“Silahkan
berbagi tulisan ini kepada saudara, teman,kerabat anda. Saya berharap
pengalaman yg saya miliki dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.”
Jadi
atas dasar itu saya mencoba untuk membantu sharing disini, syukur2
teman2 disini juga akan melakukan sharing di tempat laen dan tetap
tanpa lupa etika dalam melakukan sharing terhadap tulisan orang lain
adalah memberikan sumbernya. Berikut kisahnya :
Ini
adalah kisah nyata di kehidupanku. Seorang suami yg kucintai yang kini
telah tiada. Begitu besar pengorbanan seorang suamiku pada keluargaku.
Begitu tulus kasih sayangnya untukku dan anakku.
Suamiku
adalah seorang pekerja keras. Dia membangun segala yang ada di
keluarga ini dari nol besar hingga menjadi seperti saat ini. Sesuatu
yang kami rasa sudah lebih dari cukup.
Aku
merasa sangat berdosa ketika teringat suamiku pulang bekerja dan aku
menyambutnya dengan amarah, tak kuberikan secangkir teh hangat
melainkan kuberikan segenggam luapan amarah. Selalu kukatakan pada dia
bahwa dia tak peduli padaku, tak mengerti aku, dan selalu saja sibuk
dengan pekerjaannya.
Tapi
kini aku tahu. Semua ucapanku selama ini salah dan hanya menjadi
penyesalanku karena dia telah tiada. Temannya mengatakan padaku
sepeninggal kepergiannya. Bahwa dia selalu membanggakan aku dan anakku
di depan rekan kerjanya.
Dia
berkata, “ setiap kali kami ajak dia makan siang, mas anwar jarang
sekali ikut kalau tidak penting sekali, alasannya slalu tak jelas. Dan
lain waktu aku sempat menanyakan kenapa dia jarang sekali mau makan
siang, dia menjawab, “ aku belum melihat istriku makan siang dan aku
belum melihat anakku minum susu dengan riang, lalu bagaimana aku bisa
makan siang.”
Saat
itu tertegun, aku salut pada suamimu. Dia sosok yang sangat sayang
pada keluarganya. Suamimu bukan saja orang yang sangat sayang pada
keluarga, tapi suamimu adalah sosok pemimpin yang hebat. Selalu mampu
memberikan solusi-solusi jitu pada perusahaan.”
Aku
menahan air mataku karena aku tak ingin menangis di depan rekan kerja
suamiku. Aku sedih karena saat ini aku sudah kehilangan sosok yang
hebat. Teringat akan amarahku pada suamiku, aku selalu mengatakan dia
slalu menyibukkan diri pada pekerjaan, dia tak pernah peduli pada anak
kita.
Namun
itu semua salah. Sepeninggal suamiku. Aku menemukan dokumen2
pekerjaannya. Dan aku tak kuasa menahan tangis membaca di tiap lembar
di sebuah buku catatan kecil di tumpukan dokumen itu, yang salah
satunya berbunyi:
“ Perusahaan
kecil CV. Anwar Sejahtera di bangun atas keringat yang tak pernah
kurasa. Kuharap nanti bukan lagi CV.Anwar Sejahtera, melainkan akan di
teruskan oleh putra kesayanganku dengan nama PT. Syahril Anwar
Sejahtera.
Maaf
nak, ayah tidak bisa memberikanmu sebuah kasih sayang berupa belaian.
Tapi cukuplah ibumu yang memberikan kelembutan kasih sayang secara
langsung. Ayah ingin lakukan seperti ibumu. Tapi kamu adalah laki-laki.
Kamu harus kuat. Dan kamu harus menjadi laki-laki hebat. Dan ayah
rasa, kasih sayang yang lebih tepat ayah berikan adalah kasih sayang
berupa ilmu dan pelajaran.
Maaf
ayah agak keras padamu nak. Tapi kamulah laki-laki. Sosok yang akan
menjadi pemimpin, sosok yang harus kuat menahan terpaan angin dari
manapun. Dan ayah yakin kamu dapat menjadi seperti itu.”
Membaca
itu, benar2 baru kusadari betapa suamiku menyayangi putraku, betapa
dia mempersiapkan masa depan putraku sedari dini. Betapa dia memikirkan
jalan untuk kebaikan anak kita.
Setiap
suamiku pulang kerja. Dia selalu mengatakan, “ ibu capai? istirahat
dulu saja”. Dengan kasar kukatakan, “ya jelas aku capai, semua
pekerjaan rumah aku kerjakan. Urus anak, urus cucian, masak, ayah
tahunya ya pulang datang bersih.titik.”
Sungguh,
bagaimana perasaan suamiku saat itu. Tapi dia hanya diam saja. Sembari
tersenyum dan pergi ke dapur membuat teh atau kopi hangat sendiri.
Padahal kusadari. Beban dia sebagai kepala rumah tangga jauh lebih
berat di banding aku. Pekerjaannya jika salah pasti sering di maki-maki pelanggan. Tidak kenal panas ataupun hujan dia jalani pekerjaannya dengan penuh ikhlas.
Suamiku
meninggalkanku setelah terkena serangan jantung di ruang kerjanya,
tepat setelah aku menelponnya dan memaki-makinya. Sungguh aku berdosa.
Selama hidupnya tak pernah aku tahu bahwa dia mengidap penyakit
jantung. Hanya setelah sepeninggalnya aku tahu dari pegawainya yang
sering mengantarnya ke klinik spesialis jantung yang murah di kota kami.
Pegawai tersebut bercerita kepadaku bahwa sempat dia menanyakan pada suamiku.
“Pak
kenapa cari klinik yang termurah? saya rasa bapak bisa berobat di
tempat yg lebih mahal dan lebih memiliki pelayanan yang baik dan
standar pengobatan yang lebih baik pula”
Dan
suamiku menjawab, “tak usahlah terlalu mahal. Aku hanya ingin tahu
seberapa lama aku dapat bertahan. Tidak lebih. Dan aku tak mau memotong
tabungan untuk hari depan anakku dan keluargaku. Aku tak ingin
gara-gara jantungku yang rusak ini mereka menjadi kesusahan. Dan jangan
sampai istriku tahu aku mengidap penyakit jantung. Aku takut istriku
menyayangiku karena iba. Aku ingin rasa sayang yang tulus dan ikhlas.”
Ya
Robb..Maafkan hamba-Mu Ya Allah, hamba tak mampu menjadi istri yang
baik. Hamba tak sempat memberikan rasa sayang yang pantas untuk suami
hamba yang dengan tulus menyayangi keluarga ini.
Aku
malu pada diriku. Hanya tangis dan penyesalan yang kini ada. Saya
menulis ini sebagai renungan kita bersama. Agar kesalahan yang saya
lakukan tidak di lakukan oleh wanita-wanita yang lain. Karena
penyesalan yang datang di akhir tak berguna apa-apa. Hanyalah penyesalan
dan tak merubah apa-apa.
Banggalah pada suamimu yang senantiasa meneteskan keringatnya hingga lupa membasuhnya dan mengering tanpa dia sadari.
Banggalah pada suamimu, karena ucapan itu adalah pemberian yang paling mudah dan paling indah jika suamimu mendengarnya.
Sambut
kepulangannya di rumah dengan senyum dan sapaan hangat. Kecup
keningnya agar dia merasakan ketenangan setelah menahan beban berat di
luar sana.
Sambutlah
dengan penuh rasa tulus ikhlas untuk menyayangi suamimu. Selagi dia
kembali dalam keadaan dapat membuka mata lebar-lebar. Dan bukan kembali sembari memejamkan mata tuk selamanya.
Teruntuk suamiku.
Maafkan aku sayang.
Terlambat sudah kata ini ku ucapkan.
Aku janji pada diriku sendiri teruntukmu.
Putramu ini akan kubesarkan seperti caramu.
Putra kita ini akan menjadi sosok yang sepertimu.
Aku bangga padamu, aku sayang padamu.
Istrimu
Rina
Silahkan
berbagi tulisan ini kepada saudara, teman, kerabat anda. Saya berharap
pengalaman yg saya miliki dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.
------------------------------------Selesai-------------------------------------------
Sumber: http://steppinoff.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar