Minggu, 19 Mei 2013

Ikhlas [4]

Justru terkadang Mas Endi yang menasihatiku panjang lebar tentang bagaimana memahami Ibu di usianya yang telah berumur dan tak punya suami. Biasanya, orang tua seperti Ibu amat peka perasaannya, sering mudah salah paham dan kekanak-kanakan. Lagi pula, seingatku, setiap ada acara keluarga, baik dari pihak keluarga Mas Endi ataupun dari pihak keluargaku, Mas Endi selalu menyempatkan datang. Hanya beberapa bulan terakhir ini waktunya menjadi sempit karena ia kuliah lagi untuk meraih gelar masternya. Aku belum pernah sempat memberi tahu Ibu tentang hal tersebut, karena Ibu pun tak pernah bertanya mengenai suamiku.

Mengenai susu formula, kupikir adalah hakku sebagai orang tua Hauzan untuk menentukan yang terbaik bagi putraku. Aku tak memberi Hauzan susu formula impor yang harganya selangit, bukan karena tak sayang pada anak semata wayangku itu. Sebagai ibu rumah tangga, aku harus pintar-pintar mengatur keuangan rumah tangga kami agar semuanya bisa berjalan lancar.

Aku cukup puas dengan salah satu merek susu produksi dalam negeri yang kugunakan sejak berhenti menyusui Hauzan selama dua tahun. Anakku jarang sakit. Meski tak gemuk (pertumbuhan tubuhnya yang sedang-sedang saja, kupikir karena ibu-bapaknya yang tak gemuk dan berpostur sedang), ia sangat cerdas. Sejak di taman kanak-kanak ia sudah pandai membaca dan berhitung. Kini ia sudah mulai kuajarkan istilah-istilah bahasa Inggris yang digunakan sehari-hari. Ia sudah bisa menyebutkan peralatan sekolahnya dalam bahasa Inggris.

Tetapi, Ibu tak pernah tahu, karena sepertinya Ibu memang tak pernah ingin tahu. Terkadang, saat Hauzan sakit, ibu mertuaku yang pertama mendaftarkan diri sebagai sukarelawan. Ibuku jarang tahu karena kami memang tak pernah ingin menyusahkan. Apalagi, pernah sekali aku memberi tahu Ibu tentang keadaan Hauzan yang merah-merah sekujur badannya karena alergi, Ibu malah mendampratku dan menuduhku tak becus mengurusi anak yang cuma satu.

Berbeda dari ibu mertuaku. Wanita bertubuh ramping dan bermata teduh itu amat berbeda perangainya dari Ibu. Seminggu dua kali ia datang bersama bapak mertuaku atau dibonceng motor oleh adik Mas Endi yang paling kecil. Tiap dua minggu sekali ia menginap di rumah kami selama beberapa hari. Maklum, Hauzan adalah cucu pertama di keluarga mereka.

Karenanya, meski Ibu acuh tak acuh, Hauzan tak pernah kekurangan kasih sayang seorang nenek. Ibu Endi adalah seorang wanita yang amat sabar dan telaten. Tak pernah sekali pun ia mengomeliku dengan kata-kata pedas atau menyalahkanku jika Hauzan sakit.

Terkadang hatiku trenyuh dan tak henti-hentinya mengucap syukur bahwa anak semata wayangku tak kekurangan kasih sayang sedikit pun dari orang-orang di sekelilingnya. Tidak seperti diriku dulu yang hanya memperoleh kasih sayang dari Bapak.

”Mayang mana, Bu?” tanyaku, setelah ceramah Ibu yang panjang lebar yang hanya mampu kusimak setengahnya saja. Paras wanita tua itu masih belum berubah. Tetap saja memamerkan kewibawaan yang amat sangat. Aku benar-benar merasa seperti tamu dibuatnya.

”Tak tahu ke mana dia,” sahut Ibu, ketus. ”Harusnya kau sekali-sekali nasihati dia agar tak terlalu banyak main. Sudah lima tahun kuliahnya belum selesai-selesai juga. Mau jadi apa nantinya? Masa cuma Mbak Larasmu yang bisa jadi orang?”

Jus jeruk manis yang tengah kuseruput terasa pahit di lidahku. Jadi orang? Cuma Mbak Laras? Lantas aku? Sepertinya aku benar-benar tak berharga di mata Ibu.

Kuraih tasku. Hauzan yang tengah menghitung permen di meja segera kugendong. Mata Ibu mendelik melihat tingkahku.

”Mau ke mana kau?”

”Pulang, Bu.” Aku mencoba tersenyum, meski hatiku sedang menangis.

”Kau kenapa?” Nada suara Ibu meninggi. “Apa Ibu salah ngomong?”

Aku menggeleng, masih coba tersenyum. Salah ngomong? Ibu bahkan tidak sadar telah melukai perasaanku. Rasanya kedua mataku mulai panas.

Dewi memang tidak pernah bisa membuat Ibu bangga.

Mata Ibu seakan menelanjangiku. Beliau seperti bisa membaca pikiranku.

”Tidak apa-apa, Bu. Ibu mertuaku akan datang siang ini,” aku membuat alasan. Ingin kusalami, tapi wanita tua itu menahan tangannya. Wajahnya terlihat amat geram. Apa salahku? Bukankah beliau yang mulai mencelaku sedari tadi?

”Kau memang sengaja menjauhkan Ibu dari cucu Ibu.”

Langkahku terhenti. Tuduhan apa pula ini?

”Maksud Ibu?”

”Kau pura-pura tidak mengerti, ya?” Kulihat matanya tengah memandangku tajam. ”Kau sengaja jarang datang. Sampai-sampai anakmu tidak kenal pada neneknya sendiri. Atau, suamimu yang mengajarimu....”

Jangan bawa-bawa Mas Endi, Bu! Dewi memang jarang datang, karena Dewi tahu betul Ibu tak terlalu suka dengan kehadiran Dewi. Ibu bahkan tidak mau main ke rumah kami, meski sekadar menengok Hauzan. Kenapa, Bu? Karena rumah kami kecil? Karena Mas Endi bukan anak konglomerat? Atau... atau karena aku bukan anak kesayangan Ibu sejak dulu?

Kurasakan mataku yang panas berangsur basah. Perjalanan hidupku menyisakan banyak sekali kenangan bersama Ibu yang tak pernah tulus menyayangiku. Ibu yang senantiasa ada di dekatku, tetapi tak pernah kurasakan belaian sayangnya. Ibu yang setiap hari kulihat, tetapi tak pernah bisa kupeluk, karena beliau begitu angkuh untuk membiarkanku bermanja-manja di pangkuannya. Apa yang salah dengan diriku sehingga beliau tak pernah sedikit pun bahagia melihatku? Padahal, di antara kami bertiga, akulah yang tak pernah membantah ucapannya dan tak pernah melanggar perintahnya.

”Dewi pulang, Bu.”

Aku berlalu dan tak menoleh lagi. Kupeluk erat-erat buah hatiku seakan ingin memastikan bahwa takkan pernah kubiarkan ia mengalami semua hal yang pernah kualami bersama Ibu. Aku tahu, hari ini aku telah menggores lagi sebuah luka yang tak kusengaja di hati beliau. Tetapi, biarlah, sepertinya sudah takdirku bahwa di setiap detik dalam hidupnya yang menyangkut aku adalah penyesalan yang takkan pernah termaafkan. Meski tak kutahu sebabnya, aku akan belajar mengerti.

Maafkan aku, Bu.

Satu minggu setelah pertemuanku dengan Ibu di rumah Mbak Laras, Mbak Laras masih gencar mendesakku lewat telepon untuk bertemu Mayang. Tetapi, aku pura-pura sibuk, atau terkadang ponselku tak kuaktifkan sepanjang hari.

Hari ini, permaisuri ratu menyambangiku di sekolah tempat aku mengajar. Bukan untuk menjemput Raka anak sulungnya, tentu. Tak pernah sekali pun aku melihatnya hadir pada pertemuan orang tua siswa. Tapi, sebagian besar guru maklum, apalagi Mas Dewo, suami Mbak Laras, adalah salah seorang donatur penting bagi sekolah ini.

Aku sedang memeriksa hasil ujian harian siswa di kelas, sementara satu per satu siswa telah meninggalkan kelas. Aku memang tak langsung pulang. Biasanya, pekerjaan seperti ini kuusahakan selesai di sekolah agar tak mengganggu pekerjaanku di rumah. Apalagi, aku selalu tak sabar ingin tahu nilai anak-anak didikku, apakah mengalami kemajuan atau tidak.

Sebuah lembar jawaban kucoret dengan tinta merah dan kuberi nilai nol yang amat besar. Nama yang tertera di sudut kanan atas: Raka Prasetya. Tidak ada yang bisa kulakukan dengan lembar jawaban ini, karena dua puluh nomor yang kuberikan pada ujian tadi kesemuanya dijawab dengan ngawur. Ini ujian ketiga kalinya dan semuanya dilalui Raka dengan gagal total. Padahal, seingatku, di kelas dua dulu ia memiliki nilai bahasa Inggris di atas rata-rata. Bahkan kalau tidak salah, ia ikut les bahasa Inggris sejak masih di sekolah dasar.

”Kau sulit sekali dihubungi,” ujarnya, tak ramah.

Sumber: http://www.femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar