"DIA
seperti malaikat di depan sahabat, teman, dan keluargaku. Kalimatnya
menye-nangkan orang-orang yang mendengarnya, tutur bahasanya sopan. Dia
selalu melakukan hal-hal yang menyenangkan orang lain, dia memeluk dan
menciumku di depan umum. Semua orang menyangka kami adalah pasangan yang
berbahagia.
Meskipun
demikian, sahabat-sahabat kami juga maklum dengan gaya flamboyannya,
yang tidak pernah ketinggalan kata ‘sayang’, terutama pada
perempuan-perempuan yang diajaknya ngobrol. Mereka hanya mengata-kan,
“Yang penting, cintanya untuk kamu, Ta.” Mereka juga maklum jika banyak
perempuan yang rela meninggalkan rasa malunya untuk tetap mengajaknya
kencan, meskipun dia sudah bukan pria single lagi. Seharusnya, aku
berbahagia karena aku lah pilihannya.
Tapi,
tidak demikian. Jika kami hanya berdua, kata-katanya sangat sering
menusuk hatiku. Dia bisa seenaknya melempar mangkuk sayur yang kubuat
karena kurang garam. Atau melempar kemejanya ke wajahku jika kemejanya
masih ada beberapa bagian yang kusut. Atau mengatakan, “Bodoh banget sih
kamu!” Yang paling menyakitkan, “Badan kamu kurus banget kayak papan
penggilasan, bikin aku tidak nafsu sama kamu,” lalu dia membalikkan
badannya membelakangi aku. Betapa sakitnya hatiku.
Dia
tidak mau mencumbuku tidaklah mengapa, tapi tidak perlu dia tambahkan
kata-kata yang sangat tajam bagaikan silet. Bukankah aku sudah kurus
ketika dia melamarku untuk menjadi istrinya? Kemana saja dia selama ini?
Dan bagaimana aku bisa menambah lemak di tubuhku jika hatiku selalu
saja merasa tidak nyaman bersamanya. Bagaimana aku bisa tertawa bahagia
mendengar dia ngobrol dengan mesra dengan seorang teman perempuannya di
telepon atau memuji cantik banget sih kamu hari ini pada sekretarisnya
di kantornya, sementara aku di sampingnya. Aku bukan perempuan berhati
dewi. Aku cuma perempuan biasa, yang selalu cemburu dan tidak dapat
menerima kenyata-an bahwa dia dan aku bagaikan bumi dan langit.
Lima
tahun bersamanya, mungkin hanya tahun pertama saja aku merasakan
kebaha-giaan. Selebihnya, hanya hinaan dan cacian, dan kata-kata dia
sudah bosan sama aku. Namun…., dia begitu manis jika ada orang lain
bersama kami.
Aku
tidak tahu, terbuat dari apa hatinya. Kenapa dia sangat kasar dan tak
pernah menganggapku ada. Apakah aku terlalu kampungan dan tidak bisa
mengikuti gaya hidupnya? Bukankah dia sudah mengenalku dan ekonomi
keluargaku ketika dia menikahi-ku? Kemana saja dia selama ini?
Lima
tahun cukup buatku untuk mendampinginya. Aku tidak menganggapnya ini
sebagai pengorbanan. Seorang istri tidak seharusnya merasa berkorban.
Apa yang kulakukan selama ini sangat ikhlas, namun ada saatnya aku harus
keluar dari gua tempat aku berlindung untuk menjadi seorang yang
istimewa seperti mimpiku. Aku tidak tahu, apakah aku berani menghadapi
ini semua. Aku tidak ingin menjadi sebutir pasir…..
*****
DIA
seorang teman sefakultas yang sangat terkenal dan digilai gadis-gadis
manapun. Jangankan dari fakultasku yang kebanyakan gadis-gadis manis
dan lugu, melainkan juga dari fakultas sebelah, kedokteran gigi, yang
penuh gadis menawan dan atraktif.
Bram,
namanya. Jago ngeband, main basket, aktivis senat, pandai orasi, dan
seabrek kepandaian lainnya, yang membuat para gadis akan antre untuk
dapat kencan dengannya. Di kaca mobilnya selalu saja ada tempelan kertas
yang bertuliskan, “Hai, ntar malam jadi kan ke rumahku?” Kali yang
lain, “Hai Bram, kenalan dong. Aku tunggu ya jam 14.00 di kantin FKG.”
Kemudian, ada juga, ”I miss u, Beib. Kapan kita kencan lagi?” Uugh, mau
muntah rasanya aku membaca tulisan-tulisan itu. Kenapa sih tidak ada
harga diri sama sekali? Menurutku, yang kuper ini, tidak sepantasnya
para gadis mengejar laki-laki. Biar sudah mau mampus karena perasaan
cinta yang berlebihan, tetap saja tidak boleh berlaku seperti itu.
Teman-teman
menertawakan aku, “Denita sayang, sekarang mah sudah biasa perempuan
mengekspresikan rasa yang ada di hatinya. Sama aja kayak laki-laki.
Kalau tuh cowok senang juga, alhamdulillah, kalau nggak, ya cari lagi
yang lain….hehe…”
Tapi,
buatku, tabu untuk menyatakan lebih dulu. Mereka akan membuka
kacamataku dan mengatakan, ”Tata, kalau kacamatamu dilepas dan rambut
ikalmu tidak usah dike-pang terus, kamu tidak kalau lho sama Arfia.“
Arfia
adalah gadis paling ngetop di angkatanku, cantik, supel, cerdas, kaya,
dan segala kelebihan seorang perempuan ada pada dia. Subhanallah, begitu
besar karunia Allah pada Arfia. Dan Arfia jungkir balik mengejar Bram.
Bram, seperti biasa, tebar pesona. Kadang mau didekati, kadang cuek
bebek. Duh, Arfia, kamu kan bisa mencari orang lain yang juga tidak
kalah dengan Bram.
Di
tingkat dua, aku satu kelompok dengan Bram. Maaf saja, aku tidak
tertarik dengan cowok seperti dia. Biar banyak teman-teman sekelas
berusaha mencari perhatiannya, aku tetap saja menjadi si kutu kuper yang
selalu cum laude. Entah kenapa hatiku begitu dingin, karena aku merasa
bagaikan langit dan bumi antara aku dan dia.
Bram
ternyata terpesona dengan kepandaianku! Dia baru menyadari ada seorang
gadis bernama Denita di kelasnya, yang tidak pernah silau dengan
ketampanannya. Dan dia terus mendekatiku. Berpura-pura tidak mengerti
tentang satu pelajaran, dan minta aku menjelaskan.
Saat
aku menjelaskan hal-hal yang dia tidak mengerti, dia hanya memandangku
dan mengatakan, “Ternyata, kamu punya mata yang sangat indah.” Aku
langsung muak dan meninggalkannya. Satu saat, dia akan mengatakan, “Kamu
cantik sekali ternyata. Ketika kamu berbicara, burung-burung akan diam
dan semut pun berhenti berjalan beriringan untuk mendengarkan suaramu
yang indah.” Di saat yang berbeda, dia pura-pura menarik tanganku, “Ya
ampun, lembut sekali tanganmu, pasti hangat berada dalam genggamannya.”
Setiap saat selama dua tahun, selalu ada saja yang dipujinya. Hampir
tiap hari, dan tetap saja aku tidak menghiraukannya.
Tapi,
suatu saat Bram kecelakaan. Dia terbaring di RS dalam waktu yang lama.
Tiba-tiba, aku merasa kehilangan yang sangat. Dua tahun penuh dengan
pujian tiap hari. Tiba-tiba, satu minggu ini terasa sepi.
Tidak
ada yang mengejarku saat aku berlari pulang, dan mengatakan, “Denita,
kamu gimana, sih? Aku udah nunggu kamu dua jam! Dua jam bukan waktu yang
singkat untuk menunggu agar kamu mau aku antar pulang. Tapi, sekarang
malah lari mau pulang sendiri. Kamu pikir kamu siapa? Banyak gadis lain
yang ingin aku antar pulang,” teriak Bram marah.
Aku
menangis mendengarnya dan berkata pelan, “So what? Aku memang bukan
siapa-siapa, antar saja gadis-gadismu pulang. Aku tidak butuh
antaranmu.“ Dan aku pun berlari menuju bus kota yang sudah menunggu. Aku
melihat kekecewaan berpendar dari bola matamu, dari balik kaca bus
kota. Aku tidak tahu, apakah ini hanya trik Bram. Sebab, kamu tidak
berhasil mendapatkan sesuatu?
Dia
terkulai di pembaringan di kelas VIP RS sangat elite di Ibukota.
Kakinya masih ditraksi akibat patah tulang femur, karena kecelakaan
motor dalam rally yang diikutinya.
Aku
membezuknya sendiri, dan terharu melihat keadaannya. Maafkan aku, Bram,
jika selama ini tidak bersikap baik padamu, padahal kamu selalu baik.
Coklat yang sering kamu berikan, aku bagikan pada teman-teman. Bunga
yang pernah kamu sisipkan di rambutku, dengan cepat aku buang karena
tidak tahan dengan tawa teman-teman. Bahkan, aku tidak sanggup melihat
cahaya mata Arfia yang cemburu melihatmu mendekatiku.
“Denita,
tahukah kamu, kenapa aku kecelakaan?” Aku menggeleng di tepi tempat
tidur. “Karena aku selalu memikirkanmu setiap saat. Aku tidak bisa
menghilangkan bayanganmu dari diriku. Saat rally kemarin, tiba-tiba saja
aku teringat padamu. Aku melamun, tiba-tiba motorku sudah terjungkal,
dan aku tidak sadarkan diri. Tahu-tahu sudah di sini. Sialan kamu,
Tata!”
Aku
diam. Aku tidak tahu, apakah aku menyukainya? Tidak ada getaran yang
indah. Tidak ada rasa rindu dan menantikan esok segera datang. Tidak ada
suatu rasa yang membuatku ingin selalu bersamanya.
Apa
yang tidak layak dari Bram? semuanya begitu sempurna di dirinya. Wajah
rupawan, pandai bermain musik, aktivis kampus, juga kaya raya. Aku
seperti langit dan bumi dengannya.
“
Aku ingin sekali menghabiskan waktu-waktu di hidupku bersamamu. Aku
tidak pernah menemukan gadis yang punya karakter begitu kuat seperti
dirimu. Engkau tidak pernah tergoda dengan materi, padahal begitu banyak
gadis materialistis di sekelilingku. Engkau tidak pernah membalas
rayuan maupun godaanku. Ada apa sih dengan dirimu? Frigid banget, sih!
Aku jatuh cinta tau sama kamu!”
Aku kembali diam termangu. Jatuh cinta denganku? Ada apa dengan diriku?
“Denita…,” dia mencoba meraih tanganku.
Aku
memandangnya dengan haru, tapi aku tidak tahu apakah aku mempunyai rasa
yang sama dengan dirinya? Kehadirannya selalu kubatasi, kupagari
seluruh ruang hatiku agar aku tidak tertarik padanya. Aku tidak tahu,
apakah demi seorang Arfia? Atau karena aku tidak layak untuknya? Atau
karena masa lalu, masa kecilku? Suatu masa yang tidak mengenal arti
mencintai dan dicintai?
*****
AKU
anak pertama dari 6 bersaudara yang ditinggal pergi ayah sejak aku
berusia 14 tahun. Ayah pergi meninggalkan ibu, yang katanya tidak pernah
ayah cintai. Setiap bulan ayah selalu mengirimkan uang bulanan untuk
kami, tapi kehadirannya tidak pernah ada.
Kehadiran
jiwanya memang tidak pernah ada sejak aku kecil, saat aku mulai bisa
mengenali seorang ayah dan seorang ibu. Kehadiran fisik tidak selalu
mewakili kehadiran jiwa. Aku selalu melihat kesedihan di mata dan wajah
ibu. Padahal, mereka dulu menikah bukan karena paksaan seperti layaknya
zaman Siti Nurbaya. Mereka menikah atas kemauan sendiri. Tapi, kata ibu,
ayah lama-lama kehilangan cintanya pada ibu yang terlalu sibuk
mengurusi 6 anak.
Ibu
hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa, yang tidak bisa mengambil
keputusan, tidak bekerja, jarang menambah ilmu karena terlalu sibuk
dengan kami anak-anaknya, dan pasrah saja ketika ayah pergi meninggalkan
kami. Kadang aku mendengar tangisnya di malam sunyi, saat orang-orang
terlelap, ketika ibu shalat tahajud dan menangis dalam doa kepada-Nya.
Kadang aku ikut menangis di tempat tidur kami, yang aku tempati dengan
tiga adikku. Dua adikku yang terkecil tidur dengan ibu.
Waktu
aku belum mengerti kenapa orang dewasa menangis, aku selalu heran,
kenapa bila malam tiba dan sunyi, ibu selalu menangis. Dan kenapa
lama-lama ayah makin jarang pulang? Padahal, ketika dia ada pun, dia
hanya asyik mengotak-atik mobil tuanya. Aku seperti tidak memiliki ayah
dan hanya memiliki separuh ibu. Aku tidak menyalahkan ibu, yang sibuk
mengurus adik-adikku.
Aku
tumbuh besar sendiri, menyadari arti perbuatan yang salah dan benar
berdasarkan hukuman di sekolah. Kalau aku dihukum, berarti aku salah.
Kalau tidak ada yang menghukum aku, berarti aku benar. Tidak ada pujian,
meskipun aku sering berbuat baik dan selalu juara kelas. Semuanya
berjalan biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Di rumah aku menjaga dan
mengajarkan adik-adikku tentang pelajaran yang tidak mereka mengerti
sehingga mereka tidak perlu ikut pelajaran tambahan atau les pada guru
mereka, yang akan menghabiskan uang ibu.
Kehidupanku
sangat sederhana. Aku tinggal di gang kecil yang hanya masuk satu
mobil. Rumah kami dan tetangga kami penuh kehangatan. Maksudnya, sangat
berjejal dan berdempet-dempetan. Aku bersyukur meski-pun cinta di antara
ayah dan ibu hilang, mereka tidak pernah berteriak-teriak dan saling
memaki, seperti yang sering aku dengar dari tetangga-tetangga di
sekitarku.
Tidak
pernah ada anak laki-laki yang menggodaku, seperti mereka menggoda
teman-temanku. Aku tidak cantik, semua di diriku sungguh sangat biasa.
Mataku bulat, namun jarang bersinar. Tubuhku kecoklatan dan tidak halus.
Aku adalah gadis yang tidak pernah percaya diri, kalau tidak mau
dibilang sangat rendah diri.
Aku
tidak tahu arti mencintai dan dicintai karena aku terlalu sibuk dengan
belajar dan belajar. Namun, aku bertekad akan menjadi seorang perempuan
yang istimewa, yang kehadiranku selalu dinantikan dan diharap-kan oleh
orang-orang di sekitarku, yang selalu dirindukan oleh teman-temanku
ketika aku tidak hadir.
Aku
tidak mau menjadi sebutir pasir di tepi pantai, yang akan terhembus
angin laut lalu hilang entah kemana. Kalaupun masih berserakan di tepi
pantai, tidak ada seorang pun yang bisa membedakan sebutir pasir dari
butiran pasir lainnya.
Dan
aku merasa menjadi perempuan yang istimewa ketika seorang Bram
melamarku. Aku merasa inilah saatnya keluar dari kese-dihanku, menemukan
orang yang mencintai-ku. Meskipun aku tetap tidak merasakan rasa dan
getaran yang indah bersamanya, dia adalah laki-laki pertama yang
mengatakan cinta dan melamarku. Aku merasa hidupku seperti di sinetron
dan dongeng, Cinderella menemukan pangerannya.
Tapi, ternyata…ini hanya awal dari penderitaan episode kedua…
*****
AKU
bertemu kembali dengannya setelah 15 tahun kami berpisah. Aku yang
pergi darinya, tidak ada kata cerai maupun surat cerai. Aku tidak mau
seperti ibuku yang ditinggalkan ayah. Aku mempunyai harga diri dan
berharap orang lain pun bisa menghargai aku.
Aku melihatnya tampak letih dan tua. Aku tidak tahu, masihkah dia mengenali aku?
Setelah
pergi darinya, aku melanjutkan spesialisasi kedokteran jiwa, mungkin
lebih tepatnya untuk mengobati diriku sendiri yang kadang penuh
kecemasan dan paranoid. Dalam waktu 10 tahun terakhir, karierku
meningkat dengan cepat. Aku, yang lebih senang mendengar daripada
berbicara, rupanya disukai oleh pasien-pasienku dan keluarga
pasien-pasienku. Bahkan, yang seharusnya tidak memerlukan terapiku, rela
antre di luar kamar praktekku. Ternyata, begitu banyak manusia yang
perlu di-support atau sekadar disugesti bahwa dia tidak seperti yang dia
pikirkan, atau keluarganya tidak seperti yang dia pikirkan.
Bram terbaring di pembaringan kelas VIP, wajahnya kurus dan pucat.
Aku mendekati pembaringannya. Perjalanan panjang 12 jam melewati darat, laut, dan udara kutempuh setelah berita itu tiba.
Seorang
wanita tiba-tiba mengetuk pintu rumahku, di suatu pulau nun jauh di
Indone-sia timur. Aku memilih untuk melanjutkan hidupku di Ternate
karena masih ada saudara ibu yang tinggal di sana.
Perjalanan
karierku lumayan pesat di sini. Aku tidak saja praktek di beberapa RS,
melainkan juga menjadi dosen terbang di beberapa universitas di
Indonesia timur.
Aku
tidak lagi sekurus papan penggilasan. Tubuhku mulai berisi karena aku
sungguh menikmati hidupku. Baru kurasakan, betapa indahnya tidak menjadi
sebutir pasir. Kini, wajahku mulai berseri dan mataku kembali
tersenyum hangat. Banyak yang memuji kecantikanku dan mengatakan aku
memiliki inner beauty.
Banyak
pula yang mencoba melamarku, dari pejabat daerah, teman sejawat dokter,
hingga beberapa laki-laki yang mapan. Aku selalu menolaknya secara
halus karena aku tidak menemukan cinta itu. Aku hanya mengenang satu
tahun pertama dalam pernikahanku yang kurasakan indah, saat aku mulai
merasakan benih-benih cinta. Tapi, Bram kembali menghancurkannya.
Wanita
yang mengetuk pintu rumahku adalah seorang wanita cantik dan modis,
namun tampak tidak berbahagia. Dia memperkenalkan diri sebagai istri
terakhir Bram. Dia menikah baru empat tahun dengan Bram, setelah
sebelumnya Bram tiga kali kawin dan cerai, termasuk denganku. Meski
begitu, kami tidak pernah bercerai secara hukum, secara agama sudah
pasti.
Bram
sakit dalam dua tahun terakhir ini. Dia menderita kanker prostat.
Sebulan ter-akhir kondisinya semakin parah. Dari sering marah-marah,
sekarang hanya menangis dan mengeluh tiap hari.
“Dia
sering memanggil namamu, dr Deni-ta, dan menangis dalam tidurnya, lalu
memo-hon maaf padamu. Aku tidak tahu di mana harus mencarimu.
Bagaimanapun, dia suami-ku, meskipun kadang sikapnya menyebalkan. Aku
tidak mau dia menderita di akhir hidup-nya. Aku jarang mengurusnya, aku
lebih sering bepergian dengan teman-temanku.
Suatu
saat, dia menangis dan mengatakan, bahwa dia sadar, dengan petualangan
panjangnya, akhirnya hanya ada satu wanita yang pernah membuatnya jatuh
bangun mencintai wanita itu, namun dia tidak menjaganya dengan baik.
Tidak mengajarinya untuk mencintai…..”
Aku meneteskan air mataku….
Aku teringat suratku di hari ulang tahun-nya, tahun pertama dalam pernikahan kami…
“Detik demi detik yang telah kita lewati
Detik demi detik yang kini kita jalani…
Detik demi detik yang akan kita hadapi…
Harapku selalu penuh warna indah, merekatkan batin penuh cinta…
Ajari aku untuk mencintaimu, kekasih..”
Kemudian,
masa indah itu pun berlalu, membawa luka sehingga sempat terlontar doa,
“Aku tidak akan memaafkannya, sampai dia bersujud di kakiku….”
Betapa
beratnya kebencian yang kubawa, betapa beratnya beban yang harus
kutang-gung seumur hidupku dengan membawa dendam yang tidak selesai….
“Dia
berkata, bahwa dia menikahimu bukan akibat kekasihnya selingkuh dengan
temannya, tapi karena dia sungguh-sungguh mencintaimu…. Tapi, entah
bisikan dari mana yang selalu membuatmu merasakan bahwa dirimu hanya
pelampiasan sesaat…,” ujar wanita yang mengaku bernama Norma itu.
Dia
melanjutkan, “Kamu tahu, aku mencoba mencari informasi tentang dirimu
dan aku merasa mengenalmu lebih dekat. Seseorang yang kosong, menemukan
cinta, namun terluka…… Betapa tragisnya hidup kalian… yang satu pergi
dengan membawa luka akibat cinta…., sementara yang satunya lagi
berkeliaran dari wanita satu ke wanita lain mencoba mencari cinta.
Padahal, ada satu cinta yang tidak pernah dijaga dan diberi rasa…. yang
terlantar, kering, dan membusuk..” Aku semakin tersedu mendengar-nya…
“Pulanglah…dan maafkanlah dia…”
*****
DAN sekarang aku di sini….
Menatapnya, yang lemah dan tidak berdaya, pucat, kurus…
Kemana
wajah tampanmu yang dulu kau banggakan? Kemana tubuh gagahmu yang
selalu membuat para wanita berlutut memohon cintamu. Kemana suara indah
dan rayuan mautmu, yang membuat gadis-gadis terbang melayang….
Kita
hanya manusia biasa, yang mempunyai waktu terbatas di dunia ini, yang
hanya mempunyai satu kesempatan untuk menjadi manusia yang baik dan
penuh cinta….
Aku
memegang tangannya lembut. “Aku sudah memaafkanmu, kekasih…..Aku sudah
ikhlas atas semua yang terjadi di antara kita….,” bisikku di telinganya.
Dia membuka matanya perlahan, ada tetesan bening di sana…..
Mata
itu mengungkapkan banyak kata yang tidak terucap. Bibirnya pucat,
dingin, dan beku saat kusentuh. Kami hanya saling menatap dalam diam….
Bibirnya bergerak, berusaha mengucapkan satu kalimat……, ”Maafkan aku, Denita…”
Sumber: http://botefilia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar