bahwa bintang tetap bersinar di malam hari walau tak ditemani oleh sang bulan, sama saja dengan seseorang yang berdiri tegar walau tak didampingi oleh seseorang yang biasa menemaninya. Kamu paham maksud Kakak?”

Rahmat hanya mengangguk, tak ada ekspresi yang ia keluarkan. Terkadang aku sangat heran dengan kepribadian Rahmat, ia terlihat lugu bagaikan anak-anak biasa, tetapi disisi lain ia berpikir layaknya seorang yang telah dewasa.

Kamipun tiba di teras rumah dan segera masuk ke dalam. Saat pulang, aku merebahkan diri di kursi. Sedangkan Rahmat terlihat bingung dengan keadaan rumah.

“Kak Arkan, kamar mandi mana? Dapur mana? Kamar tidur mana?” tanya Rahmat yang terlihat bingung dengan kondisi rumah yang berantakan.

Aku menunjukan satu per satu tempat di rumah yang kutempati bersama Rahmat. Tujuan utama dia adalah kamar mandi. Aku tersenyum melihat tingkah Rahmat, gerak-gerik ia sangat khas layaknya anak biasa. Mungkin ia ingin buang air.

“Kak, kita sholat Isya dulu ya? Kita berjama’ah. Kakak jadi imamnya.” Pinta ia dengan polos.

Sungguh aku sangat terkejut dan heran  dengan perilaku bocah ini, berkali-kali dengan sifatnya telah mengejutkanku serta membuatku terkagum. Kali ini ia mengajakku untuk beribadah. Memang   tak ada yang salah, tetapi aku membandingkan umurnya dengan sifatnya. Dia adalah bocah yang diberi karunia lebih oleh Tuhan, karena sifatnya yang sangat dewasa untuk ukuran anak-anak. Atau mungkin aku yang berlebihan dalam menanggapi ini?

“Kak? Kok malah diam? Ayo Kak.” Ajak Rahmat menarik tanganku.

“Oh iya, kamu dulu ambil air wudhunya.”

Kami pun sholat berjamaah, Rahmat terlihat tenang dan khusyuk dalam sholat, yang merupakan kewajiban setiap muslim. Setelah selesai sholat, kami akhiri dengan doa, Rahmat bermunajat dan terdengar rintihan tangisannya. Aku memahaminya, sebab ini hari pertama ia ditinggal tanpa keluarga kandungnya.

Waktu menunjukan jam delapan malam, kami berdua beranjak untuk makan malam. Masih ada sisa sayur lodeh pemberian Ratih. Kamipun makan bersama dengan lauk seadanya.

Sesekali aku melihat Rahmat melamuni sesuatu, mungkin ia masih terkenang kejadian sore hari ini. Aku berusaha untuk memecahkan lamunannya, apabila dibiarkan pasti akan berkelanjutan dan tidak baik untuk keadaan jiwa Rahmat.

“Makanan ini enak, ya?” iseng aku bertanya.

“Enak sekali, Kak. Seperti masakan Ibu, tapi masakan Ibu lebih enak.” Jawab Rahmat.

Ternyata benar, ia sedang memikirkan ibunya. Rahmat terlihat tegar dan berusaha untuk menutupi kesedihannya.

“Besok Kakak antar kamu untuk daftar ke sekolah ya, makanya nanti besok kamu harus udah mandi pagi.” Nasihatku.

“Mandi pagi? Dingin sekali, Kak.” Manja Rahmat.

“Memang Mamet suka mandi jam berapa?”

“Jam delapanan.”

“Tapi nanti harus sudah siap, jam setengah tujuh pagi, ya?” pintaku.

“Hehehe, liat nanti ya, Kak.” canda Rahmat.

“Nah, sekarang kamu habisin dulu makanannya, setelah selesai kamu harus tidur. Ok?”

“Yoi, Kak.” Jawab Rahmat logat orang kota.

Makan malam kami lanjutkan. Sesudah makan malam, Rahmat membantuku untuk mencuci piring. Saat menjelang tidur kami berdua sikat gigi bersama.

Malampun semakin larut, Rahmat mengantuk dan tertidur pulas. Aku memandangi muka Rahmat sangat bersih yang memiliki sifat tegar dalam menghadapi cobaan. Patutkah diriku yang berumur tiga puluh tahun, untuk belajar dari Rahmat. Semoga Rahmat dijadikan sebuah rahmat dari Tuhan kepada umat manusia kelak. Amin.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com








Tidak ada komentar:

Posting Komentar