Selasa, 11 Juni 2013

Menggenggam Dunia – (10) Pengalaman Berharga

Pagi ini aku masih merasakan kantuk, tak seperti hari biasanya. Mungkin karena aku tidur hingga larut malam, karena kurang tidur dapat mengurangi konsentrasi manusia.

Terlihat Rahmat yang sangat bersemangat di pagi ini. Ia bangun lebih cepat dariku.. Baju yang ia pakai adalah seragam olahraga sekolah. Mungkin ini salah satu penyebab ia bersemangat di pagi ini, karena kutahu bahwa Rahmat pecinta olahraga.

Setelah persiapan untuk berangkat sekolah selesai, ia langsung sarapan dengan makanan yang kubuat. Menu sarapan pagi hari ini, dengan nasi goreng yang kucampuri dengan potongan sosis.

“Kak, hari ini ada pelajaran olahraga. Mamet bawa bolanya, ya?” pinta Rahmat.

“Bawa saja Met. Nanti pulang sesuai jadwal atau ada kegiatan di sekolah?” tanyaku.

“Sepertinya tidak ada, Kak. Tapi mungkin saja Mamet di tahan sama guru buat belajar persiapan murid teladan se-SD.” Jawabnya.

“Hati-hati saja, nanti pulang harus bawa  kejutan lagi buat Kakak. Ok.” Tantangku.

“Yah, kalau itu Mamet gak janji.” Tawa Mamet.

Setelah selesai makan, ia sempatkan diri untuk membaca buku sembari menunggu teman-temannya datang.  Kali ini, buku yang ia baca adalah buku teknik sepak bola, yang kubelikan saat di toko buku. Tidak percuma, aku membelikan buku mengenai semua pelajaran, karena pasti akan dibacanya.

Tak lama kemudian, Saiful dan teman-temannya datang menjemput Rahmat. Rahmat mengucapkan salam kepadaku diikuti dengan ucapan salam dari teman-temannya. Pagi ini mereka terlihat cerah dengan wajah yang berseri. Indahnya masa kanak-kanak.

Setelah mereka pergi, suasana kembali tenang, kicauan burung sesekali meributkan pagi ini.

Sekarang pukul tujuh siang, dan Rahmat pulang tengah siang. Untuk menghilangkan rasa kantuk, lebih baik aku olahraga dengan berjalan mengelilingi desa ini.

Akupun bersiap keluar mengelilingi indahnya pemandangan desa. Tujuan utamaku adalah lapangan bola.

Ketika di perjalanan, seperti biasa beberapa orang yang kukenal menyapa diriku. Aku melewati rindangnya sawah yang terhampar luas di desa ini. Setiba di lapangan bola, tak seorangpun yang kulihat disana.

Lapangan dengan tanah becek berlumpur dan hanya ditumbuhi sedikit rumput terhampar di sekitar rumah penduduk desa. Dua gawang yang terbuat dari bambu, menancap di seamping kanan dan kiri tempat aku berdiri. Aku berjalan mendekati tengah lapangan, dengan perlahan kututupi kedua mata ini, sembari merasakan hawa pagi yang sejuk di desa yang asri ini.

Dengan mata terpejam, kulamuni masa laluku. Masa disaat aku mencari jati diri. Suatu masa disaat aku banyak melakukan sesuatu yang baru, sesuatu yang unik, sesuatu yang membanggakan, dan sesuatu yang menyakitkan. Ya, tiada lain adalah masa remajaku.

Aku teringat disaat bermain sepak bola bersama teman sebayaku, ketika itu akulah yang menjadi bintang lapangan bagaikan striker yang ditakuti oleh para lawan. Beberapa cetakan gol telah aku masukan ke gawang lawan, penuh kegembiraan dan penuh keharmonisan.

Disisi lain, aku mengenang saat-saat bersejarah dalam hidup di usia remaja. Saat yang merupakan kebanggaan tersendiri dan menjadi sebuah bekal dasar untuk pekerjaanku sekarang. Ya, aku pernah memenangi olimpiade Biologi tingkat Nasional peringkat kedua.

Dengan kemampuan yang ada, walau saat bersejarah itu kondisiku sedang memburuk. Tetapi berkat karunia-Nya, aku dapat menyelesaikan tantangan olimpiade pada posisi runner up.

Apabila kondisiku sehat, akan memungkinkan untuk mendapat gelar juara olimpade Biologi SMA tingkat Nasional. Tak apa, walau demikian  aku sangat mensyukuri hal itu. Para guru dan teman pun bangga denganku. Bukan hanya bangga dari hasil runner up, tetapi karena kegigihanku belajar suntuk dari pagi berangkat sekolah, waktu istirahat kugunakan untuk belajar, dan pulang pun kugunakan untuk kegiatan les.

Teman-temanku banyak yang mengatakan bahwa aku terlalu memaksakan diri. Mungkin mereka benar, tiga pekan aku menjalani kegiatan rutin untuk menjelang olimpiade Biologi, kondisiku memburuk. Guru pembimbingku, memberi pernyataan tegas sekaligus pertanyaan antara ya atau tidak untuk kesanggupanku mengikuti olimpiade Biologi.

Saat mendapatkan pertanyaan tegas dari guru, aku sangat ragu dan bimbang karena dengan hasil yang jelek pada olimpiade itu, akan membawa dampak buruk bagi nama baik sekolah. Tetapi pertanyaan diajukan pada waktu itu dan harus dijawab pada waktu itu pula, dengan hati yang berat kupaksakan untuk menjawab, Ya.

Dengan perjalanan yang panjang menempuh papan atas, ditambah dengan dua kali pingsan, sekali muntah, dan beberapakali dibawa ke dokter, akhirnya aku mendapatkan hasil yang setara dengan kerja kerasku, juara dua. Ini merupakan pengalaman berharga dan sebagai motivasi diri untuk kedepan yang lebih baik.

Mataku terus terpejam, berdiri tepat di tengah lapangan dengan merasakan hembusan angin sejuk dan sinar mentari yang hangat. Kicauan burung meramaikan pagi, bagaikan alur musik yang berirama. Sambil mendengar kicauan burung, aku mendengar suara langkah kaki tepat dibelakangku. Kubuka mata dan membalikan tubuhku ke asal suara.

“Assalamualaikum, Mas.” Sapa seseorang, yang berada tepat di belakangku.

Aku sangat terkejut ketika membalikan badan terdapat seorang bapak tepat dihadapanku dengan senyum yang ramah. Ternyata yang menyapaku adalah guru ngajinya Rahmat.

“Waalaikumsalam.” Jawabku dengan tersenyum membalasnya.

“Mas Arkan, sedang apa di sini?” tanya beliau.

“Oh, saya cuma ngisi waktu luang dengan jalan-jalan.” Ramahku.

“Wah kebetulan sekali, ayo mampir ke rumah saya. Sekali-kali silaturahim.” Ajak Pak Romli.

Tidak ada salahnya aku mampir ke rumah gurunya Rahmat. Beliau terlihat ikhlas mengajakku.

“Boleh Pak. Dengan senang hati.” Ucapku.

Akupun mengikuti Pak Romli menuju rumahnya. Yang tak jauh dari tempat pengajian. Sebuah rumah yang sederhana, tetapi terlihat sangat elegan. Ketika aku memasuki rumah, seorang ibu berjilbab dan bermuka lembut menyambutku dengan hangat.

“Subhanallah, ini Mas Arkan yang di ceritakan Bapak, ya?” tanya ibu itu pada Pak Romli.

“Iya Bu. Alhamdulillah dia mampir ke rumah kita.” Jawab Pak Romli dengan senyuman.

“Saya istri dari Pak Romli, perkenalkan nama saya Ibu Fatimah.” Ramahnya.

“Saya Arkan.” Jawabku tak kalah ramahnya.

“Mas Arkan silahkan duduk.” Ajak Pak Romli.

“Terima kasih, Pak.” Balasku.

Aku dan Pak Romli duduk di ruang tamu yang kecil, tetapi tertata rapih.

“Ibu, bisa diambilkan minum buat Mas Arkan?” pinta Pak Romli.

“Aduh, terima kasih sekali. Tidak usah repot-repot.” Tolakku dengan sedikit malu.

“Tidak apa-apa, Mas. Biar saya ambilkan dulu.” Jawab Ibu Fatimah dan beranjak masuk mengambilkan minum.

Sungguh luar biasa. Keluarga ini menyambutku dengan penuh kehangatan dan kerukunan. Mereka menyambutku layaknya seorang raja.

Saat duduk di ruang tamu ini, aku melihat beberapa pajangan foto. Terlihat foto keluarga, yang terdiri dari Pak Romli, Ibu Fatimah, dan dua orang perempuan. Mungkin anak mereka.

“Dua orang yang berjilbab itu, foto anak Bapak ya?” tanyaku.

“Benar, salah satu di antara mereka sedang kuliah, sekarang semester tujuh. Sedangkan Kakaknya sudah bekerja sebagai Psikolog. Alhamdulillah anak saya yang pertama itu telah membuka praktik.” Papar Pak Romli.

Pekerjaan ayah dan anak memang tak jauh berbeda. Pak Romli sebagai ustad yang mengayomi penduduk desa dalam bidang beragama, sedangkan anak pertamanya berkerja sebagai psikolog yang memberi ilmu kejiwaan pada masyarakat umum.

Terlihat, Ibu Fatimah membawakan dua gelas teh dan toples berisi makanan ringan, ia membawanya menggunakan nampan merah. Makanan dan minuman ia suguhi di depan meja, di hadapan tempat aku duduk.

“Ayo, Mas Arkan. Silahkan diminum. Mumpung masih hangat.” Tawarnya.

“Terima kasih banyak. Maaf kedatangan saya jadi merepotkan.”

Aku, Pak Romli dan Ibu Fatimah berbincang akrab. Tema perbincangan kemana-mana, di antaranya membahas tentang keunikan desa, warga desa, suka dan duka di desa, tentang anak-anak mereka, sampai hal yang mistis mereka cerita. Tetapi pada hal yang mistis, mereka tak sepenuhnya percaya. Mereka pikir bahwa itu hanyalah ulah orang yang tidak bertanggungjawab, yang hanya menjadikan cerita itu sebagai lelucon untuk menakuti anak-anak.

Yang membuatku bangga dengan cerita mereka adalah perjuangan salah satu anaknya hingga menjadi anak yang berbakti pada orang tua.


Anak mereka yang pertama bernama Anisa. Ia dahulu adalah seseorang yang selalu membantah perkataan kedua orang tuanya. Pak Romli dengan sabar membimbing Anisa menjadi seseorang yang menghargai hidup dengan cara mengadakan pengajian di rumahnya, dan mendatangkan penceramah bagi tamu undangan. Mau atau tidak, Anisa pasti akan mendengarkannya.

Sampai suatu ketika, Anisa disadarkan oleh kejadian nyata yang menimpa sahabat karibnya. Sahabat yang dicurigai membawa dampak buruk terhadap perilaku Anisa, tewas kecelakaan dengan kondisi yang mengenaskan. Kabar yang mereka dengar bahwa temannya, kecelakaan setelah bertengkar hebat dengan kedua orang tuanya. Teman tersebut membantah perintah orangtua dan kabur dari rumah membawa sepeda motor milik ayahnya. Ketika di perjalanan, ia menabrak truk pembawa tangki minyak, dan tewas setelah menderita kesakitan selama dua jam.

Apabila dibayangkan, ini memang benar-benar cerita tragis dan mengerikan. Pantas saja Anisa menyadari kesalahannya, bahwa ia selalu membantah perintah orang tuanya. Hikmah yang dipetik dari ceramah beberapa ustad dan ayahnya sendiri, ia gabungkan dengan kejadian malang yang menimpa temannya.


“Allah akan memberikan hikmah di setiap cobaan-Nya. Saat Anisa membantah kami, kami tak perlu sedih. Sebab kami berdoa supaya Allah menyadarkan Anisa, dan kami harus yakin bahwa akan dikabulkan. Tapi bukan hanya meyakini saja doa itu akan langsung dikabulkan. Kita sebagai hamba Allah dan khalifah yang berada di Bumi, harus menjalankan beberapa kewajiban dan sunah kepada Allah.” Papar Pak Romli panjang lebar, menberikan rangkaian hikmah dari masa lalu anaknya.

“Dan sekarang Alhamdulillah, kami melihat perubahan drastis pada diri Anisa. Sekarang ia telah kembali pada jalan yang benar, dan mengutamakan kewajiban ia sebagai hamba-Nya.” Jelas Ibu Romli.

“Pengalaman spiritual anak Bapak dan Ibu, yang penuh hikmah.” Senyumku.

Tak terasa waktu hampir menunjukan tengah siang, setalah melakukan perbincangan akrab dengan Bapak Romli dan Ibu Fatimah. Aku pamit diri pada mereka. Tanpa ragu mereka memintaku untuk mampir lagi di lain waktu, dan aku hanya menjawab Insya Allah.

Matahari yang semakin panas, membuatku mandi keringat saat beranjak menuju rumah. Tetapi alangkah beruntungnya hari ini, aku dapat mengambil pembelajaran berharga mengenai kehidupan.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com









Tidak ada komentar:

Posting Komentar