Minggu, 19 Mei 2013

Ikhlas [7]

”Lalu, Mayang di mana, Mbok?”

”Nah itu dia. Dari tadi pagi tidak ketahuan dia ke mana. Apa menginap di rumah temannya, ya?” ujar Mbok Surti. Kuputuskan untuk memeriksa kamar Mayang. Aku menyelinap naik ke lantai atas. Kamar Mayang terletak di bagian belakang lantai dua, bersebelahan dengan kamar Ibu. Aku mendapati ruangan yang besarnya dua kali lipat daripada kamarku itu kosong.

”Kau mencari Mayang? Dia tidak di sini.”

Aku menoleh. Mbak Laras. Seperti biasa, ia memandangku tak ramah.

”Mengapa ke sini mencarinya? Bukankah tadi pagi dia sudah ke rumahmu?” Mbak Laras berjalan lambat mengelilingi kamar Mayang, seraya matanya mengamati setiap benda yang ada di ruangan tersebut secara bergantian.

”Dasar gadis tidak tahu diri!”

”Maksud, Mbak?”

”Kurang apa lagi yang aku berikan selama ini kepadanya? Bahkan sejak kuliah, dia bebas membawa mobil ke kampus. Aku tak habis pikir....”

”Mbak sudah menemukan orang yang menghamilinya?”

Matanya mendelik. ”Tak usah lagi kau pusing soal itu,” katanya kemudian, dengan nada memerintah. ”Aku sudah menemukan orang yang mau jadi suaminya.”

”Orang yang menghamilinya?”

Mbak Laras menggeleng. Raut wajahnya keruh.

”Kau tak perlu tahu. Dia masih keluarga Mas Dewo.”

Aku makin bingung. ”Pria mana yang mau menikahi Mayang yang sedang hamil?”

Mata Mbak Laras melotot padaku. Ditutupnya pintu kamar Mayang segera. Dan, setengah berbisik, ia berkata, ”Ssst... mereka tidak tahu bahwa Mayang hamil....”

Aku menarik diri, duduk di sofa merah kecil di sudut ruangan dan menarik napas. Ada apa lagi ini?

”Mayang sudah setuju?”

”Setuju atau tidak, dia tetap harus menurut. Ini semua demi kebaikannya.”

Benar kata Mayang, hidupnya adalah urusan Ibu dan Mbak Laras. Aku malah ragu Mayang sudah mengetahui tentang rencana ini.

”Mengapa harus begini, Mbak? Bukankah tidak adil bagi Mayang untuk menikah dengan pria yang tidak dicintainya?”

”Adil? Keadilan apa yang kau harapkan untuk orang yang tidak punya harga diri, perusak rumah tangga orang?” nada suara Mbak Laras meninggi.

”Perusak rumah tangga orang?”

Mata Mbak Laras menatapku geram. ”Pria itu sudah beristri. Kau sudah sadar betapa bodohnya adik kesayanganmu itu?”

Aku kehilangan kata. Aku teringat pertemuan dengan Mayang tadi pagi. Aku takkan mungkin bisa bersamanya. Kami takkan mungkin bisa....

”Aku hanya ingin masalah ini cepat selesai,” ujar Mbak Laras, terdengar mirip sebuah keluhan. Wajah cantiknya terlihat lelah. ”Yang penting keluarga ini terhindar dari cemoohan orang.”

”Lebih baik malu daripada menipu orang lain, Mbak,” aku mencoba menyentuh hati Mbak Laras.

”Cukup!” bentak Mbak Laras, membuatku ciut. ”Kau sudah makin pintar rupanya! Kau pikir aku tak memikirkan semua ini baik-baik? Kita tidak punya pilihan lain. Suka atau tidak, Mayang harus bersyukur aku masih mau mengurusinya, menutup aibnya dari Ibu, menyelamatkan hidupnya dari kehancuran. Dia beruntung aku masih mau menganggapnya adik.”

Aku tak bisa bicara. Ya, di satu sisi aku kurang setuju pada tindakan Mbak Laras. Di sisi lain, aku sepertinya membenarkan bahwa keputusan kakakku ini akan menyelamatkan hidup Mayang, bahkan mungkin harga diri Ibu.

Aku beranjak pergi. Seperti biasa, aku tak punya harapan sedikit pun untuk bisa menentang Mbak Laras. Jelas sudah posisiku kini. Aku tak seharusnya ikut campur.

Ketika hampir mencapai tangga, mataku tertumbuk pada Mas Dewo yang duduk termenung di ruang kerjanya yang pintunya separuh terbuka. Ia tak melihat kehadiranku. Sebotol minuman keras berdiri tegak di atas meja. Sejenak langkahku terhenti. Aku sebelumnya tak pernah tahu bahwa Mas Dewo suka minum minuman keras. Dari cerita-cerita Ibu, setahuku Mas Dewo adalah pria yang rajin beribadah.

Atau, memang seperti itu tuntutan gaya hidup orang kaya? Mengapa ia tidak hadir di ruang bawah menyambut tamu-tamu yang datang meminang Mayang? Masalah apa yang tengah dihadapinya?

Malam itu, aku pulang dengan perasaan hampa. Kepalaku nyut-nyutan karena tak bisa memecahkan persoalan Mayang, berikut sikap Mbak Laras. Dan, meski ada Mas Endi setia di sisiku, aku tetap merasa kosong. Lagi-lagi, aku merasa bukan siapa-siapa.
Hari ini ujian tengah semester dimulai. Ada hal penting lain yang menyita perhatianku. Nilai-nilai Raka, anak Mbak Laras, tak kunjung membaik. Aku khawatir jika di ujian bahasa Inggris besok, ia mulai berulah lagi. Ya, aku tak percaya bahwa ia benar-benar tak mampu dalam pelajaran ini.

”Raka!” Langkah anak laki-laki berwajah tampan yang mewarisi wajah ayahnya itu terhenti. Ia melirikku tanpa minat, lalu berjalan mendekat setelah kulambaikan tanganku.

”Nanti selesai ujian jangan langsung pulang, ya? Ada yang Ibu mau tanyakan.”

”Tentang apa? Bukan soal Tante Mayang, ’kan?”

”Memangnya kenapa?” Aku menatapnya bingung tak paham. Tapi, Raka segera berlalu meninggalkanku. Ia tampak kesal.

Pulang sekolah aku menunggunya di kantin. Kami memang jarang berkomunikasi, karena Raka tergolong anak yang tertutup. Ia pun jarang memanggilku dengan sebutan ’Tante’.

Raka duduk mengambil tempat di depanku. Kutawari minuman, tetapi ia menggeleng. Wajahnya kusut. ”Ada apa, sih, Bu?”

Aku tersenyum. Terkadang aku geli mendengarnya memanggilku dengan panggilan ’Bu’, mengingat ia keponakanku. Kuteliti wajah tampannya. Sinar matanya redup, seperti kurang tidur.

”Nilai-nilaimu berantakan. Boleh Ibu tahu mengapa? Kau mau, Ibu memberimu privat bahasa Inggris di rumah? Sayang kalau nilaimu terus-menerus begini....”

“Memangnya Ibu mau ke rumahku?” Raka balik bertanya. “Ibu tidak bosan jadi bulan-bulanan Nenek? Nenek tidak suka Ibu.”

Aku terperangah. ”Kau tahu dari mana?”

Kening Raka mengernyit. ”Ibu tidak merasa?”

Aku menggeleng. Ya, aku berdusta!

”Nenek cuma sayang pada ibuku dan Tante Mayang. Tetapi, Nenek salah. Sebenarnya, cuma Ibu yang baik. Yang lainnya palsu.”

”Kau bicara apa? Tidak pantas seorang anak berbicara tentang keburukan orang tua.”

Di mataku, hari ini ia tampak seperti seorang pria dewasa dalam seragam anak sekolah menengah. Aku menduga wataknya lebih keras dibanding ibunya. Aku tak pernah terlalu dekat dengannya, karena memang tak pernah ada kesempatan untuk itu. Tetapi, yang kuketahui sepanjang ini, ia anak yang baik.

”Tidak perlu pintar untuk jadi orang baik. Kadang-kadang orang yang terlalu pintar, tidak baik.” Kali ini Raka membuatku berusaha menebak usianya saat ini. Aku jadi khawatir melihat gaya bicaranya.

”Ibu dan ayahmu pasti kecewa kalau....”

”Mereka lebih mengecewakan,” tuding Raka, cepat. Wajahnya kini tanpa ekspresi.

”Kau tak mau seperti ayah ibumu? Sukses, banyak uang, terkenal.”

Raka tertawa. Sinis.

”Orang tidak tahu siapa mereka.”

Aku menatapnya tak mengerti.

”Mereka yang kita lihat bukan mereka yang sebenarnya,” lanjutnya dan mulai berbisik, ”Ayahku tidur dengan perempuan....” Ia berhenti sejenak seperti sedang berpikir mencari kata-kata yang tepat sebelum melanjutkan, ”Perempuan yang sebenarnya tak pantas untuknya. Dan ibuku.... juga punya simpanan. Seorang lelaki muda. Lelaki yang masih sepupu ayahku, tetapi ia sama sekali tak tahu.”

Sumber:  http://www.femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar