Aku menarik sebuah bangku, tetapi ia tak mau duduk. Sepertinya ia
terburu-buru. Atau, mungkin takut setelan jasnya yang mahal kotor
terkena debu.
”Aku sibuk, Mbak,” kilahku, seraya mencoba
tersenyum. Seperti biasa, ia tak mengacuhkan senyumanku. ”Tidak lama
lagi ujian semester. Raka tidak bilang?”
”Tetapi, urusan Mayang juga urusan serius,” ia bersikeras.
”Mayang lagi. Apakah Mbak sudah yakin betul bahwa Mayang hamil?” kataku agak ragu.
”Kau bilang aku bohong?” wajah Mbak Laras berubah sengit.
”Aku
hanya kurang yakin, Mbak,” aku meluruskan. ”Mbak sendiri yang bilang
kalau dia tidak mau diajak ke dokter. Minggu lalu aku ke sana, dia tidak
ada. Tiap kuhubungi, ponselnya tidak diangkat.”
”Kau masih berpikir tidak terjadi apa-apa pada Mayang?”
Aku
menarik napas berat. Tiga puluh tahun umurku dan lebih dari separuh
umurku kuhabiskan menjaga Mayang. Bukannya aku bosan, tetapi terkadang
aku merasa beban yang mereka ikatkan pada punggungku terlalu berat. Aku
hanyalah kakak Mayang, bukan ibunya atau kakak tertuanya yang lebih
pantas mengawasinya.
”Mayang sudah dewasa, Mbak. Aku pikir sebaiknya kita mulai memperlakukannya layaknya orang dewasa.”
Alis Mbak Laras bertaut. Aku tahu persis ia paling tak suka didebat. Sama seperti Ibu.
”Maksudmu?”
”Maksudku,
biarkan dia mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri seperti yang
dilakukan orang dewasa lainnya. Kalaupun akhirnya gagal, aku yakin ia
akan meminta pendapat kita.”
”Lalu, dengan tindakan orang dewasa
seperti apa kira-kira yang kau maksud yang akan diambil Mayang untuk
masalahnya ini? Bunuh diri?”
Sebuah senyum sinis melengkapi nada
suara Mbak Laras yang terdengar begitu sok tahu. Aku memalingkan wajah
pada kertas-kertas yang masih berserakan di atas mejaku. Ya, Tuhan.
Terkadang aku begitu muak melihat sikapnya. Tapi, mengapa
ketidakberdayaanku selalu mengalahkan kata hatiku untuk menentangnya?
”Aku
akan mencoba temui dia lagi. Nantilah kita bahas lagi masalah ini
setelah aku bisa memastikan bahwa Mayang benar-benar hamil.”
“Kau
betul-betul meragukanku?” Mbak Laras mulai terlihat kesal. Ia beranjak
menutup pintu lalu melanjutkan kalimatnya yang belum selesai. “Aku
menemukan test pack dengan hasil positif di kamar mandinya dua minggu
lalu. Lalu, Mbok Surti melapor bahwa sudah satu minggu Mayang
muntah-muntah dan makan sedikit sekali. Ketika aku bertanya padanya, dia
bahkan tidak bisa mengangkat mukanya. Aku mengajak dia periksa ke
dokter, dia mati-matian tidak mau. Masih kau pikir aku mengada-ada?!”
”Kalau
begitu, kenapa aku harus bertemu dengan Mayang? Bukankah dengan Mbak
Laras, semua persoalan sudah beres? Mbak tidak bertanya siapa yang
menghamilinya? Bagaimana kalau mereka segera menikah saja? Kan Mbak
sudah menyanggupi akan mengurusnya.”
Kali ini mata Mbak Laras
yang indah seakan ingin menerkamku. Tetapi, kutatap ia dengan berani.
Rasanya cukup menye¬nangkan melihat raut wajahnya yang uring-uringan.
Selama ini ia terlalu sempurna di mataku.
”Kau lebih tahu siapa Mayang,” akhirnya suara Mbak Laras melunak. ”Kau satu-satunya orang yang bisa membuatnya bicara.”
”Ibu? Ibu tidak tahu masalah ini?’
Mbak Laras menggeleng cepat. ”Ibu tidak boleh tahu. Tidak siapa pun. Kau paham?”
Aku
tak mengiyakan, tapi tak juga menggeleng. Kepalaku dipenuhi pertanyaan
yang membingungkan. Mengapa Mbak Laras begitu ngotot mengurusi urusan
Mayang? Tetapi, betulkah Mayang hamil? Dengan siapa?
Mbak Laras
beranjak. Seperti biasa, beberapa uang kertas berwarna merah
ditinggalkannya di atas meja. Aku tak meliriknya sama sekali.
”Mbak?”
Tangannya telah mencapai gagang pintu. Ia menoleh padaku.
”Masih
ada yang ingin Dewi bicarakan. Tentang Raka. Nilai-nilainya. Semester
ini nilai bahasa Inggris-nya anjlok. Kemarin aku juga dapat laporan dari
guru-guru bidang studi lainnya bahwa kondisinya tidak jauh berbeda dari
yang kutemui. Mbak tahu sebabnya? Sebentar lagi ujian semester.”
Mbak
Laras mengibaskan tangannya. ”Biasalah, anak menjelang puber begitu.
Lagi senang-senangnya main dengan kawannya. Nanti aku beri tahu
ayahnya.”
”Mbak,” lagi-lagi kutahan langkah Mbak Laras.
”Apa lagi?”
”Kalau Mayang tidak mau bicara?”
Matanya menatapku tajam. Mata yang indah, tetapi amat angkuh untuk bisa dipandangi berlama-lama. Membuatku terkadang merinding.
”Harus mau.”
Sesungguhnya
sejak kedatangan Mbak Laras di pagi-pagi buta ke rumahku, aku belum
memikirkan masalah Mayang dengan serius. Aku memang pengasuhnya sejak
kecil. Aku yang menggendongnya jika ia menangis. Aku yang menyuapinya,
tak peduli butuh berjam-jam untuk menghabiskan sepiring nasi. Aku yang
memandikannya setiap hari, memakaikan baju, bahkan mencuci baju-bajunya
yang kotor. Aku yang sering berdebar cemas jika ia demam tinggi, dan
berdoa sepanjang malam untuk kesembuhannya.
Tetapi, Ibu telah
membuat kami jauh. Sejak mulai sekolah, Ibu mulai memperlakukan Mayang
persis seperti Mbak Laras. Aku tak lagi boleh tidur bersamanya atau
menemaninya makan. Ibu tak membolehkanku mendekatinya. Bahkan hanya
untuk berbagi cerita dengannya, Ibu melarangku. Perasaan perih karena
tersisihkan selalu menyergapku. Aku ingin sekali ikut lebur dalam canda
dan obrolan mereka. Aku tak keberatan melakukan semua pekerjaaan rumah
sendiri, asalkan diperbolehkan ikut berbagi dalam riuh tawa mereka.
Namun,
cukup dengan pelototan mata Ibu, aku harus menyingkir jauh-jauh ke
dapur, tempat yang nyaris tak terjamah oleh mereka. Bahkan, mendengar
canda mereka dari jauh pun, aku tak boleh. Terkadang, sambil mengerjakan
cucian piring yang menumpuk, aku menangis. Berharap aku tak pernah
lahir di tempat itu, oleh wanita yang entah mengapa tak pernah
menyukaiku. Bahkan, sekali waktu Mayang tergerak membantuku membereskan
rumah, Ibu mendampratku dan menuduhku telah menyuruh Mayang untuk
bekerja. Sejak itu, setiap kali bertemu, Mayang menghindariku.
Aku
belajar menempatkan diri di tempat Ibu menginginkanku. Aku memang hanya
pengasuh bagi Mayang, ketika masih kecil. Tak kurang dan tak lebih.
Hubungan kami mulai membaik, setelah aku mulai bekerja. Aku sesekali
meneleponnya, menanyakan kabarnya. Kusadari bahwa sikapnya terhadapku
semata-mata hanyalah karena Ibu. Sesekali aku mengajaknya keluar untuk
makan atau nonton saat aku gajian. Tetapi, menurutku, ia gadis yang amat
tertutup. Ataukah, karena tak biasa berhadapan denganku, si Upik Abu?
Dulu,
setiap kali membayangkan pengalaman hidupku bersama Ibu dan
saudara-saudaraku, aku selalu berurai air mata. Kini keadaan jauh
berbeda. Mas Endi telah mengajariku tentang mengikhlaskan segala
sesuatu. Termasuk, ikhlas menerima perlakuan Ibu dan ikhlas karena tak
pernah memperoleh tempat yang sejajar di antara saudara-saudaraku.
Hari
ini kuluangkan waktu untuk mencari Mayang. Pagi-pagi sekali aku naik
angkutan umum ke kampusnya. Menurut informasi dari Mbok Surti melalui
telepon, Mayang telah berangkat beberapa menit sebelum aku menelepon.
Mbok Surti tak bisa memastikan ke mana Mayang pergi. Tetapi, aku
mengira-ngira, di pertengahan semester begini pasti Mayang mempunyai
jadwal ujian tengah semester yang padat.
Aku keliru. Setelah
mengelilingi fakultas ekonomi yang padat mahasiswa, bertanya ke sana
kemari, aku menemukan kenyataan amat mencengangkan dari seorang anak
muda berambut kriwil. Dia menerangkan, Mayang semester ini mengambil
cuti kuliah. Ia menyarankan aku mengecek kebenaran berita tersebut ke
kantor administrasi fakultas, meski wajahnya menyiratkan tanda tanya,
ketika aku memperkenalkan diri sebagai kakak Mayang.
Sumber: http://www.femina.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar