Pada sore hari yang hangat, aku berjalan menuju rumah Rahmat dan
menawarkan diri untuk membiayai sekolahnya. Mata batinku mengatakan
bahwa Rahmat akan menjadi orang yang sukses di masa depan.
Aku melewati perjalanan melalui lapangan sepak bola. Tak ada yang
bermain, aku hanya mendengar suara anak-anak yang sedang mengaji.
Mungkin sekolah tersebut yang Ibu Sri maksud, tempat untuk mengajinya
Rahmat tanpa membayar sedikitpun. Masih ada juga ustad yang tanpa pamrih
memberikan ilmu agama kepada generasi muda. Ya, semoga saja banyak yang
demikian.
Aku terus berjalan melewati rimbunnya pepohonan dan sawah-sawah yang
siap panen, hingga akupun telah sampai di depan rumah Rahmat. Banyak
ibu-ibu yang sedang mengobrol di sekitar rumahnya, tetapi Ibu Sri tidak
terlihat, mungkin di dalam rumahnya.
Perlahan kudekati rumah yang terlihat sepi dengan pintu yang terbuka.
Wajar saja dalam rumah sederhana itu hanya tinggal dua orang, yaitu
Rahmat dan Ibu Sri.
“Assalamualaikum.” Sahutku di depan pintu rumah. Aku terdiam sesat,
tetapi tak ada yang menjawab, mungkin beliau sedang di kamar mandi atau
mungkin pendengarannya sudah mulai berkurang.
“Assalamualaikum.” Sahutku, tetapi kali ini yang menjawab seorang ibu yang sedang mengobrol dengan tetangganya.
“Cari Ibu Sri, ya?” tanya seorang ibu berjilbab.
“Iya, Bu.” Jawabku.
“Ketok saja pintunya.”
“Oh iya, makasih Bu.” Jawabku ramah.
Aku mengetuk pintu sedikit agak keras sebanyak tiga kali, tetapi tak
ada yang menjawab. Aku ulangi berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama.
Ibu yang menggunakan jilbab memperhatikan tingkahku, dan ia mengambil inisiatif untuk masuk ke rumah memanggil Ibu Sri.
“Tunggu ya Mas, saya panggilkan dulu.” Jelas Ibu berjilbab.
Aku hanya mengangguk sembari tersenyum ramah padanya. Ibu itu memasuki rumah sembari memanggil nama Ibu Sri.
Cuaca di lingkungan ini cukup teduh, dibandingkan dengan rumah yang
aku sewa di perbatasan desa. Tentram dan harmonis. Aku menikmati
pemandangan sekitar rumah ini.
“Akhhhhh……!” jerit seseorang dari dalam rumah. “Tolong! Tolong!
Tolongi Ibu Sri.” Teriak Ibu berjilbab, panik dan segera meminta tolong
keluar rumah.
Aku dan beberapa warga yang mendengar teriakannya, segera memasuki
rumah Ibu Sri, alangkah terkejutnya diriku dan warga yang melihat, Ibu
Sri ditemukan terkujur kaku di kamar mandi. Aku teringat Rahmat, saat
melihat ibunya tergeletak dan mengeluarkan darah di kepalanya.
Bapak-bapak yang melihat kejadian itu langsung segera mengangkat
tubuh Ibu Sri dan dibaringkannya pada kursi panjang. Akupun ikut
membantu mengangkatkan Ibu Sri, tanganku dengan sigap langsung memeriksa
kondisinya.
Jantungku berdebar kencang, tak ada yang aku rasakan pada denyut nadi
dan hembusan nafas. Berkali-kali aku periksa kondisi Ibu Sri, tetapi
tetap sama. Terlambat, aku mengatakan pada warga desa yang berada di
sekitarku, bahwa Ibu Sri telah meninggal dunia akibat pendarahan pada
kepala. Kemungkinan penyebabnya beliau terjatuh.
Serempak mereka mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Semua warga yang hadir turut berduka cita saking tak percayanya dengan
kondisi Ibu Sri, terlihat dari mimik wajah mereka yang meneteskan air
mata.
“Assalamualaikum.” Sapa seorang anak kecil yang memakai baju muslim kepada warga. Ia terlihat lugu dan polos.
Ibu berjilbab mendekati bocah berkulit putih itu, yang tiada lain
adalah Rahmat. Mata Ibu tersebut merah karena menahan tangis dan
berusaha menyembunyikan tangisan di depan Rahmat.
Sebagian penduduk desa yang berada di rumahnya ikut sedih. Karena
setelah dua tahun yang lalu Rahmat ditinggal ayahnya, untuk kali ini
pula ia ditinggal oleh ibunya yang tercinta untuk selamanya.
“Nak, ibumu…” jelas ibu berjilbab dengan tegar, walaupun degan air mata yang meleleh.
“Ibumu…”
“Kenapa Ibu?” tanya Rahmat polos.
“Ibumu, Nak…” tangis ibu berjilbab itu.
Rahmat mendekati ibunya yang sedang terbaring di kursi, ia heran
dengan semua yang terjadi. Ia melihatku disamping ibunya yang terbaring.
“Kak, ada apa dengan ibu?” tanya Rahmat.
Tak ayal, aku tak bisa menahan tangis yang kutahan, sebab kenyataan
hidup yang Rahmat alami sungguh pahit. Seumur Rahmat harus hidup tanpa
belas kasih orang tua, hal ini dapat melemahkan semangat hidupnya.
Perlahan Rahmat memegang tangan ibunya, lalu mengusap wajah, dan
membelai rambut ibunya. Ia terkejut dan panik bahwa pada rambut ibunya
terdapat darah.
“Kenapa ada darah? Ibu kenapa?” tanya Rahmat panik melihat kondisi ibunya.
Semua warga terdiam dan menunduk mengungkapkan rasa sedihnya.
“Ada apa dengan Ibu? Kenapa gak ada yang mau jawab?” tanya Rahmat agak berteriak dan semakin panik.
Semua hanya terdiam. Ibu berjilbab memberanikan diri untuk menjawab
pertanyaan Rahmat. Perlahan ia mendekati Rahmat yang berada di samping
ibunya.
“Rahmat, ibumu saat ini telah menyusul bapakmu.” Halus ia menegarkan Rahmat.
“Maksud Ibu Nina?” tanya Rahmat terlihat lemas. Terlihat kondisinya
yang lemas dan mulai menangis. Ibu Nina mendekati Rahmat, dan memegang
kedua bahu Rahmat dengan kedua tangannya. Ia berusaha menyembunyikan
perasaan sedih.
“Ibumu meninggal, Nak.” Ucap Ibu Nina dengan terharu.
Seketika Rahmat terdiam dan tak percaya bahwa ibunya telah tiada. Tak
ada sepatah katapun yang ia ucapkan, perlahan ia memegang kedua wajah
orang yang ia cintai. Air mata terus mengalir hingga membasahi kedua
pipinya.
Kedua tangan Ibu Nina mengelus pundak Rahmat, tetapi dengan cepat Rahmat berlari keluar meninggalkan rumah.
Aku mengikuti Rahmat dan lari mengejarnya. Ia berhenti dan duduk
menangis di bawah pohon. Bagaimanapun aku mengerti perasaan Rahmat. Aku
pernah merasakan dengan yang Rahmat rasakan saat ini, saat mendengar
kabar bahwa ibunda telah meninggal dunia.
Ketika kehilangan seorang ibu, rasanya dunia ini menjadi tidak
berwarna, hampa, dan sepi. Saat pertama kali mendengar kabar bahwa ibu
telah meninggal, bagaikan es tajam yang menusuk hati. Perih dan
menyiksa.
Namun demikian, aku lebih beruntung dibandingkan Rahmat. Aku
ditinggal oleh almarhumah ibu saat umur dua puluh tahun. Berbeda dengan
Rahmat yang masih membutuhkan Ibu untuk beranjak dewasa. Ia ditinggal
dalam umur delapan tahun. Massa kanak-kanak yang harusnya ia lewati
bersama ibu, ternyata harus rela dipisahkan oleh takdir Tuhan.
“Ibu.” Tangis Rahmat mengenang ibunya.
Berkali-kali ia ucapkan kata Ibu dengan penuh duka yang mendalam. Aku
sangat terharu melihat kondisi Rahmat. Perlahan kudekati untuk
menenangkannya, dan duduk di sampingnya.
“Ibumu pasti akan mendapatkan tempat yang terbaik di Surga, karena
telah menjaga dan merawatmu menjadi anak yang berbakti kepada orang
tua.” Ucapku perlahan sembari mengelus rambut Rahmat yang halus.
“Aku pingin ikut Ibu, Kak.” harap ia sembari menangis.
“Mamet jangan berkata itu, kamu ingat perkataan ibumu disaat kakimu
sakit? Ibunya Mamet bilang bahwa kamu tetap anak yang Ibu banggakan.”
Sahutku menenangkannya.
“Mamet gak bisa hidup tanpa Ibu.” Pasrah dan memeluk kedua lututnya.
“Kamu pasti bisa kok. Kakak juga dulu ditinggal oleh ibunya Kakak.
Memang Kakak juga sedih terima hal tersebut, tapi perlahan Kakak
bangkit, dan berusaha untuk membahagiakan Ibu dengan apa yang Kakak
capai saat ini.” Ucapku menyemangatinya.
“Memang apa yang Kakak capai?” tanya Rahmat hingga mengurangi rasa sedihnya.
“Kakak dulu bekerja jadi asisten dokter.”
“Itukan dulu, sekarang Kakak pengangguran toh?” tanya Rahmat sekenanya.
“Yah, sekarang Kakak milih istirahat dulu dari pekerjaan. Nanti setelah cukup istirahatnya Kakak mulai berkerja lagi.” Terangku.
“Oh begitu.” Kembali Rahmat berbicara lemas.
“Yang penting, sekarang kita harus mempunyai semangat hidup. Kita
harus berjuang dan buktikan pada semua orang bahwa kita bisa, walaupun
tanpa Ibu. Ok?” ucapku bersemangat.
“Ya, Kak.” Ucap Rahmat terisak-isak.
“Kok loyo gitu. Ayo, kita laki-laki jadi harus semangat. Ok.” Aku merangkul Rahmat.
“Ok, Kak. Makasih ya, Kak.” Ada secercah semangat dari ucapan Rahmat.
“Nah gitu, kita tidak boleh meletakan dunia pada hati ini, tetapi
letakkanlah dunia pada tangan ini.” Ucapku membangkitkan Rahmat.
“Maksud Kakak?”
“Maksudnya kita harus menggenggam kehidupan ini, tak boleh menyerah
dalam hidup ini, jangan sampai kamu letakkan hidup ini pada hati,
sehingga kamu terlena dengan kehidupan ini. Tapi letakkanlah kehidupan
ini pada tanganmu, supaya kamu bisa mengendalikan hidup ini menjadi
lebih baik.” Ucapku penuh kelembutan.
“Semoga Mamet bisa ya, Kak.”
“Pasti bisa, kita berdoa kepada Tuhan semoga diberi kemudahan untuk menggenggam dunia.”
“Semoga, Kak.” Jawab Rahmat walau masih ada rasa kesedihannya.
Sumber: http://aliwasi.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar