Selasa, 02 Juli 2013

Menggenggam Dunia – (16) Harapan

Waktu terus berjalan bagaikan air yang mengalir. Banyak liku dan banyak tebing yang harus dilalui. Kenangan pahit bersama Ratih, perlahan telah terhapus dari rasa sakit hatiku. Setelah kejadian itu, Ratih tidak pernah berbicara denganku bahkan jarang untuk menemuiku atau sekedar memberi makanan. Tali silaturahmi padanya seakan putus dalam sekejap, padahal sebelumnya Ratih dan aku sangat akrab untuk berbicara.

Rahmat turut bersedih dan menyesal dengan ucapannya karena ia terlalu yakin bahwa Ratih juga memiliki perasaan yang sama denganku. Yang sangat menyakitiku, Ratih tidak pernah cerita tentang tunangannya bahkan sikapnya padaku seakan memberi harapan. Harapan hampa dan kesempatan yang membuatku melambung dengan kesenangan dibalas dengan menjatuhkan hatiku ke palung yang paling terdalam.

Sangat wajib untuk melupakan kenangan itu.

***

Rahmat terus berjuang dengan giat setelah ia sembuh dari demamnya. Semua buku pelajaran bahkan buku kedokteranku tak luput ia baca, tentunya hanya teori kedokteran yang sederhana semacam penyebab penyakit dan cara kesembuhannya.

Waktu untuk bermain dengan teman sebayapun semakin dikurangi, tetapi bukan berarti tidak pernah bermain. Terkadang teman-teman Rahmat mampir ke rumah dan temannya minta diajarkan pelajaran sekolah pada Rahmat. Memang unik, sebenarnya siapa yang sekolah terlebih dahulu? Tapi secara tingkatan kelas itu sangat wajar, Rahmat adalah siswa kelas empat, sedangkan teman-temannya kelas tiga dan kelas dua.

Sepulang sekolah, Rahmat tidak pernah absen untuk hadir dalam pelajaran tambahan oleh guru pembimbingnya. Bahkan Pak Romli terlalu sering mengantarkannya pulang dan berbicara kepadaku tentang perkembangan Rahmat. Pak Romli menceritakan tentang kekagumannya pada Rahmat, tak tangung-tanggung ia mengkategorikan Rahmat sebagai anak yang sangat jenius. Aku merinding mendengarnya dari Pak Romli.

“Lomba akan diadakan dua hari lagi, Mas. Saya harap Mas Arkan bisa membimbing Rahmat di rumah, dan sebaiknya untuk besok Rahmat istirahat di rumah agar lebih siap untuk menghadapi ujian.” Ungkap Pak Romli.

“Pasti, Pak. Ini kesempatan Rahmat untuk berprestasi. Saya pribadi dan tentunya almarhum kedua orangtuanya akan sangat bangga pada Rahmat. Jika boleh tau, bagaimana sikap Rahmat di sekolah?”

“Dia memiliki pengetahuan yang luas. Ketika saya ajukan sesi tanya jawab tentang solusi suatu permasalahan, betapa hebatnya ia mengeluarkan ide-ide cemerlang yang dibungkus dengan kata-kata yang rapi. Seakan-akan dia sudah ahli dalam solusi yang ia berikan itu. Makan apa sih Rahmat itu?” candanya.

“Hahaha, seperti biasa Pak, makan seadanya. Memang di rumah ia selalu  membaca buku mengenai hal-hal yang baru, ia langsung bertanya jika ada hal yang ingin diketahui. Selama ini yang saya ketahui bahwa Rahmat tidak terlalu menyukai dengan pelajaran kesenian. Semoga saja, kelemahan itu tidak ditunjukan saat Rahmat mengikuti lomba tersebut.”

Pak Romli terdiam sesaat, terlihat sepertinya memikirkan sesuatu.

“Kenapa Pak Romli?” tanyaku memecah lamunannya.

“Begini Mas Arkan, dari awal saya ingin berkata hal ini pada Mas Arkan. Sebenarnya dari awal para guru kurang setuju bahwa Rahmat mengikuti lomba tersebut, karena hal tersebut membawa nama daerah ini untuk berprestasi di tingkat kota. Murid teladan sebelumnya dari perwakilan daerah ini tidak pernah berprestasi menjuarai Murid Teladan SD tingkat Kota bahkan masuk babak dua belas besarpun tidak pernah. Maka dari itu banyak guru yang merasa pesimis bahwa anak yang baru masuk sekolah adalah yang terpilih. Tetapi melihat perkembangan Rahmat akhir-akhir ini, entah kenapa saya sangat yakin minimal Rahmat bisa masuk dalam dua belas besar siswa teladan di Kota ini. Dan semoga Rahmat bisa menjawab keraguan dari para guru.”

“Amin. Semoga saja Pak.” harapku.

Sumber:  http://aliwasi.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar