Ada selembar daun gugur terbang di atas jalanan padat yang dilalui Mira
sore ini. Daun kecoklatan itu melayang pelan dihembus angin yang tak
terlalu kencang. Mira tersenyum. Semua akan baik-baik saja.
Mira menghela napas perlahan dan menatap selembar daun kering lain yang
sedang menari di atas kendaaraan di depannya. Sungguh pemandangan yang
selalu disukainya. Daun-daun yang melepaskan diri dari ujung-ujung
ranting. Mereka seakan sedang menarikan tarian yang begitu cantik.
Tarian kebebasan.
Ya, semua akan baik-baik saja.
Ada test-pack yang baru saja ia beli di dalam tasnya. Tak lama lagi ia segera akan tiba di rumah dan segala kekhawatirannya akan sirna.
Semua akan baik-baik saja.
----
Ketika Gun tiba, Mira masih terbaring di tempat tidurnya. Entah sudah
berapa jam ia di sana, tergolek dengan mata menerawang dalam gelap.
Kedua matanya sembab dan basah. Kenapa ini bisa terjadi?
Langkah kaki Gun terdengar mendekat. Lelaki yang dicintainya.
“Yang, aku pulang. Kamu sudah tidur, ya?”
Gun membuka pintu dan menyalakan lampu. Cahaya menerangi kamar itu dan Gun merasakan ada sesuatu yang tidak biasa.
“Sudah malam begini, kenapa jendela masih terbuka?” tanya Gun heran.
Dilihatnya Mira masih mengenakan pakaian kerjanya, berbaring di atas
tempat tidur dengan mata merah dan rambut yang kusut. “Mir, kamu
kenapa?” Gun duduk di sisi tempat tidur dan mengulurkan tangannya ke
wajah Mira. “Kamu sakit, Mir?”
Mira mengerjapkan matanya yang terasa perih. Ia menggeleng. Tangannya
lemah mengulurkan sebuah strip kecil berwarna putih kepada Gun.
“Apa ini?”
“Test-pack, Gun. Aku sudah terlambat dua minggu.”
Gun memandang strip putih itu. Ini adalah pertama kalinya ia melihat secara langsung benda yang dinamakan test-pack itu. Gun tidak mengerti. Ia tidak bisa mencerna apa yang telah terjadi.
“Positif, Gun. Aku hamil,” tangis Mira kembali meledak.
Gun terpana. “Bagaimana bisa, Mir?”
Mira menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, Gun.”
----
Sekilas Gun memalingkan wajahnya dari depan kemudi dan memandang Mira
yang duduk di sebelahnya. Sudah hampir setengah jam hanya keheningan
yang berada di antara mereka berdua. Dilihatnya Mira sedang menatap ke
luar kaca jendela di sampingnya. Gun tahu, benak Mira sedang terbang
bersama daun-daun kering yang melayang di luar sana. Di ruas jalan itu,
pohon mahoni berjajar dan daun-daunnya yang kecoklatan mulai berguguran
di awal musim kemarau ini.
“Mir,” Gun memecah kesunyian yang menggelisahkan itu, “Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?”
Tak ada jawaban.
“Mir, please. Katakanlah sesuatu. Jangan diam saja.”
“Gun, seharusnya dulu kamu ijinkan aku pasang spiral atau sekalian
mengikat kandunganku,” desis Mira perlahan sambil menahan tangisan
kemarahannya.
Gun terdiam sesaat. “Jadi sekarang kamu menyalahkan aku karena menganjurkan kita pakai kondom saja?” Gun mendadak kesal.
“Mir..., Mir.... Kamu dengar sendiri kata dokter Hambali tadi. Tidak ada
satu pun alat kontrasepsi yang bisa memberikan jaminan seratus persen.
Bagaimana pun, sekecil apa pun probabilitasnya, kemungkinan untuk hamil
masih ada.”
Mira tidak menanggapi. Ia membisu dan kembali menatap ke luar jendela.
“Sudahlah, Mir. Ini sudah terjadi. Lagipula ia anak kita berdua. Yang
bisa kita lakukan sekarang adalah menjaganya hingga ia lahir dengan
sehat. Lalu kita akan merawat serta membesarkannya, ya kan?”
“Tapi aku tidak ingin punya anak, Gun.”
Gun menghela napas panjang. “Nanti juga kamu pasti bisa menerimanya. Mencintainya. Percayalah, Mir.”
----
Sudah tiga hari berlalu, namun kesunyian yang menggelisahkan masih
menggantung di antara mereka berdua. Hari-hari berlangsung seperti
biasa, namun tak ada percakapan yang terjadi. Hanya keheningan yang
menunggu seperti sebuah bom waktu.
“Mir, kamu masih belum bisa menerimanya?” Gun tak tahan lagi dan bertanya pada Mira yang berbaring memunggungi dirinya.
Hanya terdengar hela napas perlahan sebagai jawaban.
“Mira, aku tidak mengerti dirimu.”
“Kamu tahu aku, Gun. Dari dulu kamu sudah tahu pendirianku, bahkan sejak
kita pacaran, jauh sebelum kita menikah. Aku tidak mau punya anak,
Gun.”
“Tapi itu kan dulu. Terus terang aku selalu berpikir, cepat atau lambat
kamu akan berubah. Apalagi kita sudah tiga tahun menikah.”
“Tidak, Gun. Kamu ternyata tidak mengerti aku. Aku tidak mau punya anak. Tidak dulu, tidak juga sekarang.”
“Ya, kau benar,” keluh Gun pelan, “aku ternyata sama sekali tidak
mengerti dirimu.” Gun tercenung sejenak sebelum melanjutkannya dengan
tanya, “Mira, perkawinan kita selama ini bahagia, kan?”
Mira mengangguk.
“Kita pun sudah cukup mapan. Kita berdua sama-sama sehat dan mampu untuk
punya keturunan. Lalu apa salahnya bila kita punya anak? Kita memang
tidak merencanakannya, tapi Tuhan yang memberikannya untuk kita. Kenapa,
Mir? Setahuku kamu tidak anti anak-anak. Paling tidak kamu sayang
sekali pada keponakan-keponakanmu. Kamu juga bukan dari keluarga yang
bermasalah. Orang-tuamu masih hidup rukun dan bahagia. Kamu tidak punya
trauma, kan? Kenapa, Mira? Aku benar-benar tidak mengerti.”
“Aku egois. Ya, aku egois! Bilang saja begitu! Aku tidak mau hidupku
dikacaukan dengan kewajiban mengurus anak. Hidupku menarik, Gun. Aku
punya karir yang bagus. Aku punya banyak mimpi. Aku ingin melihat banyak
tempat. Aku tidak mau kehidupanku berubah menjadi keharusan mengurus
tetek-bengek dan remeh-temeh seputar anak. Aku tidak mau berubah menjadi
pribadi yang membosankan, ibu-ibu yang hidupnya hanya berpusat pada
anak dan anak saja, perempuan yang merelakan mimpi-mimpinya kandas demi
anaknya. Aku tidak mau seperti itu, Gun. Aku tidak bisa. Perempuan lain
mungkin bisa. Tapi aku tidak.”
Gun terdiam lama.
“Lalu, sekarang apa maumu, Mir? Anak di kandunganmu sekarang, anak kita, apa yang akan kamu lakukan dengannya?”
“Aku tidak tahu, Gun. Mungkin...”
“Kamu tidak berpikir untuk menggugurkannya, kan, Mir?”
“Aku tidak tahu, Gun. Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan...”
Gun menggeleng tidak percaya. Ia benar-benar tidak mengerti Mira. Ia
tiba-tiba merasa berhadapan dengan seseorang yang teramat asing.
Brak! Gun membanting pintu kamar. Tak lama kemudian, dari dalam
kamar, Mira mendengar derung mobil Gun pergi meninggalkan rumah.
Meninggalkan dirinya dalam kesenyapan.
----
Mira merasa kepalanya pusing. Bagian bawah perutnya juga terasa amat
sakit. Nyeri sekali rasanya. Untuk beberapa saat ia lupa apa yang
terjadi. Perlu beberapa menit sebelum ia mulai mengenali keberadaannya.
Ruangan putih, seprai putih, bau obat dan antiseptik. Ini rumah sakit.
Ingatannya pun berpusar. Test-pack, dua strip. Lalu hari-hari
yang dilaluinya dengan rasa marah, bingung, dan penolakan. Pertengkaran
demi pertengkaran yang terjadi. Hingga tadi pagi, ketika tiba-tiba
perutnya terasa melilit sakit. Ada darah merembes di antara kedua
kakinya. Ia ingat sekarang. Ia ingat bahwa ia berteriak memanggil Gun.
Mereka ke rumah sakit. Keguguran, kata dokter. Kuretasi.
“Hai, Mir,” Gun tersenyum ketika melihat Mira sudah terbangun.
Mira menatap wajah Gun yang berada di sisinya. Dilihatnya ada setitik
bening di sudut mata Gun. Gun menangis? Mira tak pernah melihat Gun
menangis sebelumnya.
“Gun...,” suara Mira tercekat. Tangan kanannya hendak mengusap titik air di mata Gun.
“Sudah, kamu istirahat saja. Kamu gak apa-apa, kok, Sayang. Dokter
bilang kamu hanya perlu istirahat satu minggu saja. Sakitnya akan cepat
hilang. Selebihnya kamu akan baik-baik saja,” kata Gun sambil meraih dan
menggenggam tangan Mira.
Mira tersenyum lemah. Teringat ia akan gumpalan darah yang merembes
keluar dari tubuhnya. Apakah gumpalan itu telah bernyawa? Mengapa ia
gugur? Apakah ia tahu bahwa ia tidak diinginkan lalu memilih untuk
pergi? Ah, mungkin ini solusi yang terbaik.
----
Perawat mendorong kursi roda Mira ke ruang tunggu. Ia sudah diperbolehkan pulang.
“Tunggu di sini sebentar. Aku ambil mobil dulu,” kata Gun. Mira mengangguk.
Mengapa ada suara tangis bayi? Kepalanya masih terasa pusing. Ah ya,
tentu saja, ini rumah sakit ibu dan anak. Dilihatnya seorang ibu yang
duduk tak jauh di sebelahnya. Di pelukannya ada sesosok bayi mungil
dengan pipi bulat merah terbungkus selimut merah muda. Bayi perempuan,
batinnya. Milikku, perempuan juga kah? Ia menggeleng pelan. Pertanyaan
bodoh, Mira.
Dipandangnya lagi bayi berselimut merah muda itu. Matanya terpejam
sangat tenang dalam pelukan sang ibu yang sebaliknya seakan tak berkedip
memandang bayinya. Kerongkongan Mira mendadak terasa begitu kering.
Tak tahan, Mira memalingkan pandangannya ke depan. Di seberang tempat
duduknya, seorang bayi sedang menangis dalam timangan ayahnya. Sang ibu
lalu mengambil alih, memeluknya, membujuknya, dan segera menyusuinya. Di
sudut lain, seorang anak sedang belajar berjalan dibantu sang ayah.
Dari sisi lain tempat duduk Mira, terdengar seorang anak sedang
berceloteh cadel. Mira memejamkan mata. Kepalanya makin terasa berat.
Luka di dalam tubuhnya kembali berdenyut sakit.
Tak lama kemudian Gun kembali. Perawat yang menemani Mira, kembali membantu mendorong kursi rodanya.
“Kamu baik-baik saja, Yang?” tanya Gun melihat wajah Mira yang begitu pucat. Mira mengangguk.
“Sakit sekali?”
“Sedikit.” Gun memapahnya, membantunya berdiri dan masuk ke dalam mobil.
Di antara derum mesin mobil yang mulai berjalan, suara tangis dan
celoteh bayi di ruang tunggu tadi masih menyisakan gema di telinga Mira.
Gaungnya tak hilang bahkan entah mengapa terasa semakin keras. Tubuh
Mira mulai berkeringat dingin. Pandangannya berputar-putar. Perlahan
dirasakannya ada rasa nyeri lain merambati dirinya. Mira menggigit
bibirnya. Namun sakit itu tak juga hilang. Bukan, ini bukan dari bagian
bawah tubuhnya. Rasa perih ini perlahan namun makin terasa. Seperti
menusuk, mengiris, menghujam. Tepat di dadanya. Kenapa? Kenapa rasanya
begitu sakit? Mira memejamkan matanya. Terasa seperti ada sesuatu sudah
menggerogoti dadanya. Sebuah sendok tajam yang membersihkan rahimnya,
ternyata juga telah mengorek dan melubangi hatinya.
Mira menatap ke luar jendela. Angin bertiup cukup kencang, melepaskan
dedaunan kering dari ujung-ujung ranting dan menerbangkannya. Butiran
bening mulai mengembang di sudut-sudut mata Mira. Pandangannya mengabur
oleh air mata. Samar ditatapnya daun-daun yang melayang jatuh ke tanah
itu. Mereka luruh. Gugur. Seperti anak yang sempat dikandungnya.
Sumber: neenoy.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar