Kamis, 13 Juni 2013

Menggenggam Dunia – (13) Jatuh Cinta

“Mamet. Mamet.” panggil teman-teman Rahmat untuk mengajaknya berangkat sekolah bersama.

Kondisi Rahmat masih belum memungkinkan untuk berangkat sekolah. Suhu tubuhnya masih tinggi, padahal ia harus mengikuti tambahan pelajaran rutin setiap pulang sekolah.Aku segera beranjak ke depan rumah.

“Adik-adik, Mamet sedang sakit dari kemarin sore. Bisa tolong izinkan ke guru, kalau hari ini dia tidak berangkat?” pintaku.

“Sakit apa, Kak? Wah, padahal dia bakal ikut lomba siswa teladan.” Sesal Ento, teman Rahmat yang berbadan gemuk.

“Dia hanya kelelahan, mungkin tidak akan lama lagi ia sembuh. Doakan saja ya.” Jawabku.

“Ya sudah, Kak. Salam buat Mamet semoga lekas sembuh dan bisa main bareng lagi. Ya gak teman-teman?” timpal Saiful.

“Jiahh. Pikiranmu main terus Pul. Mamet kan harus belajar buat persiapan lomba.” Jawab tak kalah seru oleh temannya yang lain.

Terlihat teman yang lain mendukungnya, Saiful hanya cengar-cengir.

“Ya sudah, Kak. Kita berangkat sekolah dulu ya, mungkin setelah pulang sekolah kita bakal nengok Mamet.” Lanjut Ento.

“Assalamualaikum, Kak.” Serempak teman-teman Mamet.
“Iya, Waalaikumsalam.”

Kasihan Rahmat, apakah harus membawanya ke rumah sakit? Motor jarang kupakai, dan bensinnya pun habis. Bagaimana aku harus membawa Rahmat?

Aku kembali periksa kondisi Rahmat, suhu tubuhnya tetap tinggi. Aku mengerti bahwa ia hanya sakit panas sesaat. Ya, mungkin dengan obat seadanya akan cukup untuk merawat Rahmat.

Tok. Tok. Tok.

“Mas Arkan?” sapa seseorang dari depan pintu rumah. Suaranya sangat aku kenal.

“Ratih.” Sapaku.

“Mas, Rahmat sakit? Tadi Ratih tidak melihat ia berangkat sekolah bersama temannya.”

“Hem, iya. Dia terlalu kelelahan dan suhu tubuhnya pun panas. Dia perlu istirahat.”

“Boleh saya jenguk?” pintanya.

“Oh ya, dengan senang hati. Silahkan masuk.”

Ratih segera masuk dengan pandangan menunduk seperti menahan malu. Aku segera menyadari dengan apa yang telah aku ucapkan.


Dengan senang hati? Aduh!

            Ratih memegang kening dan leher Rahmat secara bergantian. Raut mukanya berubah. Aku malah berharap, bahwa yang sakit adalah diriku. Sehingga…

“Mas, panas sekali. Apa lebih baik dibawa ke rumah sakit?” tiba-tiba Ratih menanyaiku.

“Eh, hem. Iya, tidak. Ehm, nggak.” Jawabku gugup.

“Maksudnya Mas Arkan?”

Gawat. Apa yang aku pikirkan. Arkan Saputra, konsentrasi!

“Hem, dia bisa aku rawat dengan manual oleh cara alami dan obat tradisional.”

Ratih mengangguk walau terlihat rasa cemasnya. Sungguh, dia terlihat sangat menyayangi Rahmat, dia pantas sebagai kakak bahkan pantas pula sebagai ibu yang merawat anaknya.

Aku teringat ucapan Rahmat ketika Ratih membawakan rantang makanan pada hari ulangtahunnya.

Apakah aku harus memberanikan diri untuk menjalin hubungan dengan Ratih? Setiap aku bertemu Ratih, jantungku seakan berdebar sangat cepat, hatiku sangat jatuh dalam suaranya, jiwaku tentram saat melihat mukanya, bahkan aliran darahku seakan luluh dalam gerak-geriknya. Yang lebih mengherankan lagi, pikiranku dipenuhi rangkaian bait puisi untuk memujinya.

“Mas?”

“Aaaa… E, ada apa?” aku terkejut, tiba-tiba Ratih telah berdiri tepat di hadapanku.

“Ada tamu.” Ucap Ratih.

“Tamu?”

“Ada di belakang, Mas.” Ratih menunjuk belakangku.

“Aaaa…” lagi-lagi aku terkejut. Pak Rudi telah berdiri tepat di hadapanku.

“Selamat Pagi, Mas. Kebetulan pagi ini jam pelajaran saya kosong, maka dari itu saya sempatkan diri untuk menjenguk Rahmat. Apa benar ia sakit? Saya ketahui dari teman-temannya.”

Aku merasa gugup. Dua orang dalam waktu berdekatan, tiba-tiba mengagetkanku dengan cara yang sama pula.

Tenangkan diri. Huft…

            “Terimakasih sudah menengok Rahmat, Pak Rudi. Semenjak kemarin sore, kondisi Rahmat memburuk. Tampaknya ia sangat kelelahan, mungkin keteledoran saya mengajak Rahmat jalan-jalan ke pasar.” Jawabku.

Pak Rudi mendekati Rahmat yang tertidur pulas di ranjang, cara yang ia gunakan sama seperti Ratih untuk memeriksa kondisi Rahmat.

“Panas sekali, apa tidak dibawa ke rumah sakit saja?” Tanya Pak Rudi.

Bahkan pertanyaannya pun sama dengan Ratih.

“Dia dokter, Pak.” Potong Ratih.

“Dokter? Mas Arkan seorang dokter? Saya lihat pada surat wali dari Rahmat, Mas Arkan tidak ada pekerjaan.

“Untuk kali ini saya memilih istirahat dulu.” Aku menjawab dengan sopan.

“Baiklah, jika anda dokter saya akan lebih tenang. Sebab, jika Rahmat sakit dengan sangat berat hati, runner up dari siswa teladan di desa ini yang akan maju dalam lomba tersebut. Kami pihak sekolah, tidak ingin mengambil resiko.” Ungkap Pak Rudi.

Aku terkejut mendengar ucapan Pak Rudi, bagaimanapun Rahmat anak yang berbakat, lomba itu adalah kesempatan yang baik untuknya.

“Baik, Pak. Semoga Rahmat bisa sembuh dan mengikuti perlombaan tersebut.” Jawabku.

***
Aku mengajak Ratih ke teras rumah, sebab bila mengobrol dalam rumah sama saja mengganggu istirahat Rahmat.

“Mas, jika Rahmat masih belum sembuh. Lebih baik dia tidak usah mengikuti perlombaan itu.” Ucap Ratih.

“Ya, aku pikir juga begitu. Aku memegang tanggungjawab untuk merawat Rahmat. Dengan kondisi yang sakit, dia tidak akan bisa untuk konsentrasi belajar, yang ada malah akan tambah memperburuk kondisinya.”

“Ratih awalnya terkejut, bukankah Rahmat baru masuk sekolah? Kenapa bisa langsung diajukan mengikuti perlombaan?”

“Dia membaca semua buku dalam waktu semalam, hari pertama masuk di sekolahannya ada seleksi untuk diajukan menjadi siswa teladan ke tingkat Kota. Uniknya dia adalah anak kelas satu, mengikuti seleksi itu. Akhirnya ia berhasil meraih nilai terbaik. Pak Rudi yang datang tadi mengajukan dia menjadi kelas empat. Karena persyaratannya kelas empat atau kelas lima.” Ungkapku panjang lebar.

“Ya Tuhan, dia luar biasa sekali.”

“Benar, itu ungkapan pertamaku saat bertemu dengan Rahmat ketika bermain bola.”

“Bermain bola?”

“Ya, dia sangat pintar memainkan bola. Kamu pasti akan kagum melihatnya ketika ia menari bersama bola.”

“Mas Arkan, terlihat bangga sekali dengan Rahmat.”

“Ya, dia memang anak yang luar biasa. Jarang kutemui anak seperti dia. Kita bisa lihat, baru pertama kali masuk sekolah, Rahmat sudah dipercaya mengikuti lomba itu.”

“Suatu saat dia pasti akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik dari ini.” Ucap Ratih sembari senyum padaku.

Aku terdiam sejenak. Pandanganku dan pandangan Ratih bertemu. Wajahnya lembut menentramkan hatiku, matanya bagaikan sebutir berlian yang menyilaukan hati. Hatiku bergetar membawa wajahku mendekati wajahnya.

PRANKKKK….

Suara kaca pecah dari dalam rumah. Rahmat, ada apa dengan dia? Segera kuberlari masuk, khawatir akan terjadi hal yang buruk pada Rahmat.

Gelas pecah di samping ranjang tempat Rahmat tertidur. Ia menggeliat lemas dengan muka yang pucat hendak turun dari ranjang.

“Rahmat?” aku berlari menghampiri Rahmat. “Auww!” tak sengaja aku menginjak serpihan beling gelas yang pecah.

“Kak, Mamet mau sekolah. Mamet kesiangan.” Pinta Rahmat dengan tubuh yang lemas.

Ratih mendekati Rahmat dengan berjalan hati-hati, karena berserakannya serpihan beling.

“Rahmat, lihat kondisimu. Kamu harus istirahat.” Ucap Ratih menenangkan Rahmat.

“Mamet udah janji, sepulang sekolah ikut tambahan pelajaran untuk persiapan lomba.” Isak Rahmat memohon.

Sepertinya beling yang kuinjak telah menembus dalam telapak kaki. Aku merasa kesakitan.

“Mamet, tadi Kakak sudah minta izin pada gurumu. Hari ini lebih baik kamu istirahat.” Ucapku.

“Tapi, Kak..”

“Cukup! Met, kamu gak akan ikut lomba jika kondisimu masih sakit. Kalau kamu sudah sehat, Kakak izinkan.” Ucapku dengan tegas.

“Makanya, Rahmat istirahat dulu ya, biar cepat sembuh.” Lanjut Ratih sambil membelai pipi Rahmat.

Ratih, sungguh mulia hatinya. Aku merasa engkau adalah pilihan hidupku. Suatu saat aku akan melamar, karena aku jatuh cinta padamu.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com






Tidak ada komentar:

Posting Komentar