Minggu, 19 Mei 2013

Ikhlas [5]

Aku menarik sebuah bangku, tetapi ia tak mau duduk. Sepertinya ia terburu-buru. Atau, mungkin takut setelan jasnya yang mahal kotor terkena debu.

”Aku sibuk, Mbak,” kilahku, seraya mencoba tersenyum. Seperti biasa, ia tak mengacuhkan senyumanku. ”Tidak lama lagi ujian semester. Raka tidak bilang?”

”Tetapi, urusan Mayang juga urusan serius,” ia bersikeras.

”Mayang lagi. Apakah Mbak sudah yakin betul bahwa Mayang hamil?” kataku agak ragu.

”Kau bilang aku bohong?” wajah Mbak Laras berubah sengit.

”Aku hanya kurang yakin, Mbak,” aku meluruskan. ”Mbak sendiri yang bilang kalau dia tidak mau diajak ke dokter. Minggu lalu aku ke sana, dia tidak ada. Tiap kuhubungi, ponselnya tidak diangkat.”

”Kau masih berpikir tidak terjadi apa-apa pada Mayang?”

Aku menarik napas berat. Tiga puluh tahun umurku dan lebih dari separuh umurku kuhabiskan menjaga Mayang. Bukannya aku bosan, tetapi terkadang aku merasa beban yang mereka ikatkan pada punggungku terlalu berat. Aku hanyalah kakak Mayang, bukan ibunya atau kakak tertuanya yang lebih pantas mengawasinya.

”Mayang sudah dewasa, Mbak. Aku pikir sebaiknya kita mulai memperlakukannya layaknya orang dewasa.”

Alis Mbak Laras bertaut. Aku tahu persis ia paling tak suka didebat. Sama seperti Ibu.

”Maksudmu?”

”Maksudku, biarkan dia mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri seperti yang dilakukan orang dewasa lainnya. Kalaupun akhirnya gagal, aku yakin ia akan meminta pendapat kita.”

”Lalu, dengan tindakan orang dewasa seperti apa kira-kira yang kau maksud yang akan diambil Mayang untuk masalahnya ini? Bunuh diri?”

Sebuah senyum sinis melengkapi nada suara Mbak Laras yang terdengar begitu sok tahu. Aku memalingkan wajah pada kertas-kertas yang masih berserakan di atas mejaku. Ya, Tuhan. Terkadang aku begitu muak melihat sikapnya. Tapi, mengapa ketidakberdayaanku selalu mengalahkan kata hatiku untuk menentangnya?

”Aku akan mencoba temui dia lagi. Nantilah kita bahas lagi masalah ini setelah aku bisa memastikan bahwa Mayang benar-benar hamil.”

“Kau betul-betul meragukanku?” Mbak Laras mulai terlihat kesal. Ia beranjak menutup pintu lalu melanjutkan kalimatnya yang belum selesai. “Aku menemukan test pack dengan hasil positif di kamar mandinya dua minggu lalu. Lalu, Mbok Surti melapor bahwa sudah satu minggu Mayang muntah-muntah dan makan sedikit sekali. Ketika aku bertanya padanya, dia bahkan tidak bisa mengangkat mukanya. Aku mengajak dia periksa ke dokter, dia mati-matian tidak mau. Masih kau pikir aku mengada-ada?!”

”Kalau begitu, kenapa aku harus bertemu dengan Mayang? Bukankah dengan Mbak Laras, semua persoalan sudah beres? Mbak tidak bertanya siapa yang menghamilinya? Bagaimana kalau mereka segera menikah saja? Kan Mbak sudah menyanggupi akan mengurusnya.”

Kali ini mata Mbak Laras yang indah seakan ingin menerkamku. Tetapi, kutatap ia dengan berani. Rasanya cukup menye¬nangkan melihat raut wajahnya yang uring-uringan. Selama ini ia terlalu sempurna di mataku.

”Kau lebih tahu siapa Mayang,” akhirnya suara Mbak Laras melunak. ”Kau satu-satunya orang yang bisa membuatnya bicara.”

”Ibu? Ibu tidak tahu masalah ini?’

Mbak Laras menggeleng cepat. ”Ibu tidak boleh tahu. Tidak siapa pun. Kau paham?”

Aku tak mengiyakan, tapi tak juga menggeleng. Kepalaku dipenuhi pertanyaan yang membingungkan. Mengapa Mbak Laras begitu ngotot mengurusi urusan Mayang? Tetapi, betulkah Mayang hamil? Dengan siapa?

Mbak Laras beranjak. Seperti biasa, beberapa uang kertas berwarna merah ditinggalkannya di atas meja. Aku tak meliriknya sama sekali.

”Mbak?”

Tangannya telah mencapai gagang pintu. Ia menoleh padaku.

”Masih ada yang ingin Dewi bicarakan. Tentang Raka. Nilai-nilainya. Semester ini nilai bahasa Inggris-nya anjlok. Kemarin aku juga dapat laporan dari guru-guru bidang studi lainnya bahwa kondisinya tidak jauh berbeda dari yang kutemui. Mbak tahu sebabnya? Sebentar lagi ujian semester.”

Mbak Laras mengibaskan tangannya. ”Biasalah, anak menjelang puber begitu. Lagi senang-senangnya main dengan kawannya. Nanti aku beri tahu ayahnya.”

”Mbak,” lagi-lagi kutahan langkah Mbak Laras.

”Apa lagi?”

”Kalau Mayang tidak mau bicara?”

Matanya menatapku tajam. Mata yang indah, tetapi amat angkuh untuk bisa dipandangi berlama-lama. Membuatku terkadang merinding.

”Harus mau.”

Sesungguhnya sejak kedatangan Mbak Laras di pagi-pagi buta ke rumahku, aku belum memikirkan masalah Mayang dengan serius. Aku memang pengasuhnya sejak kecil. Aku yang menggendongnya jika ia menangis. Aku yang menyuapinya, tak peduli butuh berjam-jam untuk menghabiskan sepiring nasi. Aku yang memandikannya setiap hari, memakaikan baju, bahkan mencuci baju-bajunya yang kotor. Aku yang sering berdebar cemas jika ia demam tinggi, dan berdoa sepanjang malam untuk kesembuhannya.

Tetapi, Ibu telah membuat kami jauh. Sejak mulai sekolah, Ibu mulai memperlakukan Mayang persis seperti Mbak Laras. Aku tak lagi boleh tidur bersamanya atau menemaninya makan. Ibu tak membolehkanku mendekatinya. Bahkan hanya untuk berbagi cerita dengannya, Ibu melarangku. Perasaan perih karena tersisihkan selalu menyergapku. Aku ingin sekali ikut lebur dalam canda dan obrolan mereka. Aku tak keberatan melakukan semua pekerjaaan rumah sendiri, asalkan diperbolehkan ikut berbagi dalam riuh tawa mereka.

Namun, cukup dengan pelototan mata Ibu, aku harus menyingkir jauh-jauh ke dapur, tempat yang nyaris tak terjamah oleh mereka. Bahkan, mendengar canda mereka dari jauh pun, aku tak boleh. Terkadang, sambil mengerjakan cucian piring yang menumpuk, aku menangis. Berharap aku tak pernah lahir di tempat itu, oleh wanita yang entah mengapa tak pernah menyukaiku. Bahkan, sekali waktu Mayang tergerak membantuku membereskan rumah, Ibu mendampratku dan menuduhku telah menyuruh Mayang untuk bekerja. Sejak itu, setiap kali bertemu, Mayang menghindariku.

Aku belajar menempatkan diri di tempat Ibu menginginkanku. Aku memang hanya pengasuh bagi Mayang, ketika masih kecil. Tak kurang dan tak lebih. Hubungan kami mulai membaik, setelah aku mulai bekerja. Aku sesekali meneleponnya, menanyakan kabarnya. Kusadari bahwa sikapnya terhadapku semata-mata hanyalah karena Ibu. Sesekali aku mengajaknya keluar untuk makan atau nonton saat aku gajian. Tetapi, menurutku, ia gadis yang amat tertutup. Ataukah, karena tak biasa berhadapan denganku, si Upik Abu?

Dulu, setiap kali membayangkan pengalaman hidupku bersama Ibu dan saudara-saudaraku, aku selalu berurai air mata. Kini keadaan jauh berbeda. Mas Endi telah mengajariku tentang mengikhlaskan segala sesuatu. Termasuk, ikhlas menerima perlakuan Ibu dan ikhlas karena tak pernah memperoleh tempat yang sejajar di antara saudara-saudaraku.

Hari ini kuluangkan waktu untuk mencari Mayang. Pagi-pagi sekali aku naik angkutan umum ke kampusnya. Menurut informasi dari Mbok Surti melalui telepon, Mayang telah berangkat beberapa menit sebelum aku menelepon. Mbok Surti tak bisa memastikan ke mana Mayang pergi. Tetapi, aku mengira-ngira, di pertengahan semester begini pasti Mayang mempunyai jadwal ujian tengah semester yang padat.

Aku keliru. Setelah mengelilingi fakultas ekonomi yang padat mahasiswa, bertanya ke sana kemari, aku menemukan kenyataan amat mencengangkan dari seorang anak muda berambut kriwil. Dia menerangkan, Mayang semester ini mengambil cuti kuliah. Ia menyarankan aku mengecek kebenaran berita tersebut ke kantor administrasi fakultas, meski wajahnya menyiratkan tanda tanya, ketika aku memperkenalkan diri sebagai kakak Mayang.

Sumber:  http://www.femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar