Aku pulang dengan lesu. Hari ini aku langsung pulang, karena semalam
mertuaku menyanggupi untuk menjemput Hauzan. Hingga tukang ojek berhenti
di depan rumah, mataku menemukan pagar rumah terbuka lebar. Ada Mayang
tengah menungguku di teras.
Aku memeluk dan mencium kedua pipinya
dengan hati tak menentu. Setengah gembira, setengah khawatir. Segera
kuajak ia masuk, kurasakan ia mengikuti langkahku dengan canggung.
“Dari mana, May?“
Ia
tak segera menjawab. Ia mengambil tempat di sofa hijau yang sudah layak
ganti kulit, lalu tersenyum kecut. Aku duduk di sisinya. Mataku melirik
ke arah perutnya.
“Gimana kabarmu? Mbak sudah lama tidak melihatmu.“
”Baik, Mbak,” jawabnya, nyaris berbisik.
Aku tersenyum. ”Syukurlah. Minggu lalu Mbak ke rumah Mbak Laras, tetapi kamu tidak ada. Mbak kangen ingin ketemu kamu....”
Ia
menatapku. Entah apa arti tatapannya, tetapi matanya mendadak
berkaca-kaca. Aku serba salah. Aku ke dapur dan membuat segelas teh
manis. Otakku berputar mencari pertanyaan yang harus kutanyakan
kepadanya. Tetapi, begitu teh manisku selesai, aku justru makin gugup.
”Tidak kuliah, May?” aku mencoba membuka percakapan. ”Bagaimana? Tahun ini sudah bisa jadi sarjana, ’kan?”
Mayang menggeleng.
”Harusnya kamu sedang mengerjakan skripsi, bukan? Ada kesulitan? Ada yang bisa Mbak bantu?”
Lama
sekali Mayang terdiam. Jarinya sibuk memilin-milin ujung rok
selututnya. Aku mengamatinya dengan seksama. Ia tampak agak kurus dari
terakhir kali yang kulihat.
”May...,” aku menyentuh lengannya.
Ia tersentak. Matanya menatapku ragu. Seketika perasaan cemas
menyergapku. Mungkinkah yang dikatakan Mbak Laras benar adanya?
”Mengapa Mbak begitu baik?”
Aku
terkejut. Antara ingin tersenyum, tetapi tak mengerti maksud
pertanyaannya. Sebuah pertanyaan yang sederhana, tetapi entah mengapa
begitu sulit kutemukan jawabannya. Ya, mengapa aku bisa begitu baik pada
Ibu dan Mbak Laras yang sering tak menghargaiku?
Mayang
menatapku serius, seperti mengharap jawaban yang segera. Aku tak pernah
merasa begitu baik. Apa yang kulakukan rasanya semuanya wajar saja. Tak
dibuat-buat.
”Mbak pasti sudah mendengar dari Mbak Laras tentang keadaanku yang sebenarnya.”
Aku memasang telinga baik-baik.
”Mbak tadi mencariku? Adi yang bilang.” Adi? Pasti anak muda berwajah bocah yang punya rambut kriwil itu.
“Maafkan Mbak, ya? Mbak tidak tahu harus mencarimu ke mana. Telepon Mbak tidak pernah kamu angkat. Mbak khawatir....”
”Mbak tidak salah apa-apa,” ujar Mayang, lirih.
”Tetapi, Mbak sudah sok tahu, mau ikut campur urusanmu.”
”Urusanku
adalah urusan semua orang, Mbak.” Mayang tersenyum kecut. Nada suaranya
pesimistis. ”Urusan Mbak Laras dan Ibu tepatnya.”
”Mereka berdua terlalu sayang padamu,” dengan tenang aku berusaha meluruskan.
”Benarkah?” Senyum Mayang berubah sinis. “Mbak Laras dan Ibu hanya sayang pada diri mereka sendiri.“
Sedih
sekali terdengar. Tetapi, itulah kenyataannya. Aku yang setengah mati
menunjukkan kepada mereka bahwa aku cukup berharga. Tetapi, sampai detik
ini, pengakuan itu tak juga kuperoleh.
”Kau tahu, Mbak Dewi dulu
sering begitu lelah hidup dengan mereka. Tetapi, seburuk apa pun
mereka, mereka tetap bagian hidup Mbak Dewi yang harus Mbak Dewi
syukuri. Bukan berarti karena mereka tak pernah bisa seperti yang Mbak
harap, lantas Mbak harus benci mereka. Bukan begitu, May....”
”Andai aku bisa setulus Mbak Dewi,” ujar Mayang, menatapku dengan sorot mata tak bersemangat.
Kusentuh jemarinya.
”Aku hamil, Mbak.” Kali ini Mayang menatapku tepat di kedua bola mataku. ”Mbak sudah dengar dari Mbak Laras, ’kan?”
Aku mengangguk. ”Dengan siapa, May?”
Mayang tersenyum, tapi wajahnya muram.
”Kalau kau bersedia menceritakan, Mbak akan mendengar.”
”Mbak pasti membenciku setelahnya.”
Mayang membuang pandangannya jauh ke luar pintu. ”Aku malu, Mbak. Aku mau aborsi saja.”
Aku
mendekat, ingin merengkuh tubuhnya, ingin memeluknya. Tetapi, ia
menepiskan kedua tanganku. Cepat-cepat dihapusnya air mata dengan kasar.
”Mbak mau membantuku mencari orang yang bisa menggugurkan kandunganku?”
Ganti
aku terdiam. Setelah beberapa tarikan napas yang kurasa teramat berat,
kukuatkan diriku untuk tersenyum. Kubelai rambut Mayang yang panjang
sebahu. Hitam legam, cantik sekali berpadu dengan kulit putihnya.
Kalau boleh Mbak tahu..,” aku berkata hati-hati, ”Siapa yang menghamilimu...?”
Mayang menggeleng pelan.
”Memang
hakmu untuk tidak menceritakan yang sebenarnya. Tetapi... bagaimana
Mbak bisa membantu menyelesaikan masalah ini kalau kau tidak mau cerita?
Mbak harus tahu, siapa pria itu, lalu kita bicara dengannya untuk
segera menikahi....”
”Aku tidak mungkin menikah dengannya!” suara Mayang terdengar pilu.
”Mbak tidak mengerti. Kau tidak ingin menikah dengannya? Mengapa? Kau tidak mencintainya?”
Mayang menggeleng. ”Bukan itu. Aku takkan bisa....”
”Takkan bisa apa?”
”Aku takkan bisa bersamanya. Kami takkan mungkin bisa....”
Aku
masih diliputi banyak pertanyaan, tetapi Mayang sudah
terguncang-guncang dalam sedu sedan. Setelahnya, aku tak sempat lagi
bertanya, karena kedatangan ibu mertuaku setelah menjemput Hauzan pulang
sekolah. Mayang segera kuungsikan ke kamar tamu. Aku berjanji akan
menemaninya mengobrol setelah urusan dapur selesai.
Namun, usai
melakukan salat lohor, ibu mertuaku memberi tahu bahwa Mayang telah
pergi. Terburu-buru sekali kelihatannya. Mayang hanya menitipkan pesan
bahwa ia akan meneleponku nanti.
Sepanjang hari aku didera
kegelisahan. Sampai putus asa aku mencoba menghubungi Mayang, tetapi
ponselnya tidak aktif. Mas Endi yang kuhubungi berusaha menenangkanku.
Ia minta agar aku tetap tenang. Ia juga berjanji akan menemaniku mencari
Mayang di rumah Mbak Laras setelah pulang kerja.
Kami sampai di
rumah Mbak Laras pukul tujuh lewat tiga puluh sekian. Tampaknya ada
tamu, beberapa mobil terlihat berjejer rapi di halaman rumah Mbak Laras.
Tidak
ingin merusak acara, aku dan Mas Endi masuk lewat belakang. Mas Endi
memilih menunggu di kursi panjang di tepi kolam, sementara aku masuk ke
dapur yang tampaknya sedang sibuk. Mbok Surti, Neneng, dan dua pembantu
lain yang tampaknya masih baru, sibuk menyiapkan hidangan. Kehadiranku
lagi-lagi nyaris membuat Mbok Surti terpekik riang.
”Ada tamu, Mbok? Siapa, sih?”
”Kurang
tahu, Non,” sahut Mbok Surti seraya dengan sigap menyeduh secangkir teh
untukku. ”Dengar-dengar, sih, calon besannya Ndoro Putri....”
”Calon besan Ibu?” Alisku bertaut. ”Memangnya anak Ibu mana yang hendak menikah?”
”Lho?
Non Dewi ini,” Mbok Surti menyodorkan segelas teh yang masih mengepul,
disusul Neneng menghidangkan beberapa stoples kue kering. ”Kan Mbak
Mayang masih gadis. Gimana, sih?”
”Mayang mau menikah?”
Lagi-lagi Mbok Surti mengiyakan. ”Non Dewi tidak tahu?”
Aku menggeleng.
Sumber: http://www.femina.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar