Kau pasti sudah mati bila tidak segera aku cegah tindakan nekatmu kala itu.
Dua hari selepas malam yang paling pahit itu, kau mengajakku minum kopi di Pavilion
Café. Sebagai balas budi, begitu isi pesan terakhirmu via telepon sebelum
kita bersua.
“Terima kasih telah menolongku” ujarmu sesaat seusai tangan mungilmu sibuk
menghiasi Coffee Latte yang masih hangat.
“Aku hanya berada di waktu dan tempat yang tepat” balasku singkat.
“Bukan kebetulan kau berada di sana. Tuhan telah mengirimmu malam itu. Entah
bagaimana, hanya Dia yang tahu”sahutmu lagi lalu menikmati kopi itu.
Dan malam itu
berlalu. Pertemuan kita di Lamberth Bridge telah membuka lembaran baru
persahabatan kita. Ya, persahabatan yang terbentuk tanpa sengaja. Sebuah
kebetulan semata. Mungkin.
Setelah hari
itu, kau sering mengajakku menghabiskan malam di Pavilion Café,
sesekali menikmati aroma malam di Westminster Abbey, berkelana
di tengah lautan buku perpustakaan Britania, bergandengan tangan menelusuri
bangku-bangku Kensington Garden, sesekali beradu pandang di Taman
Istana Buckingham, menghabiskan Minggu pagi di Gereja St.
Margareth dan segala kebiasaanmu tiba-tiba tertular padaku.
Satu yang masih
terekam jelas dalam bayangan kebersamaan kita. Kau mengajakku menyaksikan
pertandingan Chelsea akhir pekan itu.
“Kau tidak mau menemaniku ke Stamford Bridge?”tanyamu di depan
pintu sembari memegang dua tiket masuk.
“Aku benci Chelsea”
“Mengapa?”tanyamu lagi dengan tatapan lugu.
“Aku Barcelonistas” balasku singkat.
Dia tertawa sejadinya. Menatapku penuh senyum kemenangan.
“Bukan karena Champions kemarin kan?”
“Itu hanya salah satunya”
Dan kau tertawa lagi. Sekali lagi. Tawa yang memecah petang di Street IX.
“Ayo temani aku. Paling tidak untuk hari ini saja”pintamu lagi.
Dan malam itu jadi lebih spesial. Bisa kusaksikan kegirangan yang terbenam
dalam kedua mata birumu itu. Kita sama-sama mencintai sepak bola. Sayangnya,
pilihan kita berbeda.
“Mengapa
kau mencintai Chelsea?”tanyaku suatu malam ketika kita berada diantara ribuan
warna merah Theatre of Dreams.
“Apa? Aku
tak mendengar. Di sini sangat ribut” ujarmu sembari mendekatkan wajahmu. Wangi
rambut pirangmu yang sebahu itu bisa kurasakan begitu rapat.
“Mengapa
kau mencintai Chelsea”tanyaku lagi dengan suara lebih keras.
“Aku
terlahir di kota ini. Dan aku mencintai Chelsea. Mereka kebanggaan kami”balasmu
santai.
Kau menatapku sesaat dengan mata yang menyimpan seribu tanya.
“Lalu
kau, mengapa kau mencintai Barcelona? Tidak adakah klub dari kotamu yang bisa
kau banggakan?”serangmu kemudian.
Aku diam. Memperhatikan kau yang terlihat cantik memakai baju biru itu.
“Sepakbola di negeriku sedang kacau. Mudah sekali dipolitisasi. Semua
berpikir merekalah yang paling benar dalam mengelola sepak bola nasional. Kami
kehilangan kebanggaan terhadap sepakbola kami sendiri”balasku sebisanya.
Lalu malam itu pergi. Kau pulang dengan hati yang masih mekar berseri. Tiga
angka yang berhasil di bawah pulang Chelsea menambah senyum ceriamu ketika kita
kembali ke London dalam perjalanan kereta api.
Kedekatan diantara kita, telah menumbuhkan ruang istimewa di hatiku. Ini
terlihat bodoh. Tetapi keadaan telah membentuk kita demikian. Tidak mungkin kau
jatuh cinta padaku. Seorang gadis bermata biru sepertimu (tentu) akan memilih
pria bermata biru, bukan lelaki dengan kulit sawo matang dan rambut hitam. Kita
berbeda. Memang demikian kenyataannya.
Sekali lagi, hari berlalu begitu cepat. Kita bertemu di London Bridge
ketika petang hampir mati di ujung kota.
“Kamu tidak sedang ingin mengucapkan salam perpisahan bukan?” obrolmu
membuka percakapan kita.
“Darimana kau tahu demikian?” balasku lagi.
“Seminggu yang lalu kita sama-sama merayakan wisudamu. Itu berarti kau akan
pulang ke negerimu kan?”sergahmu lagi.
“Ya memang benar. Aku sudah berusaha menyembunyikan semua ini dari kamu.
Tetapi kamu lebih pinta untuk membaca situasi.”
“Lalu”tambahmu lagi sembari menatapku polos. Tatapan yang belum pernah aku
lihat sebelumnya. Matamu tampak berkaca-kaca.
“Dua hari lagi aku akan pulang. Ceritaku di sini nyaris berakhir”
Keheningan sekejap menyelimuti kami. Aku tak tahu mengapa, seperti berat
harus meninggalkan kota ini. Lebih parahnya lagi, aku berat harus meninggalkan
gadis bermata biru ini. Dialah pesona kota tua ini.
“Kamu tidak akan kembali lagi? Maksudku kembali ke kota ini?”
“Tidak ada alasan lagi aku harus kembali ke sini”jawabku datar.
“Bagaimana kalau tentang aku. Kembalilah karena aku di sini.”balasmu cepat.
“Itu tidak cukup”
“Kembalilah karena aku mencintaimu”tambahmu lagi.
Aku diam. Keheningan kembali merapat.
“Untuk waktu yang lama, aku menunggumu berbicara jujur tentang hati. Tetapi itu
tidak pernah datang dari bibirmu.Dan hari ini, paling tidak aku sudah jujur
dengan keadaan.”
“Aku tak ingin menaruh harapan yang sedemikian besar. Toh kita akan
sampai juga pada hari ini, seperti saat ini dan itu pasti terdengar
menyakitkan.”
“Aku butuh jawabanmu kini. Beritahu sesuatu yang bisa membuatku merasa kita
pernah bersama.” imbuhmu lagi sembari memegang tanganku. Kedua mata birumu
menyimpan harapan seribu tahun yang sulit ditebak.
“Aku pun mencintaimu Julie”
“Jika demikian, kembalilah untuk itu. Aku akan selalu menunggumu di sini”
Sumber: kotak-cermin.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar