Kami kini memiliki Hauzan. Bocah laki-laki yang
kini dudukdi kelas satu sekolah dasar. Kami tinggal di rumah mungil yang
sudah dua tahunlebih kami miliki dengan cara mencicil. Tak sefantastis
hidup Mbak Larasmungkin, tapi sungguh aku belum pernah sebahagia ini
sebelumnya. Hidupku terasabegitu lengkap. Mas Endi mencintaiku dan makin
memperlihatkan cinta yang begitubesar setiap harinya. Yang terpenting,
ia selalu menghargaiku sebagai seorangwanita, memperlakukanku layaknya
makhluk berharga yang layak dicintai.
”Dewi?”
Sebuah elusan di kepalaku membuatku tersentak. Mas Endi memandangku denganheran.
”Pagi-pagi begini melamunkan apa?” Aku tersenyum malu.
”Ada yang datang, ya?” Ia menunjuk pintu pagar yang belum sempat kututup.
”Mbak Laras.”
”Mbak Laras?” Keningnya berkerut. ”Kakakmu?”
Aku tertawa. ”Ya, Mas. Siapa lagi? Entah mimpi apa semalam dia ke sini. Cumanitip duit buat jajan Hauzan katanya.”
Kening Mas Endi masih berkerut. Kutahu ia makin bingung. Tapi, tak kupedulikan.Aku masuk dengan senyum-senyum sendiri. Tugas pagiku masih banyak. Membuatsarapan, memasukkan cucian dalam mesin cuci, memandikan Hauzan, lalumengantarnya ke sekolah.
Tiba
di depan gerbang rumah Mbak Laras yang bisa dibilangmirip istana kecil
di negeri antah berantah, seorang satpam bertubuh tegapmenghadangku.
Sepertinya satpam baru. Maklum, aku jarang sekali ke sini.Kira-kira tiga
bulan yang lalu terakhir kali aku menginjakkan kaki di rumah
besarbergaya Prancis ini, saat ulang tahun Ibu.”Dewi?”
Sebuah elusan di kepalaku membuatku tersentak. Mas Endi memandangku denganheran.
”Pagi-pagi begini melamunkan apa?” Aku tersenyum malu.
”Ada yang datang, ya?” Ia menunjuk pintu pagar yang belum sempat kututup.
”Mbak Laras.”
”Mbak Laras?” Keningnya berkerut. ”Kakakmu?”
Aku tertawa. ”Ya, Mas. Siapa lagi? Entah mimpi apa semalam dia ke sini. Cumanitip duit buat jajan Hauzan katanya.”
Kening Mas Endi masih berkerut. Kutahu ia makin bingung. Tapi, tak kupedulikan.Aku masuk dengan senyum-senyum sendiri. Tugas pagiku masih banyak. Membuatsarapan, memasukkan cucian dalam mesin cuci, memandikan Hauzan, lalumengantarnya ke sekolah.
”Siang, Bu,” Pak Satpam menyapaku ramah. Ternyata, ia tak sesangar wajahnyayang dihiasi kumis tebal. ”Ibu ingin bertemu siapa?”
”Mayang,” jawabku singkat.
”Ehm... maaf, Bu, kalau boleh tahu, Ibu ini siapa?”
”Aduh... Bu Dewi...,” seorang pria agak tua, bertubuh kurus dan dalam seragamyang sama dengan ’Pak Kumis’, menyahut dari belakang. Tergopoh-gopoh ia keluarmenghampiri kami dan tersenyum padaku.
”Maaf, Bu. Maklum satpam baru.” Pak Joko, yang telah menjadi satpam sejak MbakLaras mendiami rumah ini, menarik satpam berkumis tadi mundur. ”Ini Bu Dewi,adiknya Bu Larasati! Kakaknya Mbak Mayang.”
Spontan Pak Kumis meminta maaf. Aku pun membalasnya dengan senyum. Tak ada yangperlu dibesar-besarkan. Toh, aku bukan orang yang gila hormat. Mereka takmengenal diriku pun tak apa-apa. Asal mereka tahu bersikap sopan. Itu yangpenting.
Di halaman, Mbok Surti menyambutku dengan wajah riang. Wanita paruh baya inimemang selalu sumringah jika bertemu denganku. Mungkin karena aku yang palingsering menyapa dan menanyakan keadaannya. Mungkin karena di antara kamibertiga, aku yang paling manusiawi, begitu komentar Mas Endi.
”Sehat, Mbok?” aku menepuk bahunya pelan, tanda senang bertemu dengannya. Matasipitnya memicing, karena tertarik oleh senyum lebar yang mirip sebuah tawatanpa suara.
”Non sudah lama tidak ke sini,” ujarnya, seperti sedang memprotesku.Digendongnya Hauzan seraya mencium pipi kiri dan kanannya. ”Mbok kangen samaDen ganteng yang satu ini....”
”Ibu mana?” aku bertanya seraya mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.
”Ada di atas, Non. Mungkin lagi tiduran. Belakangan punggungnya suka sakit.”
Kesan mewah memenuhi perasaanku ketika melangkah memasuki ruang tamu. Beberapaguci raksasa antik buatan Cina berdiri megah di sudut-sudut ruangan, yang pastitakkan orang temui di rumahku yang mungil. Perabotan dari kristal berjejeranggun di atas bufet model terbaru. Aku akan berpikir seribu kali untukmembelanjakan uang demi perabotan mahal yang harganya bisa sampai jutaan rupiahitu. Sofa berwarna kuning emas, elegan sekali, serasi dengan pernak-pernikbantal kursi plus taplak. Hanya dengan meliriknya dari jauh akan segeraterdeteksi bahwa barang-barang tersebut sungguh barang berkelas. Mahal danangkuh. Tak sadar aku merinding.
”Hauzan?” suara Ibu yang kukenal bertahun-tahun menyambut.
Beliau melangkah tertatih menuruni tangga dikarenakan berat badannya yang makinnaik. Segera kusongsong beliau. Kucium jemarinya dan kedua belah pipinya. Jujursaja, meski begitu banyak luka yang tertoreh di hatiku dikarenakan sikap beliaupadaku, aku terkadang merindukannya. Hari-hari di masa lalu yang pernahkurangkai bersamanya, banyak yang pedih untuk diingat. Tapi, aku sadar,karenanya, aku bisa setegar ini. Karenanya, aku bisa memaknai hari-hari indahyang kini kumiliki dan terus mensyukurinya.
”Ibu sehat?”
Wanita dengan uban memenuhi kepalanya itu mengangguk tanpa senyum. Sikapnyapadaku masih sedingin biasanya. Tetapi, aku pun sudah terbiasa dan tidak pernahlagi memendam perih karena sikap Ibu tersebut. Selalu kuingatkan diriku bahwaibuku adalah manusia biasa yang jauh dari sempurna. Beliau punya kekurangan danaku ingin memakluminya, karena aku adalah anak yang mencintainya.
Hauzan tak langsung menyongsong tangan Ibu yang terbuka lebar. Mata polosnyamemandangku berkali-kali, lalu melihat Ibu seperti melihat seseorang yang baruia lihat sebelumnya. Ibu balik memandangku dengan tajam. Seperti sedang menuduhaku yang melarang Hauzan mendekatinya.
Aku berjalan menuju Hauzan. Bocah itu langsung merengkuh tanganku erat-erat.Kugendong ia mendekati Ibu seraya berbisik di telinganya, “Hauzan tadi lihatBunda mencium Nenek ya, Sayang? Nenek kan ibunya Bunda. Hauzan juga cium pipiNenek, ya?“
”Mayang,” jawabku singkat.
”Ehm... maaf, Bu, kalau boleh tahu, Ibu ini siapa?”
”Aduh... Bu Dewi...,” seorang pria agak tua, bertubuh kurus dan dalam seragamyang sama dengan ’Pak Kumis’, menyahut dari belakang. Tergopoh-gopoh ia keluarmenghampiri kami dan tersenyum padaku.
”Maaf, Bu. Maklum satpam baru.” Pak Joko, yang telah menjadi satpam sejak MbakLaras mendiami rumah ini, menarik satpam berkumis tadi mundur. ”Ini Bu Dewi,adiknya Bu Larasati! Kakaknya Mbak Mayang.”
Spontan Pak Kumis meminta maaf. Aku pun membalasnya dengan senyum. Tak ada yangperlu dibesar-besarkan. Toh, aku bukan orang yang gila hormat. Mereka takmengenal diriku pun tak apa-apa. Asal mereka tahu bersikap sopan. Itu yangpenting.
Di halaman, Mbok Surti menyambutku dengan wajah riang. Wanita paruh baya inimemang selalu sumringah jika bertemu denganku. Mungkin karena aku yang palingsering menyapa dan menanyakan keadaannya. Mungkin karena di antara kamibertiga, aku yang paling manusiawi, begitu komentar Mas Endi.
”Sehat, Mbok?” aku menepuk bahunya pelan, tanda senang bertemu dengannya. Matasipitnya memicing, karena tertarik oleh senyum lebar yang mirip sebuah tawatanpa suara.
”Non sudah lama tidak ke sini,” ujarnya, seperti sedang memprotesku.Digendongnya Hauzan seraya mencium pipi kiri dan kanannya. ”Mbok kangen samaDen ganteng yang satu ini....”
”Ibu mana?” aku bertanya seraya mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.
”Ada di atas, Non. Mungkin lagi tiduran. Belakangan punggungnya suka sakit.”
Kesan mewah memenuhi perasaanku ketika melangkah memasuki ruang tamu. Beberapaguci raksasa antik buatan Cina berdiri megah di sudut-sudut ruangan, yang pastitakkan orang temui di rumahku yang mungil. Perabotan dari kristal berjejeranggun di atas bufet model terbaru. Aku akan berpikir seribu kali untukmembelanjakan uang demi perabotan mahal yang harganya bisa sampai jutaan rupiahitu. Sofa berwarna kuning emas, elegan sekali, serasi dengan pernak-pernikbantal kursi plus taplak. Hanya dengan meliriknya dari jauh akan segeraterdeteksi bahwa barang-barang tersebut sungguh barang berkelas. Mahal danangkuh. Tak sadar aku merinding.
”Hauzan?” suara Ibu yang kukenal bertahun-tahun menyambut.
Beliau melangkah tertatih menuruni tangga dikarenakan berat badannya yang makinnaik. Segera kusongsong beliau. Kucium jemarinya dan kedua belah pipinya. Jujursaja, meski begitu banyak luka yang tertoreh di hatiku dikarenakan sikap beliaupadaku, aku terkadang merindukannya. Hari-hari di masa lalu yang pernahkurangkai bersamanya, banyak yang pedih untuk diingat. Tapi, aku sadar,karenanya, aku bisa setegar ini. Karenanya, aku bisa memaknai hari-hari indahyang kini kumiliki dan terus mensyukurinya.
”Ibu sehat?”
Wanita dengan uban memenuhi kepalanya itu mengangguk tanpa senyum. Sikapnyapadaku masih sedingin biasanya. Tetapi, aku pun sudah terbiasa dan tidak pernahlagi memendam perih karena sikap Ibu tersebut. Selalu kuingatkan diriku bahwaibuku adalah manusia biasa yang jauh dari sempurna. Beliau punya kekurangan danaku ingin memakluminya, karena aku adalah anak yang mencintainya.
Hauzan tak langsung menyongsong tangan Ibu yang terbuka lebar. Mata polosnyamemandangku berkali-kali, lalu melihat Ibu seperti melihat seseorang yang baruia lihat sebelumnya. Ibu balik memandangku dengan tajam. Seperti sedang menuduhaku yang melarang Hauzan mendekatinya.
Aku berjalan menuju Hauzan. Bocah itu langsung merengkuh tanganku erat-erat.Kugendong ia mendekati Ibu seraya berbisik di telinganya, “Hauzan tadi lihatBunda mencium Nenek ya, Sayang? Nenek kan ibunya Bunda. Hauzan juga cium pipiNenek, ya?“
Untunglah
Hauzan anak yang penurut. Ia mau saja turun darigendonganku dan meraih
tangan Ibu. Dengan berjinjit diciumnya kedua belah pipiIbu yang
membungkuk padanya. Aku menarik napas lega. Begitu pula Mbok Surtiyang
sedari tadi berdiri dengan tegang mengamati kami. Aku mengedipkan
sebelahmata padanya agar segera menyingkir sebelum Ibu menegurnya.
”Beginilah kalau kau jarang membawa Hauzan ke sini. Anakmu jadi tidak kenalsiapa neneknya,” Ibu mulai mengomel. Aku tahu, hal ini akan membutuhkan waktuyang cukup panjang. Karenanya, aku segera mengambil tempat di sofa dan berusahaduduk senyaman mungkin.
Mbok Surti membawa dua gelas jus jeruk, dua stoples kue kering, dua potongpuding cokelat, dan seplastik permen warna-warni yang segera membuat mataHauzan berbinar ceria. Begini kalau bertamu di rumah orang kaya, segala jenismakanan tersedia lengkap.
Aku menikmati pudingku dengan serius. Sementara, Ibu masih melanjutkanocehannya tentang aku yang tak pernah menelepon, tentang suamiku yang takpernah ikut menengoknya, tentang kami yang lupa diri sejak menikah, tentangHauzan yang pertumbuhannya kurang karena tak minum susu formula impor sepertiyang diminum anak-anak Mbak Laras sejak kecil, dan tentangkekurangan-kekurangan kami lainnya yang tak pernah coba dimaklumi Ibu.
Dulu tiap dua hari sekali aku selalu ingat untuk menelepon Ibu. Kini tidaklagi. Terkadang lebih sering beliau tak mau mengangkat teleponku dengan alasancapek atau sudah mengantuk. Terkadang diangkatnya, tapi beliau menanggapidengan amat dingin dan bertanya: ”Ada perlu apa kau mencari Ibu?” Akhirnya,acara menelepon Ibu yang dua hari sekali, dengan minta pertimbangan dari MasEndi, kukurangi menjadi sekali seminggu. Setidaknya aku punya alasan. Jika Iburagu atas niat baikku menghubunginya, aku bisa bilang bahwa aku rindu padanyakarena sudah lama tak mendengar suaranya.
Dan, Ibu memang tak pernah menyukai Mas Endi sebesar ia menyukai Mas Dewo,suami Mbak Laras. Bahkan, sampai setengahnya pun tidak. Aku maklum, demikianpula Mas Endi. Dan, hal itu tak pernah menjadi masalah yang patutdibesar-besarkan menurut kami. Rasa hormat kami pada Ibu tak pernah kurang karenanya.
”Beginilah kalau kau jarang membawa Hauzan ke sini. Anakmu jadi tidak kenalsiapa neneknya,” Ibu mulai mengomel. Aku tahu, hal ini akan membutuhkan waktuyang cukup panjang. Karenanya, aku segera mengambil tempat di sofa dan berusahaduduk senyaman mungkin.
Mbok Surti membawa dua gelas jus jeruk, dua stoples kue kering, dua potongpuding cokelat, dan seplastik permen warna-warni yang segera membuat mataHauzan berbinar ceria. Begini kalau bertamu di rumah orang kaya, segala jenismakanan tersedia lengkap.
Aku menikmati pudingku dengan serius. Sementara, Ibu masih melanjutkanocehannya tentang aku yang tak pernah menelepon, tentang suamiku yang takpernah ikut menengoknya, tentang kami yang lupa diri sejak menikah, tentangHauzan yang pertumbuhannya kurang karena tak minum susu formula impor sepertiyang diminum anak-anak Mbak Laras sejak kecil, dan tentangkekurangan-kekurangan kami lainnya yang tak pernah coba dimaklumi Ibu.
Dulu tiap dua hari sekali aku selalu ingat untuk menelepon Ibu. Kini tidaklagi. Terkadang lebih sering beliau tak mau mengangkat teleponku dengan alasancapek atau sudah mengantuk. Terkadang diangkatnya, tapi beliau menanggapidengan amat dingin dan bertanya: ”Ada perlu apa kau mencari Ibu?” Akhirnya,acara menelepon Ibu yang dua hari sekali, dengan minta pertimbangan dari MasEndi, kukurangi menjadi sekali seminggu. Setidaknya aku punya alasan. Jika Iburagu atas niat baikku menghubunginya, aku bisa bilang bahwa aku rindu padanyakarena sudah lama tak mendengar suaranya.
Dan, Ibu memang tak pernah menyukai Mas Endi sebesar ia menyukai Mas Dewo,suami Mbak Laras. Bahkan, sampai setengahnya pun tidak. Aku maklum, demikianpula Mas Endi. Dan, hal itu tak pernah menjadi masalah yang patutdibesar-besarkan menurut kami. Rasa hormat kami pada Ibu tak pernah kurang karenanya.
Sumber: http://www.femina.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar