Hamparan tikar bambu juga sederet makanan kecil masih berjejer di
samping keranjang, termasuk sebuah buku harian berwarna merah muda milik
Ayumi. Sementara Miyuki duduk mematung, melihat ke sekeliling Murayama
Koen[1]
yang dipadati pengunjung. Mata cokelatnya mencari-cari Ayumi, gadis
berambur kuncir kuda dengan sebuah pita merah muda terselip di
rambutnya. Baru saja, setelah dia menutup telpon dari Shinji,
kekasihnya, dia tersadar kalau sahabatnya yang tadi duduk di sampingnya
menghilang tanpa memberitahu ke mana dia akan pergi.
Hingga matanya kembali tertumbuk pada halaman buku harian
Ayumi yang terbuka. Ada sebuah catatan yang dilelehi airmata dan sebuah
kelopak sakura yang jatuh tepat di atasnya.
Hiroshi, aku tak tahu sebenarnya apa itu cinta.
Padahal sering sekali aku menuliskannya. Aku tak mengerti, cinta itu di
mana, kapan, mengapa, dan bagaimana. Aku hanya tahu -hanya sekedar tahu-
bahwa cinta ada di dalam hati, dan dirasakan oleh jiwa. Hiroshi, adakah
cinta lain yang mampu kurasakan selain dirimu?
Hembusan angin musim semi yang berbaur dengan riuh tawa orang-orang yang sedang ber-hanami[2],
tak menarik lagi bagi Miyuki. Dia berusaha keras mengusir pikiran buruk
tentang Ayumi. Apalagi, dia tak bisa meninggalkan tempat duduknya
hingga Shinji tiba.
***
Sekelebat hitam mengelilingiku tiba-tiba. Mata tajam
mereka yang tersembunyi di balik topeng ninja, menatapku tanpa ampun.
Mereka berdiri dalam posisi menyerang dengan tangan kanan yang sudah
siap menarik samurai keluar dari sarungnya.
"Dare wa[3]?" tanya salah satu di antara mereka dengan suara kasar.
Aku menelan ludah. "Yamada Ayumi." Kerongkonganku tercekat.
Tatapan mereka makin menyelidik.
"Dia temanku!" sebuah pekikan berasal dari belakangku, di balik rindangnya pohon ceri tempatku bersandar.
Kemudian tengkukku terasa ditiup angin, dan sesosok
pemuda seusiaku berdiri di sampingku. Sikapnya seolah melindungiku.
Hati-hati sekali dia bergerak mendekat, lalu tangannya terulur pelan
setelah orang-orang yang tadi mengelilingiku kembali berdiri tegap.
"Ayo, kita pulang! Aku kan sudah bilang, jangan main-main dengan pakaian para tojin[4] itu lagi." Setelah tangannya menggenggam tanganku. "Maaf, kami permisi!"
Aku tak mengerti apa yang selanjutnya terjadi, tapi kini
aku berada di punggungnya, berkelebatan di antara dahan-dahan ceri yang
menjatuhkan sakura. Bahkan, jika aku ingin pun, aku dapat meraih
beberapa sakuranbo[5] itu dan mencicipi rasa sepatnya. Kemudian ....
"Turunlah!"
Takut-takut, aku turun dari punggungnya. Dan saat dia
berbalik ... aku menemukan mata teduh yang hampir dua tahun ini tak
sanggup kuusir dari pikiranku. Gelombang rindu yang telah terlalu lama
tertahan di tengah lautan hatiku, kini menghempas, menciptakan buih-buih
yang tak tahu harus bergembira atau kembali menangis pilu.
"Hiroshi?" tanpa sadar bibirku menggumamkan nama itu. Kusadari mataku mulai berembun lagi.
"Aku bukan Hiroshi." Suara lembutnya berbaur dalam
hembusan angin musim semi yang menjatuh berkelopak-kelopak sakura di
sekitar kami. "Tadi, siapa namamu?"
"Yamada Ayumi."
"Untuk apa kamu datang kemari?"
Aku menggeleng. "Aku bahkan enggak tahu sekarang aku di
mana." Kualihkan pandanganku pada langit biru cerah, begitu bersih.
Sementara tak ada bangunan lain yang kutemukan di sekitarku, selain
pohon-pohon ceri yang sedang berbunga lebat.
Dia menghela napas pelan. "Darimana asalmu?"
"Kyoto."
Matanya mulai menyelidik. Tetapi rona sendu dari matanya yang hitam pekat, tak membuatku takut.
"Apa aku masih di Kyoto?"
Dia mengangguk cepat. Saat itu, barulah kusadari kalau
rambutnya panjang dan dicepol ke atas seperti pegulat. Juga pakaiannnya,
dia menggunakan yukata[6] biru tua yang terlihat baru. Di pinggang kirinya, kutemukan sebilah pedang berukuran kecil terselip di obi[7]-nya. Bahkan dia hanya memakai geta[8] sebagai alas kaki.
"Apa sebelum kamu berada di sini, sebuah kelopak sakura terkena airmatamu?" tanyanya halus.
Aku tak mengerti apa yang ditanyakannya, maka hanya
kumiringkan kepalaku ke kanan, seperti yang biasa kulakukan saat sedang
merasa bingung, sebagai jawabannya.
Perlahan, senyum di wajahnya memudar, berganti wajah
sendu, serupa binar matanya yang sejak tadi tak bisa berbohong. "Kamu
mirip sekali dengan Sachi, kekasihku yang telah dinikahi Yang Mulia Shogun[9] dan dijadikannya selir muda." Matanya menerawang. "Oh ya, namaku Jiraemon, bukan Hiroshi."
Dia melangkah menjauh, lalu duduk bersandar pada batang
pohon ceri. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam sebuah kantung yang
terikat kuat di obi-nya, sebuah sisir kayu berukir.
Aku mendekatinya, lalu duduk tenang di sampingnya. Kulihat tatapannya yang terus saja lekat pada sisir itu.
"Ayumi, sepertinya aku yang memanggilmu datang kemari. Gomen nasai[10]."
"Aku enggak mengerti."
Matanya berembun, tatapannya kembali tertuju padaku,
tepat ke dalam mataku. Tuhan, dia benar-benar mirip dengan Hiroshi, tak
ada sedikit pun beda yang mampu kutemukan selain pakaiannya. Tidak.
Bahkan pakaian yang dikenakannya, serupa dengan yang dulu dia kenakan
saat pergi bersamaku untuk menikmati Festival Musim Panas.
Kemudian dia beralih lagi dariku, cukup lama dia terdiam,
hanya bersandar dengan mata yang terus lekat menatap langit, menikmati
pikirannya sendiri. Aku tenggelam dalam ketenangannya, menunggu sebuah
suara dari kalimat yang akan kembali dia ucapkan. Tapi hingga langit
mulai berwarna kemerahan, dia masih tak juga mau berbicara.
"Kamu ... mungkin Dewa yang mengirimmu sebagai pengobat
luka hatiku selama ini. Ayumi, kamu mirip sekali dengan Sachi, gadis
yang menghadiahkan aku sisir ini sebagai salam perpisahan sebelum dia
diambil paksa oleh Shogun dari sisiku. Lalu dia memilih bunuh diri
setelah tak bisa melarikan diri dari istana." Suaranya penuh pilu.
"Tunggulah, akan kupetikkan beberapa kelopak sakura yang akan membawamu
kembali."
Aku tak tahu harus berujar apa, atau memberikan jawaban
apa melalui ... sekadar mengangguk atau menggeleng. Dia berdiri, lalu
melompat cepat pada batang ceri di belakangku. Kaki ringannya
berlompatan di dahannya yang rapuh seperti melayang, dan tangannya
berkali-kali meraih kelopak sakura yang baru saja mekar merekah merah
muda. Dalam beberapa detik, dia kembali duduk di sampingku, kali ini
tepat di hadapanku agar dia dapat menatap wajahku lebih lekat.
Jantungku berdegub kuat, menimbulkan beriak di mataku
yang mejatuhkan dua tetes airmata. Tetesan itu menerobos dari pelupukku
tanpa mampu kucegah.
Mendapati mataku yang berair, dia hanya terdiam. Kudapati
raut bingung di wajahnya, dan gerakan tangannya kikuk. Dia hanya
meletakkan kelopak-kelopak itu di pangkuannya.
"Kenapa kamu menangis, Ayumi?"
Bibirku bergetar. Tangan kananku menarik keluar sebuah
rantai kalung keperakan yang telah lama bergantung di leherku.
Kutunjukkan padanya bandulnya yang merah muda berbentuk bunga sakura dan
kubuka bandul kalungku, memperlihatkan potret senyum manisku dan
Hiroshi saat Festival Musim Panas yang pertama dan terakhir kami.
"Itu ... seperti aku ... dan Sachi." Suara Jiraemon terbawa angin.
"Ini aku dan Hiroshi, hampir dua tahun yang lalu. Dia
meninggal dalam sebuah kecelakaan saat sedang bersepeda menuju ke
Murayama Koen untuk menemuiku di akhir musim dingin. Aku menemukannya
bersimbah darah di antara kerumunan orang-orang dan suara sirine
ambulance yang menakutkan. Dia menatapku penuh cinta sebelum matanya
terpejam selamanya."
Jiraemon menatapku sendu. Tangan kanannya terulur,
menghapus beberapa tetes airmataku yang memberontak, meluncur bergiliran
dari kedua mataku.
"Jiraemon, kalau boleh aku tahu, doa apa yang kamu minta pada Dewa, sampai-sampai tadi kamu meminta maaf padaku?"
Dia tertunduk. "Doa bodohku, agar Dewa dan
kelopak-kelopak sakura berkenan mengembalikan Sachi padaku. Ternyata
kamu yang datang, gadis dengan kenangan tentang pemuda yang rupanya sama
sepertiku." Tangannya cepat mengumpulkan kelopak sakura di pangkuannya.
"Pulanglah, Ayumi!" lalu, dia berlutut dan menjatuhkan kelopak-kelopak
itu ke atas kepalaku.
"Jika takdir telah menautkan hatiku dengann Sachi, juga
hatimu dengan seseorang yang begitu serupa denganku itu, maka takdir
pula yang akan menuntun hidupku dan hidupmu kembali berjalan sesuai
dengan cahaya kebahagiaan hingga aku, dan tentu juga kamu, akan
menemukan belahan hati kita di surga." Itulah suara terakhirnya Jiraemon
yang kudengar.
Mataku masih saja berembun, tapi aku dapat melihat dengan
jelas cahaya merah muda yang berpendar di sekitar tubuhku, memudarkan
sosok Jiraemon yang menatapku tanpa berkedip.
"Ayumi-chan, kimi wa zutto aisuru.[11]" suara Hiroshi ditiupkan angin hingga ke pendengaranku.
Sekelebat, tiba-tiba kutemukan wajah Hiroshi yang
tersenyum. Seragam musim dingin berwarna biru tuanya, juga rambut
pendeknya yang selalu diberi gel rambut agar berdiri, juga kacamata
berbingkai hitam tipisnya yang bertengger di hidungnya, membuatku
semakin merindukannya. Kemudian tangannya mengelus kepalaku beberepa
kali, diiringi aroma woody yang biasa kubaui dari tubuhnya.
"Berbahagialah. Aku akan menunggumu di sini, di surga," ucapnya terakhir kali, sebelum tubuhnya kembali memudar.
***
"Apa yang sedang kamu lakukan disini? Kamu mau bunuh
diri?" bentak Shinji pada Ayumi. Dia menarik paksa tangan kurus sahabat
kekasihnya itu menuju ke tepi jalan.
Para penjual makanan dan minuman yang berjejer di sekitar
jalan masuk Murayama Koen yang berseragam warna-warni, memperhatikan
mereka sebentar. Baru saja Ayumi hampir tertabrak sebuah motor yang
melintas.
Ayumi tersadar. Matanya beralih ke sekelilingnya,
menemukan keramaian dan lalu-lalang kendaraan. Sementara wajah Shinji
memerah, tapi matanya terlihat tak tega.
"Aku tahu ... Hiroshi meninggal di tempat ini, tepat di
sini. Tapi apa pantas kamu juga ingin mati? Kamu nggak tahu, Miyuki
mencemaskanmu, hingga memaksaku juga untuk ber-hanami di
Murayama Koen ini untuk merelakan kepergian Hiroshi bersama-sama.
Bahkan, hhh ... karena Hiroshi pernah memintaku untuk menjagamu saat dia
sedang enggak bersamamu, sampai saat ini ... mana sanggup kutatap
potretnya bersamaku, apalagi mengunjungi makamnya, terutama tempat ini."
Shinji melepaskan cengkeraman tangannya. Menuntun Ayumi
kembali menuju ke tengah Murayama Koen, tempat Miyuki menunggunya dengan
cemas.
Melihat Ayumi yang berjalan tertunduk mendekat, Miyuki
bangkit, kelegaan tergambar jelas di wajahnya. Menemukan mata Ayumi yang
memerah dan sedikit bengkak, dia memeluk erat sahabatnya itu,
mengelus-elus punggungnya.
Ayumi kembali terisak, sementara Shinji menghalangi
pandangan orang-orang dari tangisan gadis yang sudah dianggapnya adik,
sejak dia menjalin cinta dengan adik sepupunya sendiri.
"Miyuki, tadi aku bertemu Hiroshi. Dia juga merindukan aku, Miyuki."
Angin musim semi kembali berhembus, kali ini lebih
kencang dan membalik halaman buku harian Ayumi, menjatuhkan sekelopak
bunga sakura yang tadi terkena lelehan airmatanya ke atas tikar bambu.
Sumber: kawankumagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar