“Ibu! Berapa ikat sayur bayam yang kita beli?, tanya Insani, pada
ibunya. Ibu dan anaknya termangu memperhatikan sayur bayam yang
teronggok. Ibu muda itu hanya dapat memandanginya. “Tak membeli dua ikat
sayur bayam ya … Aku juga ingin membeli kolak”, tambah Insani. “Ibu
uangnya tak cukup nak”, tambah ibunya.
Ibu muda yang disertai anaknya itu, mengelilingi pasar, di sekitar Jalan Raya Bogor.
Mereka hanya melihat barang-barang kebutuhan pokok. Tapi, ia tak
mampu membelinya. Uang yang mereka miliki sangat sedikit. Awal ramadhan
buat mereka, hanyalah kesedihan. Keluarga itu tak mampu memenuhi
kebutuhan pokok mereka. Kadang mereka berbuka hanya dengan sebungkus
mie. Ada lagi keluarga yang saur dan berbuka dengan singkong serta
tempe. Selama ramadhan.
Di pasar para pembeli hanya hilir mudik. Mereka bingung akan membeli
apa. Seperti orang yang tak tahu mau melakukan apa? Setiap tahun sudah
ajek. Saat menjelang ramadhan atau ied fitri, harga kebutuhan pokok
melonjak, yang tak terjangkau bagi kalangan lapisan bawah.
Nilai uang masyarakat terus digerogoti inflasi. Uang menjadi tak
berarti. Karena harga barang-barang terus naik. Penghasilan rakyat tak
bertambah. Dari waktu ke waktu penghasilan mereka, justru cenderung
menurun. Kemampuan daya beli rakyat terus berkurang, mereka tak mampu
lagi memenuhi kebutuhan pokok mereka. Di tambah setiap hari jumlah orang
yang menganggur semakin banyak. Pabrik-pabrik tutup. Karena para
pemilik modal memindahkan investasi mereka ke negara lain.
Memang nasib masyarakat lapisan bawah makin tragis. Mereka adalah
kuli bangunan, sopir, buruh musiman, tukang ojek, tukang mie, buruh
tani, para nelayan, dan para pedagang asongan, nasib mereka semakin
terpuruk. Ini akibat berbagai kebijakan yang semakin tak memihak mereka.
Minyak langka. Harga gas terus naik. Harga BBM terus dinaikkan.
Disesuaikan dengan harga BBM dipasaran internasinal. Agar para pemilik
modal asing bisa bermain di pasar lokal. Dengan mengorbankan masyarakat
kecil. Tak peduli jeritan rakyat.
Beberapa tahun ini, setidaknya sudah sekian kali harga BBM dinaikkan.
Rakyat kecil langsung terpukul secara ekonomi, mereka tak mampu
bangkit lagi.
Ketika rakyat sudah beralih dari minyak tanah ke gas, tapi sekarang
harga gas terus naik. Mereka kehilangan kebutuhan pokok, yaitu bahan
bakar, yang mereka gunakan kebutuhan sehari-hari. Paradok. Gas dan
minyak di eksport keluar negeri. Di dalam negeri kesulitan pasokan bahan
bakar.
Kini, tukang ojek tak lagi dapat bergembira, karena penghasilan
mereka terus menurun. Tak mungkin lagi mereka dapat membawa pulang uang
Rp50.000 rupiah. Bahkan, di antara mereka ada yang tidak berani pulang.
Karena, mereka hanya mendapatkan uang Rp20.000 rupiah, sementara ia
harus membiayai empat anaknya yang masih sekolah.Apalagi, buruh musiman,
tukang mie, buruh tani, para nelayan, para pedagang asongan, usaha
mereka semakin tergerus dengan kenaikan harga, sampai ada peristiwa
tragis, di Padeglang, seorang pedagang mie yang bunuh diri, karena
selalu rugi.
Anak-anak yang mengemis di jalan-jalan, di kereta, di pasar,
jumlahnya makin banyak. Pengamen tak terhitung lagi. Mereka semuanya di
bulan ramadhan ini tetap harus survive.Harus tetap hidup. Harus tetap
mencari nafkah. Seberapa pun dapatnya. Mereka tak pernah menyerah dengan
keadaan. Mereka harus menjalani kehidupan. Betapapun sangat berat.
Anak-anak kecil yang masih belum waktunya mencari rezeki (nafkah) mereka
di perempatan lampu merah, kadang-kadang sampai larut. Mereka tinggal
di tempat-tempat yang kotor, yang tak layak. Mereka terus menjalani
kehidupan ini dengan segala peristiwa dan penderitaan yang mereka
alami..
Ramadhan tahun ini sejuk. Di awali dengan hujan, dan mendung. Tak
terasa terik matahari. Seakan Allah tabarakallahu ta’ala menurunkan
rahmat Nya bagi seluruh umat manusia. Tapi, belum mengubah nasib mereka,
orang-orang yang miskin. Orang-orang ramai melaksanakan shalat di
masjid-masjid, di malam hari, yang menandakan datangnya bulan ramadhan.
Tapi, bagaimana nasib mereka? Nasib rakyat yang miskin, yang papa,
dan tak memiliki apa-apa?Al-qur’anul Karim di dalam surat al-Hasyr,
ayat: 6, Allah memerintahkan agar kekayaan tidak hanya berputar di
antara orang-orang yang kaya (para aghniya’). Tapi didistribusikan
dengan adil, ke seluruh penduduk. Ini hanya dapat dilakukan oleh seorang
pemimpin yang adil, yang zuhud terhadap dunia. Kekuasaan yang dimiliki
bukan hanya untuk menumpuk kekayaan, tanpa mempedulikan jeritan dan
penderitaan rakyatnya.
Khalifah Abu BakarAs-Shidiq, ketika berkuasa, setiap pagi mengunjungi
rumah seorang janda tua renta, miskin, dan tidak lagi memiliki apa-apa.
Apa yang dikerjakan Abu Bakar? Dia menyapu rumahnya, memerahkan susu,
dan menyiapkan makanan buat wanita tua itu. Padahal, dia seorang
khalifah, yang sangat mulia, orang pertama sesudah Baginda Rasulullah
shallallahu alaihi wa salam. Di masa Abu Bakar, orang-orang yang kaya
yang tidak membayar zakat diperangi. Orang fakir miskin nasibnya
dilindungi.
Sekarang mereka yang menjadi ‘pemimpin’ hanya tipe orang-orang yang
tamak, rakus dunia, dan hanya mengumpulkan kekayaan, yang tak terbatas.
Sementara itu, kondisi rakyatnya terus menderita. Wallahu Alam. (Ms)
Sumber: http://www.eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar