ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR..!! pukul 04:40 pagi, aku membuka mata,
mendengarkan lantunan adzan subuh yang begitu indah. Hati ini terasa
tenang dan damai tatkala adzan berkumandang menandakan waktu sholat
untuk beribadah kepada Allah SWT telah tiba. Yang sedari malam, aku tak
bisa beristirahat dengan tenang karena kepalaku sakit dan tubuhku serasa
akan demam, pupus sudah setelah mendengar lantunan adzan yang begitu
merdu masuk ke telingaku. Aku ingat saat masih kecil. Ketika itu aku
sedang bermain di halaman rumah bersama Abi, yang kemudian aku mendengar
sebuah lantunan merdu yang menggetarkan hati ini. Serasa aku ingin
meneteskan air mata mendengar lantunan merdu tersebut yang begitu mampu
membuat diriku terkesima.
“Abi, suara merdu apa ini?,” tanyaku pada Abi. Abi tersenyum dan mendekatiku.
“Alhamdulillah, waktu sholat telah tiba. Nisa, itu adalah adzan yang
menandakan waktu sholat telah tiba. Kita sebagai umat muslim wajib
mengerjakan sholat ketika waktunya tiba,” tutur Abi padaku.
“Tapi kok disini terasa tentram dan tenang, Abi? tadi waktu lagi main,
Nisa ga ngerasain apa-apa, tapi.. saat suara merdu yang Abi sebut adzan
itu terdengar, di sini terasa tenang. Kenapa Abi?,” tanyaku polos dengan
wajah lugu sambil menunjuk dadaku sendiri. Abi memegang pundak kecilku
kemudian tersenyum.
Kenangan masa lalu. Aku segera bangkit dari tempat tidurku kemudian
mengambil air Wudlu untuk mensucikan diri dari hadats. Setelah selesai,
aku mengenakan mukena sholat yang berguna untuk menutupi aurat. Aku
ingat betul kata-kata Abi, kalau sedang sholat aurat kita harus
tertutup. Abi banyak mengajarkan tentang Islam kepadaku. Abi mengajarkan
sholat, mengaji, puasa dan lain-lain kepadaku. Sedangkan Ummi selalu
menasihatiku agar menjaga ucapan dan selalu berbuat baik terhadap
sesama. Subhanallah, terima kasih Ya Allah, Engkau menghadirkan seorang
Ayah dan seorang Ibu yang begitu mulia di mataku. Yang selalu
mendekatkan diri kepada-MU dan mengajarkan kepadaku untuk senantiasa
mendekatkan diri kepada-MU.
Aku berdoa, agar Abi mendapat tempat di sisi Allah SWT, menjadi salah
seorang penghuni surga. Aku berdoa agar diberi kesabaran dan kekuatan
dalam menghadapi segala cobaan yang Allah SWT berikan kepadaku dan
kepada Ummi. Ketika Abi meninggal, aku sangat terpukul. Hatiku begitu
sakit ditinggal oleh Abi yang selama ini selalu menemani hari-hariku dan
mengajarkanku bagaimana menjadi seorang muslimah. Apalagi saat Abi
meninggal, Ummi begitu merasakan kesedihan hingga beliau jatuh pingsan
di sebelah jenazah Abi yang telah dikafani. Melihat Ummi yang begitu
menderita atas kepergian Abi, aku sangat sedih. Yang bisa aku lakukan
hanyalah berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Sang Khalik, yang
menciptakan bumi beserta isinya dan yang menciptakan makhluk hidup yang
ada di dunia ini. Saat Abi meninggal, aku sempat marah kenapa Allah
mengambil nyawa Abi. Namun, aku kembali mengingat ucapan Abi ketika di
rumah sakit dan segera beristigfar memohon ampun kepada Allah atas
sikapku.
“Kalau Abi sudah pergi, Nisa sama Ummi jangan sedih, ya? jangan
marah, jangan kecewa. Karena sesungguhnya semua yang hidup pasti akan
merasakan mati. Dan semua makhluk hidup yang telah diciptakan Allah SWT
suatu saat akan kembali kepadaNYA. Nisa sama Ummi harus lebih bersabar
dalam menjalani hidup, bahkan ketika cobaan hidup datang kalian harus
terus berdoa. Ketika cobaan dan masalah datang, Nisa jangan pernah
berpikir kalau Allah tidak sayang sama Nisa dan Ummi, justru Allah
sangat sayang sama Nisa dan Ummi. Ingat, Allah SWT tidak akan pernah
memberikan cobaan diluar batas kemampuan manusia. Ketika sedang sedih
ataupun senang, Nisa harus terus mengingat Allah. Jangan pernah
tinggalkan sholat dan terus berdzikir kepada Allah. Nisa mengerti, kan
apa yang Abi katakan?,” tutur Abi dengan suara pelan.
Aku meneteskan air mata mengingat perkataan Abi. Aku berdoa agar Abi
dijauhkan dari siksa kubur dan api neraka yang amat mengerikan. Ya
Allah, aku berterima kasih dan sangat bersyukur kepada-MU karena telah
menghadirkan seorang Ayah seperti Abi. Aku sangat bersyukur memiliki
orangtua sholeh dan sholeha seperti Abi dan Ummi. Semoga aku bisa
menjadi seorang muslimah yang baik seperti Ummi. Amin, Ya Rabb. Selepas
sholat subuh, aku mengambil Al-qur’an dan mulai membaca ayat suci
Al-qur’an. Kemudian teringat lagi ketika Abi mengajariku membaca
Al-qur’an dan menyuruhku menghapalkan surah-surah pendek yang terdapat
di dalam Al-qur’an setiap selesai mengaji. Saat kecil, kita pasti pernah
diceritakan dongeng sebelum tidur oleh orangtua kita. Disaat anak-anak
lain minta diceritakan dongeng cinderella, putri salju, rapunzel dan
cerita anak lainnya, Aku justru meminta kepada Abi dan Ummi untuk
diceritakan kisah para Nabi dan Rasul. Dan banyak pelajaran berharga
yang aku dapat. Subhanallah, aku bersyukur mempunyai sebuah keluarga
kecil yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Pagi hari. Ayam tetangga berkokok bersahut-sahutan dengan sesama ayam
lainnya. Burung-burung berkicau di antara ranting-ranting pepohonan.
Matahari mulai terbit di ufuk Timur menghangatkan pagi di hari itu.
Udara bersih masih menyegarkan pagi itu. Aku membuka jendela kamarku,
menghirup udara segar nan bersih, melihat orang-orang yang mulai lalu
lalang di jalan depan rumah. Aku meraih tas cokelat yang aku beli tahun
lalu, sambil bergumam “Saatnya memulai hari dengan Bismillah..,”.
“Nisaaa. Ayo sarapan,” panggil Ummi dari ruang makan.
“Iyaa, Ummi,” sahutku sambil mengenakan kaos kaki kemudian keluar dari
kamar menuju ruang makan. Aroma roti panggang mulai tercium, Uuhh..
wanginya roti buatan Ummi, gumamku tersenyum.
“Pagi, Ummi,” sapaku ramah sambil melihat hidangan sarapan pagi yang telah Ummi siapkan di meja.
“Pagi, nak. Ayo duduk,” Ummi mempersilakan aku duduk menikmati sarapan pagi buatan Ummi.
“Wah, kayaknya enak, nih. Hehe..,” godaku.
“kok kayaknya, sih?,” tanya Ummi dengan raut wajah yang sengaja dibuat cemberut.
“Iya, deh. Roti panggang ini pasti enak. kan buatan Ummi,” pujiku sambil
tertawa kecil. Ummi tersenyum mendengar pujianku. Ya Allah, senang
rasanya melihat Ummi bisa tersenyum seperti itu. Terakhir kali aku lihat
Ummi tersenyum saat Abi masih ada. Semoga Ummi akan selalu tersenyum
seperti ini. Rasanya bahagia melihat Ummi tersenyum lagi. Terima kasih,
Ya Allah.
“Nis, kamu mau berangkat kerja sekarang?,” tanya Ummi sambil mengoles selembar roti panggang dengan selai buah.
“Iya, Ummi,” jawabku sambil meneguk segelas susu hangat. Perlahan wajah Ummi berubah diam, datar.
“Ummi kenapa diam? ada masalah, ya Ummi?.” tanyaku pelan sambil melihat
raut wajah Ummi yang berubah. Ya Allah, baru saja Ummi tersenyum
sekarang Ummi terlihat sedih lagi.
“Ah, tidak kok, nak. Ummi hanya kesepian di rumah soalnya kamu berangkat
kerja pagi-pagi pulangnya juga malam. Coba masih ada Abi kamu, Nis.
Pasti Ummi tidak akan kesepian terus,” kata Ummi sedih. Matanya mulai
berkaca-kaca menandakan sebentar lagi Ummi akan meneteskan air mata.
Padahal, mata Ummi sudah sembab. Aku tidak tega melihat Ummi sedih, lalu
kupegang tangan Ummi.
“Ummi.. ummi ga usah sedih. Ummi ga kesepian, kok. Kan Allah selalu
berada di dekat hambaNYA, kan. Allah selalu berada di hati hambaNYA yang
mulia seperti Ummi. Dan juga… Ummi ga perlu khawatir sama Abi. Abi
pasti udah mendapatkan tempat yang indah di Surga. Abi juga pasti sedih
kalau melihat Ummi sedih atas dirinya. Abi ga akan senang kalau Ummi
selalu bersedih atas kepergian Abi. Ummi, kita ga boleh terus-terusan
sedih. Kepergian Abi merupakan kehendak Allah SWT, dan kita harus yakin
semua itu adalah rencana terbaik Allah untuk kita berdua. Ummi juga
ingat, kan apa kata Abi? Abi bilang kita ga boleh sedih kalau nanti Abi
udah ninggalin kita. Kita hanya harus berdoa kepada Allah agar kita
diberi kesabaran dan kekuatan atas cobaan Allah. Jadi, Ummi ga perlu
sedih lagi ya?,” ucapku pada Ummi. Ummi menghapus air matanya kemudian
tersenyum melihatku.
“Ummi bersyukur sekali masih punya kamu disisi Ummi, Nis. Tidak terasa
kamu telah tumbuh menjadi anak yang sholeha seperti dambaan Abi sama
Ummi,” ucap Ummi tersenyum, namun masih menyisakan air mata di sudut
matanya. Aku tersenyum. Kemudian menyalami tangan Ummi berpamitan untuk
berangkat kerja.
Siang hari. Matahari bersinar terik. Beberapa orang mencoba
berlindung di tempat teduh. Seorang perempuan berteduh di bawah
pepohonan menghindari sengatan sinar matahari. Namun tidak denganku. Aku
tidak berlindung di tempat teduh atau di bawah pohon. Aku sudah cukup
teduh dengan jilbab dan pakaian yang kukenakan, melindungiku dari
sengatan sinar matahari yang panas. Namun, siapa sangka, di hari itulah
awal pertemuanku dengan seorang lelaki yang sekarang menjadi Imam bagi
anak-anakku.
Hari itu, aku bertemu dengan Mas Syawal sepulang dari kantor. Kami
bertemu saat aku sedang menunggu taksi di pinggir jalan dekat kantor.
Mas Syawal saat itu tengah menjemput Sarah, adik kecilnya yang sedang
duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku masih ingat ketika masih SMA dulu,
Sarah masih bayi. Aku sering melihat Mas Syawal menggendong Sarah di
teras rumahnya. Saat itu juga, diam-diam terselip di hatiku rasa kagum
kepada Mas Syawal. Subhanallah, disaat semua anak-anak muda seumuran Mas
Syawal masih bergelit dengan foya-foya, pacaran sana sini, Mas Syawal
memilih membantu Ibunya menjaga Sarah dan melaksanakan sholat berjamaah
di masjid. Aku kagum dengan kepribadian Mas Syawal yang beda dengan anak
laki-laki lainnya. Itulah mengapa aku selalu melewati daerah rumahnya
dengan mengendarai sepeda hanya untuk melihat Mas Syawal. Kalau
mengingat kejadian tersebut, aku merasa lucu dan malu. Yah, namanya anak
remaja pasti pernah merasakan rasa kagum terhadap lawan jenisnya. Aku
juga pernah dinasehati Abi dan Ummi kalau rasa suka tersebut memang
tidak dilarang, namun harus dalam batas-batas tertentu. Aku juga
mengerti apa yang dimaksud Abi dan Ummi, kalau aku boleh suka kepada
lawan jenis, tetapi aku tidak boleh melakukan apa yang anak muda
lakukan, yaitu PACARAN! Abi dan Ummi mengatakan kalau pacaran memang
dibenarkan dalam Islam, tetapi dilakukan setelah menikah bukan sebelum
menikah. Pacaran sebelum menikah adalah zina dan zina adalah perbuatan
yang keji. Aku bersyukur, tumbuh dalam sebuah keluarga yang dekat dengan
Islam, dekat dengan Allah SWT. Masa-masa remajaku aku lalui dengan baik
dan benar, semua karena bimbingan Abi dan Ummi.
Ketika sedang menunggu taksi di pinggir jalan, sebuah mobil berwarna
putih berhenti tepat di depanku. Seorang pria mengenakan setelan hitam
keluar dari mobil tersebut kemudian menatapku. Pria itu tersenyum ramah.
Aku melihat sekilas wajah pria tersebut, sepertinya aku mengenalnya
tetapi aku tidak tahu siapa dia.
“Assalamu’alaikum,” Ucapnya ramah padaku.
“Wa’alaikumsalam,” Jawabku masih dengan tatapan keheranan.
“Maaf sebelumnya. Saya ingin bertanya. kamu Nisa, kan?,” tanyanya. Aku
mengerutkan kening. Bagaimana dia tahu namaku? siapa dia? wajahnya
terlihat tidak asing.
“Iya. Maaf, anda siapa, ya? kok tahu nama saya?,” tanyaku balik. Pria tersebut tersenyum lebar.
“Jadi kamu Nisa? Nisa Annisa, kan? Nis, ini aku, Syawal. Ingat ga? kita
dulu bersekolah di SMA yang sama. Syawal,” Ucapnya sedikit senang. Aku
terkejut mendengar pengakuannya. Lalu kuperhatikan wajahnya.
Astagfirullah, dia memang Mas Syawal.
“Mas Syawal? aduh, maaf mas tadi saya ga ngenalin wajahnya Mas Syawal.
Subhanallah, Mas Syawal ternyata ga berubah. Akunya saja yang lupa,”
tukasku tersenyum.
“Kamu juga ga berubah kok, Nis. Alhamdulillah, setelah bertahun-tahun
aku baru ketemu sama kamu di sini. Bagaimana kabar kamu, Nis?,”
“Alhamdulillah baik, Mas Syawal. Mas Syawal gimana, baik keadaannya?,”
“Alhamdulillah, aku baik kok, Nis,” jawabnya. Pintu mobil kembali
terbuka, kali ini seorang gadis kecil berkerudung keluar dari mobil
tersebut.
“Kak, kok kita berhenti?,” tanyanya.
“Oh, iya, Nis. Kenalin, ini Sarah adikku. Sarah, kenalin ini kakak Nisa,
teman sekolah kak Syawal,” ucapnya mengenalkan kami. Aku tersenyum
sambil menyebutkan namaku. Sarah juga tersenyum sambil menyalami
tanganku dengan sopan. Sarah gadis kecil yang sopan, aku juga bisa
merasakan kalau Sarah adalah anak yang baik.
“Nisa, kamu baru pulang kerja, ya?,” tanya Mas Syawal.
“Iya, Mas. Ini aku lagi nungguin taksi. Eh ga taunya Mas Syawal datang. Tadi aku pikir siapa lho, mas ternyata Mas Syawal,”
“Rumah kamu masih yang dulu, kan? aku antarin kamu pulang, ya sekalian
masih banyak yang mau aku bicarakan sama kamu. Boleh aku antar pulang?,”
ajaknya dengan sopan.
“Oh, ga usah Mas Syawal. Takut ngerepotin,”
“Ngga, kok. Ngga ngerepotin sama sekali. Malah aku senang ngantarin
teman lama pulang. Dari pada kamu kepanasan di sini, lagi pula sebentar
lagi waktunya sholat Dzuhur, kan?,” tanyanya. Mas Syawal meminta agar
dia mengantarku pulang. Awalnya aku tidak enak harus merepotkan Mas
Syawal, namun mengingat waktu sholat Dzuhur sebentar lagi tiba, aku
menerima tawarannya. Kami pulang bersama siang itu. Di perjalanan,
banyak hal yang ditanyakan Mas Syawal. Kami bercerita tentang pendidikan
kami dan banyak hal. Dalam sekejap, kami menjadi akrab kembali hanya
karena pertemuan di siang itu.
Sesampainya di rumah, aku mengajak Mas Syawal singgah di rumah dan
kukenalkan kepada Ummi. Ketika waktu sholat dzuhur tiba, kami memutuskan
untuk sholat berjamaah di rumah. Aku, Ummi dan Sarah menjadi makmumnya
sedangkan Mas Syawal sebagai imam saat itu. Aku tahu, semua kejadian
hari itu, pertemuan itu adalah kehendak Allah SWT. Allah SWT
mempertemukan kembali aku dengan Mas Syawal. Selepas sholat, kami kebali
bercerita sekedar menambah keakraban di antara keluargaku dan Mas
Syawal.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Mas Syawal ternyata manajer baru di
kantor tempat aku bekerja. Suatu kebetulan yang luar biasa. Aku semakin
yakin ada sebuah alasan mengapa Allah SWT menghendaki Mas Syawal bertemu
denganku. Walaupun seorang manajer, Mas Syawal tidak bersikap angkuh
dan sombong. Dia tetap ramah kepada siapa saja, entah itu karyawan atau
pun office boy yang ada di kantorku. Oleh karena itu, Mas Syawal
disenangi semua orang. Semua orang menyukai kepribadiannya yang baik dan
tidak sombong. Aku dan Mas Syawal semakin akrab, karena kami bekerja di
tempat yang sama. Aku menjadi kebingungan, tatkala rasa yang pernah aku
rasakan sewaktu dulu kini kembali muncul di hatiku. Ya Allah, rasa
apakah ini? mengapa rasa ini kembali muncul setelah sekian tahun lamanya
aku tak bertemu dengannya? Ampunilah aku atas rasa yang tidak benar
ini, Ya Allah! aku tidak boleh menyukai Mas Syawal tanpa adanya status
pernikahan yang jelas. Bagaimana mungkin aku menyukai seorang pria
padahal aku belum menikah dengannya?
Setiap malam aku berdoa. Aku berdoa, jika memang ia jodohku maka
dekatkanlah ia padaku, Ya Allah. Ridhoilah perasaan ini, karena
sesungguhnya hamba yang mulia adalah hamba yang mencintai dan dicintai
karena Allah SWT. Namun, jika ia bukan jodohku maka jangan biarkan rasa
ini terus berada di dalam hatiku. Aku ikhlas jika memang ia bukan
jodohku, bukan calon imamku kelak. Ya Allah, Engkaulah yang mengatur
segalanya, rezeki bahkan jodoh. Yang manusia bisa lakukan hanya berdoa
dan memohon kepada-MU Ya Allah.
Hingga suatu hari. Suatu hari dimana Allah telah manjawab semua
doaku. Suatu hari dimana aku akan mendapatkan kebahagiaan yang luar
biasa. Semua atas kehendak Allah SWT. Mas Syawal mengkhitbahku!! ia
ingin menjadikan aku pendamping hidupnya, seperti Nabi Adam dan Hawa. Ia
ingin menjadi imam bagi anak-anakku kelak. Ia ingin aku menjadi seorang
Ibu bagi anak-anaknya nanti. Ia juga mengatakan, untuk apa ia
melanjutkan pendidikan keluar negeri kalau ternyata tulang rusuknya
berada di dekatnya saat ini. Ia ingin menikahiku. Subhanallah, air
mataku menetes mendengar perkataannya di depan Ummi dan keluarganya. Aku
sangat bahagia mendengar Mas Syawal ingin menikahiku, ingin membangun
rumah tangga denganku. Ummi melihatku menangis penuh keharuan kemudian
memelukku : “Sekarang kamu bukan Nisa kecil Ummi lagi, nak! tapi kamu
sekarang adalah calon seorang Ibu bagi anak-anakmu nanti. Kamu akan
menjadi seorang “Ummi”, seperti Ummi,” Ummi membisikkanku kata-kata
tersebut dengan lembut. Aku sangat bahagia. Di tengah-tengah kebahagiaan
itu, ada satu kesedihan yang melanda hatiku. Kebahagiaan itu ternyata
terasa tak lengkap, ketika aku mengingat Abi yang saat itu tidak berada
di sampingku, merasakan kebahagiaan yang sama.
Abi, andai Abi berada di sini saat ini, lengkaplah sudah semua
kebahagiaanku. Tapi aku tahu, Abi pasti sedang bahagia di surga sana,
melihat putri kecilnya yang akan menikah dengan seorang pria seperti
Abi. Abi, Mas Syawal akan menjadi suami Nisa, seperti Abi yang telah
menjadi suami Ummi dan Ayah bagi aku. Ingin rasanya Abi berada di sini,
melengkapi semua kebahagiaan ini. Terimah kasih, Abi sudah membimbing
Nisa selama ini, mengajari Nisa berbagai hal.
Ya Allah, Terima kasih telah mempertemukan aku dengan Mas Syawal.
Ridhoilah pernikahan kami. Karena sesungguhnya kami berdua saling
mencintai karenaMU Ya Allah. Dan semua ini terjadi atas izinMU, yang
dapat memisahkan kami hanya Engkau, Ya Allah. Aku bersyukur kepadaMU
karena telah menghadirkan mereka di kehidupanku. Amin, Ya Rabb.
Cerpen Karangan: Rizka Dwigrah. P
Sumber: http://cerpenmu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar