Justru terkadang Mas Endi yang menasihatiku panjang lebar tentang
bagaimana memahami Ibu di usianya yang telah berumur dan tak punya
suami. Biasanya, orang tua seperti Ibu amat peka perasaannya, sering
mudah salah paham dan kekanak-kanakan. Lagi pula, seingatku, setiap ada
acara keluarga, baik dari pihak keluarga Mas Endi ataupun dari pihak
keluargaku, Mas Endi selalu menyempatkan datang. Hanya beberapa bulan
terakhir ini waktunya menjadi sempit karena ia kuliah lagi untuk meraih
gelar masternya. Aku belum pernah sempat memberi tahu Ibu tentang hal
tersebut, karena Ibu pun tak pernah bertanya mengenai suamiku.
Mengenai
susu formula, kupikir adalah hakku sebagai orang tua Hauzan untuk
menentukan yang terbaik bagi putraku. Aku tak memberi Hauzan susu
formula impor yang harganya selangit, bukan karena tak sayang pada anak
semata wayangku itu. Sebagai ibu rumah tangga, aku harus pintar-pintar
mengatur keuangan rumah tangga kami agar semuanya bisa berjalan lancar.
Aku
cukup puas dengan salah satu merek susu produksi dalam negeri yang
kugunakan sejak berhenti menyusui Hauzan selama dua tahun. Anakku jarang
sakit. Meski tak gemuk (pertumbuhan tubuhnya yang sedang-sedang saja,
kupikir karena ibu-bapaknya yang tak gemuk dan berpostur sedang), ia
sangat cerdas. Sejak di taman kanak-kanak ia sudah pandai membaca dan
berhitung. Kini ia sudah mulai kuajarkan istilah-istilah bahasa Inggris
yang digunakan sehari-hari. Ia sudah bisa menyebutkan peralatan
sekolahnya dalam bahasa Inggris.
Tetapi, Ibu tak pernah tahu,
karena sepertinya Ibu memang tak pernah ingin tahu. Terkadang, saat
Hauzan sakit, ibu mertuaku yang pertama mendaftarkan diri sebagai
sukarelawan. Ibuku jarang tahu karena kami memang tak pernah ingin
menyusahkan. Apalagi, pernah sekali aku memberi tahu Ibu tentang keadaan
Hauzan yang merah-merah sekujur badannya karena alergi, Ibu malah
mendampratku dan menuduhku tak becus mengurusi anak yang cuma satu.
Berbeda
dari ibu mertuaku. Wanita bertubuh ramping dan bermata teduh itu amat
berbeda perangainya dari Ibu. Seminggu dua kali ia datang bersama bapak
mertuaku atau dibonceng motor oleh adik Mas Endi yang paling kecil. Tiap
dua minggu sekali ia menginap di rumah kami selama beberapa hari.
Maklum, Hauzan adalah cucu pertama di keluarga mereka.
Karenanya,
meski Ibu acuh tak acuh, Hauzan tak pernah kekurangan kasih sayang
seorang nenek. Ibu Endi adalah seorang wanita yang amat sabar dan
telaten. Tak pernah sekali pun ia mengomeliku dengan kata-kata pedas
atau menyalahkanku jika Hauzan sakit.
Terkadang hatiku trenyuh
dan tak henti-hentinya mengucap syukur bahwa anak semata wayangku tak
kekurangan kasih sayang sedikit pun dari orang-orang di sekelilingnya.
Tidak seperti diriku dulu yang hanya memperoleh kasih sayang dari Bapak.
”Mayang mana, Bu?” tanyaku, setelah ceramah Ibu yang panjang
lebar yang hanya mampu kusimak setengahnya saja. Paras wanita tua itu
masih belum berubah. Tetap saja memamerkan kewibawaan yang amat sangat.
Aku benar-benar merasa seperti tamu dibuatnya.
”Tak tahu ke mana
dia,” sahut Ibu, ketus. ”Harusnya kau sekali-sekali nasihati dia agar
tak terlalu banyak main. Sudah lima tahun kuliahnya belum
selesai-selesai juga. Mau jadi apa nantinya? Masa cuma Mbak Larasmu yang
bisa jadi orang?”
Jus jeruk manis yang tengah kuseruput terasa
pahit di lidahku. Jadi orang? Cuma Mbak Laras? Lantas aku? Sepertinya
aku benar-benar tak berharga di mata Ibu.
Kuraih tasku. Hauzan yang tengah menghitung permen di meja segera kugendong. Mata Ibu mendelik melihat tingkahku.
”Mau ke mana kau?”
”Pulang, Bu.” Aku mencoba tersenyum, meski hatiku sedang menangis.
”Kau kenapa?” Nada suara Ibu meninggi. “Apa Ibu salah ngomong?”
Aku
menggeleng, masih coba tersenyum. Salah ngomong? Ibu bahkan tidak sadar
telah melukai perasaanku. Rasanya kedua mataku mulai panas.
Dewi memang tidak pernah bisa membuat Ibu bangga.
Mata Ibu seakan menelanjangiku. Beliau seperti bisa membaca pikiranku.
”Tidak
apa-apa, Bu. Ibu mertuaku akan datang siang ini,” aku membuat alasan.
Ingin kusalami, tapi wanita tua itu menahan tangannya. Wajahnya terlihat
amat geram. Apa salahku? Bukankah beliau yang mulai mencelaku sedari
tadi?
”Kau memang sengaja menjauhkan Ibu dari cucu Ibu.”
Langkahku terhenti. Tuduhan apa pula ini?
”Maksud Ibu?”
”Kau
pura-pura tidak mengerti, ya?” Kulihat matanya tengah memandangku
tajam. ”Kau sengaja jarang datang. Sampai-sampai anakmu tidak kenal pada
neneknya sendiri. Atau, suamimu yang mengajarimu....”
Jangan
bawa-bawa Mas Endi, Bu! Dewi memang jarang datang, karena Dewi tahu
betul Ibu tak terlalu suka dengan kehadiran Dewi. Ibu bahkan tidak mau
main ke rumah kami, meski sekadar menengok Hauzan. Kenapa, Bu? Karena
rumah kami kecil? Karena Mas Endi bukan anak konglomerat? Atau... atau
karena aku bukan anak kesayangan Ibu sejak dulu?
Kurasakan mataku
yang panas berangsur basah. Perjalanan hidupku menyisakan banyak sekali
kenangan bersama Ibu yang tak pernah tulus menyayangiku. Ibu yang
senantiasa ada di dekatku, tetapi tak pernah kurasakan belaian
sayangnya. Ibu yang setiap hari kulihat, tetapi tak pernah bisa kupeluk,
karena beliau begitu angkuh untuk membiarkanku bermanja-manja di
pangkuannya. Apa yang salah dengan diriku sehingga beliau tak pernah
sedikit pun bahagia melihatku? Padahal, di antara kami bertiga, akulah
yang tak pernah membantah ucapannya dan tak pernah melanggar
perintahnya.
”Dewi pulang, Bu.”
Aku berlalu dan tak
menoleh lagi. Kupeluk erat-erat buah hatiku seakan ingin memastikan
bahwa takkan pernah kubiarkan ia mengalami semua hal yang pernah kualami
bersama Ibu. Aku tahu, hari ini aku telah menggores lagi sebuah luka
yang tak kusengaja di hati beliau. Tetapi, biarlah, sepertinya sudah
takdirku bahwa di setiap detik dalam hidupnya yang menyangkut aku adalah
penyesalan yang takkan pernah termaafkan. Meski tak kutahu sebabnya,
aku akan belajar mengerti.
Maafkan aku, Bu.
Satu minggu
setelah pertemuanku dengan Ibu di rumah Mbak Laras, Mbak Laras masih
gencar mendesakku lewat telepon untuk bertemu Mayang. Tetapi, aku
pura-pura sibuk, atau terkadang ponselku tak kuaktifkan sepanjang hari.
Hari
ini, permaisuri ratu menyambangiku di sekolah tempat aku mengajar.
Bukan untuk menjemput Raka anak sulungnya, tentu. Tak pernah sekali pun
aku melihatnya hadir pada pertemuan orang tua siswa. Tapi, sebagian
besar guru maklum, apalagi Mas Dewo, suami Mbak Laras, adalah salah
seorang donatur penting bagi sekolah ini.
Aku sedang memeriksa
hasil ujian harian siswa di kelas, sementara satu per satu siswa telah
meninggalkan kelas. Aku memang tak langsung pulang. Biasanya, pekerjaan
seperti ini kuusahakan selesai di sekolah agar tak mengganggu
pekerjaanku di rumah. Apalagi, aku selalu tak sabar ingin tahu nilai
anak-anak didikku, apakah mengalami kemajuan atau tidak.
Sebuah
lembar jawaban kucoret dengan tinta merah dan kuberi nilai nol yang amat
besar. Nama yang tertera di sudut kanan atas: Raka Prasetya. Tidak ada
yang bisa kulakukan dengan lembar jawaban ini, karena dua puluh nomor
yang kuberikan pada ujian tadi kesemuanya dijawab dengan ngawur. Ini
ujian ketiga kalinya dan semuanya dilalui Raka dengan gagal total.
Padahal, seingatku, di kelas dua dulu ia memiliki nilai bahasa Inggris
di atas rata-rata. Bahkan kalau tidak salah, ia ikut les bahasa Inggris
sejak masih di sekolah dasar.
”Kau sulit sekali dihubungi,” ujarnya, tak ramah.
Sumber: http://www.femina.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar